NAMA :
SAHARA PUTRI N.
NO.
REG :
4423126883
MATAKULIAH : SEJARAH INDONESIA
USAHA
JASA PARIWISATA
GERILYA MEMPERTAHANKAN
KEMERDEKAAN, 1945-1949
Diorama ke-37 yang terletak
Monumen Nasional (MONAS) ini menceritakan tentang Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia dengan menggunakan peralatan perang sederhana,bergerilya bersama
rakyat menghadapi musuh yang hendak menegakkan kembali kekuasaan Belanda. Untuk
menegakkan kekuasaan Republik Indonesia didaerah yang dikuasi musuh disusun
kantong-kantong gerilya yang dapat melaksanakan pertahanan secara berdiri
sendiri dengan integrasi segenap kekuatan politik, ekonomi, sosial budaya dan
militer.
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia
dimulai sejak diproklamasikan Republik Indonesia pada
17 Agustus 1945 sampai pengakuan kemerdekaan oleh Belanda pada 27 Desember 1949. Sekutu yang pernah kehilangan kekuasaan di daerah
Indonesia berusaha merebut kembali kemerdekaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, rakyat bangsa Indonesia yang
telah merdeka terpanggil untukmengorbankan jiwa dan raganya demi
mempertahankan kedaulatan negara. Perang mempertahan kankemerdekaan tersebut tidak saja melibatkan tentara melainkan seluruh rakyat dan pemerintahan di
berbagai daerah.
·
KEMBALINYA BELANDA KE INDONESIA
Setelah
memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia langsung
menghadapi dua kekuasaan asing. Pertama, tentara Jepang yang masih merasa berkuasa
di Indonesia meskipun telah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Kedua, tentara
Sekutu sebagai pihak yang menang setelah mengalahkan Jepang dalam Perang Dunia
II.
Untuk
mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang di Indonesia, pasukan Sekutu kemudian
membentuk AFNEI (Allied Forces Netherland Indies) yang terdiri dari pasukan
Inggris dan Australia. AFNEI ditugaskan untuk :
1.
Menerima penyerahan
kekuasaan dari tangan Jepang.
2.
Melucuti
persenjataan tentara Jepang yang akan dipulangkan ke negaranya.
3.
Membebaskan para
tawanan Jepang.
4.
Menciptakan suasana
aman dan damai.
5.
Menghimpun
keterangan untuk kemudian menetapkan penjahat perang.
Untuk
melaksanakan tugas tersebut, Sekutu mengirim Letnan Jenderal Sir Philip
Christison sebagai panglima AFNEI. PasukanSekutudan AFNEI mendarat di Jakarta padatanggal 29
September 1945. Kedatangan Sekutu semula disambut dengan sikap terbuka oleh pihak Indonesia. Namun setelah diketahui bahwa pasukan Sekutu dating bersama orang-orang NICA, sikap
Indonesia berubah menjadi curiga dan kemudian kembali
menjadi menentang.
Karena
itulah Panglima Soedirman dan Jendral Oerip Soemohardjo menginstruksikan kepada
tentara republik untuk mempertahankan kubu-kubu di sekitar kantong-kantong yang
diduduki Belanda. Tentara republik yang dibantu oleh rakyat sekitar segera mempersiapkan
kubu, rintangan jalan, dan jebakan tank.Situasi semakin memanas karena orang-orang NICA
mempersenjatai bekas tentara KNIL yang baru dibebaskan daritahanan Jepang.
Orang-orang NICA dan KNIL di
Jakarta, Surabaya, dan Bandung mulai memancing kerusuhan dengan cara melakukan provokasi. Di kota-kota yang
didatangi pasukan Sekutu sering terjadi insiden. Tentu saja kedatangan NICA di Indonesia tidak bias diterima karena Indonesia sudah merdeka. Kedatangan NICA adalah sebuah ancaman bagi kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, timbul pertentangan antara pasukan Sekutu dan Belanda dengan rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih. Perjuangan rakyat Indonesia itu dilakukan baik dengan perjuangan bersenjata maupun perjuangan diplomasi.
·
PERTEMPURAN AMBARAWA
Pertempuran
di Ambarawa ini terjadi pada tanggal 20 November dan berakhir pada 15 Desember
1945. Latar belakang peristiwa ini dmulai dari inseden yang terjadi di
Magelang. Brigade Artileri dari Divisi India ke-23 yang mendarat di Semarang
pada tanggal 20 Oktober 1945, yang dipimpin oleh Brigadier Bethell oleh pihak
RI diperkenankan untuk mengurus pelucutan senjata pasukan Jepang dan evakuasi
19.000 interniran Sekutu (APW) yang berada di Kamp Banyu Biru Ambarawa dan
Magelang.
Ternyata
mereka diboncengi oleh orang-orang NICA, yang kemudian mempersenjatai tawanan
Jepang.
Pada tanggal 26 Oktober 1945, pecahlah inseden di Magelang. Yang
berlanjut menjadi pertempuran antara TKR dan tentara Inggris. Insiden ini
berhenti setalah kedatangan Presiden Soekarno dan Brigadier Bethell di Magelang
pada tanggal 2 November 1945. Mereka mengadakan perundingan untuk melakukan
gencetan senjata dan tercapai kata sepkat dalam 12 pasal, antara lain :
a.
Pihak Inggris akan
tetap menempatkan pasukannya di Magelang, untuk melakukan kewajibannya
melindungi dan mengurus evakuasi APWI. Jumlahnya dibatasi hanya untuk
melaksanakan tugasnya.
b.
Jalan raya Magelang
– Ambarawa terbuka bagi lalulintas Indonesia dan Inggris.
c.
Inggris tidak akan
mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang berada dibawah kekuasaannya.
Ternyata
pihak Sekutu inkar janji. Kesempatan dan kelemahan dari pasal-pasal persetujuan
itu dipergunakan Inggris untuk menambah jumlah serdadunya yang berada di
Magelang.
Sementara
itu, pada tanggal 20 November 1945 di Ambarawa pecah pertempuran antara TKR
dibawah pimpinan Mayor Sumarto dan pasukan Sekutu. Pasukan Sekutu yang berada
di Magelang pada tanggal 21 November 1945 ditarik ke Ambarawa dengan dilindungi
oleh pesawat-pesawat udara. Pertempuran berkobar di dalam kota pada tanggal 22
November 1945. Sekutu melakukan pengeboman terhadap kampung-kampung di sekitar
Ambarawa. Pasukan TKR bersama pasukan-pasukan pemuda yang berasal dari Boyolali,
Salatiga, dan Kartasura bertahan di kuburan Belanda, sehingga membentuk garis
pertahanan sepanjang rel kereta api dan membelah kota Ambarawa.
Dari
arah Magelang pasukan TKR divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam Androngi
pada tanggal 21 November 1945 melakukan serangan fajar dengan tujuan memukul
mundur Sekutu yang berkedudukan di desa Pingit. Pasukan Imam Androngi berhasil
menduduki Pingit dan merebut desa-desa sekitarnya. Kemudian, pasukan ini
meneruskan gerakan pengejarannya. Sementara itu, kekuatan di Ambarawa bertambah
dengan datangnya batalion yang berasal dari Yogyakarta, yaitu Batalion 10
Divisi X di bawah pimpinan Mayor Soeharto, Batalion 8 di bawah pimpinan Mayor
Sardjono dan Batalion Sugeng, sehingga kedudukan Sekutu menjadi terkepung.
Sekalipun
telah terkepung, Sekutu mencoba mematahkan kepungan itu. Mereka melakukan
gerakan melambung dan mengancam kedudukan pasukan TKR dari belakang dengan
menggunakan tank-tanknya sehingga kedudukan TKR terancam. Kota Ambarawa
dihujani dengan tembakan meriam. Untuk mencegah jatuhnya korban, pasukan TKR di
perintahkan oleh komandannya masing-masing untuk mundur ke Bedono. Dengan
datangnya bala bantuan dari Resimen 2 di bawah pimpinan M. Sarbini dan Batalion
Polisi Istimewa di bawah komando Onie Sastroatmodjo serta Batalion dari
Yogyakarta, gerakan Sekutu berhasil ditahan di desa Jambu.
Sementara
itu, di desa Jambu para komandan pasukan mengadakan rapat koordinasi yang
dipimpin oleh Kolonel Holand Iskandar. Rapat ini menghasilkan terbentuknya
suatu komandi yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran (MPP), yang bertempatkan
di Magelang. Sejak itu medan Ambarawa dibagi menjadi empat sektor yaitu sektor
utara, sektor selatan, sektor timur, dam sektor barat.
Kekuatan
yang bertempur di Ambarawa berjumlah 19 Batalion TKR dan beberapa Batalion
badan-badan perjuangan yang bertempur secara bergantian. Pada tanggal 26
November 1945, pimpinan pasukan yang berasal dari Purwokerto Letnan Kolonel
Isdiman gugur. Setalah Isdiman gugur, Kolonel Soedirman, Panglima Divisi di
Purwokerto mengambil alih pimpinan pasukan. Situasi pertempuran berubah semakin
menguntungkan pihak TKR, musuh terusir dari desa Banyubiru pada tanggal 5
Desember 1945.
Setelah
mempelajari situasi pertempuran, Kolonel Soedirman pada tanggal 11 Desember
1945 mengambil prakarsa untuk mengumpulakan para kiomandan sektor. Mereka
melaporkan pada sektor masing-masing, dari hasil laporan Kolonel Soedirman
menyimpulkan bahwa musuh telah terjepit, dan perlu segera dilancarkan pukulan
terakhir. Rencana pelaksanaannya sebagai berikut :
1.
Serangan mendadak
dilakukan dari semua sektor,
2.
Tiap-tiap komandan
sektor memimpin penyerangan,
3.
Pasuka-pasukan
badan perjuangan (laskar), disiapkan sebagai tenaga cadangan,
4.
Serangan akan
dimulai pada tanggal 12 Desember pukul 04.30
Pada
tanggal 12 Desember 1945 dini hari pasukan-pasukan TKR bergerak menuju sasaran
masing-masing. Dalam waktu setengah jam mereka berhasil mengepung pertahanan
Sekutu yang terkuat di benteng Willem, yang terletak di tengah-tengah kota
Ambarawa. Kota Ambarawa dikepung selama empat hari empat malam, pasukan Sekutu
yang merasa kedudukannya terjepit berusaha keras untuk melakukan pemurtusan
pertemputran. Pada tanggal 15 Desember 1945, Sekutu meninggalkan Ambarawa dan
mundur ke Semarang.
Pertempuran
di Ambarawa mempunyai arti penting dan diakui oleh pihak Inggris, bahwa pasukan
Indonesia sulit ditaklukan sekalipun dengan mengerahkan seluruh kekuatan. Letak
kota Ambarawa sangat strategis. Apabila musuh menguasai Ambarawa, tiga kota
utama Jawa Tengah akan terancam yakni Surakarta, Magelang, dan terutama
Yogyakarta.
·
AGRESI MILITER II DAN GERILYA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN
Pada
tanggal 19 Desember 1948 pasukan payung Belanda melancarkan serangan terhadap
Lapangan Terbang Maguwo (Adisupcito), kurang lebih 6km disebelah timur ibu kota
RI Yogyakarta. Dengan serangan itu mulailah Agresi Militer Belanda II, Panglima
Besar Soedirman segera mengeluarkan Perintah Kilat untuk semua Angkatan Perang
agar menjalankan rencana untuk menghadapi Belanda.
Gerakan
pasukan Belanda menuju Yogyakarta baru dimulai sekitar pukul 12.00. oleh karena
itu, kabinet masih sempat bersidang. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa
Presiden dan Wakil Presiden tidak akan meninggalkan ibu kota. Ada dua alasan
yang dikemukakan, pertama tidak ada pasukan yang akan mengawal mereka keluar
kota. Kedua, bila tetap tinggal di dalam kota, hubungan dengan KTN masih dapat
dilakukan dan dengan perantara KTN perundingan dengan Belanda dapat dibuka
kembali.
Keputusan
lain ialah memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara
yang ketika itu berada di Bukittinggi untuk membentuk pemerintahan darurat
(PDRI) di Sumatera. Mandat itu diberikan kepada dr. Sudarsono, A. A. Maramis,
dan L. N. Palar untuk membentuk exile government di luar negeri bila usaha
Sjafruddin gagal.
Pada
tanggal 19 Desember itu juga Yogyakarta jatuh ketangan Belanda. Presiden, Wakil
Presiden, dan sejumlah petinggi negara mereka tawan dan tiga hari kemudian
mereka diasinghkan ke luar Jawa. Pangkima besar Soedirman berangkat keluar kota
untuk memimpin perang gerilya. Pada tanggal 22 Desember 1948 PTTD Kolonel
Nasution mengumumkan berdirinya pemerintah militer di Jawa.
Sesuai
dengan rencana, Angkatan Perang mengundurkan diri ke luar kota untuk melakukan
perang gerilya. Pasukan yang tadinya dipindahkan akibat persetujuan Renville,
melakukan wingate ke daerah asal mereka. Pasukan Siliwangi misalnya, melakukan
long march dari Jawa Tengah ke Jawa Barat.
Diluar kota, TNI membentuk
daerah-daerah pertahanan. Setelah berhasil melakukan konsulidasi, TNI mulai
memberikan pukulan-pukulan terhadap Belanda. Pertamakali yang menjadi sasaran
adalah garis-garis komunikasi pasukan Belanda. Kawat-kawat telepon diputuskan,
jalan-jalan kereta api dirusak, dan konvoi-konvoi Belanda dihadang dan
diserang. Oleh karena itu, Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos di sepanjang
jalan yang menghubungkan kota-kota yang sudah mereka duduki. Dengan demikian,
kekuatannya terpaku pada ribuan pos kecil yang tersebar di daerah RI yang kini
menjadi medan gerilya yang luas.
Situasi
perang pun mulai berbalik. TNI yang tadinya defensif mulai beralih ke ofensif.
Serangan terhadap Belanda tidak lagi hanya pencegatan konvoi-konvoi atau
terhadap pos-pos Belanda yang terpencil, tetapi juga terhadap kota-kota yang
diduduki Belanda. Salah satu serangan yang cukup monumental dan berdampak politisi
selain berdampak militer ialah Serenagan umum ke Yogyakarta pada tanggal 1
Maret 1949 dibawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto. Selama 6 jam Yogyakarta
dikuasai TNI, dan hal itu membuktikan kepada seluruh dunia luar bahwa TNI masih
mempunyai kemampuan untuk bertempur dan sekaligus membantah gembar-gembor
Belanda bahwa TNI sudah hancur dan riwayat RI sudah berakhir.
·
SEKILAS TENTANG PERANG GERILYA DI INDONESIA
Para pemimpin tentara Republik Indonesia memilih taktik
gerilya dalam upaya memenangkan peperangan terhadap Belanda. Perang gerilya
merupakan bentuk perang yang tidak terikat secara resmi pada ketentuan perang.
Perang gerilya bangsa Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.
Menghindari perang
terbuka
2.
Menghantam musuh
secara tiba-tiba
3.
Menghilang ditengah
lebatnya hutan atau kegelaapan malam
4.
Menyamar sebagai
rakyat biasa
REFERENSI
WEB :
BUKU :
IPS Terpadu 3 kelas IX, Drs.
Anwar kurnia, 2007
Sejarah Nasional Indonesia VI, Marwati
Djoned Poeponegoro, Nugroho Notosusanto, 1993
Sejarah SMA XII IPS, Drs.
Sardiman A. M, M.
Pd., 2006
Pd., 2006
SAHARA PUTRI N.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar