Rizky Dwi Wicaksono
Usaha Jasa Pariwisata 2012
4423125311
Sejarah Indonesia, Diorama museum nasional, Perlawanan Pattimura..
Perlawanan Pattimura
a. Latar Belakang
Terjadinya PerlawananMaluku termasuk daerah yang paling awal didatangi oleh Belanda yang kemudian berhasil memaksakan monopoli perdagangan. Rempah-rempah Maluku hanya boleh dijual kepada Belanda. Kalau tidak dijual kepada Belanda, maka mereka dicap sebagai penyelundup dan pembangkang. Maka latar belakang terjadinya perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Thomas Matulessi yang lebih dikenal dengan nama Kapiten Pattimura, adalah sebagai berikut.
1) Kembalinya pemerintahan kolonial Belanda di Maluku dari tangan Inggris. Perubahan penguasa dengan sendirinya membawa perubahan kebijaksanaan dan peraturan. Apabila perubahan itu menimbulkan banyak kerugian atau penghargaan yang kurang, sudah barang tentu akan menimbulkan rasa tak puas dan kegelisahan.
2) Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan kembali penyerahan wajib dan kerja wajib. Pada zaman pemerintahan Inggris penyerahan wajib dan kerja wajib (verplichte leverantien, herendiensten) dihapus, tetapi pemerintah Belanda mengharuskannya lagi. Tambahan pula tarif berbagai barang yang disetor diturunkan, sedang pembayarannya ditunda-tunda.
3) Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan uang kertas sebagai pengganti uang logam yang sudah berlaku di Maluku, menambah kegelisahan rakyat.
4) Belanda juga mulai menggerakkan tenaga dari kepulauan Maluku untuk menjadi Serdadu (Tentara) Belanda.
Berdasarkan Convention of London (1814),
daerah Maluku diserahkan kembali oleh Inggris kepada Belanda. Kedatangan Belanda kembali ke Maluku disambut dengan
banyak perlawanan rakyat.
Rakyat Maluku banyak yang merasa trauma dengan penindasan dan penghisapan
pada masa VOC antara lain seperti pelayaran Hongi, ektirpasa dan lain-lain,
rakyat Maluku takut hal-hal di atas kembali terulang.
Pada tanggal 8 Maret 1817, masuklah 4 kapal perang Belanda ke Teluk Ambon.
Empat kapal itu salah satunya mengangkut 2 orang penting Belanda. Mereka adalah
Komisaris Van Middlekoop dan Engelhard. Sambutan penduduk Maluku
sangat suram dan tidak meriah karena seperti disebutkan di atas, rakyat masih
trauma dengan orang-orang Belanda.
Ketika Maluku dikuasai Inggris, seolah-olah rakyat Maluku ada pada masa
yang menyenangkan. Inggris melarang semua pelanggaran atas hak mereka, kerja
paksa dihapus, Inggris juga membeli hasil bumi Maluku dengan harga yang pantas.
Ketika Belanda kembali, rakyat Maluku seperti kecewa dan tidak senang karena
mereka punya dendam dengan orang-orang Belanda.
Perasaan trauma itu sepertinya akan terulang pada saat Residen gubernur
Maluku menginstruksikan diberlakukan kembali kerja paksa (rodi) yang telah
dihapuskan oleh pemerintah Inggris sebelumnya dan kewajiban kepada nelayan
Maluku untuk menyediakan perahu (orambai) untuk keperluan administrasi dan
militer Belanda. Selain itu yang
paling berat adalah kerja paksa untuk keperluan penebangan kayu.
Sikap Belanda yang sewenang-wenang ini menimbulkan jiwa kritis rakyat
Maluku timbul, rakyat Maluku mulai membandingkan pemerintahan Inggris dengan
Belanda. Orang-orang Kristen yang dulunya kebanyakan bekerja untuk pemerintahan
Inggris kini bergabung dengan golongan Muslim Maluku untuk merencanakan
perlawanan terhadap Belanda.
Perlwanan dimulai ketika rakyat melakukan protes di Kantor Residen Saparua
di dalam Benteng Duurstedee. Mereka menuntut agar pemerintah bersedia
membayar perahu Orambai yang dipesan oleh pemerintah Belanda dengan harga yang
pantas karena selama ini perahu orambai yang diserahkan kepada pemerintah
Belanda tidak pernah dibayar. Para pembuat perahu mengancam akan mogok jika
tidak dibayar. Residen Saparua Van
den Berg menolak tuntutan rakyat itu. Kejadian itu menyebabkan kebencian
rakyat Maluku semakin menjadi-jadi.
Akhirnya perlwanan dengan kekerasan senjata terhadap Belanda pun
direncanakan. Dalam pertemuan antara para pemimpin rakyat Saparua (berjumlah
100 orang) dibicarakan mengenai rencana perlawanan dan juga dibicarakan
mengenai siapa yang akan memimpin, selain itu di dalam rapat tersebut muncul
desas-desus bahwa Belanda akan mengenakan wajib militer pada rakyat Maluku
untuk ditugaskan ke Jawa, yang mana desas-desus ini menimbulkan perasaan
was-was dan semakin menambah kebencian pada Belanda. Dalam rapat itu seorang
pria bernama Matulessy tampak mendominasi pertemuan. Mattulessy memiliki
nama lengkap ketika lahir adalah Achmat Lussy dan biasa dipanggil Mat
Lussy, ketika Maluku dikuasai Inggris Mat Lussy bekerja sebagai anggota
tentara kolonial Inggris dan memperoleh pangkat kapten (kapitan). Waktu itu
Inggris membentuk Barisan Maluku di mana ada 400 orang Maluku yang bekerja
untuk tentara Inggris. Karena begitu akrab dengan orang Inggris dan sangat
menyukai kebudayaannya Mat Lussy bahkan berpindah agama menjadi Kristen
Protestan Anglikan dan merubah namanya menjadi Thomas Matulessy. Ketika
Inggris harus mengembalikan Maluku pada Belanda, Inggris menawarkan agar 400
orang barisan Maluku itu dipekerjakan untuk Tentara Belanda. Tetapi tawaran itu
ditolak Belanda, akhirnya Barisan Maluku dibubarkan, dan 400 orang anggotanya
yang kecewa termasuk Mattulessy terpaksa harus menganggur dan hal ini
menyebabkan kekecewaan mereka pada Belanda.
Akhirnya pada peretengahan tahun 1817, Belanda menawarkan kepada 400 orang
mantan Barisan Maluku untuk bergabung dengan tentara Belanda tetapi dengan
syarat mereka harus mau ditugaskan ke Jawa. Tetapi banyak yang menolak karena
Jawa dinilai sangat jauh dan mereka menuntut agar ditugaskan ke Kepulauan
Maluku saja, tetapi Belanda menolak. Akhirnya dari 400 orang anggota barisan
hanya 33 orang saja yang mau bergabung dengan Belanda.
Pengalaman di kemiliteran Inggris membuat Mattulessy cukup disegani
karena keahliannya menyusun strategi perlawanan terhadap Belanda, maka para
pemimpin adat sepakat untuk mengangkat Mattulessy sebagai pemimpin
dengan gelar Pattimura.
Pattimura menetapkan sasaran
adalah Benteng Duurstede. Benteng di tepi pantai itu akan diserang oleh
pasukan yang didaratkan dari pantai. Untuk mengangkut pasukan Pattimura merencanakan
akan memakai orambai yang sedianya akan dipesan oleh Belanda.
Benteng Duurstede adalah tempat tinggal residen Saparua Johannes
Rudolph Van den Berg yang baru berusia 29 tahun yang sejak 15 Maret 1817
menetap di sana. Ia tinggal bersama istri dan 4 anaknya. Selain keluarga
residen, benteng ini juga dijaga oleh ratusan tentara dan pegawai administrasi.
Pada bulan April 1817, seorang Maluku bernama Pieter Matheus Sohoka, memberi
tahu residen tentang pertemuan 100 pemuka adat Saparua. Yang mana pertemuan itu
membahas tentang rencana pemberontakan. Residen yang masih muda dan baru
membiasakan diri dengan lingkungan Maluku itu segera menanyakan kepada
bawahannya tentang berita dari Sohoka itu. Para pembantu residen kemudian
mengatakan bahwa berita dari Sohoka itu bohong belakan. Akhirnya Sohoka dihukum
cambuk karena dianggap menyebarkan berita bohong. Akhirnya Sohoka yang sakit
hati memutuskan untuk menggabungkan diri dengan pemberontakan.
Pada tanggal 15 Mei 1817 terjadi kerusuhan di Porto di mana sebuah perahu
pos Belanda dirampas oleh rakyat yang marah, rakyat mengancam jika Pemerintah
Belanda tidak bersedia membayar orambai maka perahu pos itu tidak akan
dikembalikan berikut isinya.
Residen Van den Berg dengan ditemani 7 pasukan pengawal berangkat ke
Porto untuk melakukan dialog dengan rakyat. Tetapi residen dan pengawalnya
tidak tahu bahwa rakyat itu adalah pengikut Pattimura. Ketika sampai di
daerah Haria, residen dan pengawalnya disergap dan semuanya berhasil ditangkap,
beberapa pengawalnya bahkan ada yang terbunuh. Kuda residen dibunuh. Mengetahui
residen ditawan oleh rakyat Saparua, maka dari Benteng Duurstede
dikirimkan sekelompok pasukan senapan berjumlah 20 orang dan 12 orang Jawa
bersenjatakan tombak. Di tengah jalan 32 orang serdadu itu dihujani dengan
panah.
Pattimura kemudian membebaskan Van den Berg setelah residen ini mengancam
bahwa jika seorang residen ditahan maka pemerintah Belanda di Batavia tidak
akan tinggal diam dan pasti akan menghukum seluruh rakyat Maluku. Akhirnya
residen dibebaskan dengan jaminan bahwa residen telah menganggap insiden
penyanderaan itu selesai dan tidak akan memperpanjangnya selain itu residen
berjanji akan melunasi orambai yang dibeli Belanda, Pattimura sadar bahwa
residen berkata tidak jujur.
Residen pulang ke Benteng Duurstede dengan berjalan kaki.
Sesampainya di benteng, ia segera meminta bantuan ke Ambon. Residen juga
memerintahkan memperkuat pertahanan benteng.
Tetapi belum sempat permintaan bantuan ke Ambon itu tiba, malam harinya
Pattimura dan pengikutnya sudah mengepung Benteng Duurstede.
Sementara itu, setelah membebaskan residen dan pengawalnya Pattimura dan
pasukannya segera menuju Benteng Duurstede dengan menaiki
orambai-orambai yang berjumlah puluhan.
Pagi hari sebelum matahari terbit orambai-orambai itu sudah sampai di
pantai dan ribuan orang segera turun ke darat dan langsung melakukan serangan
sporadis ke Benteng Duurstede. Pihak Belanda sangat kaget dengan
serangan ini dan berusaha bertahan mati-matian. Tetapi tanpa dinyana dari hutan
di belakang benteng juga terjadi serangan dari rakyat. Akhirnya Benteng Duurstede
berhasil direbut tanggal 16 Mei 1817, seluruh isi benteng dibunuh termasuk
residen dan keluarganya termasuk 4 anaknya yang masih kecil juga jadi korban
sabetan kelewang yang tak bermata.Rakyat Maluku yang bekerja untuk Belanda juga
menjadi korban. Namun, kemudian diketahui bahwa anak tertua Van den Berg tidak
mati karena dia bersembunyi di bawah tumpukan mayat. Dengan jatuhnya Benteng Duurstede
maka senjata-senjata yang ada di dalamnya juga ikut dirampas dan semakin
menguatkan kedudukan Pattimura. Setelah menduduki benteng, Pattimura
menurunkan bendera merah putih biru Belanda dan mengibarkan bendera Union Jack
Inggris.
Sore harinya anak tertua Van den Berg ditemukan oleh salah seorang
pemberontak bernama Samuel Pattiwael. Semua pasukan pemberontak ingin
membunuhnya tetapi Pattimura mencegahnya dan bahkan mengangkat anak itu sebagai
anak tirinya. Anak Van den Berg itu bernama Jean Lubbert.
Pada tanggal 29 Mei 1817, para tetua dari Pulau Saparua dan Nusa Laut
mengeluarkan pernyataan mengenai alasan mereka memberontak. Pernyataan itu
berisi :
”Semuanaya telah terjadi, bahwa Kapitan Pattimura bersama-sama dengan
raja-raja Saparua dan rakyatnya yang telah sakit hati karena tindakan Belanda
sebagai berikut :
- Bahwa Pemerintah Belanda telah membedakan perlakuan antara penduduk muslim dan Kristen Maluku yang justru menimbulkan rasa tidak enak penduduk Kristen Maluku pada saudara Muslimnya.
- Pemerintah Belanda dengan kekerasan ingin mengambil para lelaki dari tiap keluarga untuk dibawa ke Batavia, bila mereka menolak akan dipaksa dan dibawa dengan tangan terborgol.
- Kami sebagai rakyat tidak mau memakai uanag kertas gulden. Bila menolak ternyata Belanda akan menghukum dengan berat. Tetapi jika kami ingin membeli barang dari gudang loji Belanda, kami tidak dapat membayar dengan uang kertas gulden tetapi dengan uang perak. Hal ini adalah pemerasan dan penipuan yang keterlaluan.
- Kami telah bekerja rodi pada Belanda tanpa dibayar sementara kami harus menghidupi keluarga kami.
- Semula tenaga kami dibayar penuh oleh Inggris. Kami pun hidup senang, dihormati, agama yang kami anut dijunjung tinggi. Karena itu rakyat begitu setianya pada Inggris. Tetapi semua tidak berlaku ketika Belanda datang.
- Karena itu kami rakyat Saparua dan Nusa Laut tidak mau lagi mendengarkan perintah dari Gubermen Belanda
- Bila pemerintah Belanda ingin memerintah kami, maka harus berlaku adil seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kerajaan Inggris Raya kepada kami. Jika tidak maka kami akan terus melawan.
Berita jatuhnya Benteng Duurstede dan terbunuhnya Residen Van den
Berg sampai ke Batavia. Pemerintah Hindia-Belanda segera memerintahkan
Mayor Beetjes untuk memimpin 242 pasukan dan 2 meriam untuk merebut kembali
benteng itu. Pasukan itu akan dikirim dengan perahu tanpa perlindungan kapal
perang. Hal ini dilakukan karena Pemerintah Belanda di Ambon memandang
kedudukan Belanda di Ambon masih labil sehingga kapal-kapal perang harus tetap
berada di Ambon. Tanpa perlindungan kapal perang Beetjes berhasil mendarat di
Pantai Wae Sisil.
Usaha Beetjes menemui kegagalan, setelah mendarat pasukannya
disergap oleh ribuan rakyat Saparua dihancurkan di pantai Wae Sisil depan
Benteng Duurstede dan bahkan ia sendiri terbunuh.
Kemudian dikirim pasukan lagi yang lebih besar (950 orang) yang dipimpin
oleh Letnan Kolonel Groot. Tetapi setelah pertempuran yang besar dan
habis-habisan pasukan inipun bisa dihancurkan. Lagi-lagi pasukan Belanda ini
tidak dilindungi oleh kapal perang.
Keberhasilan Pattimura ini menghilhami para pemimpin Maluku di lain
daerah dan merekapun mengobarkan perlawanan terhadap Belanda. Di Hitu perlawanan dipimpin oleh raja Ulupaha yang
berusia 80 tahun. Karena sudah tua
jika berperang raja itu harus ditandu, tetapi perlawanan ini dapat digagalkan
dan Ulupaha melarikan diri ke Seram. Di Seram Ulupaha tertangkap karena pengkhianatan
salah satu anak buahnya.
Selain itu seorang raja bernama Paulus Tiahahu juga membantu
perlwanan Pattimura dengan dukungan ekonomi dan bahkan penyediaan
logistik dan pasukan. Bahkan salah seorang putri raja bernama Christina
Martha Tiahahu memimpin perlwanan Maluku dari laut dan darat dengan cara
membajak kapal Belanda di perairan Maluku.
Politik Devide et Impera dijalankan, Belanda mulai mendekati
beberapa tokoh Maluku yang berpengaruh seperti raja, kepala suku, pendeta
Kristen dan tokoh berpengaruh lainnya untuk ikut membantu mengalahkan Pattimura
dan pengikutnya yang masih bercokol di Benteng Duurstede.
Akhirnya pasukan besar berjumlah 2000 orang dibawah pimpinan Brigadir
Jenderal Buijskes didaratkan di Saparua pada tanggal 30 September 1817
dan mengepung Benteng Duurstede. Kali ini serangan Belanda didukung oleh sebuah kapal perang penjelajah Maria
Van Reigersbergen. Pattimura saat itu tidak sedang berada di benteng
sehingga tidak berhasil ditangkap. Akhirnya benteng itu pun jatuh pada tanggal
3 Oktober 1817 dan beberapa tokoh pemimpin perlawanan ditangkap.
Brigadir Jenderal Buijskes kemudian memecat Residen Van Middelkoop dan
Komisaris Engelhard. Buijskes mengangkat dirinya sebagai residen militer dan
bertanggung jawab atas Maluku.
Buijskes kemudian mengirim surat kepada Raja Ternate dan Tidore. Dia
meminta kepada kedua raja itu untuk mengirim pasukan membantu Belanda. Dalam
suratnya itu Buijskes membawa-bawa sentimen agama untuk memecah belah. Kedua
raja itu pun terpengaruh. Pada awal November 1817, sebanyak 1500 pasukan
Ternate dan Tidore dari Suku Alfuru berikut perahu kora-kora nya bergabung
dengan Belanda.
Bergabungnya 1500 pasukan Ternate-Tidore dari suku Alfuru ini membikin
moral pasukan Pattimura sedikit kendor. Mereka merasa ngeri dengna kebengisan
orang-orang Alfuru yang suka memenggal kepala jika membunuh musuhnya.
Pattimura membangun pertahanannya yang terdiri dari batu-batu karang.
Bahkan peluru meriam Belanda tak mampu menghancurkannya. Pattimura membangun
benteng karang ini di tempat-tempat strategis. Pertahanan ala Pattimura ini menimbulkan rasa salut
Belanda pada Pattimura.
Pada tanggal 9 November Kapal-kapal perang Belanda menghujani sebuah
benteng karang milik pasukan Maluku. Setelah dibombardir dengan berat akhirnya
kapal-kapal itu mendaratkan 3 kompi pasukan dan mengambil posisi mengepung
serta menutup tiap-tiap celah, sementara kapal-kapal perang tetap menembaki,
karena terus dikepung dan ditembaki akhirnya orang-orang Maluku tidak tahan
lagi dan menyerah. Akhirnya dengan taktik ini Belanda mampu merebut
benteng-benteng yang lain.
Kini Belanda di atas angin, dan Pattimura makin terdesak dan terpaksa harus
melawan secara gerilya.
Usaha pembersihan kemudian dilakukan Belanda untuk meredam terulangnya
kembali pemberontakan dan yang paling utama adalah menangkap Pattimura.
Usaha Belanda menangkap Pattimura terus menerus mengalami kegagalan
dan akhirnya Pattimura ditangkap di sebuah rumah di daerah SiriSori. Pattimura
dapat ditangkap karena pengkhianatan salah satu anak buahnya. Pattimura
digiring dengan tangan terborgol dan dibawa ke kapal perang Evertzen. Di sana
Pattimura diinterogasi oleh kapten kapal tetapi hanya diam saja walaupun
Pattimura menguasai Bahasa Inggris. Di kapal itu juga
ada pangeran Ternate yang ikut menanyai Pattimura kenapa ia begitu berani
melawan Belanda. Pattimura hanya diam saja dan memandangi pangeran itu dengan
wajah menghina.
Karena Pattimura bukanlah raja maka dia diperlakuka seperti tawanan perang
rendahan.
Tertangkapnya Pattimura ini tidak membuat surut perlawanan Maluku. Raja
Manusama Paulus Tiahahu dari Abobu, Nusa Laut terus melakukan pemberontakan
dengan cara membajak kapal-kapal Belanda.
Untuk menumpas pemberontakan Belanda bertindak sangat kejam dalam menghukum
daerah yang dicurigai sebagai sarang pemberontak. Rumah-rumah dibakar.
Orang-orang Ternate dan Tidore yang membantu Belanda diijinkan untuk merampok
dan merampas desa-desa di Saparua.
Raja Abobu Manusama Paulus Tiahahu akhirnya berhasil ditangkap beserta
putrinya Christina Martha Tiahahu yang masih kecil (kurang lebih 17 tahun).
Komodor VarHuell diperintahkan memimpin kapal perang Evertzen ke Nusa Laut.
Sesampainya di Nusa Laut Evertzen mendapat penumpang istimewa yaitu Paulus
Tiahahu dan anaknya Christina Martha Di pantai telah berkumpul rakyat Nusa
Laut. Kemudian raja digiring ke geladak kapal dan ditembak di depan anaknya dan
disaksikan oleh rakyatnya dari pantai. Akhirnya karena masih kecil, Christina
Martha dibebaskan.
Tetapi Christina malah meneruskan perlawanan bapaknya. Sampai akhirnyaia
kembali tertangkap bersama 39 orang sisa pengikutnya. Akhirnya 40 orang tahanan
itu dibawa ke Batavia dengan kapal Evertzen-kapal tempat ayah Christina dihukum
mati-. Di tengah perjalanan Christina tidak mau makan, sampai akhirnya ia mati
kelaparan. Pada tanggal 1 Januari 1818 jenasah Christina dibuang ke laut.
Pada tanggal 16 Desember 1817, para pemimpin perlawanan Maluku dihukum
gantung di Benteng Nieuw Victoria di tepi pantai Ambon. Mereka adalah Pattimura,
Anthoni Ribok, Philip Latumahina, dan Said Parintah. Anak Residen
Van den Berg yang telah dikembalikan kepada Belanda diharuskan menyaksikan
hukuman ini.Upacara eksekusi ini cukup megah karena dimeriahkan dengan formasi
kapal perang Belanda dan kora-kora Ternate dan Tidore, salvo meriam dan
marching band.
. Kemudian paduan suara gereja menyanyikan lagu-lagu rohani. Kemudian
seorang tentara berpangkat kapten membacakan keslaahan-kesalahan Pattimura dan
kawan-kawan untuk kemudian membacakan keputusan vonis mati dengna digantung.
Sebelum digantung Pattimura mengucapkan sebuah kata-kata yang terkenal.
”Pattimura-Pattimura tua boleh mati tetapi Pattimura-Pattimura
muda akan bangkit kembali dan melawan.” Akhirnya matilah Pattimura dan
kawan-kawan. Jenasah-jenasah para pemberontak ini dibiarkan bergantung di muka
umum sampai membusuk.
Jean Lubbert-anak Van den Berg-, memohon kepada Pemerintah Belanda agari
diizinkan melengkapi namanya menjadi Van den Berg Van Saparua untuk mengenang
Pattimura.
Perlwanan rakyat Maluku berhenti setelah banyak pemimpin yang tertangkap
atau terbunuh. Pada tahun 1821 perlwanan Maluku dapat dikatakan berakhir.
Perlawanan Maluku terjadi lagi pada tahun 1858, 1860, 1864, dan 1866
walaupun tidak seheroik pertempuran 1817.
Resensi :id.wikipedia.org/wiki/Pattimura
http/cray prastono.blogspot.com/.../perang-pattimura.html
aanaufalrr.wordpress.com/.../bentuk-bentuk-perla...
anemonz.blogspot.com/.../perlawanan-pattimura-1...
www.pustakasekolah.com › Pendidikan
buku: buku biografi Pattimura versi pemerintah yang
pertama kali terbit, M Sapija.
Api Sejarah, Salamadani Pustaka Semesta, 2009, ISBN
978-602-8458-24-5
izin copy yah !!
BalasHapusbwt bahan ngerjain tugas sejarah
makasih sebelumnya
izin copy !!
BalasHapusmakasih
izin copy ya buat tugas sejarah di sekolah.....makasih...
BalasHapusMakasiih infonya sangat membantu!
BalasHapusBanyak yg tidak menyebutkan bahwa latar belakang penyerangan pattimura dikarenakan sikap kritis rakyat itulah