Perlawanan
Sisingamangaraja (Diorama 18)
Nama :
Eka Junianti W
No. Reg : 4423126862
SISINGAMANGARAJA
XII ( 1870-1907)
Pada tahun 1976, raja Krajaan Bakkara didaerah
Tapanuli, Sumatera Utara, Sisingamangaraja XI meninggal Dunia. Ia digantikan
oleh puteranya yang bernama Patuan Bosar ompu Pulo Batu. Setelah menjadi Raka
Bakkara, ia bergelar Sisingamangaraja XII. Pada waktu itu, Belanda sudah
mempunyai pos militer di daerah Sibolga. Dari sibolga, Belanda berusaha
memperluas daerah kekuasaannya.
Pada masa pemerintahan Sisingamangaraja XII,
datanglah orang-orang Belanda yang bertujuan menguasai wilayah Tapanuli.
Sisingamangaraja XII bersama rakyatnya angkat senjata dan mengadakan perlawanan
terhadap Belanda. Pada tahun 1878, Belanda menyerang daerah Tapanuli. Serangan
ini dapat digagalkan oleh rakyat Tapanuli. Pada tahun 1889, pertempuran yang
sangat hebat terjadi di daerah Silindung Humbang dan Tobe Hulbung. Karena
banyak prajurit yang gugur dimedan perang, sejak tahun 1900, sisingamangaraja
XII mengambil sikap bertahan.
Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari
1845 – meninggal
di Dairi, 17 Juni
1907
pada umur 62 tahun) adalah seorang raja di
negeri Toba,
Sumatera Utara, pejuang yang berperang melawan
Belanda,
kemudian diangkat oleh pemerintah Indonesia
sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia sejak
tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961. Sebelumnya ia
makamkan di Tarutung, lalu dipindahkan ke Balige,
dan terakhir dipindahkan ke Pulau Samosir.[1]
Ia
juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu
Pulo Batu, naik tahta pada tahun 1876
menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain
itu ia juga disebut juga sebagai raja imam. Penobatan Sisingamangaraja XII
sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu
terbuka) Belanda
dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia-Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek)
di Sumatera
terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di
mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di
sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan
tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk
melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga
puluhan tahun.
Perang
Melawan Belanda
Pada
tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu
meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh
Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat
untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bangkara tetapi
sekaligus menaklukkan seluruh Toba.
Pada
tanggal 6 Februari 1878
pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig
Nommensen.
Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan
Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun
kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang
kemudian mengumumkan pulas (perang)
pada tanggal 16 Februari 1878 dan
penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.
Pada
tanggal 14 Maret
1878
datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels
sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga.
Pada tanggal 1 Mei
1878,
Bangkara pusat pemerintahan Si Singamangaraja diserang pasukan kolonial dan
pada 3 Mei
1878
seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya
dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja
yang tertinggal di Bangkara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan
tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda.
Walaupun
Bangkara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara
gerilya,
namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar,
Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial
Belanda.
Antara
tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya.
Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh,
secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883
serta Tangga Batu di tahun 1884.
Agama yang dianut oleh Sisingamangaraja XII adalah agama asli Batak. Namun
sudah sejak zaman Belanda terdengar isu bahwa menjelang tahun 1880-an
Sisingamangaraja memeluk agama Islam. Yang pertama menyebarkan desas-desus bahwa Singamangaraja XII telah
menjadi seorang Muslim adalah para penginjil RMG (Rheinische
Missionsgesellschaft). Mereka tiba pada kesimpulan tersebut karena pada
saat itu Singamangaraja XII mulai menyalin kerjasama dengan pihak Aceh. Hal itu
dilakukannya karena ia mencari sekutu melawan para penginjil RMG yang
pengaruhnya di Silindung menjadi semakin terasa dan yang menjalin hubungan erat
dengan pemerintah dan tentara Belanda. Namun alasan utama maka para misionaris
RMG menyebarkan isu bahwa Singamangaraja telah menjadi seorang Muslim adalah
untuk meyakinkan pemerintah Belanda untuk menganeksasi Tanah Batak. Atas
permintaan penginjil RMG, terutama I.L. Nommensen, tentara kolonial Belanda akhirnya menyerang markas
Singamangaraja XII di Bangkara dan memasukkan Toba dan Silindung ke dalam wilayah jajahan Belanda.
Kontroversi perihal agama Singamangaraja hingga kini tidak pernah reda.
Juga sesudah wilayah Batak menjadi bagian dari Hindia Belanda desas-desus bahwa
Singamangaraja XII memeluk agama Islam tidak pernah berhenti, sampai ada yang
menulis bahwa "Volgens berichten
van de bevolking moet de togen, woordige titularis een 5 tak jaren geleden tot
den Islam zijn bekeerd, doch hij werd geen fanatiek Islamiet en oefende geen
druk op zijn omgeving uit om zich te bekeeren" ("menurut
laporan dari penduduk maka sang raja sekitar lima tahun yang lalu memeluk agama
Islam, namun ia tidak menjadi seorang Islam fanatis dan tidak berusaha untuk
meyakinkan rakyat supaya turut menggatikan agamanya"). Kemudian dalam
sebuah surat rahasia kepada Departement
van Oorlog (Departemen Pertahanan), maka Letnan L. van Vuuren dan
Berenschot pada tanggal 19 Juli 1907 menyatakan, "Dat het vaststaat dat de oude S.S.M. met zijn zoons tot den Islam waren
overgegaan, al zullen zij wel niet Mohamedanen in merg en been geworden zijn"
("Bahwa sudah pasti S. S. M. yang tua dengan putra-putranya telah beralih
memeluk agama Islam, walaupun keislaman mereka tidak seberapa meresap dalam
sanubarinya").
Selain laporan oleh para misionaris Jerman dan oleh koran-koran Belanda,
petunjuk lainnya bahwa Singamangaraja XII beralih agama ke agama Islam
termasuk:
- Singamangaraja XII tidak makan babi;
- pengaruh Islam terlihat pada bendera perang Singamangaraja dalam gambar kelewang, matahari dan bulan; dan
- Sisingamangaraja XII memiliki cap yang bertuliskan huruf Jawi (tulisan Arab-Melayu).
Untuk butir 1 dapat dikatakan bahwa bukan hanya Singamangaraja XII yang
tidak boleh makan babi, melainkan hal itu berlaku juga untuk semua Singamangaraja
sebelumnya. Pantangan makan babi tidak ada kaitan dengan agama Islam melainkan
juga berlaku untuk para raja yang beragama Hindu. Dalam hal ini perlu
diingatkan bahwa agama asli Batak sangat kuat pengaruh Hindu. Untuk butir 2,
kelewang, matahari, dan bulan bukan lambang yang eksklusif Islam.
Selain daripada itu perlu diingatkan bahwa kerajaan Singamangaraja XII
dikelilingi oleh kerajaan-kerajaan Islam sehingga tidak mengherankan kalau ia
meminjamkan lambang yang juga digunakan oleh para raja Melayu. Khususnya untuk
butir 3. cap Singamangaraja telah dianalisis oleh Prof. Uli Kozok.[2] Selain sebuah teks yang memakai surat Batak (aksara Batak) terdapat pula sebuah teks berhuruf Jawi (Arab Melayu) yang
berbunyi; Inilah cap maharaja di
negeri Teba kampung Bakara nama kotanya hijrat nabi 1304 [?] sedangkan
dalam aksara Batak pada cap itu tertulis Ahu ma sap tuan Si Singamangaraja tian Bangkara, artinya
"Akulah cap Tuan Si Singamangaraja dari Bangkara".
Berdasarkan analisis empat cap Singamangaraja maka Profesor Kozok tiba pada
kesimpulan bahwa keempat cap Singamangaraja masih relatif baru, dan diilhami
oleh cap para raja Melayu, terutama oleh kerajaan Barus. Pada abad ke-19 huruf
Arab-Melayu (Jawi) umum dipakai oleh semua raja di Sumatra sehingga sangat
masuk akal bahwa Singamangaraja XII juga menggunakan huruf yang sama agar
capnya dapat dibaca tidak hanya oleh orang Batak sendiri melainkan juga oleh
orang luar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa argumentasi bahwa Singamangaraja
XII telah berpindah agama cukup lemah. Sekiranya Singamangaraja memang memeluk
agama Islam maka pasti ia akan mengimbau agar rakyatnya juga memeluk agama
Islam. Laporan para penginjil seperti I.L. Nommensen bahwa Singamangaraja telah
memeluk agama Islam terutama dimaksud untuk mendiskreditkan Singamangaraja dan
untuk menggambarkannya sebagai musuh pemerintah Belanda. Oleh sebab itu maka
pembaca harus bersikap sangat berhati-hati terhadap kesimpulan yang sulit dapat
dipertahankan.
MAKAM
Singamangaraja
XII meninggal pada 17 Juni 1907
dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di Dairi. Sebuah peluru menembus
dadanya, akibat tembakan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Hans Christoffel.
Menjelang nafas terakhir dia tetap berucap, Ahuu Sisingamangaraja. Turut gugur waktu itu dua putranya Patuan
Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sementara keluarganya yang
tersisa ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan
Belanda secara militer pada 22 Juni
1907
di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada
masyarakat Toba. Makamnya kemudian dipindahkan ke Soposurung, Balige sejak 17 Juni
1953,
namun terakhir kembali dipindahkan ke Pulau Samosir.
WARISAN
SEJARAH
Kegigihan perjuangan
Sisingamangaraja XII ini telah menginspirasikan masyarakat Indonesia, yang
kemudian Sisingamangaraja XII diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Selain itu untuk mengenang kepahlawanannya, nama Sisingamangaraja juga
diabadikan sebagai nama jalan di seluruh kawasan Republik Indonesia.
Referensi :
Internet :
4.
tanobatak.wordpress.com
5.
sejarah-suwandy.blogspot.com
Buku :
1. IPS Terpadu Sekolah Dasar Kelas V
Penerbit Erlangga
2. IPS kelas VIII smt 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar