Sabtu, 29 Desember 2012


ANGGITA FEBRIANI
4423125295
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
USAHA JASA PARIWISATA 2012


SEJARAH INDONESIA (UAS)
MUSEUM TEKSTIL


TARI BEDHAYA




Tari bedhaya adalah salah satu tarian dari putri gaya Surakarta yang ditarikan oleh sembilan penari dan dari masing-masing penari tersebut mempunya jabatan tersendiri yaitu : batak, gulu, dhadha, buncit, apit ngarep, apit mburi, apit meneng, endhel ajeg dan endhel weton (babagan hawa sanga atau sembilan nafsu manusia).
Bedhaya berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “budh” yang artinya pikiran atau budi. Seiring dengan perkembangannya kemudian berubah menjadi bedhaya atau budhaya, kenapa disebut dengan istilah seperti itu ? karena tari bedhaya diciptakan melalui proses berpikir dan rasa. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa bedhaya itu berarti “penari kraton”, sedangkan ketawang itu berarti “langi atau angkasa”. Jadi bedhaya ketawang itu adalah tarian langit yang menggambarkan gerakan bintang-bintang, sehingga gerakan yang dilakukan para penarinya sangat pelan.
Tari Bedhaya ini diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I yang banyak mengambil cerita dari Badad, Mahabharata, Ramayana dan Serat Menak, secara keseluruhan Tari Bedhaya adalah sebuah tarian dari kraton yang dilakukan oleh 9 (sembilan) orang penari yang disebut dengan Bedhaya Ketawang, tari bedhaya juga ada yang ditarikan oleh 7 (tujuh) orang penari yaitu tari Bedhaya Sapta dan 6 (enam) orang penari yaitu tari Bedhaya Sangaskara (Bedhaya Manten).
Tarian Bedhaya Ketawang adalah  sebuah tarian yang melambangkan babahan hawa sanga, yaitu sembilan lubang dalam badan jasmani manusia, kraton juga memiliki sembilan pintu utama. Sedangkan bentuk rakit lajur-nya mempunyai hubungan erat dengan bentuk jasmani manusia. Disini kepala itu dilambangkan dengan Endel dan Batak, leher dilambangkan dengan Jangga, badan dilambangkan dengan peran Dhadha, dan seks dilambangkan dengan Buntil. Selain itu Apit Ngajeng dan Apit Wingking melambangkan tangan kanan dan kiri, Endhel Wedalan Ngajeng dan Endhel Wedalan Wiking adalah sebuah simbol yang melambangkan kaki kanan dan kiri.
Tari Bedhaya ini dimiliki oleh istana Yogyakarta dan Surakarta yang mempunyai fungsi cukup penting dan bukan sebuah tarian yang biasa, ini terlihat dari tempat dan waktu yang telah ditentukan kapan penyelenggaraannya. Dan biasanya tari Bedhaya ini ditarikan diruang utama yaitu, Bangsal Kencana di Yogyakarta atau Pendhapa Agung Sasanasewaka di Surakarta. Selain itu tarian bedhaya ini juga biasanya diperlihatkan pada hari ulang tahun raja, penobatan raja atau putra putri raja.
Biasanya para penari tari bedhaya itu latihan setiap hari Anggaran Kasih (Selasa Kliwon) dalam kalender Jawa yang berulang 35 hari sekali, ada juga tari bedhaya Semang tetapi sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII tarian tersebut sudah tidak tercatat lagi sebagai menentasan bedhaya.
Sebenarnya Bedhaya Ketawang dan Bedhaya Semang menyampaikan pesan yang sama yaitu bertemakan tentang pertemuan yang berlanjut yaitu kisah percintaan antara Panembahan Senapati sebagai raja Mataram yang pertama dengan Kanjeng Ratu Kidul penguasa laut Selatan. Nah tema yang tertuang didalam tarian tersebut sangat simbolis karena dengan disertai gerakan-gerakan yang halus dan lemah gemulai, selain itu tari bedhaya juga berfungsi sebagai pembawa benda-benda pada saat upacara.
Masing-masing tarian pasti punya sejarahnya, dari berbagai macam jenis tari yang diciptakan oleh pengramu kraton itu bukan asal buat, mereka menciptakan tarian tersebut dipadu dengan pendapat dari kalangan lelembut yang punya hubungan baik dengan keluarga kraton dan memiliki kuatan mistis dan gaib.
Tari Bedhaya mengalami masa kejayaan pada abad ke 18 pada masa kekuasaan PB II, PB III, PB IV, dan PB VIII Artinya pada masa-masa itulah banyak diciptakan tarian Bedhaya (G.R. Ay. Koes Indriyah dalam David t.t.: 59-60). diantaranya Bedhaya Durudasih, Bedhaya Pangkur, Bedhaya Tejanata. Bedhaya Endhol-endhol, Bedhaya Sukaharja, Bedhaya Kaduk Manis, Bedhaya Sinom, Bedhayo Kabor, Bedhaya Gambir Sawit dan Bedhaya Ketawang.
Banyak tarian bedhaya yang tidak diketahui itu di sebabkan oleh adanya larangan dari pihak kraton Surakarta karena tarian tersebut sangat privasi untuk dipelajari oleh orang biasa. Jika ingin mempelajari tarian ini, mereka harus melakukannya di dalam kraton, selain itu ada aturan yang membatasi yang ingin belajar hanya perempuan yang belum menikah,
Sebenarnya tarian bedhaya ketawang itu bukan seni tari yang dipertunjukkan hanya untuk tontonan semata tetapi di tunjukkan jika ada penambahan keturunan Panembahan Senopati dengan makhluk halus (Kanjeng Ratu Kidul dan tentaranya) yang memiliki kekuatan gaib. Selama upacara berlangsung semua yang hadir tidak diperbolehkan makan, minum, dan juga merokok. Pada tahun 1970-an, pada masa PB XII, Kanjeng Susuhunan Pakubuwana mengijinkan tari Bedhaya dipelajari oleh masyarakat di luar kraton. Mulai saat itulah penari niyaga dan pengeprak kraton diperbolehkan berbaur untuk latihan dengan penari niyaga dan pengeprak dari luar kraton. Akhirnya sampai sekarang ini tarian Bedhaya dapat dipelajari dan disajikan di luar tembok kraton.
Mulanya tari Bedhaya Ketawang hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Dalam perkembangan selanjutnya, karena tarian ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari yang sangat sakral kemudian diperagakan oleh sembilan orang. Tadinya Bedhaya Ketawang ini khusus diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta Hadiningrat. Dengan irama yang lebih luruh (halus) daripada tarian lainnya contohnya Srimpi.
Sinuhun Paku Buwono X adalah sebuah lambang cinta kasihnya kepada Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati, semua gerakan melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun dapat dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana ( Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan) kemudian terjadilah Perjanjian/Sumpah Sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh raja-raja Jawa yang turun temurun atau raja-raja penerus.
Ada sumber yang menyebutkan kalau tarian ini diciptakan oleh Penembahan Senapati-Raja Mataram pertama waktu bersemdi di Pantai Selatan. Ceritanya itu dalam semedinya, Panembahan Senapati bertemu dengan Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang sedang menari. Lalu penguasa laut selatan ini mengajarkannya pada penguasa Mataram ini.
Berdasarkan kepercayaan tersebut, ketika tarian Bedhaya Ketawang hendak ditunjukkan harus meminta ijin kepada Kanjeng Ratu Kidul sebagai pemilik tari. Untuk itu dilaksanakanlah ritual caos dhahar, yang merupakan manifestasi suatu kebaktian dan usaha untuk berkomunikasi dengan roh halus atau dunia gaib. Caos dhahar dilaksanakan 5 kali, yaitu pertama menghadap ke selatan ditujukan kepada Kanjeng Ratu Kidul, kemudian menghadap ke utara untuk Bathari Durga, menghadap ke barat untuk Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton, dan terakhir kembali menghadap ke selatan untuk berpamitan kepada Kanjeng Ratu Kidul. Ritual tersebut dilakukan dengan harapan Kanjeng Ratu Kidul akan berkenan hadir dan turut terlibat baik dalam latihan maupun pagelaran yang akan dilaksanakan.
Konon katanya pada saat tarian tersebut disajikan, Kanjeng Ratu Kidul ikut menari dengan busana pengantin putri basahan dan sangat cantik. Tapi hanya orang tertentu yang bisa melihatnya.  Selain itu bedhaya Ketawang juga simbol kesuburan. Ini terlihat pada kostum dodot kampuh ageng warna hijau yang merupakan warna favorit Kanjeng Ratu Kidul dengan motif alas-alasan. Untuk menyempurnakan tampilan para penari, maka beberapa hari menjelang pagelaran, para penari harus mempersiapkan diri dengan meratus rambut serta kain, melulur tubuh, maupun perawatan tubuh lainnya supaya aura mereka dapat terpancar sempurna sehingga memperkuat aura kesakralan dari tari itu sendiri.
   Sementara itu busana dan tata rias yang dipakai oleh penari dalam pagelaran tari Bedhaya Ketawang ini adalah seperti pengantin putri Kraton Surakarta. Karena tarian Bedhaya Ketawang merupakan reaktualisasi pernikahan Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul, sehingga busana yang dikenakan haruslah busana pengantin, yang lazim disebut sebagai Basahan. Busana tersebut meliputi kain dodot, samparan, serta sondher. Dodot merupakan kain yang memiliki ukuran 2 atau 2,5 kali kain panjang biasa, hingga panjang dodot bisa mencapai 3,75 hingga 4 meter. Pada masa lalu, kain ini hanya dikenakan oleh raja dan keluarga serta kaum ningrat untuk upacara tertentu, sepasang pengantin keraton, serta penari Bedhaya dan Serimpi.
Sebagaimana pengantin, maka dodot yang digunakan itu bermotif alas-alasan. Tarian ini memiliki dua penari utama, yaitu batak dan endhel ajeg yang dapat dibedakan dari warna dodot mereka. Meskipun memiliki motif yang sama yaitu alas-alasan, tetapi warnanya berbeda. Batak dan endhel ajeg mengenakan dodot alas-alasan berwarna hijau gelap yang disebut dodot gadung mlathi, sedangkan 7 penari lainnya mengenakan dodot alas-alasan berwarna biru gelap yang disebut dodot bangun tulak.
            Ada juga bentuk sajian tari Bedhaya sepenuhnya diawali gerak jalan kapang-kapang menthang miwir sampur kanan kemudian srisik membentuk formasi. Seluruh penari Bedhaya bergeraj dengan tempo pelan, mengalir, seragam, kompak dan lembut sehingga dapat menyentuh jiwa. Bentuk gerakkannya mencangkup sèlèh tangan kiri, ngapyuk kanan, menthang kiri tawing kanan, atur-atur kanan.
Tari Bedhaya Ketawang sampai sekarang disakralkan bagi pihak kraton Surakarta, dan disajikan hanya untuk rangkaian upacara Jumenengan Tinggalan Dalem di kraton. Bagi kraton Surakarta tarian Bedhaya Ketawang ini adalah salah satu pusaka, sehingga jika disajikan sebagai pertunjukan memiliki ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. demikian tidak berarti semua tari Bedhaya bersifat sakral dan tertutup bagi masyarakat umum, lalu diciptakanlah tari-tari Bedhaya lain yang sifatnya hanya untuk sesuka atau untuk kepuasan batin, untuk hiburan raja, yang mana cakepan sindenannya kebanyakan menggambarkan kehidupan raja semata. Menurut Gusti Puger tarian ini di samping sebagai hiburan juga sebagai ungkapan rasa syukur menyambut kelahiran seorang anak dan juga bisa digunakan untuk penyambutan tamu.
Keberadaan tari-tari dilingkungan keraton pengelolaannya dilakukan oleh beberapa kelompok abdi dalem putri yang dibawahi oleh Pangageng Parentah Kaputen, diantaranya adalah kelompok abdi dalem Bedhaya. Kelompok abdi dalem Bedhaya memiliki tugas pokok sebagai penari Bedhaya, di samping menari juga membantu segala pekerjaan yang ada di kaputren termasuk menjaga keamanan, utnuk itu kelompok abdi dalem Bedhaya juga dilatih bela diri.
Penari behdya adalah abdi dalem, yaitu para penari kaputren yang telah dibina sejak umur ± 12 tahun, sesudah remaja atau sudah dianggap mampu untuk menarikan tari bedhaya, bila raja berkenan mereka diambil untuk dijadikan penari keraton. Kehidupan para penari ditanggung oleh keraton. Peraturan pengalaman pribadi R.A. Laksminto Rukmi, salah seorang penari bedhaya yang cukup terkenal menyatakan bahwa :

"Penari bedhaya (yang terorganisir dalam masyarakat abdi dalem bedhaya) dipersiapkan sebagai teman di peraduan, dan tidak jarang juga bahkan diangkat sebagai permaisuri. (1989: Pertiwi No. 79 dan 80)"
Bedhaya sebagai abdi dalem merupakan salah satu raja yang sangat dibutuhkan keberadaannya sebagai legimitasi raja. Hal ini tentu saja harus dipandang dengan kacamata Hindu yaitu konsep Dewaroja, yang ada sejak masa pengaruh Hindu dan masih terasa berlanjut hingga sekarang.
Beberapa tari bedhaya dan tari istana lainnya yang tersebar keluar lingkungannya, telah mengalami banyak perubahan yang tidak sengaja maupun disengaja. Dikhawatirkan apalagi perubahan-perubahan tersebut tidak terkontrol, dapat mengurangi makna dan nilai estetis tari bedhaya. Bedhaya Ketawang yang ada sekarang secara utuh masih disajikan pada upacara Jumenengan Raja (pengukuhan raja), namun aturannya tidak se-ketat dahulu.
iringan tarian
Ditemani oleh Musik Jawa Orkes yang disebut Gamelan. Gamelan ini dinamai Gamelan Kyai Kaduk Manis yang terdiri dari dari banyak instrumen musik seperti kendhang Ageng ( kendhang besar), Kendhang Ketipung, Kenong, dan kethuk.
pola lantai
pola lantai mengacu pada pola lantai yang ada pada tari bedhaya ketawang, pola lantai seperti gawang montor mabur, gawang jejer wayang, gawang urut kacang, gawang kalajengking, gawang perang, dan gawang tiga-tiga.
Bentuk sajian tari bedhaya ketawang terdiri dari tiga bagian, yaitu maju beksan, beksan pakok dan mundur beksan. Maju beksan dimulai dari penari berjalan kapang-kapang, yaitu berbaris satu persatu dengan jarak kira-kira satu meter dan Dalem Prabasuyasa menuju Pendapa Sasana Sewaka kemudian membentuk gawang rakit montor mabur tepat dibawah lampu robyong besar. Jalan penari menuju pendapa harus menganankan raja (arah jarum jam), yaitu lewat sebelah kiri tempat duduk raja.
Untuk masuk para penari sebagai berikut: endhle ajeg, batak, endhel weton, apit ngarep, apit mburi, gulu, apit meneng, dhadha, buncit. Kapang-kapang ini iiringi dengan suluk Pathetan Pelog Lima Ageng oleh kelompok vokal laki-laki dengan iringan beberapa instrumen gamelan berupa gender, gambang, rebab dan suling. Setelah dihadapan raja tepat ditengah-tengah Pendapa Sasana Sewaka membentuk gawang rakit montor mabur kemudian duduk bersila dan menyembah.

formasi
nawagraha, perbintangan kartika : 2 + 5 + 2. atas irama gamelan para penari melambangkan peredaran tata tertip kosmis azali yang teratur : kemudian bagaimana tata tertip tersebut menjadi kacau dan kemudian dipuluhkan lagi. 
Tari Bedhaya yang belum berubah : Bedhaya Ketawang ( 130 menit ), Bedhaya Pangkur ( 60 menit ), Bedhaya Duradasih ( 60 menit ), Bedhaya Mangunkarya ( 60 menit ), Bedhaya Sinom ( 60 menit ), Bedhaya Endhol-endhol ( 60 menit ), Bedhaya Gandrungmanis ( 60 menit ), Bedhaya Kabor ( 60 menit ) dan Bedhaya Tejanata ( 60 menit ). Tari Bedhaya Ketawang untuk menjamu tamu raja dan Nyi Roro Kidul. Tari Bedhaya lainnya bertema pahlawan dan monumental.

referensi
3.       Seni budaya dan keterampilan kelas 3 SD, Dedi nurhadiat, grasindo, 2006.
4.       Pengantar apresiasi seni, Prof.R.M. Soedarsono, Ph.D.
6.       Sendratari Mahakarya Borobudur, Timbul Haryono, Kepustakaan Populer Gramedia, 2011



1 komentar:

  1. Koreksi bedhaya ketawang cuman milik keraton Surakarta hadiningrat di keraton Yogyakarta gak ada bedhaya ketawang

    BalasHapus