TANAM PAKSA
Nama :
Kiagus Fhirly Laeliyansyah
No. Reg :
4423126865
Cultuurstelsel (harafiah: Sistem
Kultivasi atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Sistem Budaya) yang oleh sejarawan
Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam
Paksa, adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes
van den Bosch pada tahun
1830 yang
mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami
komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila).
Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang
sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun
(20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada
praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah
pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada
pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan
pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun
penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa
adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan
kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada
sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani
yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus
menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan
kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi
modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat
sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch
selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja
Belanda, pada 25 Desember 1839. Cultuurstelsel kemudian dihentikan
setelah muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi
dalam sejarah penjajahan Indonesia.
Sejarah
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah
hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal Van den
Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)
dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup
defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem
tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah
kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen
utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan
sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk
menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan
menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan
mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila
pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak
tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang,
desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Sistem
tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya
berjalan di Jawa. Pemerintah kolonial
memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis.
Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang
membubung, dibudidayakan.
Bagi
pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena
antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa
membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di
Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan
berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda.
Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai
kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun
mengalami surplus.
Badan
operasi sistem tanam paksa Nederlandsche
Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut. Akibat
tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung.
Pada tahun 1843, muncul bencana
kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga
melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Sistem
tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai
kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di
luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk
menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.
Aturan
Berikut adalah isi dari aturan tanam paksa
- Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
- Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
- Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
- Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
- Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
- Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
- Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa
Kritik
Serangan-serangan
dari orang-orang non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan
dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan,Demak,Cirebon. Gejala kelaparan ini diangkat ke permukaan dan
dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan
terhadap bumiputra Jawa. Muncullah orang-orang humanis maupun
praktisi Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Dari bidang sastra muncul Multatuli (Eduard Douwes Dekker), di lapangan jurnalistik muncul E.S.W. Roorda van Eisinga, dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van Hoevell. Dari sinilah muncul gagasan politik etis.
Kritik kaum liberal
Usaha kaum
liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun
1870, dengan
diberlakukannya UU Agraria, Agrarische Wet. Namun tujuan yang hendak
dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan Tanam Paksa.
Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut.
Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta.
Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang
ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah
jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar
kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak
sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan
menjamin keamanan serta ketertiban.
UU ini
memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang
luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, tarum (nila),
atau untuk tanaman
semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek.
Kritik kaum humanis
Kondisi
kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria, ini mendapat kritik
dari para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard
Douwes Dekker mengarang buku Max Havelaar (1860). Dalam
bukunya Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani
yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda.
Seorang
anggota Raad van Indie, C. Th van
Deventer membuat
tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di tanah
jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah De Gids yang
terbit tahun 1899. Van
Deventer dalam bukunya menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan
penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini
kemudian berkembang menjadi Politik Etis.
DAMPAK
Dalam bidang pertanian
Cultuurstelsel menandai
dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara luas. Kopi
dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai
dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer
pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman
"tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh. Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang
melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah
koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian, dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat
melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870
kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius.
Dalam bidang sosial
Dalam
bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya
perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan
terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam
pembagian tanah. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini
malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi karena
penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya
keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
Dalam bidang ekonomi
Dengan
adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang
sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem
kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di
pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan
menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport,
sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah
kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport
bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut
menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
Akibat lain
dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu
kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan
bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa
pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah
pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk
tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara
dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang
dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam
pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala
desa itu sendiri.
Referensi:
Internet :
1. id.wikipedia.org/wiki/Cultuurstelsel
2. pendidikan4sejarah.blogspot.com/.../sistem-tanam-paksa-dan-dampa
3. sejarah.kompasiana.com/2012/04/.../sistem-tanam-paksa-451655.htm.
Buku :1.
Buku Ilmu Pengetahuan Sosial SD/MI Kelas V penerbit PT Bumi Aksara
2. Buku Ilmu Pengetahuan Sosial penerbit
Erlangga
3. Buku Ilmu Pengetahuan Sosial Next Step IPS
Aktif 5 Standar isi 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar