Yosef
Boris Clinton (4423126889)
TRITURA 1966
Sejarah
lahirnya G-30S/PKI pada waktu masa pemerintahan demokrasi terpimpin pada saat
itu pada tanggal 5 juli 1959 maka presiden mengeluarkan dekrit presiden dan
empat hari presiden soekarno mengeluarkan dekritnya maka Kabinet Djuanda di bubar kan menjadi
Kabinet Kerja, chaerul shaleh di tugaskan untuk menetapkan Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) menurut penetapan presiden No.2 tahun 1959 dengan di
bentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Pada
mulanya DPR hasil pemilu 1955 mengikuti saja kebijakan presiden soekarno akan
tetapi mereka kemudian menolak APBN tahun 1960 yang di ajukan oleh pemerintah,
karna adanya penolakan tersebut maka di keluarkannya Penpres No.3 tahun 1960
yang menyatakan pembubaran DPR hasil pemilu 1955, lalu pada tanggal 24 Juni
1960 presiden soekarno telah berhasil menyusun anggota DPR baru dengan di beri
nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong (DPR-GR) para anggota DPR-GR di
lantik pada tanggal 25 juni 1960.
Dalam
komposisi anggota DPR-GR itu perbandingan jumlah golongan nasionalis, islam,
dan komunis adalah 44, 43, 30 namun setelah di lakukan penembahan pertimbangan
itu berubah menjadi 94, 67,81, dengan
demikian partai yang paling di untungkan dari kebijakan presiden tersebut
adalah PKI sedangkan dalam pidato presiden pada pelantikan DPR-GR tanggal 25
Juni 1960 adalah melaksanakan Manifestasi
Politik (Manipol), merealisai Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), dan
melaksanakan Demokrasi Terpimpin.
Akan
tetapi setelah presiden soekarno tiba ke tanah air Liga Demokrasi di bubarkan
melalui Penpres No.3 tahun 1959 lalu kemudian presiden soekarno membentuk Front Nasional yaitu suatu organisai massa yang memperjuangkan
cita-cita proklamasi, dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945 sedangkan
Front Nasional ini di ketuai oleh
Presiden Soekarno sendiri.
TNI dan
Polisi pada tahun 1964 di persatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) mereka kembali pada peran sosial-politiknya seperti selama
zaman perang kemerdekaan, ABRI diakui sebagai salah satu golongan fungsional
(karya) yang mempunyai wakil dalam MPRS pada masa demokrasi terpimpin itu,
presiden soekarno melakukan politik perimbangan kekuatan ( balance of power) bukan hanya antara angkatan dalam ABRI melainkan
juga antara ABRI dengan partai-partai politik yang ada.
Dengan
semboya “ politik adalah panglima” seperti yang di lancarkan oleh PKI usaha
untuk mempolitisasi ABRI semakin jelas presiden mengambil ahli secara langsung
pemimpin tertinggi ABRI dengan membentuk Komando Operasi Tertinggi (Koti).
Pada
tahun 1964 ketua PKI D.N. Aidit berceramah
di depan Kursus Kader Revolusi Angkatan Dwikora dalam ceramahnya tersebut
D.N.Aidit menyatakan: “bila kita
(indonesia) telah mencapai taraf hidup adil dan makmur dan telah sampai kepada
sosialisme indonesia maka kita tidak lagi membutuhkan indonesia” selanjutnya ketika terjadi heboh di masyarakat
D.N.Aidit berupaya meneruskannya dengan mengatakan: “Dan di sini lah betulnya pancasila sebagai alat pemersatu sebab kita
sudah ‘satu’ semuanya para saudara pancasila tidak perlu lagi sebab pancasila
alat pemersatu bukan ? kalau sudah ‘satu’ semuanya apa yang kita persatukan
lagi”.
Pada
masa demokrasi terpimpin PKI memang mendapatkan kedudukan terpenting
Kader-kader PKI banyak yang duduk dalam DPR-GR serta Pengurus Besar Front
Nasional dan Front Nasional Daerah, ada juga yang di angkat sebagai kepala
daerah TNI-AD berusaha mengimbangi dengan mengajukan calon-calon lain tetapi
usaha itu menemui kesulitan karena Presiden Soekarno memberikan dukungan yang
besar pada PKI.
TNI-AD
mensinyalir adanya tindakan-tindakan pengacauan yang dilakukan oleh PKI di Jawa
Tengah, Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan pemimpin
TNI-AD melaporkan hal itu kepada Presiden Soekarno, berdasarkan Undang-Undang
keadaan bahaya TNI-AD mengadakan tindakan pengawasan terhadap PKI melalui surat
kabar PKI, Harian Rakyat dilarang
terbit dan di keluarkan perintah untuk menangkap D.N.Aidit berserta
kawan-kawannya. Di tingkat daerah kegiatan-kegiatan PKI di bekukan tindakan
TNI-AD itu tidak di setujui oleh Presiden Soekarno dan memrintahkan agart
putusan itu di cabut bahkan Presiden Soekarno tidak jarang mengajurkan agar masyarakat
indonesia tidak ber-komunistofobi.
Keadaan
ekonomi indonesia pada masa demokrasi terpimpin semakin terpuruk menjadi lahan
yang subur bagi PKI dan rakyat yang miskin menjadi sasaran PKI untuk
melancarkan propaganda-propaganda politiknya, oleh karena itu jumlah anggota
PKI di perkira kan mencapai 20an juta ketika itu PKI juga merupaka organisai
yang besar dan memiliki jaringan cabang di seluruh indonesia dan mereka pun
juga di dukung oleh puluhan organisasi massa seperti Serikat Buruh (SOBSI), Barisan
Tani Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat dan Gerwani. Pada awal tahun 1965 hingga
september 1965 merupakan masa ofensif radikal yang di tangani oleh ketua PKI
Dipa Nusantara (D.N.) Aidit bersama kelomponya.
Sementara
itu Angkatan Darat muncul sebagai organisasi militer pejuang yang juga
mengemban tugas kemasyarkatan oleh karena itu Angkatan Darat memiliki peran dalam
bidang politik dan ekonomi , ketika perusahaan-perusahaan Belanda dan Asing
lainnya di ambil ahli oleh pemerintah melalui kebjikan nasionalisasi banyak
perwira AD yang mendapat tugas sebagai pemimpin perusahaan-perusahaan itu.
Perkembangan
itu tidak di sambut baik oleh PKI para perwira itu menjadi sasaran aksi PKI
yang kemudian mereka menamakan sebagai kabir
(Kapitalis Birokrat) oleh karena itu slogan PKI yang populer pada tahun 1965
adalah “ganyang kabir”, seiring
dengan banyaknya partai politikdan organisasi massa yang telah di bubarkan oleh
presiden terdapat segitiga kekuatan ketika itu yaitu PKI, Angkatan Darat, dan
presiden adanya hubungan yang tidak harmonis antara PKI dan Angkatan Darat
semakin mengkukuhkan kedudukan presiden sebagai penengah.
Menjelang
terjadinya peristiwa G-30S/PKI di madiun secara berturut-turut terjadi
demonstrasi yang melibatkan hampir semua ormas PKI yang meneriakkan yel-yel ganyang kabir,ganyang komprador, antek
neokolim dan sebagainya, hal yang sama terjadi pula di solo dan klaten pada
hari Rabu tanggal 29 September 1965 terjadi pula hal yang serupa di jalan
Thamrin Jakarta dalam demo di jakarta itu terdapat spanduk dengan tulisan yang
mencolok “tunggu apa lagi ?”
Pada
hari Kamis tanggal 30 september 1965 merupakan hari yang sangat sibuk bago
Gerakan 30 September PKI melakukan suatu persiapan yang di selenggarakan di
Lubang Buaya pada pukul 10.00 di pimpin oleh Kolonel Untung Sutopo yang di hadiri oleh Latief, Suyono, Supeno, Suradi,Sukrisno, Kuncoro, Dul Arief, dan Pono, Untung menjelaskan lokasi Central
Komando (Cenko) I metode komunikasi antara unit-unit, koordinasi
aktivitas-aktivitas mereka, sandi-sandi, logistik,transportasi, suplai senjata,
dan detail-detail teknis militer lainnya semua persiapan itu dilakukan selama
siang hari pada tanggal 30 September 1965.
Pada
tanggal 30 September 1965 malam Aidit bertemu dengan Mayjen Pranoto di rumah
Syam Aidit dan Pranoto kemudian di bawa ke rumah sersan Surwadi di Halim Pada pukul 23.00 di tempat itu Aidit mengarahkan
seluruh operasi dan menyiapkan penyelesaian politik (pergantian kekuasaan),
setelah pembersihan para jenderal dilakukan kemudian di buat persiapan di rumah
komodor Susanto di Halim untuk membentuk Kabinet Gotong-Royong
dan membuat rencana pengunduran diri presiden di karena alasan kesehatan.
Sekitar
pukul 01.30 dini hari tanggal 1 Oktober 1965 tujuh kelompok Pasukan Pasopati
yang di pimpin oleh Dul Arief dan di tugaskan meculik para jenderal
meninggalkan Pondok Gede, selanjutnya atas perintah Kolonel Untung pada pukul
04.00 pagi Batalion 454 dan 530 mengepung istana dan ,mengendalikan stasiun RRI
Pusat dan Gedung PN Telekomunikasi di Jalan Medan Merdeka Selatan ada enam
jenderal yang menjadi korban keganasan G-30S/PKI ialah: Letnan Jenderal Ahmad Yani (Men/Pangad), Mayjen Haryono Mas Tirtodamo (Deputi III Pangad), Mayjen R. Suprapto (Deputi II Pangad), Mayjen Siswondo Parman (Asisten I Pangad), Brigjen Donal Izacus Panjaitan (
Asisten IV Pangad), dan Brigjen Sutoyo
Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman).
Sementara
itu Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari penculikan akan tetapi
putrinya Ade Irma Suryani terluka
parah karena tertembak oleh penculik dan akhirnya meninggal di rumah sakit,
ajudan Nasution menjadi sasaran penculikan Letnan Satu Pierre Andries Tendean, karena wajahnya mirip dengan Jenderal
Nasution ketika itu juga di tembak Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun pengawal rumah Waperdam II Dr. J. Leimena yang rumahnya
berdampingan dengan rumah Nasution.
Menurut
ke saksian Serka Bungkus pasukan
yang bertugas ke rumah D.I.Panjaitan mendapat perlawanan sehingga operasi itu
terlambat ketika pasukan pasukan penculik akan membawa jenazah Panjaitan,
seorang yang bernama Sukitman lewat
sedang menuju posnya sedangkan Komandan Pasukan Cakrabhirawa khawatir dia bisa
jadi saksi maka Sukitman kemudian juga di bawa ke Lubang Buaya dan di serahkan
kepada Komandan Pasukan Pasopati Dul Arief.
Dul Arief muncul di Cenko I sekitar pukul
05.50 melaporkan bahwa para jenderal telah “diamankan” dan di masukan ke Lubang
Buaya akan tetapi Nasution berhasil lolos, laporan itu di sampaikan kepada
Aidit lewat Suyono yang bertindak sbeagai kurir bagi Syam,Aidit, dan Omar Dhani
laporan tentang lolosnya Nasution membuat Aidit dan koleganya terkejut karena
akan menimbulkan masalah besar, untuk itu lah Suparjo menyatakan agar operasi
ini di lakukan sekali lagi Suparjo yakin bahwa tindakan ofensif harus di
laksanakan saat itu juga karena musuh selama dua belas jam berada pada keadaan
panik. Pada saat berada di istana ia melihat bahwa militer di kota dalam
keadaan bingung.
Akan
tetapi para pemimpin gerakan saat itu tidak melakukan apa-apa hal itu yang
menjadi salah satu penyebab ke hancuran operasi mereka sedangkan di Jawa Tengah
gerombolan PKI juga mengadakan pembubuhan terhadap perwira TNI AD Kolonel
Katamso komandan korem 072 Kodam VII Diponegoro dan kepala stafnya Letkol
Sugionom, menjadi salah satu korban keganasan PKI keduanya di bawah ke
kentungan sebelah utara Yogyakarta dan kemudian di bunuh pada 30 September
1965.
Cara
penumpasan G-30S/PKI sesuai dengan tata cara yang berlaku bahwa apabila
Men/Pangad berhalangan Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto yang mewakilinya segera melakukan pemetaan terhadap
keberadaan Gerakan 30 September 1965, selain di Halim pemberontak menguasai
Istana Merdeka , Stasiun RRI, dan Gedung Pusat Telekomunikasi yang semuanya
berada di Jl. Medan Merdeka Soeharto
merasa perlu untuk tidak menunjukan reaksi yang berlebihan sampai rencana
politik gerakan itu sudah benar-benar terbuka.
Begitu
mengetahui dari siaran RRI pada pukul 14.00 Soeharto berkesimpulan bahwa
penculikan dan pembunuhan terhadap perwira tinggi AD merupakan bagian dari
usaha perebutan kekuasaan (kudeta), Batalion 454/ Diponegoro dan 530/ Brawijaya
yang berada di sekitar Medan Merdeka di salah gunakan oleh G-30S/PKI padahal
mereka di datangkan ke jakarta dalam rangka persiapan parade Hari Ulang Tahun
ABRI tanggal 5 Oktober 1965 kemudian Soeharto segara melakukan operasi-operasi
penumpasan.
Operasi
militer di lakukan pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965 pada pukul 19.15
pasukan RPKAD berhasil menduduki Gedung RRI Pusat dan Gedung Telekomunikasi
serta mengamankan seluruh Medan Merdeka tanpa perlawanan, Batalion 328 Kujang/
Siliwangi menguasai Lapangan Banteng untuk pengamanan Markas Kodam V/ Jaya dan
sekitarnya, Batalion I Kavaleri berhasil mengamankan BNI dan Percetakan Uang di
Kebayoran dalam waktu singkat Jakarta sudah dapat dikuasai kembali oleh ABRI.
Setelah
penumpasan G-30S/PKI pada sidang paripurna Kabinet Dwikora pada tanggal 6
Oktober 1965 presiden memutuskan bahwa penyelesaian politik G-30S/PKI akan di
tangani langsung oleh presiden namun penyelesaian politik tersebut tidak
kunjung tiba sehingga menimbulkan kecemaskan dalam masyarakat bahwa PKI akan di
berikan kesempatan untuk menyusun kekuatannya.
Situasi
bertambah panas karena memburuknya keadaan ekonomi yang mengakibatkan
kesejahteraan rakyat semakin merosot sedangkan laju inflasi mencapai 650% untuk
mengatasi tingginya inflasi itu, pada tanggal 13 Oktober 1965 pemerintah mengumumkan
kebijakan devaluasi nilai rupiah yaitu Rp.1000,- uang lama turun menjadi Rp.1,-
uang baru dan di umumkan pula kenaikan tarif dan jasa sehubungan dengan
devaluasi rupiah tersebut puncak ketegangan terjadi tatkala di tetapkan
kenaikan harga BBM pada tangga 3 Januari 1966.
Sementara
itu tuntutan penyelesaian seadil-adilnya terhadap para pelaku G-30S/PKI semakin
meningkat tuntutan itu di pelopori oleh Kesatua Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI), Pemuda-pemuda (KAPPI), dan Pelajar (KAPI), lalu munculnya pula KABI
(Buruh),KASI (Sarjana), KAWI (Wanita), dan KAGI (Guru) pada tanggal 26 Oktober
1965 kesatuan-kesatuan aksi tersebut bergabung dalam satu front yaitu Front Pancasila.
Setelah
terbentuknya Front Pancasila gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI
semakin bertambah luas, dengan di pelopori KAMI di mulailah aksi demonstrasi
mahasiswa Universitas Indonesia pada tanggal 10 Januari 1966yang terjadi di
hampir seluruh jalanan ibu kota selama sekitar satu bulan mereka menyampaikan Tri tuntutan Rakyat (Tritura) yang
sering kita kenal sebagai Tiga tuntutan Rakyat kepada pemerintah yaitu isi dari
tritura tersebut:
a.
Bubarkan PKI, b. retool Kabinet Dwikora, dan c. turunkan harga / perbaikan
ekonomi
Sumber
Referensi :
1.
Buku
catatan,
2.
Buku
sejarah kelas 2 SMA penerbit yudhistira, dan
3.
Buku
catatan SMA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar