Rabu, 26 Desember 2012

STOVIA - Nisia Tiara



        Setiap tanggal 20 Mei, Indonesia selalu memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Kalau kita lihat ke belakang, tanggal itu adalah tanggal berdirinya organisasi Boedi Oetomo yang di dirikan  oleh pelajar-pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Soetomo dan Wahidin Soedirohoesodo adalah seorang dokter dari Yogyakarta berkeinginan untuk meningkatkan martabat bangsa di Jawa. Mereka berkampanye dengan kalangan priyayi untuk membentuk suatu “Daba Pelajar” bagi bumi putera. Usaha ini  tidak sesuai yang diharapkan. Mereka hanya mendapatkan dukungan dari para pelajar STOVIA di Weltevreden, yaitu Soetomo dan teman-temannya yang peduli terhadap nasib rakyat bumi putra yang dibebain kehidupan akibat tekanan-tekanan penjajah.
            Sekolah Pendidikan Dokter Hindia, atau yang juga dikenal dengan singkatannya STOVIA, adalah  sekolah untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia pada zaman kolonial Hindia-Belanda. Saat ini sekolah ini telah menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Gedung STOVIA yang sekarang di kenal dengan nama Museum KEBANGKITAN NASIONAL. Menurut informasi Sejarahnya Gedung Kabangkitan Nasional (Eks STOVIA) di bangun oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1899 dan baru selesai tahun 1901. Kemudian pada sekitar bulan Maret 1902 gedung ini diresmikan pengunaannya sebagai gedung STOVIA oleh Pemerintah Hindia Belanda saat itu. STOVIA adalah Sekolah Kedokteran bagi para Bumi Putera / orang – orang Pribumi yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Selama mereka mengikuti pendidikan, para pelajar STOVIA ini di wajibkan untuk tinggal di dalam lingkungan Asrama sampai mereka menyelesaikan pendidikannya. Lamanya masa pendidikan di bagi menjadi dua tahapan:
1). Pendidikan Masa Persiapan selama 2 – 3 tahun
2). Pendidikan Masa Pembelajaran Praktek Ilmu Kedokteran  5 – 6 tahun.
Pelajar yang dapat di terima sekolah ini adalah siswa lulusan Europeesche Lagere School (ELS) atau yang sederajat.
            Dalam perkembangannya sekolah  ini mengalami perubahan-perubahan seperti syarat-syarat penerimaan siswa, kurikulum, lamanya studi, maupun gelar yang diperoleh. Berdasarkan kebijakan pada tahun 1903, yaitu diperkenankannya seluruh anak-anak di wilayah Hindia Belanda untuk masuk ke sekolah ini, maka nama sekolah itu kemudian dirubah menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra) yang disingkat STOVIA.
            Disaat pemerintah membutuhkan tenaga kesehatan semakin meningkat, pemerintah membantu kegiatan ini dengan bersungguh-sungguh. Pada awalnya Pemerintah Hindia Belanda  yang berusaha menarik minat para pemuda dari keluarga baik-baik untuk meningkatkan pendidikannya dengan cara memberi iming-iming sejumlah beasiswa dan perumahan gratis. Sebagai imbalannya, mereka harus bersedia masuk dalam dinas pemerintah, antara lain sebagai “mantri cacar”. Karena tradisi priyayi memandang rndah pekerjaan seperti dokter dan guru, maka hanya sedikit yang tertarik pada sekolah ini.  Maka dari itu tahun 1891 pemerintah mengumumkan setiap anak yang ingin mendapatkan pendidikan Dokter Jawa diperbolehkan masuk sekolah dasar Eropa dengan gratis, dengan syarat harus dari keluarga priyayi, cerdas, dan tidak lebig dari tujuh tahun. Mereka akan diterima sebagai siswa ELS secara gratis dengan persetujuan diam-diam setelah lulus dari sekolah itu akan menempuh ujian yang berat untuk masuk di Sekolah Dokter Jawa. Hal ini ternyata lebih banyak menarik kalangan anak-anak priyayi dari kalangan rendah dari pada dari kalangan priyayi tinggi. Karena jika mereka berhasil mendapatkan gelar Dokter Jawa itu maka akan meningkatkan status sosial mereka.
            Sejak tahun 1864  semakin tingginya kebutuhan pemerintah terhadap tenaga-tenaga yang berpendidikan dan mahir berbahasa Belanda, maka sekolah  ini juga terbuka untuk murid-murid yang  pintar, yang orang tuanya tidak termasuk dalam golongan di atas.  Sebenarnya pilihan menjadi Dokter Jawa pada awal abad ke-20 merupakan suatu sikap yang bertentangan dengan perkembangan zaman, yaitu suatu zaman yang selalu mengutamakan sebagai pegawai pangreh praja yang akan menjadikan sebagai seorang priyayi yang berkuasa, disegani, dan disembah-sembah. Meskipun sekolah kedokteran membebaskan para mahasiswanya dari kewajiban membayar uang sekolah dan menerima gaji yang tinggi sesudah lulus, hal  yang menarik itu tidak menyebabkan bertambah besarnya jumlah priyayi muda yang menuntut ilmu di sekolah Dokter ini. Hal itu disebabkan karena seleksi penerimaan mahasiswa yang terlalu ketat serta kewajiban belajar yang ekstra keras yang menjadi pengahalang bagi peminat dari kalangan priyayi muda ini. Selain itu, sikap para priyayi pada waktu itu selalu menganggap bahwa Sekolah Dokter Jawa atau STOVIA adalah sekolah untuk orang miskin. Penilaian itu terjadi karena pemerintah menerapkan sistem beasiswa, menggratiskan biaya pendidikan dan pemondokan bagi mahasiswa STOVIA. Oleh karena itu, hanya orang tua yang kurang mampu yang berminat mengirimkan anaknya ke sekolah tersebut. Para pelajar STOVIA yang kebanyakan berasal dari kota-kota kecil  mendapatkan dorongan intelektual dari kota besar dan modern di lingkungan sekolahnya. Tempat yang paling disenangi oleh sebagian pelajar STOVIA adalah perpustakaan milik Douwes Dekker, seorang Indo yang sangat mendukung politik etis. Ia tinggal di dekat STOVIA. Bagi sebagian pelajar STOVIA keberadaan Douwes Dekker memiliki arti penting. Ia adalah seorang intelektual yang rumahnya selalu terbuka sebagai tempat pertemuan, memiliki ruang baca, dan perpustakaan. Di perpustakaan itu tersedia banyak buku bacaan dan terbuka bagi pelajar bumiputra. Douwes Dekker juga yang membuat pelajar-pelajar STOVIA seperti Tjipto Mangoenkoesoemo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Surjopranoto, serta Tjokrodirdjo, mulai belajar mencurahkan dan menuangkan ide-ide mereka dalam surat kabar. Hal ini terjadi karena pelajar-pelajar tersebut dipilih oleh Douwes Dekker sebagai pembantu redaksi Bataviaasch Nieuwesblad, sebuah surat kabar berbahasa Belanda yang dipimpinnya. Alasan yang menyebabkan ia memilih para pelajar itu adalah kemampuan berbahasa Belanda dan ketrampilan  menuangkan ide yang bagus, serta keseriusan mereka dalam penglihatan kondisi sosial di lingkungan sekitarnya. Kemampuan yang mereka miliki itu sangat diperlukan untuk memperpanjang  kesuksesan sebuah surat kabar yang selalu memberikan berita-berita aktual.
            Pada tahun 1905 dan tahun-tahun sebelumnya, dunia priyayi terutama yang berasal dari kalangan pejabat pemerintah pribumi sangat dihormati oleh rakyat. Terdapat pemisah yang tegas antara  priyayi dan bukan priyayi. Perbedaan itu selalu terlihat jelas dan suasana penghormatan itu semakin terlihat. Goenawan menginginkan adanya perubahan keadaan adat istiadat dan tata cara dalam bermasyarakat. Menurutnya adat yang dibuat oleh manusia itu dapat dirubah oleh manusia juga. Akan tetapi, semua itu diserahkannya kepada kaum priyayi agar dapat memberikan contoh dalam membuang adat yang menyusahkan itu.
            Anak bangsa telah bangkit, ia mulai berani mengeluarkan isi hati yang awalnya di simpan rapat-rapat, sebuah sikap pengendalian diri dari budaya khas Jawa. Anak bangsa telah memiliki kepribadian, telah mempunyai sikap, dan dapat menilai serta menyuarakan dengan jujur sesuai dengan hati nuraninya. Kondisi masyarakat yang seperti itulah yang selalu menjadi pembicaraan  para pelajar STOVIA. Mereka sering membicarakan berita-berita yang dimuat dalam koran de Locomotief, Bataviaasch Nieuwesblad, Java Bode, Pemberita Betawi,   dan majalah Jong Indie.
            Semangat itu semakin terlihat terlebih lagi setelah diketahui adanya berita yang menyatakan bahwa Revolusi Turki yang terjadi pada permulaan tahun 1908 yang digerakkan oleh The Young Turks dapat menggoyahkan feodalisme Turki. Kejadian-kejadian ini besar sekali pengaruhnya bagi kalangan pelajar bumiputra, suatu kelompok kecil lapisan baru dalam masyarakat bumiputra. Pergulatan-pergulatan pemikirann mengenai nasib rakyat yang selalu tertindas itu sering dilakukan oleh para pelajar STOVIA pada malam hari setelah kegiatan belajar mereka selesai. Berita-berita dari luar negri  di atas termasuk menjadi bahan pembicaraan.  
            Pemikiran para pemuda yang menginginkan perubahan semakin terlihat setelah kedatangan Dokter Wahidin Soedirohoesodo pada akhir tahun 1907 yang berkampanye keinginannya kepada para priyayi Jawa yang kaya agar diadakan dana belajar untuk membantu para pelajar yang tidak dapat melanjutkan studinya.  Ia berpendapat bahwa masyarakat bawah  perlu diberi pengajaran yang sebaik-baiknya, karena perluasan pengajaran akan dapat menumbuhkan kesadaran kebangsaan. Gagasan Dokter Jawa itu telah membuka pikiran dan hati para pelajar STOVIA, serta mendatangkan cita-cita baru. Gagasan yang telah direncanakan  itu kemudian diterapkan dengan  membentuk suatu persatuan orang-orang yang berkebudayaan sama, yaitu orang Jawa, Sunda, dan Madura, tanpa memandang kedudukan, kekayaan, atau  intelektualitas sebagai salah satu syarat sebagai anggota, untuk dididik agar terjadi keharmonisan  antara negara dan  rakyat. Persatuan itu diharapkan dapat memberikan  sesuatu  untuk Pulau Jawa dan Madura sebagai suatu kesatuan geografi dan kultural. Para pelajar itu berpendapat bahwa sebuah persatuan harus dapat berusaha memecahkan setiap masalah yang dihadapinya. Akhirnya tanggal 20 Mei 1908 ditetapkan sebagai lahirnya organisasi baru yang dinamakan Boedi Oetomo, dengan tujuan untuk memperjuangkan nasib rakyat agar mempunyai kehidupan yang pantas.
            Para pelajar STOVIA adalah anak  zaman kolonialisme yang hidup pada awal abad ke-20. Pendidikan Barat bagi mereka untuk membentuk kontak-kontak yang kuat dengan dunia Barat. Terlebih lagi dengan  kesukaan membaca, hubungan-hubungan sosial dengan tokoh-tokoh penting sezaman, maupun dengan teman-teman seangkatan, serta akibat dari kondisi kolonialisme pada saat itu menyebabkan kehidupan mereka dapat digunakan untuk mencari proses perkembangan  pemahaman mereka terhadap nasionalisme. Dua tokoh penting yang mempengaruhi sebagian pelajar STOVIA itu, yaitu Douwes Dekker, dan dr. Wahidin Soedirohoesodo.
            Dengan demikian, keberadaan STOVIA sangat berperan penting dalam perkembangan nasionalisme di Indonesia. Disamping kemampuan individu para pelajar STOVIA, pendidikan yang menanamkan disiplin tinggi bagi para pelajarnya mampu menyatukan pelajarnya dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Selain itu, keberadaannya di pusat kota menjadikan sekolah  ini tempat persemaian nasionalisme yang bagus bagi para pelajarnya. Beberapa tokoh pergerakan nasional alumni STOVIA antara lain adalah dr. Wahidin Soedirohoesodo, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dr. Goenawan Mangoenkoesoemo, dan dr. Soetomo.
            Pada antara tahun 1942 – 1945 oleh Penjajah Jepang gedung ini pun sempat di fungsikan sebagai tempat Penampungan bagi Tentara Belanda sebagai Tawanan Perang. Gedung Eks STOVIA ini menyimpan berbagai Kenangan bernilai Sejarah penting sebagai Perintis Jalan Perjuangan bagi Kemerdekaan dalam bentuk wadah Organisasi Pergerakan Modern. Di karenakan di tempat ini pulalah, khususnya di bagian Ruang ANATOMI yang merupakan tempat Belajar sekaligus Berdiskusinya para Pemuda Pelajar STOVIA hingga tercapailah kesepakatan untuk mendirikan Organisasi Pergerakan Modern pertama di Indonesia dengan nama: “BOEDI OETOMO” Perkumpulan BOEDI OETOMO yang di dirikan pada tanggal 20 Mei 1908 oleh para pelajar STOVIA yang di ketuai oleh : Dr. Sutomo dengan dukungan Dr. Wahidin Sudiro Husodo dan M. Suradji itu, kemudian memicu timbulnya atau berdirinya berbagai Organisasi Politik Modern di Indonesia yang berusaha memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia. Di antaranya adalah: Indische Vereeniging, Sarekat Dagang Islam, Indische Partij, Muhamadyah, Trikoro Dharmo (Jong Java) , Jong Ambon, Jong Minahasa dsb.
            Berdirinya Perkumpulan BUDI UTOMO pada tanggal 20 Mei 1908 sebagai Organisasi Modern Pertama inilah yang kemudian di tetapkan sebagai Momentum Kebangkitan Nasional Indonesia. Dan oleh sebab itu tempat yang di mana Perkumpulan BUDI UTOMO itu dirikan kini di jadikan sebagai Museum dengan nama: MUSEUM KEBANGKITAN NASIONAL yang lengkap dengan berbagai koleksi benda – benda bersejarah berupa Foto – foto masa lalu Gedung serta aktifitas para Pelajar STOVIA, Replika, Lukisan Perjuangan, Diorama Perjuangan Para Tokoh Pemuda Pergerakan, Patung – Patung, Senjata – senjata dsb. Yang berkaitan erat dengan era masa – masa Perjuangan Bangsa. Bagi yang berminat mengunjungginya Museum ini buka setiap harinya mulai Hari Selasa – Kamis pukul 08.30 – 15.00 Wib. Jumat 08.30 – 11.30 Wib. Sabtu – Minggu pukul 08.30 – 14.00 Wib. Dengan Harga Tiket yang relatif terjangkau bagi khalayak Umum, Pelajar dan Mahasiswa Museum ini dapat di jadikan sebagai sarana Wisata Sejarah sekaligus Pengembangan Wawasan Kebangsaan serta Penumbuh Semangat Cinta Tanah Air”



REFERENSI





http://www.iftfishing.com/city/featured/wisata/sejarah/museum-kebangkitan-nasional

Goenawan Mangoenkoesoemo, “De Geboorte van Boedi Oetomo”, Soembangsih,         Gedenkboek Boedi Oetomo, 1908-20 Mei 1918, Tijdschrift Nederland Indie Oud & Niew, Amsterdam, 1918

A. de Waart, Tujuh Puluh Lima Tahun Pendidikan Kedokteran di Weltevreden 1851-       1926, Terjemahan: Bintari Rukmono, dkk., (Jakarta: Perpustakaan Nasional RI,  1995).

Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Seri Terjemahan KITLV-LIPI,       Cetakan I, (Jakarta: PT Temprint, 1989)



Nisia Tiara Yunita
4423126873
D3 USAHA JASA PARIWISATA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar