ANGGITA FEBRIANI
4423125295
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
USAHA JASA PARIWISATA 2012
SEJARAH INDONESIA (UAS)
MUSEUM TEKSTIL
TARI BEDHAYA
Tari bedhaya adalah salah satu tarian dari putri gaya Surakarta
yang ditarikan oleh sembilan penari dan dari masing-masing penari tersebut
mempunya jabatan tersendiri yaitu : batak, gulu, dhadha, buncit, apit ngarep,
apit mburi, apit meneng, endhel ajeg dan endhel weton (babagan hawa sanga atau
sembilan nafsu manusia).
Bedhaya berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “budh” yang artinya
pikiran atau budi. Seiring dengan perkembangannya kemudian berubah menjadi
bedhaya atau budhaya, kenapa disebut dengan istilah seperti itu ? karena tari
bedhaya diciptakan melalui proses berpikir dan rasa. Ada pendapat lain yang
menyatakan bahwa bedhaya itu berarti “penari kraton”, sedangkan ketawang itu
berarti “langi atau angkasa”. Jadi bedhaya ketawang itu adalah tarian langit
yang menggambarkan gerakan bintang-bintang, sehingga gerakan yang dilakukan
para penarinya sangat pelan.
Tari Bedhaya ini diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I yang
banyak mengambil cerita dari Badad, Mahabharata, Ramayana dan Serat Menak, secara
keseluruhan Tari Bedhaya adalah sebuah tarian dari kraton yang dilakukan oleh 9
(sembilan) orang penari yang disebut dengan Bedhaya Ketawang, tari bedhaya juga
ada yang ditarikan oleh 7 (tujuh) orang penari yaitu tari Bedhaya Sapta dan 6
(enam) orang penari yaitu tari Bedhaya Sangaskara (Bedhaya Manten).
Tarian Bedhaya Ketawang adalah
sebuah tarian yang melambangkan babahan hawa sanga, yaitu sembilan
lubang dalam badan jasmani manusia, kraton juga memiliki sembilan pintu utama. Sedangkan
bentuk rakit lajur-nya mempunyai hubungan erat dengan bentuk jasmani manusia.
Disini kepala itu dilambangkan dengan Endel dan Batak, leher dilambangkan
dengan Jangga, badan dilambangkan dengan peran Dhadha, dan seks dilambangkan
dengan Buntil. Selain itu Apit Ngajeng dan Apit Wingking melambangkan tangan
kanan dan kiri, Endhel Wedalan Ngajeng dan Endhel Wedalan Wiking adalah sebuah
simbol yang melambangkan kaki kanan dan kiri.
Tari Bedhaya ini dimiliki oleh istana Yogyakarta dan Surakarta
yang mempunyai fungsi cukup penting dan bukan sebuah tarian yang biasa, ini
terlihat dari tempat dan waktu yang telah ditentukan kapan penyelenggaraannya.
Dan biasanya tari Bedhaya ini ditarikan diruang utama yaitu, Bangsal Kencana di
Yogyakarta atau Pendhapa Agung Sasanasewaka di Surakarta. Selain itu tarian
bedhaya ini juga biasanya diperlihatkan pada hari ulang tahun raja, penobatan
raja atau putra putri raja.
Biasanya para penari tari bedhaya itu latihan setiap hari Anggaran
Kasih (Selasa Kliwon) dalam kalender Jawa yang berulang 35 hari sekali, ada
juga tari bedhaya Semang tetapi sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana
VII tarian tersebut sudah tidak tercatat lagi sebagai menentasan bedhaya.
Sebenarnya Bedhaya Ketawang dan Bedhaya Semang menyampaikan pesan
yang sama yaitu bertemakan tentang pertemuan yang berlanjut yaitu kisah
percintaan antara Panembahan Senapati sebagai raja Mataram yang pertama dengan
Kanjeng Ratu Kidul penguasa laut Selatan. Nah tema yang tertuang didalam tarian
tersebut sangat simbolis karena dengan disertai gerakan-gerakan yang halus dan
lemah gemulai, selain itu tari bedhaya juga berfungsi sebagai pembawa
benda-benda pada saat upacara.
Masing-masing tarian pasti punya sejarahnya, dari berbagai
macam jenis tari yang diciptakan oleh pengramu kraton itu bukan asal buat,
mereka menciptakan tarian tersebut dipadu dengan pendapat dari kalangan
lelembut yang punya hubungan baik dengan keluarga kraton dan memiliki kuatan
mistis dan gaib.
Tari
Bedhaya mengalami masa kejayaan pada abad ke 18 pada masa kekuasaan PB II, PB
III, PB IV, dan PB VIII Artinya pada masa-masa itulah banyak diciptakan tarian
Bedhaya (G.R. Ay. Koes Indriyah dalam David t.t.: 59-60). diantaranya Bedhaya
Durudasih, Bedhaya Pangkur, Bedhaya Tejanata. Bedhaya Endhol-endhol, Bedhaya
Sukaharja, Bedhaya Kaduk Manis, Bedhaya Sinom, Bedhayo Kabor, Bedhaya Gambir
Sawit dan Bedhaya Ketawang.
Banyak
tarian bedhaya yang tidak diketahui itu di sebabkan oleh adanya larangan dari
pihak kraton Surakarta karena tarian tersebut sangat privasi untuk dipelajari
oleh orang biasa. Jika ingin mempelajari tarian ini, mereka harus melakukannya
di dalam kraton, selain itu ada aturan yang membatasi yang ingin belajar hanya
perempuan yang belum menikah,
Sebenarnya
tarian bedhaya ketawang itu bukan seni tari yang dipertunjukkan hanya untuk
tontonan semata tetapi di tunjukkan jika ada penambahan keturunan Panembahan
Senopati dengan makhluk halus (Kanjeng Ratu Kidul dan tentaranya) yang memiliki
kekuatan gaib. Selama upacara berlangsung semua yang hadir tidak diperbolehkan
makan, minum, dan juga merokok. Pada tahun 1970-an, pada masa PB XII, Kanjeng
Susuhunan Pakubuwana mengijinkan tari Bedhaya dipelajari oleh masyarakat di
luar kraton. Mulai saat itulah penari niyaga dan pengeprak kraton diperbolehkan
berbaur untuk latihan dengan penari niyaga dan pengeprak dari luar kraton.
Akhirnya sampai sekarang ini tarian Bedhaya dapat dipelajari dan disajikan di
luar tembok kraton.
Mulanya tari Bedhaya Ketawang hanya diperagakan oleh tujuh
wanita saja. Dalam perkembangan selanjutnya, karena tarian ini dianggap sebuah
tarian khusus dan dipercaya sebagai tari yang sangat sakral kemudian
diperagakan oleh sembilan orang. Tadinya Bedhaya Ketawang ini khusus
diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta Hadiningrat. Dengan irama
yang lebih luruh (halus) daripada tarian lainnya contohnya Srimpi.
Sinuhun Paku Buwono X adalah sebuah lambang cinta kasihnya kepada
Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati, semua gerakan melambangkan bujuk
rayu dan cumbu birahi, walaupun dapat dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul
tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samudera dan
bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana ( Singgasana yang dititipkan oleh
Prabu Rama Wijaya di dasar lautan) kemudian terjadilah Perjanjian/Sumpah Sakral
antara Kanjeng Ratu Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat
dilanggar oleh raja-raja Jawa yang turun temurun atau raja-raja penerus.
Ada sumber yang menyebutkan kalau tarian ini diciptakan oleh
Penembahan Senapati-Raja Mataram pertama waktu bersemdi di Pantai Selatan.
Ceritanya itu dalam semedinya, Panembahan Senapati bertemu dengan Kanjeng Ratu
Kencanasari (Ratu Kidul) yang sedang menari. Lalu penguasa laut selatan ini
mengajarkannya pada penguasa Mataram ini.
Berdasarkan kepercayaan tersebut, ketika tarian Bedhaya Ketawang
hendak ditunjukkan harus meminta ijin kepada Kanjeng Ratu Kidul sebagai pemilik
tari. Untuk itu dilaksanakanlah ritual caos dhahar, yang merupakan manifestasi
suatu kebaktian dan usaha untuk berkomunikasi dengan roh halus atau dunia gaib.
Caos dhahar dilaksanakan 5 kali, yaitu pertama menghadap ke selatan ditujukan
kepada Kanjeng Ratu Kidul, kemudian menghadap ke utara untuk Bathari Durga,
menghadap ke barat untuk Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton, dan terakhir kembali
menghadap ke selatan untuk berpamitan kepada Kanjeng Ratu Kidul. Ritual
tersebut dilakukan dengan harapan Kanjeng Ratu Kidul akan berkenan hadir dan
turut terlibat baik dalam latihan maupun pagelaran yang akan dilaksanakan.
Konon katanya pada saat tarian tersebut
disajikan, Kanjeng Ratu Kidul ikut menari dengan busana pengantin putri basahan
dan sangat cantik. Tapi hanya orang tertentu yang bisa melihatnya. Selain
itu bedhaya Ketawang juga simbol kesuburan. Ini terlihat pada kostum dodot
kampuh ageng warna hijau yang merupakan warna favorit Kanjeng Ratu Kidul dengan
motif alas-alasan. Untuk menyempurnakan tampilan para penari,
maka beberapa hari menjelang pagelaran, para penari harus mempersiapkan diri
dengan meratus rambut serta kain, melulur tubuh, maupun perawatan tubuh lainnya
supaya aura mereka dapat terpancar sempurna sehingga memperkuat aura kesakralan
dari tari itu sendiri.
Sementara
itu busana dan tata rias yang dipakai oleh penari dalam pagelaran tari Bedhaya
Ketawang ini adalah seperti pengantin putri Kraton Surakarta. Karena tarian
Bedhaya Ketawang merupakan reaktualisasi pernikahan Panembahan Senopati dan
Kanjeng Ratu Kidul, sehingga busana yang dikenakan haruslah busana pengantin,
yang lazim disebut sebagai Basahan. Busana tersebut meliputi kain dodot,
samparan, serta sondher. Dodot merupakan kain yang memiliki ukuran 2 atau 2,5
kali kain panjang biasa, hingga panjang dodot bisa mencapai 3,75 hingga 4
meter. Pada masa lalu, kain ini hanya dikenakan oleh raja dan keluarga serta
kaum ningrat untuk upacara tertentu, sepasang pengantin keraton, serta penari
Bedhaya dan Serimpi.
Sebagaimana
pengantin, maka dodot yang digunakan itu bermotif alas-alasan. Tarian ini
memiliki dua penari utama, yaitu batak dan endhel ajeg yang dapat dibedakan
dari warna dodot mereka. Meskipun memiliki motif yang sama yaitu alas-alasan,
tetapi warnanya berbeda. Batak dan endhel ajeg mengenakan dodot alas-alasan
berwarna hijau gelap yang disebut dodot gadung mlathi, sedangkan 7 penari
lainnya mengenakan dodot alas-alasan berwarna biru gelap yang disebut dodot bangun
tulak.
Ada juga bentuk sajian tari Bedhaya sepenuhnya diawali gerak
jalan kapang-kapang menthang miwir sampur kanan kemudian srisik membentuk
formasi. Seluruh penari Bedhaya bergeraj dengan tempo pelan, mengalir, seragam,
kompak dan lembut sehingga dapat menyentuh jiwa. Bentuk gerakkannya mencangkup sèlèh tangan kiri, ngapyuk kanan, menthang
kiri tawing kanan, atur-atur kanan.
Tari
Bedhaya Ketawang sampai sekarang disakralkan bagi pihak kraton Surakarta, dan disajikan
hanya untuk rangkaian upacara Jumenengan Tinggalan Dalem di kraton. Bagi kraton
Surakarta tarian Bedhaya Ketawang ini adalah salah satu pusaka, sehingga jika
disajikan sebagai pertunjukan memiliki ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi.
demikian tidak berarti semua tari Bedhaya bersifat sakral dan tertutup bagi
masyarakat umum, lalu diciptakanlah tari-tari Bedhaya lain yang sifatnya hanya
untuk sesuka atau untuk kepuasan batin, untuk hiburan raja, yang mana cakepan
sindenannya kebanyakan menggambarkan kehidupan raja semata. Menurut Gusti Puger
tarian ini di samping sebagai hiburan juga sebagai ungkapan rasa syukur
menyambut kelahiran seorang anak dan juga bisa digunakan untuk penyambutan
tamu.
Keberadaan
tari-tari dilingkungan keraton pengelolaannya dilakukan oleh beberapa kelompok
abdi dalem putri yang dibawahi oleh Pangageng Parentah Kaputen, diantaranya
adalah kelompok abdi dalem Bedhaya. Kelompok abdi dalem Bedhaya memiliki tugas
pokok sebagai penari Bedhaya, di samping menari juga membantu segala pekerjaan
yang ada di kaputren termasuk menjaga keamanan, utnuk itu kelompok abdi dalem
Bedhaya juga dilatih bela diri.
Penari
behdya adalah abdi dalem, yaitu para penari kaputren yang telah dibina sejak
umur ± 12 tahun, sesudah remaja atau sudah dianggap mampu untuk menarikan tari
bedhaya, bila raja berkenan mereka diambil untuk dijadikan penari keraton.
Kehidupan para penari ditanggung oleh keraton. Peraturan pengalaman pribadi R.A.
Laksminto Rukmi, salah seorang penari bedhaya yang cukup terkenal menyatakan
bahwa :
"Penari bedhaya (yang terorganisir dalam masyarakat abdi dalem bedhaya) dipersiapkan sebagai teman di peraduan, dan tidak jarang juga bahkan diangkat sebagai permaisuri. (1989: Pertiwi No. 79 dan 80)"
"Penari bedhaya (yang terorganisir dalam masyarakat abdi dalem bedhaya) dipersiapkan sebagai teman di peraduan, dan tidak jarang juga bahkan diangkat sebagai permaisuri. (1989: Pertiwi No. 79 dan 80)"
Bedhaya
sebagai abdi dalem merupakan salah satu raja yang sangat dibutuhkan keberadaannya
sebagai legimitasi raja. Hal ini tentu saja harus dipandang dengan kacamata
Hindu yaitu konsep Dewaroja, yang ada sejak masa pengaruh Hindu dan masih
terasa berlanjut hingga sekarang.
Beberapa
tari bedhaya dan tari istana lainnya yang tersebar keluar lingkungannya, telah
mengalami banyak perubahan yang tidak sengaja maupun disengaja. Dikhawatirkan
apalagi perubahan-perubahan tersebut tidak terkontrol, dapat mengurangi makna
dan nilai estetis tari bedhaya. Bedhaya Ketawang yang ada sekarang secara utuh
masih disajikan pada upacara Jumenengan Raja (pengukuhan raja), namun aturannya
tidak se-ketat dahulu.
iringan
tarian
Ditemani oleh Musik
Jawa Orkes yang disebut Gamelan. Gamelan ini dinamai Gamelan Kyai Kaduk Manis
yang terdiri dari dari banyak instrumen musik seperti kendhang Ageng ( kendhang
besar), Kendhang Ketipung, Kenong, dan kethuk.
pola
lantai
pola
lantai mengacu pada pola lantai yang ada pada tari bedhaya ketawang, pola
lantai seperti gawang montor mabur, gawang jejer wayang, gawang urut kacang,
gawang kalajengking, gawang perang, dan gawang tiga-tiga.
Bentuk
sajian tari bedhaya ketawang terdiri dari tiga bagian, yaitu maju beksan,
beksan pakok dan mundur beksan. Maju beksan dimulai dari penari berjalan
kapang-kapang, yaitu berbaris satu persatu dengan jarak kira-kira satu meter
dan Dalem Prabasuyasa menuju Pendapa Sasana Sewaka kemudian membentuk gawang
rakit montor mabur tepat dibawah lampu robyong besar. Jalan penari menuju
pendapa harus menganankan raja (arah jarum jam), yaitu lewat sebelah kiri
tempat duduk raja.
Untuk
masuk para penari sebagai berikut: endhle ajeg, batak, endhel weton, apit
ngarep, apit mburi, gulu, apit meneng, dhadha, buncit. Kapang-kapang ini
iiringi dengan suluk Pathetan Pelog Lima Ageng oleh kelompok vokal laki-laki
dengan iringan beberapa instrumen gamelan berupa gender, gambang, rebab dan
suling. Setelah dihadapan raja tepat ditengah-tengah Pendapa Sasana Sewaka
membentuk gawang rakit montor mabur kemudian duduk bersila dan menyembah.
formasi
nawagraha, perbintangan
kartika : 2 + 5 + 2. atas irama gamelan para penari melambangkan peredaran tata
tertip kosmis azali yang teratur : kemudian bagaimana tata tertip tersebut
menjadi kacau dan kemudian dipuluhkan lagi.
Tari Bedhaya yang belum berubah : Bedhaya Ketawang
( 130 menit ), Bedhaya Pangkur ( 60 menit ), Bedhaya Duradasih ( 60 menit ),
Bedhaya Mangunkarya ( 60 menit ), Bedhaya Sinom ( 60 menit ), Bedhaya
Endhol-endhol ( 60 menit ), Bedhaya Gandrungmanis ( 60 menit ), Bedhaya Kabor (
60 menit ) dan Bedhaya Tejanata ( 60 menit ). Tari Bedhaya Ketawang untuk
menjamu tamu raja dan Nyi Roro Kidul. Tari Bedhaya lainnya bertema pahlawan dan
monumental.
referensi
3.
Seni budaya dan keterampilan kelas 3 SD, Dedi
nurhadiat, grasindo, 2006.
4.
Pengantar apresiasi seni, Prof.R.M. Soedarsono,
Ph.D.
6.
Sendratari
Mahakarya Borobudur, Timbul Haryono, Kepustakaan Populer Gramedia, 2011
Koreksi bedhaya ketawang cuman milik keraton Surakarta hadiningrat di keraton Yogyakarta gak ada bedhaya ketawang
BalasHapus