Setiap tanggal 20 Mei, Indonesia
selalu memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Kalau kita lihat ke belakang,
tanggal itu adalah tanggal berdirinya organisasi Boedi Oetomo yang di dirikan oleh pelajar-pelajar School tot Opleiding van
Inlandsche Artsen (STOVIA). Soetomo dan Wahidin Soedirohoesodo adalah seorang
dokter dari Yogyakarta berkeinginan untuk meningkatkan martabat bangsa di Jawa.
Mereka berkampanye dengan kalangan priyayi untuk membentuk suatu “Daba Pelajar”
bagi bumi putera. Usaha ini tidak sesuai
yang diharapkan. Mereka hanya mendapatkan dukungan dari para pelajar STOVIA di
Weltevreden, yaitu Soetomo dan teman-temannya yang peduli terhadap nasib rakyat
bumi putra yang dibebain kehidupan akibat tekanan-tekanan penjajah.
Sekolah Pendidikan Dokter Hindia,
atau yang juga dikenal dengan singkatannya STOVIA, adalah sekolah untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia pada zaman
kolonial Hindia-Belanda. Saat ini sekolah ini telah menjadi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Gedung STOVIA yang sekarang
di kenal dengan nama Museum KEBANGKITAN NASIONAL. Menurut informasi Sejarahnya
Gedung Kabangkitan Nasional (Eks STOVIA) di bangun oleh Pemerintah Hindia
Belanda sejak tahun 1899 dan baru selesai tahun 1901. Kemudian pada sekitar
bulan Maret 1902 gedung ini diresmikan pengunaannya sebagai gedung STOVIA oleh
Pemerintah Hindia Belanda saat itu. STOVIA adalah Sekolah Kedokteran bagi para
Bumi Putera / orang – orang Pribumi yang berasal dari berbagai daerah di seluruh
Indonesia. Selama mereka mengikuti pendidikan, para pelajar STOVIA ini di
wajibkan untuk tinggal di dalam lingkungan Asrama sampai mereka menyelesaikan
pendidikannya. Lamanya masa pendidikan di bagi menjadi dua tahapan:
1). Pendidikan
Masa Persiapan selama 2 – 3 tahun
2). Pendidikan
Masa Pembelajaran Praktek Ilmu Kedokteran 5 – 6 tahun.
Pelajar yang
dapat di terima sekolah ini adalah siswa lulusan Europeesche Lagere School (ELS)
atau yang sederajat.
Dalam perkembangannya sekolah ini mengalami perubahan-perubahan seperti
syarat-syarat penerimaan siswa, kurikulum, lamanya studi, maupun gelar yang
diperoleh. Berdasarkan kebijakan pada tahun 1903, yaitu diperkenankannya
seluruh anak-anak di wilayah Hindia Belanda untuk masuk ke sekolah ini, maka
nama sekolah itu kemudian dirubah menjadi School tot Opleiding van Inlandsche
Artsen (Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra) yang disingkat STOVIA.
Disaat pemerintah membutuhkan tenaga
kesehatan semakin meningkat, pemerintah membantu kegiatan ini dengan bersungguh-sungguh.
Pada awalnya Pemerintah Hindia Belanda yang berusaha menarik minat para pemuda dari
keluarga baik-baik untuk meningkatkan pendidikannya dengan cara memberi
iming-iming sejumlah beasiswa dan perumahan gratis. Sebagai imbalannya, mereka
harus bersedia masuk dalam dinas pemerintah, antara lain sebagai “mantri
cacar”. Karena tradisi priyayi memandang rndah pekerjaan seperti dokter dan
guru, maka hanya sedikit yang tertarik pada sekolah ini. Maka dari itu tahun 1891 pemerintah
mengumumkan setiap anak yang ingin mendapatkan pendidikan Dokter Jawa
diperbolehkan masuk sekolah dasar Eropa dengan gratis, dengan syarat harus dari
keluarga priyayi, cerdas, dan tidak lebig dari tujuh tahun. Mereka akan
diterima sebagai siswa ELS secara gratis dengan persetujuan diam-diam setelah
lulus dari sekolah itu akan menempuh ujian yang berat untuk masuk di Sekolah
Dokter Jawa. Hal ini ternyata lebih banyak menarik kalangan anak-anak priyayi
dari kalangan rendah dari pada dari kalangan priyayi tinggi. Karena jika mereka
berhasil mendapatkan gelar Dokter Jawa itu maka akan meningkatkan status sosial
mereka.
Sejak tahun 1864 semakin tingginya kebutuhan pemerintah
terhadap tenaga-tenaga yang berpendidikan dan mahir berbahasa Belanda, maka
sekolah ini juga terbuka untuk
murid-murid yang pintar, yang orang
tuanya tidak termasuk dalam golongan di atas. Sebenarnya pilihan menjadi Dokter Jawa pada
awal abad ke-20 merupakan suatu sikap yang bertentangan dengan perkembangan
zaman, yaitu suatu zaman yang selalu mengutamakan sebagai pegawai pangreh praja
yang akan menjadikan sebagai seorang priyayi yang berkuasa, disegani, dan
disembah-sembah. Meskipun sekolah kedokteran membebaskan para mahasiswanya dari
kewajiban membayar uang sekolah dan menerima gaji yang tinggi sesudah lulus, hal
yang menarik itu tidak menyebabkan
bertambah besarnya jumlah priyayi muda yang menuntut ilmu di sekolah Dokter ini.
Hal itu disebabkan karena seleksi penerimaan mahasiswa yang terlalu ketat serta
kewajiban belajar yang ekstra keras yang menjadi pengahalang bagi peminat dari
kalangan priyayi muda ini. Selain itu, sikap para priyayi pada waktu itu selalu
menganggap bahwa Sekolah Dokter Jawa atau STOVIA adalah sekolah untuk orang
miskin. Penilaian itu terjadi karena pemerintah menerapkan sistem beasiswa,
menggratiskan biaya pendidikan dan pemondokan bagi mahasiswa STOVIA. Oleh
karena itu, hanya orang tua yang kurang mampu yang berminat mengirimkan anaknya
ke sekolah tersebut. Para pelajar STOVIA yang kebanyakan berasal dari kota-kota
kecil mendapatkan dorongan intelektual
dari kota besar dan modern di lingkungan sekolahnya. Tempat yang paling disenangi oleh sebagian pelajar STOVIA adalah
perpustakaan milik Douwes Dekker, seorang Indo yang sangat mendukung politik
etis. Ia tinggal di dekat STOVIA. Bagi sebagian pelajar STOVIA keberadaan
Douwes Dekker memiliki arti penting. Ia adalah seorang intelektual yang
rumahnya selalu terbuka sebagai tempat pertemuan, memiliki ruang baca, dan
perpustakaan. Di perpustakaan itu tersedia banyak buku bacaan dan terbuka bagi
pelajar bumiputra. Douwes Dekker juga yang membuat pelajar-pelajar STOVIA
seperti Tjipto Mangoenkoesoemo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Surjopranoto, serta
Tjokrodirdjo, mulai belajar mencurahkan dan menuangkan ide-ide mereka dalam
surat kabar. Hal ini terjadi karena pelajar-pelajar tersebut dipilih oleh
Douwes Dekker sebagai pembantu redaksi Bataviaasch Nieuwesblad, sebuah surat
kabar berbahasa Belanda yang dipimpinnya. Alasan yang menyebabkan ia memilih
para pelajar itu adalah kemampuan berbahasa Belanda dan ketrampilan menuangkan ide yang bagus, serta keseriusan
mereka dalam penglihatan kondisi sosial di lingkungan sekitarnya. Kemampuan
yang mereka miliki itu sangat diperlukan untuk memperpanjang kesuksesan sebuah surat kabar yang selalu memberikan
berita-berita aktual.
Pada tahun 1905 dan tahun-tahun
sebelumnya, dunia priyayi terutama yang berasal dari kalangan pejabat
pemerintah pribumi sangat dihormati oleh rakyat. Terdapat pemisah yang tegas antara
priyayi dan bukan priyayi. Perbedaan itu
selalu terlihat jelas dan suasana penghormatan itu semakin terlihat. Goenawan
menginginkan adanya perubahan keadaan adat istiadat dan tata cara dalam bermasyarakat.
Menurutnya adat yang dibuat oleh manusia itu dapat dirubah oleh manusia juga. Akan
tetapi, semua itu diserahkannya kepada kaum priyayi agar dapat memberikan
contoh dalam membuang adat yang menyusahkan itu.
Anak bangsa telah bangkit, ia mulai
berani mengeluarkan isi hati yang awalnya di simpan rapat-rapat, sebuah sikap
pengendalian diri dari budaya khas Jawa. Anak bangsa telah memiliki
kepribadian, telah mempunyai sikap, dan dapat menilai serta menyuarakan dengan
jujur sesuai dengan hati nuraninya. Kondisi masyarakat yang seperti itulah yang
selalu menjadi pembicaraan para pelajar
STOVIA. Mereka sering membicarakan berita-berita yang dimuat dalam koran de
Locomotief, Bataviaasch Nieuwesblad, Java Bode, Pemberita Betawi, dan majalah Jong Indie.
Semangat itu semakin terlihat terlebih
lagi setelah diketahui adanya berita yang menyatakan bahwa Revolusi Turki yang
terjadi pada permulaan tahun 1908 yang digerakkan oleh The Young Turks dapat
menggoyahkan feodalisme Turki. Kejadian-kejadian ini besar sekali pengaruhnya
bagi kalangan pelajar bumiputra, suatu kelompok kecil lapisan baru dalam
masyarakat bumiputra. Pergulatan-pergulatan pemikirann mengenai nasib rakyat
yang selalu tertindas itu sering dilakukan oleh para pelajar STOVIA pada malam
hari setelah kegiatan belajar mereka selesai. Berita-berita dari luar negri di atas termasuk menjadi bahan pembicaraan.
Pemikiran para pemuda yang
menginginkan perubahan semakin terlihat setelah kedatangan Dokter Wahidin
Soedirohoesodo pada akhir tahun 1907 yang berkampanye keinginannya kepada para
priyayi Jawa yang kaya agar diadakan dana belajar untuk membantu para pelajar
yang tidak dapat melanjutkan studinya. Ia berpendapat bahwa masyarakat bawah perlu diberi pengajaran yang sebaik-baiknya,
karena perluasan pengajaran akan dapat menumbuhkan kesadaran kebangsaan.
Gagasan Dokter Jawa itu telah membuka pikiran dan hati para pelajar STOVIA,
serta mendatangkan cita-cita baru. Gagasan yang telah direncanakan itu kemudian diterapkan dengan membentuk suatu persatuan orang-orang yang
berkebudayaan sama, yaitu orang Jawa, Sunda, dan Madura, tanpa memandang
kedudukan, kekayaan, atau intelektualitas
sebagai salah satu syarat sebagai anggota, untuk dididik agar terjadi
keharmonisan antara negara dan rakyat. Persatuan itu diharapkan dapat
memberikan sesuatu untuk Pulau Jawa dan Madura sebagai suatu
kesatuan geografi dan kultural. Para pelajar itu berpendapat bahwa sebuah
persatuan harus dapat berusaha memecahkan setiap masalah yang dihadapinya.
Akhirnya tanggal 20 Mei 1908 ditetapkan sebagai lahirnya organisasi baru yang dinamakan
Boedi Oetomo, dengan tujuan untuk memperjuangkan nasib rakyat agar mempunyai
kehidupan yang pantas.
Para pelajar STOVIA adalah anak zaman kolonialisme yang hidup pada awal abad
ke-20. Pendidikan Barat
bagi mereka untuk membentuk kontak-kontak yang kuat dengan dunia Barat.
Terlebih lagi dengan kesukaan membaca,
hubungan-hubungan sosial dengan tokoh-tokoh penting sezaman, maupun dengan
teman-teman seangkatan, serta akibat
dari kondisi kolonialisme pada saat
itu menyebabkan kehidupan mereka dapat digunakan
untuk mencari proses
perkembangan pemahaman mereka terhadap nasionalisme. Dua tokoh
penting yang mempengaruhi sebagian pelajar STOVIA itu, yaitu Douwes Dekker, dan
dr. Wahidin Soedirohoesodo.
Dengan demikian, keberadaan STOVIA sangat berperan
penting dalam perkembangan nasionalisme di Indonesia. Disamping kemampuan
individu para pelajar STOVIA, pendidikan yang menanamkan disiplin tinggi bagi
para pelajarnya mampu
menyatukan pelajarnya dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Selain itu,
keberadaannya di pusat kota menjadikan sekolah ini tempat
persemaian nasionalisme yang bagus bagi para pelajarnya. Beberapa tokoh
pergerakan nasional alumni STOVIA antara lain adalah dr. Wahidin
Soedirohoesodo, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dr. Goenawan Mangoenkoesoemo, dan
dr. Soetomo.
Pada antara tahun 1942 – 1945 oleh
Penjajah Jepang gedung ini pun sempat di fungsikan sebagai tempat Penampungan
bagi Tentara Belanda sebagai Tawanan Perang. Gedung Eks STOVIA ini menyimpan
berbagai Kenangan bernilai Sejarah penting sebagai Perintis Jalan Perjuangan
bagi Kemerdekaan dalam bentuk wadah Organisasi Pergerakan Modern. Di karenakan
di tempat ini pulalah, khususnya di bagian Ruang ANATOMI yang merupakan tempat
Belajar sekaligus Berdiskusinya para Pemuda Pelajar STOVIA hingga tercapailah
kesepakatan untuk mendirikan Organisasi Pergerakan Modern pertama di Indonesia
dengan nama: “BOEDI OETOMO” Perkumpulan BOEDI OETOMO yang di dirikan pada
tanggal 20 Mei 1908 oleh para pelajar STOVIA yang di ketuai oleh : Dr. Sutomo
dengan dukungan Dr. Wahidin Sudiro Husodo dan M. Suradji itu, kemudian memicu
timbulnya atau berdirinya berbagai Organisasi Politik Modern di Indonesia yang
berusaha memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia. Di antaranya adalah: Indische
Vereeniging, Sarekat Dagang Islam, Indische Partij, Muhamadyah, Trikoro Dharmo
(Jong Java) , Jong Ambon, Jong Minahasa dsb.
Berdirinya Perkumpulan BUDI UTOMO
pada tanggal 20 Mei 1908 sebagai Organisasi Modern Pertama inilah yang kemudian
di tetapkan sebagai Momentum Kebangkitan Nasional Indonesia. Dan oleh sebab itu
tempat yang di mana Perkumpulan BUDI UTOMO itu dirikan kini di jadikan sebagai
Museum dengan nama: MUSEUM KEBANGKITAN NASIONAL yang lengkap dengan berbagai
koleksi benda – benda bersejarah berupa Foto – foto masa lalu Gedung serta
aktifitas para Pelajar STOVIA, Replika, Lukisan Perjuangan, Diorama Perjuangan
Para Tokoh Pemuda Pergerakan, Patung – Patung, Senjata – senjata dsb. Yang
berkaitan erat dengan era masa – masa Perjuangan Bangsa. Bagi yang berminat
mengunjungginya Museum ini buka setiap harinya mulai Hari Selasa – Kamis pukul
08.30 – 15.00 Wib. Jumat 08.30 – 11.30 Wib. Sabtu – Minggu pukul 08.30 – 14.00
Wib. Dengan Harga Tiket yang relatif terjangkau bagi khalayak Umum, Pelajar dan
Mahasiswa Museum ini dapat di jadikan sebagai sarana Wisata Sejarah sekaligus
Pengembangan Wawasan Kebangsaan serta Penumbuh Semangat Cinta Tanah Air”
REFERENSI
http://www.iftfishing.com/city/featured/wisata/sejarah/museum-kebangkitan-nasional
Goenawan
Mangoenkoesoemo, “De Geboorte van Boedi Oetomo”, Soembangsih, Gedenkboek Boedi Oetomo, 1908-20 Mei
1918, Tijdschrift Nederland Indie Oud & Niew, Amsterdam, 1918
A. de Waart, Tujuh Puluh Lima Tahun Pendidikan Kedokteran
di Weltevreden 1851- 1926, Terjemahan: Bintari Rukmono, dkk., (Jakarta:
Perpustakaan Nasional RI, 1995).
Akira
Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme
Indonesia, Seri Terjemahan KITLV-LIPI, Cetakan
I, (Jakarta: PT Temprint, 1989)
Nisia Tiara Yunita
4423126873
D3 USAHA JASA PARIWISATA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar