Kamis, 10 Januari 2013

(UTS) GERILYA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN, 1945 - 1949



NAMA                       : SAHARA PUTRI N.
NO. REG                   : 4423126883
MATAKULIAH         : SEJARAH INDONESIA
USAHA JASA PARIWISATA
 



GERILYA MEMPERTAHANKAN
KEMERDEKAAN, 1945-1949



Diorama ke-37 yang terletak Monumen Nasional (MONAS) ini menceritakan tentang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan menggunakan peralatan perang sederhana,bergerilya bersama rakyat menghadapi musuh yang hendak menegakkan kembali kekuasaan Belanda. Untuk menegakkan kekuasaan Republik Indonesia didaerah yang dikuasi musuh disusun kantong-kantong gerilya yang dapat melaksanakan pertahanan secara berdiri sendiri dengan integrasi segenap kekuatan politik, ekonomi, sosial budaya dan militer.

Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dimulai sejak diproklamasikan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 sampai pengakuan kemerdekaan oleh Belanda pada 27 Desember 1949. Sekutu yang pernah kehilangan kekuasaan di daerah Indonesia berusaha merebut kembali kemerdekaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, rakyat bangsa Indonesia yang telah merdeka terpanggil untukmengorbankan jiwa dan raganya demi mempertahankan kedaulatan negara. Perang mempertahan kankemerdekaan tersebut tidak saja melibatkan tentara melainkan seluruh rakyat dan pemerintahan di berbagai daerah.
·          
KEMBALINYA BELANDA KE INDONESIA
Setelah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia langsung menghadapi dua kekuasaan asing. Pertama, tentara Jepang yang masih merasa berkuasa di Indonesia meskipun telah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Kedua, tentara Sekutu sebagai pihak yang menang setelah mengalahkan Jepang dalam Perang Dunia II.

Untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang di Indonesia, pasukan Sekutu kemudian membentuk AFNEI (Allied Forces Netherland Indies) yang terdiri dari pasukan Inggris dan Australia. AFNEI ditugaskan untuk :
1.      Menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang.
2.      Melucuti persenjataan tentara Jepang yang akan dipulangkan ke negaranya.
3.      Membebaskan para tawanan Jepang.
4.      Menciptakan suasana aman dan damai.
5.      Menghimpun keterangan untuk kemudian menetapkan penjahat perang.

Untuk melaksanakan tugas tersebut, Sekutu mengirim Letnan Jenderal Sir Philip Christison sebagai panglima AFNEI. PasukanSekutudan AFNEI mendarat di Jakarta padatanggal 29 September 1945. Kedatangan Sekutu semula disambut dengan sikap terbuka oleh pihak Indonesia. Namun setelah diketahui bahwa pasukan Sekutu dating bersama orang-orang NICA, sikap Indonesia berubah menjadi curiga dan kemudian kembali menjadi menentang.


Karena itulah Panglima Soedirman dan Jendral Oerip Soemohardjo menginstruksikan kepada tentara republik untuk mempertahankan kubu-kubu di sekitar kantong-kantong yang diduduki Belanda. Tentara republik yang dibantu oleh rakyat sekitar segera mempersiapkan kubu, rintangan jalan, dan jebakan tank.Situasi semakin memanas karena orang-orang NICA mempersenjatai bekas tentara KNIL yang baru dibebaskan daritahanan Jepang.

Orang-orang NICA dan KNIL di Jakarta, Surabaya, dan Bandung mulai memancing kerusuhan dengan cara melakukan provokasi. Di kota-kota yang didatangi pasukan Sekutu sering terjadi insiden. Tentu saja kedatangan NICA di Indonesia tidak bias diterima karena Indonesia sudah merdeka. Kedatangan NICA adalah sebuah ancaman bagi kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, timbul pertentangan antara pasukan Sekutu dan Belanda dengan rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih. Perjuangan rakyat Indonesia itu dilakukan baik dengan perjuangan bersenjata maupun perjuangan diplomasi.
·          
PERTEMPURAN AMBARAWA
Pertempuran di Ambarawa ini terjadi pada tanggal 20 November dan berakhir pada 15 Desember 1945. Latar belakang peristiwa ini dmulai dari inseden yang terjadi di Magelang. Brigade Artileri dari Divisi India ke-23 yang mendarat di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945, yang dipimpin oleh Brigadier Bethell oleh pihak RI diperkenankan untuk mengurus pelucutan senjata pasukan Jepang dan evakuasi 19.000 interniran Sekutu (APW) yang berada di Kamp Banyu Biru Ambarawa dan Magelang.
Ternyata mereka diboncengi oleh orang-orang NICA, yang kemudian mempersenjatai tawanan Jepang. 

Pada tanggal 26 Oktober 1945, pecahlah inseden di Magelang. Yang berlanjut menjadi pertempuran antara TKR dan tentara Inggris. Insiden ini berhenti setalah kedatangan Presiden Soekarno dan Brigadier Bethell di Magelang pada tanggal 2 November 1945. Mereka mengadakan perundingan untuk melakukan gencetan senjata dan tercapai kata sepkat dalam 12 pasal, antara lain  :
a.       Pihak Inggris akan tetap menempatkan pasukannya di Magelang, untuk melakukan kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi APWI. Jumlahnya dibatasi hanya untuk melaksanakan tugasnya.
b.      Jalan raya Magelang – Ambarawa terbuka bagi lalulintas Indonesia dan Inggris.
c.       Inggris tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada dibawah kekuasaannya.

Ternyata pihak Sekutu inkar janji. Kesempatan dan kelemahan dari pasal-pasal persetujuan itu dipergunakan Inggris untuk menambah jumlah serdadunya yang berada di Magelang.
Sementara itu, pada tanggal 20 November 1945 di Ambarawa pecah pertempuran antara TKR dibawah pimpinan Mayor Sumarto dan pasukan Sekutu. Pasukan Sekutu yang berada di Magelang pada tanggal 21 November 1945 ditarik ke Ambarawa dengan dilindungi oleh pesawat-pesawat udara. Pertempuran berkobar di dalam kota pada tanggal 22 November 1945. Sekutu melakukan pengeboman terhadap kampung-kampung di sekitar Ambarawa. Pasukan TKR bersama pasukan-pasukan pemuda yang berasal dari Boyolali, Salatiga, dan Kartasura bertahan di kuburan Belanda, sehingga membentuk garis pertahanan sepanjang rel kereta api dan membelah kota Ambarawa.

 
Dari arah Magelang pasukan TKR divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam Androngi pada tanggal 21 November 1945 melakukan serangan fajar dengan tujuan memukul mundur Sekutu yang berkedudukan di desa Pingit. Pasukan Imam Androngi berhasil menduduki Pingit dan merebut desa-desa sekitarnya. Kemudian, pasukan ini meneruskan gerakan pengejarannya. Sementara itu, kekuatan di Ambarawa bertambah dengan datangnya batalion yang berasal dari Yogyakarta, yaitu Batalion 10 Divisi X di bawah pimpinan Mayor Soeharto, Batalion 8 di bawah pimpinan Mayor Sardjono dan Batalion Sugeng, sehingga kedudukan Sekutu menjadi terkepung.

Sekalipun telah terkepung, Sekutu mencoba mematahkan kepungan itu. Mereka melakukan gerakan melambung dan mengancam kedudukan pasukan TKR dari belakang dengan menggunakan tank-tanknya sehingga kedudukan TKR terancam. Kota Ambarawa dihujani dengan tembakan meriam. Untuk mencegah jatuhnya korban, pasukan TKR di perintahkan oleh komandannya masing-masing untuk mundur ke Bedono. Dengan datangnya bala bantuan dari Resimen 2 di bawah pimpinan M. Sarbini dan Batalion Polisi Istimewa di bawah komando Onie Sastroatmodjo serta Batalion dari Yogyakarta, gerakan Sekutu berhasil ditahan di desa Jambu.

Sementara itu, di desa Jambu para komandan pasukan mengadakan rapat koordinasi yang dipimpin oleh Kolonel Holand Iskandar. Rapat ini menghasilkan terbentuknya suatu komandi yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran (MPP), yang bertempatkan di Magelang. Sejak itu medan Ambarawa dibagi menjadi empat sektor yaitu sektor utara, sektor selatan, sektor timur, dam sektor barat.

Kekuatan yang bertempur di Ambarawa berjumlah 19 Batalion TKR dan beberapa Batalion badan-badan perjuangan yang bertempur secara bergantian. Pada tanggal 26 November 1945, pimpinan pasukan yang berasal dari Purwokerto Letnan Kolonel Isdiman gugur. Setalah Isdiman gugur, Kolonel Soedirman, Panglima Divisi di Purwokerto mengambil alih pimpinan pasukan. Situasi pertempuran berubah semakin menguntungkan pihak TKR, musuh terusir dari desa Banyubiru pada tanggal 5 Desember 1945.

Setelah mempelajari situasi pertempuran, Kolonel Soedirman pada tanggal 11 Desember 1945 mengambil prakarsa untuk mengumpulakan para kiomandan sektor. Mereka melaporkan pada sektor masing-masing, dari hasil laporan Kolonel Soedirman menyimpulkan bahwa musuh telah terjepit, dan perlu segera dilancarkan pukulan terakhir. Rencana pelaksanaannya sebagai berikut :
1.      Serangan mendadak dilakukan dari semua sektor,
2.      Tiap-tiap komandan sektor memimpin penyerangan,
3.      Pasuka-pasukan badan perjuangan (laskar), disiapkan sebagai tenaga cadangan,
4.      Serangan akan dimulai pada tanggal 12 Desember pukul 04.30

Pada tanggal 12 Desember 1945 dini hari pasukan-pasukan TKR bergerak menuju sasaran masing-masing. Dalam waktu setengah jam mereka berhasil mengepung pertahanan Sekutu yang terkuat di benteng Willem, yang terletak di tengah-tengah kota Ambarawa. Kota Ambarawa dikepung selama empat hari empat malam, pasukan Sekutu yang merasa kedudukannya terjepit berusaha keras untuk melakukan pemurtusan pertemputran. Pada tanggal 15 Desember 1945, Sekutu meninggalkan Ambarawa dan mundur ke Semarang.

Pertempuran di Ambarawa mempunyai arti penting dan diakui oleh pihak Inggris, bahwa pasukan Indonesia sulit ditaklukan sekalipun dengan mengerahkan seluruh kekuatan. Letak kota Ambarawa sangat strategis. Apabila musuh menguasai Ambarawa, tiga kota utama Jawa Tengah akan terancam yakni Surakarta, Magelang, dan terutama Yogyakarta.
·          
AGRESI MILITER II DAN GERILYA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN
Pada tanggal 19 Desember 1948 pasukan payung Belanda melancarkan serangan terhadap Lapangan Terbang Maguwo (Adisupcito), kurang lebih 6km disebelah timur ibu kota RI Yogyakarta. Dengan serangan itu mulailah Agresi Militer Belanda II, Panglima Besar Soedirman segera mengeluarkan Perintah Kilat untuk semua Angkatan Perang agar menjalankan rencana untuk menghadapi Belanda.

 
Gerakan pasukan Belanda menuju Yogyakarta baru dimulai sekitar pukul 12.00. oleh karena itu, kabinet masih sempat bersidang. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak akan meninggalkan ibu kota. Ada dua alasan yang dikemukakan, pertama tidak ada pasukan yang akan mengawal mereka keluar kota. Kedua, bila tetap tinggal di dalam kota, hubungan dengan KTN masih dapat dilakukan dan dengan perantara KTN perundingan dengan Belanda dapat dibuka kembali.

Keputusan lain ialah memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukittinggi untuk membentuk pemerintahan darurat (PDRI) di Sumatera. Mandat itu diberikan kepada dr. Sudarsono, A. A. Maramis, dan L. N. Palar untuk membentuk exile government di luar negeri bila usaha Sjafruddin gagal.

Pada tanggal 19 Desember itu juga Yogyakarta jatuh ketangan Belanda. Presiden, Wakil Presiden, dan sejumlah petinggi negara mereka tawan dan tiga hari kemudian mereka diasinghkan ke luar Jawa. Pangkima besar Soedirman berangkat keluar kota untuk memimpin perang gerilya. Pada tanggal 22 Desember 1948 PTTD Kolonel Nasution mengumumkan berdirinya pemerintah militer di Jawa.
Sesuai dengan rencana, Angkatan Perang mengundurkan diri ke luar kota untuk melakukan perang gerilya. Pasukan yang tadinya dipindahkan akibat persetujuan Renville, melakukan wingate ke daerah asal mereka. Pasukan Siliwangi misalnya, melakukan long march dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. 

Diluar kota, TNI membentuk daerah-daerah pertahanan. Setelah berhasil melakukan konsulidasi, TNI mulai memberikan pukulan-pukulan terhadap Belanda. Pertamakali yang menjadi sasaran adalah garis-garis komunikasi pasukan Belanda. Kawat-kawat telepon diputuskan, jalan-jalan kereta api dirusak, dan konvoi-konvoi Belanda dihadang dan diserang. Oleh karena itu, Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos di sepanjang jalan yang menghubungkan kota-kota yang sudah mereka duduki. Dengan demikian, kekuatannya terpaku pada ribuan pos kecil yang tersebar di daerah RI yang kini menjadi medan gerilya yang luas.

Situasi perang pun mulai berbalik. TNI yang tadinya defensif mulai beralih ke ofensif. Serangan terhadap Belanda tidak lagi hanya pencegatan konvoi-konvoi atau terhadap pos-pos Belanda yang terpencil, tetapi juga terhadap kota-kota yang diduduki Belanda. Salah satu serangan yang cukup monumental dan berdampak politisi selain berdampak militer ialah Serenagan umum ke Yogyakarta pada tanggal 1 Maret 1949 dibawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto. Selama 6 jam Yogyakarta dikuasai TNI, dan hal itu membuktikan kepada seluruh dunia luar bahwa TNI masih mempunyai kemampuan untuk bertempur dan sekaligus membantah gembar-gembor Belanda bahwa TNI sudah hancur dan riwayat RI sudah berakhir.
·        
 SEKILAS TENTANG PERANG GERILYA DI INDONESIA


Para pemimpin tentara Republik Indonesia memilih taktik gerilya dalam upaya memenangkan peperangan terhadap Belanda. Perang gerilya merupakan bentuk perang yang tidak terikat secara resmi pada ketentuan perang. Perang gerilya bangsa Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Menghindari perang terbuka
2.      Menghantam musuh secara tiba-tiba
3.      Menghilang ditengah lebatnya hutan atau kegelaapan malam
4.      Menyamar sebagai rakyat biasa



REFERENSI

WEB   :

BUKU            :
IPS Terpadu 3 kelas IX, Drs. Anwar kurnia, 2007
Sejarah Nasional Indonesia VI, Marwati Djoned Poeponegoro, Nugroho Notosusanto, 1993
Sejarah SMA XII IPS, Drs. Sardiman A. M, M.
Pd., 2006

SAHARA PUTRI N.
4423126883

Tidak ada komentar:

Posting Komentar