Rabu, 02 Januari 2013

WAYANG KULIT KAMBOJA






















 WILLMA GALUH MAHARANI
4423126886                                                                                                                                       
USAHA JASA PARIWISATA D3/2012

WAYANG KULIT KAMBOJA
Wayang adalah seni pertunjukkan asli indonesia yang berkembang pesat di pulau jawa dan bali. Selain itu beberapa daerah seperti sumatra dan semenanjung juga memiliki beberapa budaya wayang yang terpengaruh oleh kebudayaan jawa dan hindu.
UNESCO, lembaga yang membawahi kebudayaan dari PBB, pada 7 november 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Sebenarnya, pertunjukan boneka tak hanya ada di Indonesia karena banyak pula negara lain yang memiliki pertunjukan boneka. Namun pertunjukan bayangan boneka (Wayang) di Indonesia memiliki gaya tutur dan keunikan tersendiri, yang merupakan mahakarya asli dari Indonesia. Untuk itulah UNESCO memasukannya ke dalam daftar resentasif budaya tak benda pada tahun 2003.
Tak ada bukti yang menunjukkan wayang telah ada sebelum agama Hindu menyebar di asia selatan Diperkirakan seni pertunjukan dibawa masuk oleh pedagang india. Namun demikian, kejeniusan lokal dan kebudayaan yang ada sebelum masuknya Hindu menyatu dengan perkembangan seni pertunjukan yang masuk memberi warna tersendiri pada seni pertunjukan di Indonesia. Sampai saat ini, catatan awal yang bisa didapat tentang pertunjukan wayang berasal dari prastasi belitung di Abad ke 4 yang berbunyi si Galigi mawayang
Ketika agama Hindu masuk ke Indonesia dan menyesuaikan kebudayaan yang sudah ada, seni pertunjukan ini menjadi media efektif menyebarkan agama Hindu. Pertunjukan wayang menggunakan cerita ramayana dan mahabrata..

Demikian juga saat masuknya islam, ketika pertunjukan yang menampilkan “tuhan” atau “dewa” dalam wujud manusia dilarang, munculah boneka wayang yang terbuat dari kulit sapi, dimana saat pertunjukan yang ditonton hanyalah bayangannya saja. Wayang inilah yang sekarang kita kenal sebagai wayang kulit. Untuk menyebarkan Islam, berkembang juga wayang, sadat  yang memperkenalkan nilai-nilai Islam.
Ketika misionaris Katolik, Pastor Timotheus L. Wignyosubroto, SJ pada tahun 1960 dalam misinya menyebarkan agama Katolik, ia mengembangkan Wayang Wahyu, yang sumber ceritanya berasal dari Alkitab. Wayang kulit, atau wayang kulit, yang tanpa keraguan yang paling dikenal dari wayang Indonesia. Kulit berarti kulit, dan mengacu pada konstruksi kulit dari boneka yang dipahat dengan hati-hati dengan peralatan yang sangat baik dan didukung dengan hati-hati berbentuk tanduk kerbau menangani dan batang kendali. Cerita-cerita biasanya diambil dari epik Hindu Ramayana, Mahabharata atau dari Menak Serat, (cerita tentang kepahlawanan Amir Hamza).
Wayangnya berukuran besar, pipih dan kaku atau tidak dapat digerakkan. Terbuat dari selembar kulit sapi dan pembuatannya melalui upacara khusus.  Wayang untuk tokoh Dewa Wisnu atau Syiwa, terbuat dari kulit sapi, yang kematiannya harus secara natural atau karena kecelakaan, dan harus diselesaikan dalam waktu satu hari itu juga melalui sebuah ritual. Kulit direndam dalam larutan yang dibuat dari kulit kandaol. Kemudian seorang seniman wayang melukis gambar di atas kulit itu, memotongnya sesuai gambar lalu menambahkan warnanya, sebelum akhirnya mengikatnya pada dua bilah bambu sebagai pegangan wayang saat ditarikan.  Dalam satu panel wayang, bisa berisi satu atau lebih tokoh wayang.
Berbeda dengan wayang kulit yang terkenal di Indonesia, ukuran wayang kulit Kamboja termasuk yang terbesar di dunia (sekitar 1,8 x 1,2 m), dengan sekitar 150 panel wayang dalam satu  set-nya. Desain busana yang digambarkan pada wayang mencerminkan busana kalangan kerajaan Khmer dan keindahan serta keanggunannya menyerupai tokoh-tokoh pada relief  di Candi Angkor Wat.
Dalam kultus kemaharajaan di Kamboja, sejak Raja Jayavarman, penghuni kerajaan senantiasa bersumpah setia, meyakini Hindu, dan percaya bahwa para Dewa menaklukkan setan serta mengakui Dewa Indra sebagai Penguasa Utama. Selaras dengan kepercayaannya itu, – dalam kisah Ramayana, saat tokoh kera berjuang melawan kekuatan jahat demi membela Raja Rama – , menjadi sangat sesuai dengan sumpah setia dan keyakinan mereka. Hal ini menyebabkan kalangan istana mulai mempertunjukkan episode Ramayana (Reamker) baik menggunakan wayang atau topeng, yang kemudian mengarah ke pertunjukan seni nang sbek dan tari topeng (khol). Dengan berjalannya waktu, pertunjukan ini juga diselenggarakan saat kremasi dan acara penting lainnya, yang akhirnya dilestarikan.
Secara tradisional, pertunjukan ini berlangsung pada malam hari di tempat terbuka, biasanya di samping pagoda atau di samping persawahan. Sebuah layar putih besar dibentangkan diantara dua bambu yang tinggi di depan api unggun (atau sekarang bisa melalui proyektor). Bayangan dari wayang itu diproyeksikan ke layar besar itu dan para penari menghidupkan tokoh wayang dengan cara melangkah dan menari dengan irama tepat untuk menghasilkan gerakan-gerakan wayang yang sesuai cerita.
Sementara pada zaman dulu butuh tiga minggu untuk menyajikan seluruh cerita Reamker secara lengkap, saat ini cerita dapat disajikan lengkap dalam tiga malam, atau 90 menit dengan ringkasan yang dapat diberikan kepada wisatawan atau pemirsa perkotaan, untuk kepentingan promosi wisata.
Tarian ini hampir hilang selama regime Khmer Merah yang represif berkuasa (1975 – 1979) karena seni bertentangan dengan ideologi yang berlaku. Banyak seniman dibunuh dan dikirim ke pengasingan serta koleksi wayang yang dimusnahkan. Namun sejak runtuhnya Khmer Merah di tahun 1979, pertunjukan seni ini mulai dibangkitkan kembali oleh sedikit artis yang selamat. Secara perlahan, wayang dibuat kembali dan rombongan penari secara perlahan dibentuk. Ada 3 kelompok teater wayang yang bangkit dari debu, walaupun masih kekurangan pemain dan kesempatan tampil. Saat itu, transfer pengetahuan tari, teknik, dan caranya, terutama yang berkaitan dengan pembuatan wayang, tidak lagi dijamin. Namun pada akhir tahun 1980-an terjadi kebangkitan seni di Akademi Seni Rupa di Phnom Penh dengan dukungan penuh dari Menteri Kebudayaan Kerajaan Kamboja.
Dalam kultus kemaharajaan di Kamboja, sejak Raja Jayavarman, penghuni kerajaan senantiasa bersumpah setia, meyakini Hindu, dan percaya bahwa para Dewa menaklukkan setan serta mengakui Dewa Indra sebagai Penguasa Utama. Selaras dengan kepercayaannya itu, – dalam kisah Ramayana, saat tokoh kera berjuang melawan kekuatan jahat demi membela Raja Rama – , menjadi sangat sesuai dengan sumpah setia dan keyakinan mereka. Hal ini menyebabkan kalangan istana mulai mempertunjukkan episode Ramayana (Reamker) baik menggunakan wayang atau topeng, yang kemudian mengarah ke pertunjukan seni nang sbek dan tari topeng (khol). Dengan berjalannya waktu, pertunjukan ini juga diselenggarakan saat kremasi dan acara penting lainnya, yang akhirnya dilestarikan.
Secara tradisional, pertunjukan ini berlangsung pada malam hari di tempat terbuka, biasanya di samping pagoda atau di samping persawahan. Sebuah layar putih besar dibentangkan diantara dua bambu yang tinggi di depan api unggun (atau sekarang bisa melalui proyektor). Bayangan dari wayang itu diproyeksikan ke layar besar itu dan para penari menghidupkan tokoh wayang dengan cara melangkah dan menari dengan irama tepat untuk menghasilkan gerakan-gerakan wayang yang sesuai cerita.
Sementara pada zaman dulu butuh tiga minggu untuk menyajikan seluruh cerita Reamker secara lengkap, saat ini cerita dapat disajikan lengkap dalam tiga malam, atau 90 menit dengan ringkasan yang dapat diberikan kepada wisatawan atau pemirsa perkotaan, untuk kepentingan promosi wisata.
Tarian ini hampir hilang selama regime Khmer Merah yang represif berkuasa (1975 – 1979) karena seni bertentangan dengan ideologi yang berlaku. Banyak seniman dibunuh dan dikirim ke pengasingan serta koleksi wayang yang dimusnahkan. Namun sejak runtuhnya Khmer Merah di tahun 1979, pertunjukan seni ini mulai dibangkitkan kembali oleh sedikit artis yang selamat. Secara perlahan, wayang dibuat kembali dan rombongan penari secara perlahan dibentuk. Ada 3 kelompok teater wayang yang bangkit dari debu, walaupun masih kekurangan pemain dan kesempatan tampil. Saat itu, transfer pengetahuan tari, teknik, dan caranya, terutama yang berkaitan dengan pembuatan wayang, tidak lagi dijamin. Namun pada akhir tahun 1980-an terjadi kebangkitan seni di Akademi Seni Rupa di Phnom Penh dengan dukungan penuh dari Menteri Kebudayaan Kerajaan Kamboja.

Cerita Wayang Kulit
1. Plot cerita biasanya diambil dari cerita-cerita India, seperti Ramayana dan Mahabarata (Ramayana lebih populer di Bali, Malaysia, Thailand, dan Kamboja; Mahabarata lebih terkenal di Jawa).

Mahabarata:
 Pada dasarnya cerita ini berkisar pada masalah perebutan tahta kerajaan. Tersebutlah dua bersaudara pewaris tahta kerajaan, Dhritarashtra and Pandu.  Dhritarashtra adalah yang lebih tua tetapi ia buta, karena itu Pandu yang memerintah.
Dhritarashtra memiliki 100 orang anak laki-laki, dikenal dengan sebutan Kurawa; Pandu mempunyai orang anak laki-laki (Pandawa). Setelah pandu wafat, generasi selanjutnya tidak dapat memutuskan siapa yang harus memerintah.

Pandawa lebih pupoler, karena mereka punya sifat adil, pemberani, dll. Mereka adalah Yudhistira, putra tertua yang melambangkan keadilan; Bhima adalah putra yang sangat kuat; Arjuna, sangat tampan dan memiliki kekuatan gaib; Nakula dan Sahadewa, adalah putra kembar Pandawa
 Semua keluarga Pandawa adalah turunan Dewa. Kaurawa yang dipimpin oleh Duryodhana sebaliknya memiliki sifat suka menipu, jahat, dll. Mereka memperdaya Pandawa untuk mempertaruhkan bagian kerajaan mereka dengan permainan dadu (di mana mereka curang).
Pendawa harus mengungsi ketengah hutan selama 12 tahun, dan harus menyamar selama setahun sebelum mereka kembali untuk menuntut hak atas kerajaan. Namun Kurawa menolak untuk mundur sehingga terjadi perang yang amat dahsyat, Bharatayuddha, dimana semua Kurawa terbunuh.  Salah satu dari sekutu Pendawa adalah Krisna (yang sebenarnya adalah reinkarnasi dari Bethara Wisnu) yang berperan dalam menentukan kemenangan bagi Pendawa.

wayang-cina-siam-kamboja

Prasasti berupa lempengan tembaga dari Jawa Tengah; Royal Tropical Institute, Amsterdam, contoh prasasti ini dapat dilihat dalam lampiran buku Claire Holt Art in Indonesia: Continuities and Changes,1967 terjemahan Prof.Dr.Soedarsono(MSPI-2000-hal 431).
Sarat dengan falsafat
Kekuatan budaya wayang yang juga jati dirinya adalah kandungan filsafahnya. Wayang yang tumbuh  dan berkembang sejak lama itu ternyata berhasil menyerap berbagi nilai-nilai keutamaan hidup dan terus dapat dilestarikan dalam berbagai pertunjukan wayang.
Wayang bukan lagi sekdedar tontonan atau ”shadowplay” melainkan sebagai “wewa yangane ngurip” yaitu bayangan hidup manusia. Suatu pertunjukan wayang dapat dinalar dan dapat dirasakan bagaimana kehidupan manusia itu dari lahir hingga mati. Perjalanan hidup manusia untuk berjuang menegakan yang benar dengan mengalahkan yang salah. Dari pertunjukan wayang dapat diperoleh pesan untuk hidup penuh amal shaleh guna mendapatkan keridhoan allah.
Di dalam AMANEWS majalah kelompok hotel hiper mewah amanresorts triwulan II,2004 halaman 4-5 termuat sebuah artikel budaya menarik di pagoda Wat Bo, kawasan Siem Reap dimana monument-monumen akbar Angkor Wat juga brada.
Sebenernya artikel menarik tersebut udah benar, denga menulis pengakuan sejarah budaya bahwa wayang kulit kamboja berasal dari wayang kulit tradisional jawa. Namun akibat terlalu terpakupada pesona wayang kuli jawa maka pihak illustrator bulletin itu bukan memuat bentuk-bentuk wayang kulit kamboja sebagai ilustrasi naskah, namun dua sososk wayang kulit jawa, yang satu salah seorang tokoh Begawan dan yang lain gunungan.
Unsure-unsur magis seperti upacara keagamaan, upacara minta hujan serta upacara untuk.mendatangkan kemakmuraan dan kesejahteraan desa, dikamboja disebut “Robam Nang Sbek Tom”. Pertunjukan ini menggunakan boneka-boneka wayang yang besar.


Referensi :
1.       http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang    
1.       Antopologi dan kelirumologi
        By jaya supana
2.       Seni kriya wayang kulit
By s.haryanto
3.       Ensiklopedi Kelirumologi
By jaya supana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar