UTUSAN CINA KE MAJAPAHIT
Muhammad Fiqih Zidni
Historiografi
Hanya terdapat sedikit bukti fisik dari sisa-sisa Kerajaan
Majapahit,[4] dan sejarahnya tidak jelas.[5] Sumber utama yang digunakan
oleh para sejarawan adalah Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam bahasa
Kawi dan Nagarakretagama[6] dalam bahasa Jawa Kuno.[7] Pararaton terutama
menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari)
namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit.
Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisiJawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan
Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Setelah masa itu, hal yang
terjadi tidaklah jelas.[8] Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun
catatan sejarah dari Tiongkok dan
negara-negara lain.[8]
Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan.
Tidak dapat disangkal bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan
mitos. Beberapa sarjana seperti C.C. Berg menganggap semua naskah tersebut
bukan catatan masa lalu, tetapi memiliki arti supernatural dalam hal dapat
mengetahui masa depan.[9] Namun demikian, banyak pula
sarjana yang beranggapan bahwa garis besar sumber-sumber tersebut dapat
diterima karena sejalan dengan catatan sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar
penguasa dan keadaan kerajaan yang tampak cukup pasti.
[5] Berdirinya Majapahit
Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnusebagai
penggambaranKertarajasa. Berlokasi
semula di Candi Simping, Blitar, kini menjadi
koleksi Museum
Nasional Republik Indonesia.
Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling
kuat di Jawa. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi[10] ke Singhasari yang menuntutupeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang
terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan
merusak wajahnya dan memotong telinganya.[10][11] Kubilai Khan marah dan lalu
memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.
Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh
Kertanegara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan
pengampunan kepada Raden Wijaya,
menantu Kertanegara, yang
datang menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha,
yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi
kepada Jayakatwang. [12] Jawaban dari surat diatas
disambut dengan senang hati.[12] Raden Wijayakemudian diberi hutan Tarik.
Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit,
yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa
"pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol
untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang,
Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka
menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di
negeri asing.[13][14] Saat itu juga merupakan
kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar
dapat pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau yang
asing.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan
Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15
bulan Kartika tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293.
Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini
menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak
melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Pemberontakan
Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi, Ra Jaran Waha, Ra
Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut disebutkan dalam
Pararaton.[15] Slamet Muljana menduga bahwa
mahapatih Halayudha lah
yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia
dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian
pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan
lalu dihukum mati.[14] Wijaya meninggal dunia pada
tahun 1309.
Putra dan penerus Wijaya adalah Jayanegara. Pararaton menyebutnya Kala Gemet,
yang berarti "penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun
pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta Italia, Odorico da Pordenone mengunjungi
keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328,
Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni
seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri
dari istana dan menjadi bhiksuni. Rajapatni
menunjuk anak perempuannya Tribhuwana
Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336,
Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai
Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang menunjukkan rencananya
untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah kemaharajaan. Selama
kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan
terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai
kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya,Hayam Wuruk.
Kejayaan Majapahit
Bidadari Majapahit yang anggun, arca cetakanemasapsara (bidadari surgawi) gaya khas Majapahit
menggambarkan dengan sempurna zaman kerajaan Majapahit sebagai "zaman
keemasan" nusantara.
Terakota wajah yang
dipercaya sebagai potret Gajah Mada.
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari
tahun 1350 hingga 1389.
Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada
(1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah.
Menurut Kakawin
Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan
Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara,Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina[16]. Sumber ini menunjukkan batas
terluas sekaligus puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.
Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa
daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan
terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang
mungkin berupa monopoli oleh raja[17]. Majapahit juga memiliki hubungan
dengan Campa, Kamboja,Siam, Birma bagian
selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.[17][2]
Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga
menempuh jalan diplomasi dan menjalin persekutuan. Kemungkinan karena didorong
alasan politik, Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Citraresmi (Pitaloka),
putri Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya.[18] Pihak Sunda menganggap lamaran
ini sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda beserta
keluarga dan pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri untuk
dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini sebagai
peluang untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit. Pertarungan
antara keluarga kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan Bubat tidak
terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan perlawanan, keluarga kerajaan
Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir seluruh rombongan keluarga
kerajaan Sunda dapat dibinasakan secara kejam.[19] Tradisi menyebutkan bahwa sang
putri yang kecewa, dengan hati remuk redam melakukan "bela pati", bunuh diri untuk membela kehormatan
negaranya.[20] Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam
naskah Kidung Sunda yang
disusun pada zaman kemudian di Bali dan juga naskah Carita Parahiyangan.
Kisah ini disinggung dalamPararaton tetapi
sama sekali tidak disebutkan dalam Nagarakretagama.
Kakawin
Nagarakretagama yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya keraton yang adiluhung, anggun, dan
canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta sistem
ritual keagamaan yang rumit. Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai
pusat mandala raksasa
yang membentang dari Sumatera ke Papua,
mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih
mencatat kisah legenda mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan
langsung oleh kerajaan Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali,
di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti
berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka. Akan tetapi segala
pemberontakan atau tantangan bagi ketuanan Majapahit atas daerah itu dapat
mengundang reaksi keras.[21]
Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada,
Majapahit melancarkan serangan laut untuk menumpas pemberontakan di Palembang.[2]
Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai
pulau dan kadang-kadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit
nampaknya adalah mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan perdagangan di
kepulauan Nusantara. Pada saat inilah pedagang muslim dan penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan
ini.
]Jatuhnya Majapahit
Pasukan Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit
berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389,
Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris
Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya
sendiri, pangeran Wikramawardhana.
Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas
takhta.[5] Perang saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada
tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya
dimenangi Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung.
Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah
taklukannya di seberang.
Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi
laut Dinasti Ming yang
dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang
jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu 1405
sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan
komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa,
seperti di Semarang, Demak, Tuban,
dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan
di pantai utara Jawa.[22]
Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh
putrinya, Ratu Suhita, yang memerintah pada tahun 1426 sampai
1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana dari seorang selir yang juga putri
kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah
hingga tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar
Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD.
Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta
pada 1456. Ia kemudian wafat pada 1466 dan digantikan oleh
Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi memberontak terhadap
Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit.[8].
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad
ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat
bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam,
yaitu Kesultanan Malaka,
mulai muncul di bagian barat Nusantara[23]. Di bagian barat kemaharajaan yang
mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan
abad ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya
ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di
daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan
Majapahit.
Sebuah tampilan model kapal Majapahit diMuseum Negara
Malaysia, Kuala Lumpur,Malaysia.
Singhawikramawardhana memindahkan ibu kota kerajaan lebih jauh ke
pedalaman di Daha(bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus memerintah disana
hingga digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478
Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dan mempersatukan kembali Majapahit menjadi
satu kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1519 dengan
gelar Girindrawardhana. Meskipun demikian kekuatan Majapahit telah melemah
akibat konflik dinasti ini dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan-kerajaan
Islam di pantai utara Jawa.
Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu
tahun 1478 (tahun 1400 saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim
pergantian dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan[24]) hingga tahun 1527.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna
ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit
dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka,
atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna
hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian yang sebenarnya digambarkan oleh
candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana[25].
Menurut prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah
mengalahkan Kertabhumi [25] dan memindahkan ibu kota ke
Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Daha dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah
keturunan Kertabhumi. Peperangan ini dimenangi Demak pada tahun 1527.[26] Sejumlah besar abdi istana,
seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali.
Pengungsian ini kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari
Demak akibat selama ini mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.
Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527,
kekuatan kerajaan Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan
Majapahit[27]. Demak dibawah pemerintahan Raden
(kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan
Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah
karena ia adalah putra raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China.
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi
perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M[25].
Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi
kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan
Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal
kerajaan Blambangan di
ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang
beribukota di Pajajaran di bagian
barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu
ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung
masyarakat Hindu Tengger hingga
kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru.
Referensi
3.
^ Prapantja, Rakawi, trans. by Theodore Gauthier Pigeaud,Java
in the 14th Century, A Study in Cultural History: The Negara-Kertagama by
Pakawi Parakanca of Majapahit, 1365 AD (The Hague, Martinus Nijhoff,
1962), vol. 4, p. 29. 34; G.J. Resink, Indonesia’s History
Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory (The
Hague: W. van Hoeve, 1968), hal. 21.
4.
^ Taylor, Jean Gelman (22 Desember 2003). Indonesia:
Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press.
hlm. pp.29. ISBN 0-300-10518-5.
6.
^ Terjemahan Lengkap Naskah Kakawin Nagarakretagama,
dari blog World History Note, historynote.wordpress.com
7.
^ Johns, A.H. (1964). "The Role of Structural Organisation and Myth in
Javanese Historiography". The Journal of Asian Studies 24 (1):
91–99.
8.
^ a b c d M.C. Ricklefs, Sejarah
Indonesia Modern 1200-2004, Edisi ke-3. Diterjemahkan oleh S. Wahono dkk.
Jakarta: Serambi, 2005, hal. 55.
9.
^ C. C. Berg. Het rijk van de vijfvoudige Buddha(Verhandelingen
der Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen, Afd. Letterkunde, vol.
69, no. 1) Ansterdam: N.V. Noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij, 1962;
cited in M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1300,
2nd ed. Stanford: Stanford University Press, 1993, pages 18 and 311
10. ^ a b Setiono, Benny. "Kehancuran dan Kebangkitan Martabat/ Jati Diri Etnis Tionghoa Di Indonesia (bagian 1)". Diakses pada 15 desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar