Rabu, 26 Desember 2012

Bendungan Waringin




Bendungan Waringin Sapta
Kerajaan Mataram Kuno merupakan salah satu kerajaan Hindu yang ada di Jawa pada abad ke-8, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kerajaan Mataram Kuno ini bermula sejak pemerintahan Raja Sanjaya yang mempunyai gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Kerajaan Mataram Kuno diperintahnya hingga  732M. Pada abad ke-8 yaitu awal berdirinya kerajaan Mataram Kuno, kerajaan ini berpusat di Jawa Tengah. Kemudian pada abad ke-10 pusat kerajaan Mataram Kuno ini pindah ke Jawa Timur. Dan kerajaan ini mempunyai dua latar belakang keagamaan yang berbeda, yaitu agama Hindu dan Buddha.
Kerajaan Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah terdiri dari dua wangsa (keluarga), yaitu wangsa Sanjaya, dan Sailendra. Pendiri dari wangsa Sanjaya ini sendiri adalah Raja Sanjaya, yang menggantikan Raja sebelumnya yaitu Raja Sanna. Hingga pada akhirnya ketika Raja Sanjaya wafat, kekuasaan kerajaan Mataram Kuno dipegang oleh Dapunta Sailendra, yakni pendiri wangsa Sailendra. Banyak terjadi konflik pada masa kekuasaan Dapunta Sailendra. Hingga akhirnya pada masa Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu berkuasa, terjadi perebutan kekuasaan di antara para pangeran kerajaan Mataram Kuno. Ketika Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa berkuasa, kerajaan ini berakhir dengan tiba-tiba. Diduga kehancuran kerajaan ini akibat bencana alam karena letusan Gunung Merapi, Magelang, Jawa Tengah.
Kerajaan Mataram di Jawa Timur pada abad ke-10, setelah terjadinya bencana alam yang dianggap sebagai peristiwa pralaya, maka sesuai dengan landasan kosmologis harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Mpu Sindok, yakni cucu dari Sri Maharaja Daksa, membangun kembali kerajaan ini di Watugaluh, yaitu wilayah antara Gunung Semeru dan Gunung Wilis, Jawa timur. Kerajaan yang didirikan Mpu Sindok ini tetap bernama Mataram. Dengan demikian Mpu Sindok dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Airlangga mulai memulai ekspedisi-ekspedisinya di Jawa pada tahun 1028-1029 M dengan maksud menaklukkan kembali kerajaannya yang terbagi antara beberapa pesaing. Dimulai dengan penyerangan Bhismaprabhawa, yakni seorang putra raja.
 Airlangga dalam prasati Pucangan merupakan menantu dari Darmawangsa Teguh. Berarti dia bukanlah keturunan Mpu Sendok pendiri Dinasti Isana secara langsung. Hal itu yang membuat raja-raja bawahan Darmawangsa Teguh yang dulu tidak patuh lagi pada maharaja. Maka sebagian besar masa pemerintahan Airlangga dipenuhi dengan peperangan menaklukan raja-raja bawahan. Dalam prasasti pucangan dijelaskan bahwa Airlangga menaklukan beberapa penyerangan yaitu:
1.    Menyerang ke Wuratan dan mengalahkan raja Wisnu Prrabhawa (pada bulan Phalguna tahun 951 Saka/15 Februari 1030 M).
2.    Mengalahkan Haji Wengker yang bernama Panuda dan menaklukan kerajaannya pada tahun 953 Saka/1031 M, tapi Haji Wengker dapat melarikan diri dan melakukan pemberontakan pada tahun 957 M. Pemberontakan itu dapat di atasi dan Tahun 959 Saka Haji Wengker dapat ditangkap di Kapang.
3.    Menaklukan raja Hasin pada tahun 952 Saka (28 April 1030 M) hal ini tertuang dalam prasasti Pucangan.
4.    Pada tahun 954 Saka (1032 M) Darmawangsa Airlangga menyerang raja Wurawari dan akhirnya raja Wurawari dapat dikalahkan. Dengan dikalahkannya raja Wurawari maka lenyaplah perusuh diseluruh tanah Jawa.

Pada tahun 1029, Airlangga berhasil mengalahkan Raja Wishnupraba dari Waratan. Lalu pada tahun 1030 ia juga menaklukan Raja Bhismaprabhawa dari Wengker. Akhirnya pada tahun 1032-1033, Airlangga berhasil membalas kematian mertuanya dengan mengalahkan Raja Wurawari. Dengan demikian Airlangga berhasil mempersatukan kerajaan warisan Dharmawangsa yang terpecah belah dan sejak itu ia mulai membangun negerinya. Airlangga mengangkat Narottama sebagai penasehat dan pembantu kerajaan dan diberi gelar Rakryan Kanuruhan. Ibu kota Medang Kamulan lalu dipindahkan ke Kahuripan. Airlangga juga memperhatikan kehidupan rakyat agar makmur dan sejahtera. Usahanya antara lain, membuat bendungan sungai Brantas di Waringin Sapta. Peristiwa tersebut ditandai dengan pembuatan Prasasti Kamalagyan. Bendungan ini dibuat karena sungai Brantas sering meluap sehingga banyak desa-desa di hilir yang kebanjiran. Hal itu membuat rakyat menderita dan membawa kerugian yang tidak sedikit. Jika banjir terjadi, sawah dan kebun rusak sehingga hasil panen amat berkurang, akibatnya pajak yang masuk ke kas kerajaan pun menipis.

Dengan pembuatan bendungan di Waringin Sapta, aliran Sungai Brantas dapat dikendalikan. Hal itu bukan hanya membuat irigasi menjadi lebih baik, melainkan lalu lintas di sungai Brantas pun menjadi lebih ramai. Banyak pedagang dari luar daerah yang dapat berlayar ke arah pedalaman dan sampai di tempat berlabuh yang bernama Hujung Galuh. Raja Airlangga membebaskan rakyat sekitar bendungan dari pajak, tetapi sebagai gantinya mereka harus menjaga bendungan itu. Untuk membangun negara yang kuat, rakyat harus sejahtera. Untuk itu aliri sawah, jaga rakyat dari bencana air maupun lumpur. Airlangga mewujudkannya dan mewariskan kepada kita sebagai kearifan memimpin negara. Setelah bendungan selesai dibuat aliran sungai dipecah menjadi 3 arah utara. Selain itu raja juga membangun pertapaan atau tempat suci di gunung Pugawat di daerah Ngimbang dan merupakan desa Turun Hyang sebagai Sima. Pada masa Airlangga ada seorang pujangga yang berhasil mengubah kitab Mahabrata menjadi Arjunawiwaha. Pujangga itu bernama Mpu Kanwa (Tahun 939 Saka).
Banjir dalam prasasti Kamalagyan disebutkan terjadi berkali-kali. Maksudnya adalah banjir tersebut terjadi setiap tahun atau setiap musim hujan. Didalam prasasti tertulis bahwa banjir tersebut memusnahkan tempat suci dan wilayah desa termasuk juga sawah. Dalam artian bahwa banjir tersebut benar-benar besar, hingga kemungkinan merusak lahan pertanian Jawa Kuna. Disebutkan pula sejumlah yang mengalam banjir yaitu Kala, Kalagyan, ThaniJhumput, Wihara Cala, kamulan, dan prapatan. Sumber banjir itu adalah meluapnya Sungai (Bengawan). Sungai Brantas merupakan salah satu sungai di Jawa Timur yang sistem setiap tahun menimbulkan ancaman bagi para petani karena selalu meluap pada musim hujan.
Melihat dari prasasti tersebut, prasasti Kamalagyan dikeluarkan oleh Raja Airlangga pada saat pembangunan Bendungan, yang dibangun untuk menanggulangi banjir. Dalam hal ini bendungan yang dibangun adalah bendungan di daerah Waringin Sapta aliran cabang dari sungai bengawan atau sungai Brantas. Pembangunan bendungan dilakukan unuk menanggulangi banjir yang sering terjadi dan menghancurkan tanggul yang telah ada, sehingga banyak sawah yang rusak dan sungai tidak dapat dilewati perahu para pedagang. Faktor penyebab banjir di wilayah Waringin Sapta disamping hujan yang cukup deras, juga karena peran sungai terhadap material gunung berapi. Material gunung berapi yang keluar akibat letusan gunung berapi yang ada disekitar aliran sungai Brantas, (misalnya gunung Wilis, gunung Welirang, Gunung Kelud, dan gunung Anjasmoro) yang terendap oleh media sungai Brantas.
Dari prasasti kamalagyan juga dapat diketahui, bahwa banjir di Waringin Sapta telah sering ditanggulangi dengan pembuatan bendungan oleh masyarakat sekitar. Namun tidak juga berhasil diatasi, bendungan yang dibuat ikut hancur diterjang banjir. Melihat permasalahan yang tidak juga selesai dan sangat merugikan, maka Raja Airlangga berkenan turun tangan menangani bencana tersebut. Penanganan yang dilakukan oleh Raja Airlangga adalah pembuatan bendungan untuk memperbaiki tanggul yang selalu rusak. Pada intinya prasasti Kamalagyan dikeluarkan oleh Raja Airlangga untuk memperingati pembangunan bendungan di Waringin Sapta. Pembangunan bendungan dilakukan untuk menanggulangi banjir yang setiap tahun datang dan merusak tangguk yang telah ada, serta banyak merusak sawah, bangunan suci serta mengacaukan perdagangan.
Pembangunan bendungan ini dapat disimpulkan  bahwa pada masa Jawa Kuna sudah dikenal sistem pengelolaan air. Usaha-usaha untuk mengelola air, tampaknya menjadi pusat perhatian dari penguasa-penguasa kerajaan. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya beberapa prasasti yang menyebutkan tentang pengelolaan air. Dan dapat diketahui strategi penanggulangan banjir pada masa Jawa Kuna abad V sampai abad XI Masehi. Adapun strategi yang digunakan untuk menanggulangi banjir adalah sebagai berikut:
1.    Pembuatan aliran sungai yang dialirkan ke laut. Air yang melimpah dapat mengalir kelaut sehingga terhindar dari bahaya banjir.
2.    Pembuatan bendungan. Air sungai yang meluap dapat tertahan oleh bendungan sehingga air tidak menggenangi sawah maupun pemukiman penduduk. Air sungai tersebut kemudian dialirkan ke sawah-sawah melalui jaringan irigasi.

Dalam masa Airlangga peperangan demi peperangan dijalaninya untuk membangun sebuah kerajaan. Satu persatu kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dapat ditaklukannya. Namun pada tahun 1032 Airlangga kehilangan kota Watan Mas karena diserang oleh raja wanita yang kuat bagai raksasa yang pada akhirnya juga dapat ditaklukannya. Airlangga kemudian membangun ibu kota baru bernama Kahuripan di daerah Sidoarjo sekarang ini. Musuh wanita dapat dikalahkan, bahkan kemudian Raja Wurawari pun dapat dihancurkan pula. Saat itu wilayah kerajaan mencakup hampir sekuruh wilayah Jawa Timur. Nama Kahuripan inilah yang kemudian lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang lazim dipimpin Airlangga, sama halnya nama Singhasari yang sebenarnya Cuma nama ibu kota, lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin Kertanagara. Pusat kerajaan Airlangga kemudian dipindah lagi ke Daha, berdasarkan prasasti Pamwatan, 1042 dan Serat Calon Arang.
Pada akhir pemerintahannya, Airlangga berhadapan dengan masalah persaingan perebutan takhta antara kedua putranya. Calon rja yang sebenarnya, yaitu Sanggramawijaya Tunggadewi, memilih menjadi pertapa dari pada naik takhta. Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu begian barat bernama Kadiri beribu kota Daha, diserahkan kepada Sri Samawijaya, serta bagian timur bernama Janggala beribu kota di Kahuripan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan. Setelah turun takhta, Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal sekitar tahun 1049.
Referensi
Web:

Buku:
1.      Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha
Pengarang: George Coedes
Seri terjemahan arkeologi no.10
Penerbit: KPG KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA

2.      Airlangga Biorafi Raja Pembaru Jawa Abad XI
Pengarang: Ninie Susanti
Penerbit: Komunitas Bambu

3.      Sejarah Nasional Indonesia II (6 Seri), Edisi Pemuktahiran
Pengarang: Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto
Penerbit: PT. Balai Pustaka



Okke Dwi Putri (4423125298)
 D3 Usaha Jasa Parwisata
Fakultas Ilmu Sosial
2012



2 komentar: