Minggu, 30 Desember 2012

Kapal Phinisi, Museum Bahari.



Rizky Dwi Wicaksono
4423125311
UNJ-FIS-Sejarah-UJP 2012
(UAS) Sejarah Indonesia
Museum Bahari





Kapal Phinisi Nusantara
Kapal Phinisi itu melegenda, menantang derasnya deru ombak, melawan kencang laju angin, tak takut jika apa yang dibawa hilang termasuk nyawa para awak yang berada didalamnya. Tak ada ketakutan itulah yang terlihat, hakulyakin bahwa bahtera asli Indonesia ini tak akan luluh pada ganasnya alam, mungkin ada yang menertawakan tapi itulah kenyataaan, Kapal Phinisi Nusantara melaju melintas samudera.
Bahtera ini hanya terbuat dari batang kayu, di bentuk dengan gotong royong antar warga di daerah Bulukumba sejak zaman dahulu kala. Meletakkan ego masing-masing yang dulunya berlomba untuk mengarungi lautan sendirian, makna yang keliru dan dapat disadari bahwa gotong royong antar suku membuat sebuah mahakarya dan warisan kebudayaan yang dapat dibanggakan. Phinisi Nusantara merupakan andalan dari zaman nenek moyang melintas arung lautan bebas, kendaraan utama untuk mengenal nusantara dari pulau yang satu ke pulau yang lainnya, sebuah silahturahmi tersirat yang memang menjadi nilai keluhuran bangsa pada Phinisi Nusantara
Mencetak sejarah lewat Ekspedisi Vancouver

sumber : dreamindonesia.files.wordpress.com
Sejarah mencatat bahwa pagi menjelang pada 9 juli 1986, kapal Phinisi nusantara melepas sauh di Muara Baru, dengan tujuan Vancouver untuk  mengikuti expo Vancouver 1986, jarak  yang ditempuh  + 11000 km dengan melewati samudera pasifik yang saat itu memang sedang tak bersahabat, keraguan banyak timbul tapi tekad tak kunjung padam dengan di pimpin oleh capt. Gita arjakusuma, kapal phinisi nusantara akhirnya tiba di pelabuhan Marine plaza, Vancouver, mendapat sambutan hangat dari masyarakat setempat yang tentunya tak mengira kapal kayu yang dimiliki oleh Yayasan Phinisi Indonesia Raya yang diketuai Laksamana TNI (Purn) Soedomo dapat tiba pada waktunya, luar biasa.
Phinisi Nusantara, Mistik dan Buku Sejarah
Tak dapat dielakkan bahwa dalam pembuatan Phinisi Nusantara, nilai-nilai tradisional masih tetap di jaga dalam pembuatannya seperti sesajian jajanan manis (agar selalu mendapatkan hasil yang baik), darah ayam jago (agar tak ada pertumpahan darah), pembuangan sebagian kecil kayu pada lunas bagian depan dan belakang ( bagian depan di buang ke lautan, bagian belakang di buang ke daratan). Nilai-nilai tersebut menampakkan keanggunan sebuah budaya yang memang memiliki kedekatan dengan alam, kepercayaan yang pada dasarnya tetap sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha kuasa. Hanya sinergi manusia untuk lebih menciptakan keserasian dan keselarasan pada alam.
Wilayah Indonesia yang terdiri oleh sebagian besar lautan membuat kapal laut atau sejenisnya menjadi semacam “jembatan” untuk menyatukan berbagai daerah, hal yang harusnya di perhatikan mengenai sejarah atau kebudayaan masyarakat pesisir yang memang mengandalkan kapal sebagai moda transportasinya, dengan kecanggihan zaman yang menciptakan kapa- kapal besi yang lebih besar dan modern dan akan memaksa simbol-simbol tradisional dapat hilang begitu saja.
PHINISI Nusantara adalah kapal tradisional khas Indonesia. Kapal kayu ini dibuat oleh para pengrajin di Bulukumba, Makassar, Sulawesi Selatan. Pada 1986, Phinisi mencatat sejarah pelayaran yang spektakuler dan menakjubkan, ketika kapal ini berlayar menjelajah samudera.


Setelah berhasil melalui masa uji coba pelayaran dari Sulawesi Selatan ke Jakarta, kemudian Phinisi Nusantara bertolak dari Pelabuhan Ikan Muara baru, Jakarta ke pantai barat Amerika. Setelah berlayar selama 67 hari, menempuh jarak sekitar 11.000 mil laut, akhirnya tiba dengan selamat di Canada, untuk turut memeriahkan Vancouver Expo 1986, yang mengundang decak kekaguman dari para pengunjung.....



Phinisi Nusantara menjadi bukti bahwa ''Nenek Moyangku Orang Pelaut'' tidak cuma sebatas lagu, tetapi memang sesungguhnya bangsa Indonesia adalah Orang Pelaut yang tidak gentar mengarungi samudera, menempuh badai dan menjelajah dunia.


Phinisi Nusantara adalah dokumentasi visual yang nyata di era modern.
Pengrajin Phinisi di Bulukumba

Jika pada masa lalu pernah disebut-sebut atau ditemukan adanya kapal Indonesia yang pernah sampai ke Madagaskar, sebuah koloni di bawah jajahan Perancis (1896-1960) yang terletak pantai Afrika Barat Daya, berbatasan langsung dengan samudera Hindia, namun sangat minim dengan bukti dan dokumentasi sejarah yang meyakinkan.


Meski demikian, cerita itu bukan mustahil karena dua alasan: pertama memang ada kapal Indonesia yang sengaja berlayar ke sana dan berhasil mendarat tetapi tidak dengan selamat, karena minimnya data yang mendukung perjalanan / pelayaran tersebut. Kedua, (dan ini yang sangat mungkin) memang ada kapal Indonesia yang sedang berlayar di suatu wilayah perairan tetapi kemudian terbawa arus sehingga terseret dan terbawa hanyut, kemudian terdampar di Madagaskar.


Berbeda dengan Phinisi Nusantara, yang memang dipersiapkan untuk suatu missi pelayaran: Mahapatih Gajah Mada dengan tujuan untuk mempertautkan bangsa Indonesia dengan dunia internasional, yang kemudian mengundang decak kekaguman dari orang-orang yang kebetulan hadir dan berada di Vancouver Expo 1986. Sehingga panitia expo menempatkan pavilyun Indonesia ke dalam agenda 'Top Ten: a must to see'.



Konstruksi Phinisi dibuat tanpa gambar

Sayangnya, setelah para kru Phinisi Nusantara kembali ke Tanah Air, hingga beberapa tahun kemudian setelah itu, ternyata kapal yang menjadi bukti sejarah itu, belum lama ini, diberitakan telah kandas di Pulau Seribu, Jakarta Utara.


Tidak ada lagi yang tahu dengan pasti: dalam rangka apa kapal itu berada di sana, mengapa tidak berada di museum bahari, apa sebabnya tenggelam, di mana bangkainya? Dan di atas segalanya: mengapa Pemerintah membiarkan hal itu terjadi?


Dengan demikian, tak ada lagi bahan cerita menarik tentang: sebuah bangsa pelaut di negeri kepulauan terbesar di dunia yang wilayahnya di belah garis khatulistiwa; tentang perhitungan navigasi tradisional dengan mengukur ketinggian suatu bintang untuk menentukan lokasi keberadaan sebuah kapal; sekaligus cerita di baliknya tentang bagaimana bisa lahir keberanian serta petualangan nekad menerjang badai, yang seharusnya bisa diajarkan kepada anak-cucu, generasi muda Indonesia mendatang.


Bersamaan dengan tenggelamnya Phinisi Nusantara di Kepulauan Seribu, terkubur pula semua cerita membanggakan yang bisa diajarkan kepada anak-anak Indonesia di bangku sekolah, hanya karena orang tuanya tak pandai melestarikan peninggalan yang baik di masa lalu.

Kapal Phinisi - Miniatur Kapal Phinisi - 0881 430 2209

Kapal Phinisi merupakan kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan.
Secara umum kapal phinisi ini memiliki dua buah tiang layar utama dan tujuh buah layar pendukung, yaitu tiga di ujung depan, dua tiang ada di depan, dan dua lagi ada di belakang.
Kapal pinisi ini pada umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antar pulau.
Phinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar yang mempunyai dua tiang dengan tujuh helai layar yang mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia.
Kapal kayu Pinisi telah digunakan di Indonesia sejak beberapa abad yang lalu, diperkirakan kapal pinisi keberadaannya ada sebelum tahun 1500-an.
Menurut naskah Lontarak I Babad La Lagaligo pada abad ke 14, Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, beliau adalah Putera Mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok yang bertujuan hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai.
Sawerigading berhasil ke negeri Tiongkok dan akhirnya bisa menjadikan Puteri We Cudai sebagai istri. Setelah beberapa lama tinggal di negeri Tiongkok, Sawerigading kembali ke kampung halamannya menggunakan kapal Pinisinya ke Luwu.
Menjelang masuk perairan Luwu kapal diterjang gelombang yang besar dan Phinisi terbelah menjadi tiga yang terdampar di desa Ara, Tanah Beru dan Lemo-lemo.
Ketiga masyarakat desa tersebut kemudian merakit pecahan kapal tersebut menjadi perahu yang kemudian dinamakan Pinisi.
Jenis kapal phinisi ada 2, yaitu:
  • Lamba atau lambo. Pinisi modern yang masih bertahan sampai saat ini dan sekarang dilengkapi dengan motor diesel (PLM).
  • Palari. adalah bentuk awal pinisi dengan lunas yang melengkung dan ukurannya lebih kecil dari jenis Lamba.
Sangat sayang untuk dilewatkan jika kita tidak bisa mengetahui wujud kapal phinisi yang telah tertuang dalam sejarah Luwu ini.
Cerita dan sejarah :
Kapal kayu tradisional ini diperkirakan sudah ada sebelum 1500-an, dengan kronologis sejarah yaitu :
Abad ke-14 : Pinisi pertama sekali dibuat oleh Sawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu.
Abadke-19 : Pernah digunakan untuk mengangkut barang-barang dari Eropa dan China dari Singapura ke Dobo di Pulau Aru di Nusa Tenggara Timur.
1986 : Kapal Phinisi Nusantara mencetak sejarah lewat Ekspedisi Vancouver di Kanada dan dilanjutkan ke San Diego, AS.
1987 : Kapal Phinisi mengikuti ekspedisi perahu Padewakang, 'Hati Marige' ke Darwin, Australia. Lalu Ekspedisi Ammana Gappa ke Madagaskar, dan terakhir pelayaran Pinisi Damar Segara ke Jepang.

Kisah
Menurut cerita nenek moyang setempat, mereka menciptakan sebuah perahu cukup besar untuk mengarungi lautan dan cukup untuk memuat barang dagangan dan tangkapan ikan.
Berdasarkan naskah Lontarak I Babad La Lagaligo pada abad ke-14, pinisi pertama dibuat Sawerigading,  putra mahkota Kerajaan Luwu. Kapal itu dipakai untuk berlayar menuju negeri Tiongkok, hendak meminang putri Tiongkok bernama We Cudai, dan misi itu benar-benar berhasil. Setelah sekian tahun tinggal di Tiongkok, Sawerigading kembali ke kampung halamannya dengan menggunakan pinisinya ke Luwu.
Menjelang masuk perairan Luwu, kapal diterjang gelombang besar dan pinisi terbelah menjadi tiga bagian, yang masing-masing terdampar di Desa Ara, Tanah Beru, dan Lemo-Lemo.
Masyarakat ketiga desa itu kemudian merakit pecahan kapal tersebut untuk menjadi perahu yang diberi nama pinisi.
Kisah sejarah itu tidak berhenti di situ karena perkembangannya, masyarakat mengembangkan pinisi itu hingga sekarang.
Legenda itu tetap hidup sampai sekarang dan kebenarannya pun diyakini, salah satu buktinya ialah masyarakat Ara pandai membuat badan kapal.
Lebih mengagumkan lagi, masyarakat tersebut mampu membuat pinisi dari ukuran kecil hingga besar dengan teknologi sederhana.

Ritual
Ritual harus dilakukan melalui upacara khusus yaitu ketika dimulainya pembuatan kapal dan saat turun laut. Peluncuran kapal diawali dengan upacara adat appasili yaitu ritual yang bertujuan untuk menolak bala.
Kelengkapan upacara berupa seikat dedaunan yang terdiri dari daun sidinging, sinrolo, taha tinappasa, taha siri, dan panno-panno yang diikat bersama pimping. Dedaunan dimasukkan ke dalam air dan kemudian dipercikkan dengan cara dikibas-kibaskan ke sekeliling perahu.
Selanjutnya ada upacara ammossi - lanjutan dari appasili – yaitu upacara pemberian pusat pada pertengahan lunas perahu dan setelah itu perahu ditarik ke laut.  Pemberian pusat ini merupakan istilah yang didasarkan pada kepercayaan bahwa perahu ialah 'anak' punggawa atau panrita lopi sehingga dengan demikian berdasarkan kepercayaan maka upacara ammossi merupakan simbol pemotongan tali pusar bayi yang baru lahir.
Karena tonase perahu sangat berat maka untuk menarik kapal ke laut, kalau dulu menggunakan tenaga manusia yang sangat banyak namun sekarang sudah menggunakan peralatan seperti katrol dan rantai.

Pinisi memang sudah go international. Pada 1986, kapal Phinisi Nusantara - nama yang diberikan Presiden Soeharto - tampil dalam acara Vancouver Expo 86 di Kanada dan dilanjutkan ke San Diego, AS. Kapal tersebut berhasil menempuh jarak 11 ribu + 1.650 mil laut (20.372 + 3.055,8 km) dalam tempo 67 hari.

Nama phinisi sebenarnya menyesuaikan lafal bahasa Inggris yang dipakai selama pameran di Vancouver, nama aslinya pinisi namun justru nama phinisi jauh populer dan dipakai sam­pai sekarang.
Semula ada dua nama yang dipilih, pertama ialah Amanna Gappa, nama tokoh hukum laut legendaris Sulawesi Selatan yang hidup pada abad ke-16 dimana tulisannya tentang hukum laut dimuat di daun lontar. Pilihan kedua memakai nama Sawerigading, putra mahkota Kerajaan Luwu. Namun, nama Phinisi Nusantara menjadi pilihan.
Itulah satu-satunya kapal kayu dengan panjang 31 meter dan bobot 150 ton, yang mendapatkan penghormatan militer dari kapal induk militer AS USS Constelation, ketika Phinisi Nusantara melintasi di English Bay, dan berpapasan dengan kapal induk tersebut. 

Ritual pembangunan Pinisi

Upacara kurban untuk pembuatan perahu pinisi adalah salah satu dimana kemegahan pinisi dilahirkan.Para pembuat perahu tradisional ini, yakni: orang-orang Ara, Tana Lemo dan Bira, yang secara turun temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya. Upacara ritual juga masih mewarnai proses pembuatan perahu ini, Hari baik untuk mencari kayu biasanya jatuh pada hari ke lima dan ketujuh pada bulan yang berjalan. Angka 5 (naparilimai dalle’na) yang artinya rezeki sudah ditangan. Sedangkan angka 7 (natujuangngi dalle’na) berarti selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik, lalu kepala tukang yang disebut "punggawa" memimpin pencarian.
Sebelum pohon ditebang, dilakukan upacara untuk mengusir roh penghuni kayu tersebut. Seekor ayam dijadikan sebagai korban untuk dipersembahkan kepada roh. Jenis pohon yang ditebang itu disesuaikan dengan fungsi kayu tersebut. Pemotongan kayu untuk papan selalu disesuaikan dengan arah urat kayu agar kekuatannya terjamm. Setelah semua bahan kayu mencukupi, barulah dikumpulkan untuk dikeringkan.Pembuatan perahu pinisi di Tanah Beru.
Peletakan lunas juga memakai upacara khusus. Waktu pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita. Setelah dimantrai, bagian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Karena itu, pemotongan harus dilakukan oleh orang yang bertenaga kuat.
Ujung lunas yang sudah terpotong tidak boleh menyentuh tanah. Bila balok bagian depan sudah putus, potongan itu harus dilarikan untuk dibuang ke laut. Potongan itu menjadi benda penolak bala dan dijadikan kiasan Sebagai suami yang siap melaut untuk mencari nafkah. Sedangkan potongan balok lunas bagian belakang disimpan di rumah, dikiaskan sebagai istri pelaut yang dengan setia menunggu suami pulang dan membawa rezeki.
Pemasangan papan pengapit lunas, disertai dengan upacara Kalebiseang. Upacara Anjarreki yaitu untuk penguatan lunas, disusul dengan penyusunan papan dari bawah dengan ukuran lebar yang terkecil sampai keatas dengan ukuran yang terlebar. Jumlah seluruh papan dasar untuk perahu pinisi adalah 126 lembar. Setelah papan teras tersusun, diteruskan dengan pemasangan buritan tempat meletakkan kemudi bagian bawah.
Apabila badan perahu sudah selesai dikerjakan, dilanjutkan dengan pekerjaan a’panisi, yaitu memasukkan majun pada sela papan. Untuk merekat sambungan papan supaya kuat, digunakan sejenis kulit pohon barruk. Selanjutnya, dilakukan allepa, yaitu mendempul. Bahan dempul terbuat dari campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran tersebut diaduk Selama 12 jam, dikerjakan sedikitnya 6 orang. Untuk kapal 100 ton, diperlukan 20 kg dempul badan kapal. Sentuhan terakhir adalah menggosok dempul dengan kulit pepaya.
Proses terakhir kelahiran pinisi adalan peluncurannya. Upacara selamatan diadakan lagi. Peluncuran kapal diawali dengan upacara adat Appasili yaitu ritual yang bertujuan untuk menolak bala. Kelengkapan upacara berupa seikat dedaunan yang terdiri dari daun sidinging, sinrolo, taha tinappasa, taha siri, dan panno-panno yang diikat bersama pimping. Dedaunan dimasukkan ke dalam air dan kemudian dipercikkan dengan cara dikibas-kibaskan ke sekeliling perahu. Untuk perahu dengan bobot kurang dan 100 ton, biasanya dipotong seekor kambing. Sedangkan untuk kapal 100 ton keatas, dipotong seekor sapi. Selanjutnya ada upacara Ammossi yaitu upacara pemberian pusat pada pertengahan lunas perahu dan setelah itu perahu ditarik ke laut. Pemberian pusat ini merupakan istilah yang didasarkan pada kepercayaan bahwa perahu ialah 'anak' punggawa atau Panrita Lopi sehingga dengan demikian berdasarkan kepercayaan maka upacara ammossi merupakan simbol pemotongan tali pusar bayi yang baru lahir. Ketika pinisi sudah mengapung di laut, barulah dipasang layar dan dua tiang. Layarnya berjumlah tujuh. Kapal yang diluncurkan biasanya sudah siap dengan awaknya. Peluncuran kapal dilaksanakan pada waktu air pasang dan matahari sedang naik. Punggawa alias kepala tukang, sebagai pelaksana utama upacara tersebut, duduk di sebelah kiri lunas. Doa atau tepatnya mantra pun diucapkan.
Resensi :
id.wikipedia.org/wiki/Pinisi
  miniaturkapal.blogdetik.com/kapal-phinisi-miniatu... 
www.facebook.com/...kapal-PHINISI-NUSANTARA/149089371804...
 phinisinusantaraarterligallery.blogspot.com/2012
m.poskota.co.id/.../perajin-miniatur-kapal-phinisi
buku :
budaya bahari _ hal.134
Bahasa Indonesia, jilid 2 hal. 13, agus trianto

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar