BAB I
Bank Indonesia (De Javasche Bank) adalah bank sentral Republik
Indonesia. Sebagai bank sentral, BI mempunyai satu tujuan tunggal,
yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini
mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan
jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.
Untuk mencapai tujuan tersebut BI didukung
oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini
adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga
kelancaran sistem
pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia. Ketiganya perlu
diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan
efisien.
BI juga menjadi satu-satunya lembaga yang
memiliki hak untuk mengedarkan uang di Indonesia. Dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya BI dipimpin oleh Dewan Gubernur. Untuk
periode 2008-2013, Darmin Nasution menjabat
posisi sebagai Gubernur
BI menggantikan Boediono
yang menjadi Wakil
Presiden.
·
Sejarah Bank Indonesia
Bank Indonesia (BI) sebagai
bank sentral merupakan lembaga yang sangat vital dalam kehidupan perekonomian
nasional karena kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh BI akan memiliki dampak
yang langsung dirasakan oleh masyarakat. BI, yang didirikan pada tanggal 1 Juli
1953, telah lebih dari setengah abad melayani kepentingan bangsa. Namun, masih
banyak masyarakat yang tidak mengenal BI, apalagi memahami kebijakan-kebijakan
yang pernah diambilnya, sehingga seringkali terjadi salah persepsi masyarakat
terhadap BI. Masyarakat sering memberikan penilaian negatif terhadap BI karena
tidak cukup tersedianya data atau informasi yang lengkap dan akurat yang dapat
diakses dan dipahami dengan mudah oleh masyarakat.
Usia setengah abad lebih ini
akan semakin panjang lagi apabila diperhitungkan juga peran dari pendahulunya,
yaitu De Javasche Bank (DJB) yang didirikan pada tahun 1828 atau 177 tahun yang
lalu. Sementara itu, gedung BI Kota yang dulu dibangun dan digunakan oleh DJB,
kemudian dilanjutkan pemakaiannya oleh BI dan saat ini praktis kosong tidak
digunakan lagi, merupakan gedung yang mempunyai nilai sejarah tinggi yang
terancam kerusakan apabila tidak dimanfaatkan dan dilestarikan. Pemerintah
telah menetapkan bangunan tersebut sebagai bangunan cagar budaya. Di samping
itu, BI juga memiliki benda-benda dan dokumen-dokumen bersejarah yang perlu
dirawat dan diolah untuk dapat memberikan informasi yang sangat berguna bagi
masyarakat.
Dilandasi oleh keinginan untuk
dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai peran BI dalam
perjalanan sejarah bangsa, termasuk memberikan pemahaman tentang latar belakang
serta dampak dari kebijakan-kebijakan BI yang diambil dari waktu ke waktu
secara objektif, Dewan Gubernur BI telah memutuskan untuk membangun Museum Bank
Indonesia dengan memanfaatkan gedung BI Kota yang perlu dilestarikan.
Pelestarian gedung BI Kota tersebut sejalan dengan kebijakan Pemerintah Daerah
Khusus Ibukota Jakarta yang telah mencanangkan daerah Kota sebagai daerah
pengembangan kota lama Jakarta. Bahkan, BI diharapkan menjadi pelopor dari
pemugaran/revitalisasi gedung-gedung bersejarah di daerah Kota.
Hal inilah yang antara lain
menjadi pertimbangan munculnya gagasan akan pentingnya keberadaan Museum Bank
Indonesia, yang diharapkan menjadi suatu lembaga tempat mengumpulkan,
menyimpan, merawat, mengamankan, dan memanfaatkan aneka benda yang berkaitan
dengan perjalanan panjang BI. Saat ini memang telah ada beberapa museum yang
keberadaannya mempunyai kaitan dengan sejarah BI, namun museum-museum tersebut
masih belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Selain itu, gagasan
untuk mewujudkan Museum Bank Indonesia juga diilhami oleh adanya beberapa
museum bank sentral di negara lain, sebagai sebuah lembaga yang menyertai
keberadaan bank sentral itu sendiri.
·
peresmian
Museum Bank Indonesia
Museum Bank Indonesia
adalah sebuah museum di Jakarta, Indonesia yang terletak di
Jl. Pintu Besar Utara No.3, Jakarta Barat (depan stasiun Beos Kota), dengan
menempati area bekas gedung Bank Indonesia Kota yang merupakan cagar budaya
peninggalan De Javasche Bank yang beraliran neo-klasikal, dipadu dengan
pengaruh lokal, dan dibangun pertama kali pada tahun 1828.
Museum ini menyajikan
informasi peran Bank Indonesia dalam perjalanan sejarah bangsa yang dimulai
sejak sebelum kedatangan bangsa barat di Nusantara hingga terbentuknya Bank
Indonesia pada tahun 1953 dan kebijakan-kebijakan Bank Indonesia, meliputi pula
latar belakang dan dampak kebijakan Bank Indonesia bagi masyarakat sampai
dengan tahun 2005. Penyajiannya dikemas sedemikian rupa dengan memanfaatkan
teknologi modern dan multi media, seperti display elektronik, panel statik,
televisi plasma, dan diorama sehingga menciptakan kenyamanan pengunjung dalam
menikmati Museum Bank Indonesia. Selain itu terdapat pula fakta dan koleksi
benda bersejarah pada masa sebelum terbentuknya Bank Indonesia, seperti pada
masa kerajaan-kerajaan Nusantara, antara lain berupa koleksi uang numismatik
yang ditampilkan juga secara menarik.
Peresmian Museum Bank
Indonesia dilakukan melalui dua tahap, yaitu peresmian tahap I dan mulai dibuka
untuk masyarakat (soft opening) pada tanggal 15 Desember 2006 oleh Gubernur
Bank Indonesia saat itu, Burhanuddin
Abdullah, dan peresmian tahap II (grand opening) oleh Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono, pada tanggal 21 Juli 2009
BAB II
ISI
Gubernur
Jendral Van Imhoff memutuskan pendirian Bataviasche Bank van Leening
berdasarkan resolusi 20 agustus 1745. Bank
ininsulit berkembang karena pengurusnya tak paham perdagangan dan kegiatannya
disaingi oleh penjabat VOC.
Gubernur
Jendral berikutnya, Mossel, mendirikan Bank Courant pada 1 september 1752 dan
menggabungkannya dengan Bank van leening sehingga menjadi Bank Courant en Bank
Van Leening. Cikal bakal perbankan nasional ini menerbitkan sertifikat deposito
yang diminati orang.
Pada
1746-1809 bank ini berlokasi di Tijgersgracht timur, tepat di samping timur
taman Fatahillah.
Jauh
sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah menjadi pusat perdagangan
internasional. Sementara di daratan Eropa muncul lembaga perbankan sederhana,
seperti Bank van Leening di negeri Belanda. Sistem perbankan ini kemudian
dibawa oleh bangsa barat yang mengekspansi nusantara pada waktu yang sama. VOC
di Jawa pada 1746 mendirikan De Bank van Leening yang kemudian menjadi De Bank
Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank itu adalah bank pertama yang lahir
di nusantara, cikal bakal dari dunia perbankan pada masa selanjutnya. Pada 24
Januari 1828, pemerintah Hindia Belanda mendirikan bank sirkulasi dengan nama
De Javasche Bank (DJB). Selama berpuluh-puluh tahun bank tersebut beroperasi
dan berkembang berdasarkan suatu oktroi dari penguasa Kerajaan Belanda, hingga
akhirnya diundangkan DJB Wet 1922.
Masa
pendudukan Jepang telah menghentikan kegiatan DJB dan perbankan Hindia Belanda
untuk sementara waktu. Kemudian masa revolusi tiba, Hindia Belanda mengalami
dualisme kekuasaan, antara Republik Indonesia (RI) dan Nederlandsche Indische
Civil Administrative (NICA). Perbankan pun terbagi dua, DJB dan bank-bank
Belanda di wilayah NICA sedangkan "Jajasan Poesat Bank Indonesia" dan
Bank Negara Indonesia di wilayah RI. Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949
mengakhiri konflik Indonesia dan Belanda, ditetapkan kemudian DJB sebagai bank
sentral bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini terus bertahan hingga
masa kembalinya RI dalam negara kesatuan. Berikutnya sebagai bangsa dan negara
yang berdaulat, RI menasionalisasi bank sentralnya. Maka sejak 1 Juli 1953
berubahlah DJB menjadi Bank Indonesia, bank sentral bagi Republik Indonesia.
Sebelum kedatangan bangsa barat,
nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan internasional. Pada saat
itu terdapat dua jalur perniagaan internasional yang digunakan oleh para
pedagang, jalur darat dan jalur laut. Pada masa itu telah terdapat dua kerajaan
utama di nusantara yang mempunyai andil besar dalam meramaikan perniagaan
internasional, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Dalam maraknya perniagaan
tersebut belum ada mata uang baku yang dijadikan nilai standar. Meskipun
masyarakat telah mengenal mata uang dalam bentuk sederhana. Sementara itu
pada abad ke-15 bangsa-bangsa Eropa sedang berupaya memperluas wilayah
penjelajahannya di berbagai belahan dunia, termasuk Asia dan Nusantara. sejak
jatuhnya Konstantinopel ke tangan kekuasaan Turki Usmani (1453), penjelajahan
tersebut dipelopori oleh Spanyol dan Portugis yang kemudian diikuti oleh
Belanda, Inggris, dan Perancis. Kegiatan penjelajahan tersebut telah mendorong
munculnya paham merkantilisme di Eropa pada abad ke 16–17.
Selanjutnya pada akhir abad
ke-18 revolusi industri telah berlangsung di Eropa. Kegiatan industri
berkembang dan hasil produksi meningkat sehingga mendorong kegiatan ekspor ke
wilayah Asia dan Amerika. Pesatnya perdagangan di Eropa memicu tumbuhnya
lembaga pemberi jasa keuangan yang merupakan cikal-bakal lembaga perbankan
modern, antara lain seperti Bank van Leening di Belanda. Kemudian secara
bertahap bank-bank tertentu di wilayah Eropa seperti Bank of England (1773),
Riskbank (1809), Bank of France (1800) berkembang menjadi bank sentral.
Munculnya Malaka sebagai
emporium perdagangan telah menarik perhatian bangsa Portugis yang akhirnya pada
1511 berhasil menguasai Malaka. Mereka terus bergerak ke arah timur menuju
sumber rempah-rempah di Maluku. Di sana Portugis menghadapi bangsa Spanyol yang
datang melalui Filipina. Beberapa saat kemudian bangsa Belanda juga berusaha
menguasai sumber-sumber komoditi perdagangan di Jawa dan Nusantara. Dengan
mengibarkan bendera VOC yaitu perusahaan induk penghimpun perusahaan-perusahaan
dagang Belanda, mereka mengukuhkan kekuasaanya di Batavia pada 1619. Untuk
memperlancar dan mempermudah aktivitas perdagangan VOC di Nusantara, pada 1746
didirikan De Bank van Leening dan kemudian berubah menjadi De Bank Courant en
Bank van Leening pada 1752. Bank van Leening merupakan bank pertama yang
beroperasi di Nusantara. Pada akhir abad ke-18, VOC telah mengalami kemunduran,
bahkan kebangkrutan. Maka kekuasaan VOC di nusantara diambil alih oleh
pemerintah Kerajaan Belanda. Setelah masa pemerintahan Herman William Daendels
dan Janssen, Hindia Timur akhirnya jatuh ke tangan Inggris.
Ratu Inggris mengutus Sir Thomas
Stamford Raffles untuk memerintah Hindia Timur. Tetapi pemerintahan Raffles
tidak bertahan lama, karena setelah usainya perang melawan Perancis (Napoleon)
di Eropa, Inggris dan Belanda membuat kesepakatan bahwa semua wilayah Hindia
Timur diserahkan kembali kepada Belanda. Sejak saat itu Hindia Timur disebut
sebagai Hindia Belanda (Nederland Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal
(1815–1819) yang terdiri dari Elout, Buyskes, dan van der Capellen. Pada
periode inilah berbagai perbaikan ekonomi mulai dilaksanakan di Hindia Belanda.
Hingga nantinya Du Bus menyiapkan beberapa kebijakan yang mempersiapkan
didirikannya De Javasche Bank pada 1828.
· Sejarah Uang Indonesia
Indonesia memiliki cerita tersendiri tentang
bagaimana uang sebagai alat tukar tercipta, mulai dari uang zaman penjajahan
belanda sampai sejarah uang sampai menjadi rupiah. Semuanya membutuhkan proses
yang begitu panjang.
Masa Awal KemerdekaanKeadaan ekonomi di Indonesia pada awal kemerdekaan ditandai dengan hiperinflasi akibat peredaran beberapa mata uang yang tidak terkendali, sementara Pemerintah RI belum memiliki mata uang. Ada tiga mata uang yang dinyatakan berlaku oleh pemerintah RI pada tanggal 1 Oktober 1945, yaitu mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda, dan mata uang De Javasche Bank.
Mata uang Hindia Belanda dan mata uang De Javasche bank
Diantara ketiga mata uang tersebut yang nilai
tukarnya mengalami penurunan tajam adalah mata uang Jepang. Peredarannya
mencapai empat milyar sehingga mata uang Jepang tersebut menjadi sumber
hiperinflasi. Lapisan masyarakat yang paling menderita adalah petani, karena
merekalah yang paling banyak menyimpan mata uang Jepang.
Mata uang
Jepang (Dai Nippon Teikoku Seihu)
Kekacauan ekonomi akibat
hiperinflasi diperparah oleh kebijakan Panglima AFNEI (Allied Forces
Netherlands East Indies) Letjen Sir Montagu Stopford yang pada 6 Maret 1946
mengumumkan pemberlakuan mata uang NICA di seluruh wilayah Indonesia yang telah
diduduki oleh pasukan AFNEI. Kebijakan ini diprotes keras oleh pemerintah RI,
karena melanggar persetujuan bahwa masing-masing pihak tidak boleh mengeluarkan
mata uang baru selama belum adanya penyelesaian politik. Namun protes keras ini
diabaikan oleh AFNEI. Mata uang NICA digunakan AFNEI untuk membiayai
operasi-operasi militernya di Indonesia dan sekaligus mengacaukan perekonomian
nasional, sehingga akan muncul krisis kepercayaan rakyat terhadap kemampuan
pemerintah RI dalam mengatasi persoalan ekonomi nasional.
Karena protesnya tidak
ditanggapi, maka pemerintah RI mengeluarkan kebijakan yang melarang seluruh
rakyat Indonesia menggunakan mata uang NICA sebagai alat tukar. Langkah ini
sangat penting karena peredaran mata uang NICA berada di luar kendali
pemerintah RI, sehingga menyulitkan perbaikan ekonomi nasional.
·
Mata Uang NICA
Oleh karena AFNEI tidak
mencabut pemberlakuan mata uang NICA, maka pada tanggal 26 Oktober 1946
pemerintah RI memberlakukan mata uang baru ORI (Oeang Republik Indonesia)
sebagai alat tukar yang sah di seluruh wilayah RI. Sejak saat itu mata uang
Jepang, mata uang Hindia Belanda dan mata uang De Javasche Bank dinyatakan
tidak berlaku lagi. Dengan demikian hanya ada dua mata uang yang berlaku yaitu
ORI dan NICA. Masing-masing mata uang hanya diakui oleh yang mengeluarkannya.
Jadi ORI hanya diakui oleh pemerintah RI dan mata uang NICA hanya diakui oleh
AFNEI. Rakyat ternyata lebih banyak memberikan dukungan kepada ORI. Hal ini
mempunyai dampak politik bahwa rakyat lebih berpihak kepada pemerintah RI dari
pada pemerintah sementara NICA yang hanya didukung AFNEI.Untuk mengatur nilai
tukar ORI dengan valuta asing yang ada di Indonesia, pemerintah RI pada tanggal
1 November 1946 mengubah Yayasan Pusat Bank pimpinan Margono Djojohadikusumo
menjadi Bank Negara Indonesia (BNI). Beberapa bulan sebelumnya pemerintah juga
telah mengubah bank pemerintah pendudukan Jepang Shomin Ginko
menjadi Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Tyokin Kyoku menjadi
Kantor Tabungan Pos (KTP) yang berubah nama pada Juni 1949 menjadi Bank
tabungan Pos dan akhirnya di tahun 1950 menjadi Bank Tabungan Negara (BTN).
Semua bank ini berfungsi sebagai bank umum yang dijalankan oleh pemerintah RI.
Fungsi utamanya adalah menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta pemberi
jasa di dalam lalu lintas pembayaran.
Jadwal
bukanya Museum Bank Indonesia dan alamat bertempatnya Bank Indonesia:
Waktu Kunjungan
|
Alamat
Museum
|
||
|
|
Sumber dari Web :
Sumber dari Buku :
Nama Pengarang :
Norbert Pieter Van Den Berg
Judul : De Bataviasche Bank
Courant En Bank Van Leening 1746 –1794 (1870)
Nama: Reneleginov
Usaha Jasa Pariwisata D3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar