Senin, 24 Desember 2012

Sejarah Indonesia Romusha


R O M U S H A
SEJARAH INDONESIA



Nama               :           Putri Ayu Fitriyani
No. Reg           :           4423126876



F a k u l t a s    I l m u   S o s  i a l
D 3   P a r i w i s a t a
2 0 1 2

Romusha merupakan panggilan untuk orang-orang yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di Indonesia. Romusha ini berlangsung selama 3 tahun, dari than 1942 – 1945. Jumlah korban yang menjadi romusha sekitar 4 – 10 juta orang, diantaranya petani, para perempuan, dan tokoh-tokoh pergerakan. Tujuan Jepang yaitu ingin mengambil remh-rempah milik Indonesia.

Sejarah
Awal mula terbentuknya romusha, ketika Jepang pertama kali datang ke Indonesia disambut dengan gembira, karena Jepang telah membantu Indonesia dalam mengusir Belanda. Tetapi, setelah Jepang tiba di Hindia Belanda, Jepang berubah menjadi lebih licik dan bengis. Mereka tidak tanggung-tanggung mengambil semua sumber-sumber kekayaan alam yang ada di Indonesia. Hal ini dilakukan oleh Jepang untuk membiayai perang Jepang dengan Sekutu di Asia Timur dan Pasifik. Karena kependudukan Jepang itu sangat luas, maka Jepang membutuhkan tenaga kerja lebih banyak lagi untuk membangun kubu pertahanan, lapangan udara darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan jembatan. Maka Jepang mengambil para tenaga kerja dari penduduk Jawa, dan mereka disuruh kerja paksa oleh Jepang.
Dalam menjalankan romusha ini, Jepang merekruitmen calon-calon romusha, dari pola tingkatannya, serta alokasi tenaga kerja paksa ini. Jepang pun berhasil memanipulasi keberadaan romusha ini sampai ke dunia Internasional, dengan cara menyamarkan keberadaan romusha dengan mengganti istilah romusha menjadi pekerja ekonomi yang artinya pahlawan pekerja.
Pada pertengahan tahun 1943 Jepang mengikuti Perang Pasifik, tetapi pada perang tersebut Jepang mengalami kekalahan. Sehingga, para romusha pun semakin dieksploitasi oleh Jepang. Para romusha ini dipaksa untuk mendukung perang secara langsung. Jepang sangat membutuhkan tenaga kerja paksa disetiap angkatannya. Oleh karena itu, permintaan terhadap romusha semakin banyak dan tidak terkendali.
Pada awalnya tugas-tugas yang dilakukan bersifat sukarela dan pengerahan tenaga tidak sulit dilakukan, karena mereka masih terpengaruh oleh propaganda “untuk kemakmuran bersama Asia Timur Raya”. Pada bulan September 1944 ada 500 orang romusha sukarela, terdiri dari pegawai tinggi dan menengah serta golongan terpelajar dan anggota yang sudah berumur 60 tahun yang dipimpin oleh Ir. Soekarno . mereka berangkat dari kantor besar Jawa Hokokai ke Stasiun Tanah Abang, Jakarta dengan berjalan kaki dan diiringi orkes suling Maluku. Kemudian pada tanggal 17 Oktober 1944, Otto Iskandar Dinata pun mengikuti Soekarno dengan jumlah pengikut 625 orang.
Kebutuhan di Asia Tenggara lama-kelamaan terus meningkat, sehingga tenaga yang awalnya bersifat sukarela berubah menjadi paksaan. Kemudian pada tahun itu juga, pemerintah Tentara Ke- 16 membentuk suatu badan khusus yang disebut Romukyoku yang artinya Kantor Urusan Pekerja. Badan khusus ini dibuat sebagai tempat pendaftaran para pekerja. Romukyoku membuat peraturan untuk orang atau badan yang membutuhkan tenaga romusha lebih dari 30 orang wajib mengajukan permohonan ke kepala daerah setempat. Orang atau badan tersebut harus memiliki perusahaan atau pabrik yang bermanfaat untuk kepentingan perang. Sebelumnya mereka harus mengisi formulir yang menyangkut nama tempat romusha yang dipekerjakan, jumlah yang diperlukan, dan waktu yang dibutuhkan. Pemerintah daerah pun harus memberikan laporan bulanan juga kepada pihak Romukyoku. Para romusha merasa berat dipekerjakan seperti itu, apalagi jika pihak Jepang yang memerlukan mereka. Para romusha atau calon yang akan dipekerjakan ditakut-takuti dengan ancaman, jika mereka menolak untuk dipekerjakan mereka akan dikirim ke tempat-tempat di luar daerah atau bukan daerah para romusha tinggal.
Romusha dipekerjaan pada proyek-proyek dengan tugas-tugas yang berbeda, antara lain seperti pembuatan jalan, jembatan, barak-barak militer, dan perbentengan di sekitar tempat mereka tinggal. Pembuatan tugas itu berlangsung selama tiga bulan, dan waktu tiga bulan itu merupakan masa kerja para romusha. Selain itu, bukan hanya dipekerjakan di Indonesia saja, mereka dikirim ke luar Indonesia seperti Birma, Maung Thai, Vietnam, dan Malaya. Menurut laporan dari pihak Inggris dan Belanda, para romusha hanya seperempat dari 50.000 orang yang berhasil kembali ke Indonesia, sisanya meninggal dunia di tempat mereka bekerja.
Para romusha diperlakukan tidak sesuai dengan usul anggota Chuo Sangi In. Mereka dipekerjakan sangat buruk. Dari pagi buta sampai petang mereka dipaksa bekerja kasar tanpa makan dan perawatan cukup. Kondisi fisik mereka lemah bahkan hamper tidak punya sisa kekuatan. Bahkan jika mereka beristirahat walaupun hanya sebentar saja, mereka akan dimaki-maki dan juga dipukul oleh pengawas dari Jepang. Mereka diberi kesempatan beristirahat hanya pada malam hari saja, tetapi mereka tidak sempat memasak air minum. Banyak para romusha yang terserang malaria, hal ini dikarenakan mereka buang air disembarang tempat dan membuat terjangkitnya wabah disenteri. Banyak romusha yang meninggal, karena antara bekerja dengan asumsi makanan tidak seimbang. Akan tetapi Jepang tetap saja ingin usahanya berjalan lancar. Maka Jepang melancarkan kembali kampanye propagandanya, para romusha mendapat julukan sebagai “prajurit ekonomi” atau “pahlawan pekerja” yang artinya orang-orang yang sedang menjalankan ibadah suci atau bekerja untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya.
Akibatnya, banyak pemuda-pemuda yang menghilang dari desanya, mereka pergi ke kota untuk menghindari pengerahan tenaga romusha. Maka, hampir semua laki-laki yang tidak cacat diambil untuk dijadikan romusha. Jadi yang tinggal hanya para perempuan, anak-anak dan lelaki yang kurang sehat saja. Di desa pun mengalami pengaruh dari institusi lain, yaitu terbentuknya tonarigumi (rukun tetangga) dengan maksud untuk meningkatkan pengerahan maupun pengawasan terhadap penduduk. Tujuannya agar penduduk berusaha meningkatkan produksi hasil buminya dan menyerahkannya untuk negeri.

Perbedaan Romusha dan Rodi

Romusha
Rodi
1.      Diberlakukan oleh Jepang
2.      System kerja paksa pembuatan pembangunan secara umum
3.      Dimulai pada tahun 1944
4.      Kurang lebih 70.000 korban jiwa dan 300.000 dalam keadaan menyedihkan
5.      Sebagian besar para wanita dijadikan Jugun Ianfu atau wanita penghibur tentara Jepang
6.      Adanya jalan-jalan, lapangan terbang, dan jembatan yang dapat digunakan rakyat Indonesia di kemudian hari
7.      Langsung diberlakukan oleh Jepang dan kesengsaraan rakyat benar-benar diketahui oleh Jepang tanpa memperdulikan nasib rakyat Indonesia
8.      Romusha diberlakukan untuk memenuhi kebutuhan secara umum rakyat Jepang
1.      Diberlakukan oleh Belanda
2.      System tanam paksa, pemungutan pajak dari rakyat Indonesia dalam bentuk hasil-hasil pertanian
3.      Dimulai tahun1034 – 1874
4.      Kurang lebih 216.000 korban jiwa
5.      Sebagian besar para wanita diwajibkan menanami lahannya
6.      Dikenalnya sejenis tanaman baru seperti kopi dan indigo, adanya seluruh iragosi, para petani dan dapat menggunakan fasilitas yang dibangun kemudian hari
7.      Awalnya kesengsaraan rakyat akibat tanam paksa tidak diketahui Belanda, tetapi lama-kelamaan Belanda tahu tindakan kewenang-wenangan pegawai pemerintah Belanda
8.      Bertujuan memperoleh pendapatan sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat untuk menutupi kas Negara dan membayar hutang negara


Jugun Ianfu

Jugun ianfu merupakan julukan untuk perempuan penghibur pada masa itu. Pemerintah Pendudukan Jepang mengerahkan perempuan untuk kepentingan pemuas nafsu. Jugun ianfu direkrut dari desa secara paksa dengan cara-cara kekesaran, tipu muslihat, dan ancaman, untuk memenuhi kebutuhan biologis Jepang baik di kalangan militer maupun sipil. Jugun ianfu diartikan sebagai “budak seks” dilakukan secara gelap atau tertutup. Melalui bantuan pejabat daerah dan tonarigumi, Pemerintah Militer Jepang mengumumkan tentang jugun ianfu. Mereka memaksa para perempuan untuk bersedia ikut dalam program pengerahan tenaga kerja. Mereka merayu para perempuan dengan iming-iming akan diberikan pekerjaan yang layak. Selain itu, Jepang mendekati keluarga perempuan yang diincarnya. Serta tidak segan Jepang mengancam para perempuan yang tidak mau ikut untuk dijadikan tenaga kerja. Tetapi Jepang bukan memberikan pekerjaan yang layak, para perempuan dijadikan jugun ianfu atau perempuan penghibur.
Kaum perempuan yang menjadi jugun ianfu kebanyakan dari mereka berpendidikan rendah, dan bahkan tidak berpendidikan dan buta huruf. Selain itu, mereka berada dalam kesuliatan ekonomi. Itulah yang membuat para perempuan percaya begitu saja ketika ada tawaran pekerjaan yang cukup menjanjian untuk mereka yang tidak membutuhkan keahlian khusus. Jugun ianfu direkrutmen melalui jalur hiburan. Oleh karena itu, para seniman terlibat dalam hal itu. Selain itu, para dokter dan para pejabat pun ikut berpartisipasi dalam usaha pencarian dan pengumpulan perempuan yang akan dijadikan jugun ianfu.
Para jugun ianfu kebanyakan berasal dari keluarga baik-baik. Ada yang masih gadis, di bawah umur, dan ada juga yang sudah bersuami dan memiliki anak. Tetapi ancaman pihak militer Jepang membuat mereka takut untuk menolak atau melarikan diri. Di setiap wilayah komando militer dibangunnya tempat-tempat untuk para jugun ianfu. Tujuannya untuk mencegah terjadinya pemerkosaan oleh tentara Jepang, menjaga moral tentara Jepang, serta mencegah penyakit kelamin yang akan melemahkan kekuatan militernya. Para jugun ianfu dimasukkan ke rumah-rumah bordil Jepang yang disebut Ian-jo yang dijaga ketat oleh tentara Jepang. Setiap perempuan di Ian-jo mendapat kamar dengan nomor kamar, dan nama mereka diganti dengan nama Jepang yang ditulis di pintu kamar.
Sebelum menjalani tugas sebagai jugun ianfu, para perempuan di Ian-jo menjalani pemeriksaan kesehatan yang merendahkan martabatnya. Para jugun ianfu ditelanjangi dan diperiksa dengan paksa apakah mereka sudah terserang penyakit atau masih sehat. Di Ian-jo mereka para jugun ianfu mengalami pemerkosaan. Siksaan berupa tamparan, pukulan, dan tendangan dilakukan oleh tentara Jepang saat sadar maupun mabuk. Para jugun ianfu hanya pasrah menjalani penderitaan hidup karena mereka tidak punya pilihan lain. Mereka tidak mungkin bisa melarikan diri karena jarak perjalanan pulang sangat jauh, mereka buta tentang pengetahuang peta, dan mereka tidak punya uang untuk berpergian. Pengerahan perempuan berkebangsaan Indonesia maupun Belanda yang dipaksa menjadi jugun ianfu telah mengalami penderitaan lahir batin. Hal ini merupakan salah satu bukti kekejaman Jepang yang memaksa kaum perempuan memenuhi kepentingannya yaitu kepentingan nafsu seksnya.


Peninggalan-peninggalan Jepang di Indonesia

Bung Karno telah memberikan arti positif maupun negatif terhadap pemberlakuan standar romusha ketika Belanda dan Jepang waktu itu ingin berkuasa dan mengambil seluruh asset-asset penting bangsa ini. Tanam paksa sebuah istilah yang selalu tergiang ditelinga rakyat Indonesia, dimana seluruh tenaga dikerahkan untuk pengabdian dan bentuk menyembah kepada colonial tersebut. Mereka pun yang bekerja seharian penuh bahkan sehari semalam tanpa diberikan makan sedikitpun. Alangkah kekejaman terhadap nilai-nilai kemanusiaan telah menjadi urat nadi dari pemimpin bangsa ini, bahkan berusaha mewariskan peran karakter inlandernya dalam mendidik rakyat. Terbukti hal negatif yang dilakukan oleh Bung Karno ketika Belanda meminta rakyat Indonesia bekerja tanpa di gaji yang kemudian Bung Karno memberikan ijin dan menerima usulan belanda. Akibatnya keputusan Bung Karno itu, rakyat bekerja tanpa ada imbalan sedikitpun, kelaparan, kemiskinan bahkan meninggal dunia akibat tidak masuk bahan makanan dan rakyat hanya dituntut bekerja. Namun dengan rasa ketersiksaan itu, rakyat yang melakukan tanam paksa ini (romusha) telah berhasil mendirikan banyak bangunan bersejarah, rel kereta api yang sampai sekarang dinikmati, akses jalan distribusi lintas pertukaran ekonomi di pulau Jawa maupun Sumatera. Atas partisipasi dalam system tanam paksa ini rakyat telah memberikan arti bagi negara dan bisa dikatakan bahwa hasil mereka sebagai denyut urat nadi perkembangan perekonomian negara.
Dengan demikian, atas jasa mereka tentu kita harus memberikan apresiasi yang sangat tinggi bahwa “Romusha Itu Pahlawaan Negara” yang tidak bisa kita abaikan begitu saja. Negara harus mencari data dan fakta dimasa itu agar memudahkan identifikasi persoalan. Karena romusha itu bukanlah hal yang negatif dalam pandangan penulis, akan tetapi sangat positif bagi negara ketika rakyat yang terlibat dalam agenda romusha (tanam paksa) itu bekerja dengan rasa nasionalisme tinggi demi kemerdekaan bangsa Indonesia. Ketika negara melupakan sejarah, maka disaat yang sama negara juga melupakan jati dirinya. Ketika rakyat tidak berusaha mengenang jasa para pahlawan romusha itu, maka selama itu pula rakyat melanggar kedaulatannya sendiri. Mereka rela bekerja tanpa dibayar dengan apapun demi kepentingan kemerdekaan bangsa Indonesia, walaupun Bung Karno waktu itu berusaha melakukan negosiasi politik untuk memudahkan jalannya deklarasi.
Selain itu, Jepang juga meninggalkan goa-goa yang dijadikannya untuk tempat pertahanan, persembunyiaan, perlindungan, dan juga tempat penyimpanan senjata semasa Perang Dunia ke II. Berikut beberapa goa peninggalan Jepang di Indonesia:

1.      Goa Jepang di Biak – Papua
2.      Goa Jepang di Manado – Sulawesi Utara 
3.      Goa Jepang di Kawangkoan – Sulawesi Utara
4.      Goa Jepang di Kupang – Nusa Tenggara Timur
5.      Goa Jepang di Bali
6.      Goa Jepang Bandealit – Jawa Timur
7.      Goa Jepang di Kaliurang, Sleman – Daerah Istimewa Yogyakarta
8.      Goa Jepang di Bandung – Jawa Barat
9.      Goa Jepang di Garut – Jawa Barat
10.  Goa Jepang di Pangandaran – Jawa Barat
11.  Goa Jepang di Bukittinggi – Sumatera Barat



REFERENSI

Poesponegoro, Marwati Djoened, 2008. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Notosusanto, Nugroho, 2009. Sejarah Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Hendrajit, dkk., 2011. Japanese Militarism And Its War War Crimes in Asia Pacific Region. Jakarta: Global Future Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar