Sejarah
Bank Indonesia “Periode 1 – Periode 5”
Nisia Tiara Yunita
4423126873
D3 Usaha Jasa Pariwisata
Universitas negeri Jakarta
2012
1. Periode
1 Tahun 1953-1959
Setelah periode perang kemerdekaan,
keadaan ekonomi Indonesia yang memprihatinkan menjadi beban berat bagi bangsa
Indonesia pada periode 1950-an. Pada periode itu, dunia perbankan telah
mengelola beberapa dana masyarakat dalam bentuk giro, deposito berjangka dan
tabungan. Pengerahan dana masyarakat pada periode ini mulai terlihat dalam
bentuk transaksi saham atau obligasi pada pasar modal atau bursa efek. Pada
periode 1953–1959, secara umum pengerahan dana masyarakat menunjukkan kondisi
yang meningkat. Peningkatan tersebut disebabkan oleh meningkatnya pendapatan
sebagian masyar akat yang
didukung dengan bertambah luasnya
jaringan perbankan. Meskipun terjadi
peningkatan, jumlah pengerahan dana masyarakat pada periode ini, secara keseluruhan
belum cukup signifikan. Hal tersebut disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor
kebiasaan masyarakat yang lebih senang menyimpan dananya pada suatu aset
tertentu dan faktor belum adanya kampanye yang dilakukan oleh pemerintah untuk
menggalakkan tabungan. Untuk situasi pasar modal, pada periode ini masih sangat
sepi, meski ada beberapa transaksi yang dilakukan. Anggaran pemerintah pada
periode 1953-1959 selalu menunjukkan angka yang defisit. Sebagai upaya menutup
kekurangan kas, pemerintah menggunakan pinjaman dari bank sentral yang bersifat
inflatoir, dengan catatan :
1.
Tidak ada tambahan utang pada tahun 1955, karena adanya peraturan baru tentang bea impor
2. Utang pemerintah kepada Bank Indonesia tahun 1959
lebih kecil daripada tahun sebelumnya, karena
adanya perolehan penghasilan dari penurunan nilai uang kertas bank Rp1.000 dan Rp500 menjadi Rp100 dan Rp 50 sebagai dampak
dari kebijakan pemerintah pada waktu itu.
Pada awal tahun 1953, bursa efek di
Jakarta memperjual belikan obligasi 3% RI 1950 kurang lebih sebesar Rp236 juta
nominal. Kesulitan untuk memperoleh saham di bursa, memberi peluang bagi
lembaga-lembaga penanaman modal untuk meminjamkan kredit jangka panjangnya
secara di bawah tangan. Akibatnya, permintaan obligasi berkurang dan memberi dampak
pada turunnya penjualan. Memasuki tahun 1956, perkembangan bursa efek di Indonesia belum
menunjukkan perkembangan yang berarti, Bank Industri Negara tetap menerbitkan
obligasi 3% sebesar Rp 100 juta yang hanya dapat dimiliki masyarakat yang bukan
penduduk Indonesia.
Pada tanggal
25 Agustus 1959, pemerintah melakukan tindakan
moneter berupa pinjaman konsolidasi dengan
bunga sebesar 3½% pertahun. Namun hingga tahun 1960 pengeluaran pinjamannya
masih dalam taraf penyelesaian perhitungan keuangan, sedangkan pengeluaran obligasinya dan pendaftaran dalam
buku besar hutang masih dalam taraf
persiapan. Akibat tindakan moneter tersebut, emisi obligasi 6% berhadiah tahun
1959 dari pemerintah yang direncanakan terbit pada bulan Oktober 1959 ditunda.
Realisasinya baru dapat diwujudkan pada awal bulan Februari 1960. Harapan
pemerintah dengan adanya pengeluaran kedua obligasi ini adalah perdagangan bursa efek di Indonesia dapat lebih maju
dan berkembang. Periode 1953-1959 disertai oleh pembiayaan defisit anggaran pemerintah
dengan uang muka dari Bank Indonesia. Periode 1953-1959 juga disertai oleh pengerahan dana dari sisi
masyarakat dan pemerintah. Disaat pengerahan dana oleh masyarakat meningkat,
pemerintah justru mengalami defisit anggaran.
Pada
periode demokrasi parlementer pemerintah menganut "sistem devisa
terkontrol" yang berdasarkan deviezen ordonnantie 1940 dan deviezen
verordening1940. Nederlandsch Indisch
Deviezen Institut (NIDI) yang kemudian menjadi Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar
Negeri (LAAPLN) merupakan badan pemerintah yang berwenang dalam mengatur sistem
penyelenggaraan devisa pada saat itu. Selama periode tersebut, pemerintah telah
mengambil beberapa kebijakan di bidang devisa dengan tujuan menghemat penggunaan devisa yang
semakin berkurang. Kebijakan tersebut ditempuh melalui berbagai produk aturan yang berkaitan
dengan transaksi pembayaran luar negeri terutama dalam sektor ekspor dan impor.
Pada awal berdirinya Bank Indonesia 1 Juli 1953, Indonesia masih menerapkan
kebijakan devisa dengan sistem
terkontrol. Dalam sitem ini devisa hanya boleh dikuasai dan diawasi oleh
negara. Kebijakan devisa merupakan salah satu komponen kebijakan penting dalam
pembangunan negara. Sementara itu keadaan ini dalam negeri pada saat itu sangat
tidak mendukung untuk meningkatkan perolehan devisa. Bahkan cadangan devisa
Indonesia makin berkurang. Hal tersebut antara lain dipengaruhi oleh:
1.
Jatuh bangunnya Sistem Pemerintahan Parlementer.
2.
Produktivitas ekonomi yang rendah.
3.
Pemogokan besar-besaran di sentra perkebunan.
4.
Penyelundupan karet yang merajalela.
5.
Inflasi diakibatkan oleh defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah.
6.
Impor makin meningkat.
Keadaan
ini menyebabkan penerimaan devisa hanya bertumpu pada ekspor, pajak ekspor, dan
bea masuk Impor. Padahal volume ekspor sangat ditentukan oleh biaya produksi
yang meningkat. Dalam sistem ini, pemerintah memberikan rangsangan kepada
eksportir hasil-hasil rakyat berupa premi sebesar 6%-10% dalam bentuk hak/bukti. Bukti ini
merupakan hak membeli atas sejumlah devisa yang dapat diperdagangkan.
2. Periode 2 Tahun 1959-1966
Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden
Soekarno menyatakan dekrit kembali ke Undang- Undang Dasar 1945. Sejak saat
itu, pemerintahan Indonesia berjalan berdasarkan sistem demokrasi terpimpin.
Kekuasaan negara terpusat pada presiden
dan kebijakan pemerintah diambil berdasarkan Manifesto Politik (Manipol) yang ditetapkan
pada tanggal 17 Agustus 1959. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
pada masa itu juga mempengaruhi kedudukan dan fungsi BI,
termasuk fungsi pengawasan Bank Indonesia terhadap perbankan. Terlebih lagi kebijakan pemerintah tersebut juga berpengaruh terhadap
kehidupan perbankan secara umum. Pada periode ini, pemerintah menghentikan
untuk sementara perijinan bagi pendirian bank umum dan bank tabungan swasta
akibat adanya peninjauan kembali jumlah bank swasta serta adanya gejala
persaingan tidak sehat antar bank. Hal itu ditempuh untuk mengantisipasi kurangnya
minat masyarakat untuk menyimpan dananya kepada perbankan. Padahal, pengumpulan
dana dari masyarakat dibutuhkan guna disalurkan kepada sektor-sektor produktif
dalam pembangunan ekonomi.
Tanggal 26 Oktober 1960, pemerintah
mendirikan Bank Koperasi, Tani dan Nelayan (BKTN). Setelah itu pada tanggal 30
November 1960, dengan peraturan Menteri Keuangan No. 263206/BUM II dilakukan
pengintegrasian Nederlansche Handel Maatschappij NV (NHM) ke dalam BKTN.
Dengan dileburnya BRI ke dalam BKTN, fungsi pengawasan dan bimbingan terhadap
bank dan lumbung desa, koperasi, bank pasar dan sejenisnya yang sebelumnya ada
pada BRI, pindah kepada BKTN. Pada akhir tahun 1966 jumlah bank dan lumbung
desa, koperasi, bank pasar dan sejenisnya berjumlah 6.722 bank, terdiri atas
4.023 bank desa, 2.691 lumbung desa, dan 8 bank pasar. Dengan proses
nasionalisasi bank-bank Belanda menjadi bank-bank milik negara, maka sejak saat
itu hingga terbentuknya Bank Tunggal, terdapat enam bank milik pemerintah
kecuali Bank Indonesia sebagai bank sentral, yaitu:
1.
Bank-bank umum:
-
Bank Negara Indonesia (BNI)
-
Bank Koperasi, Tani dan Nelayan (BKTN)
-
Bank Umum Negara (BUNEG)
-
Bank Dagang Negara (BDN)
2.
Bank Pembangunan: Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo)
3.
Bank Tabungan: Bank Tabungan Negara (BTN)
Pembentukan
Bank Tunggal dilakukan pada tahun 1965. Proses pembentukan bank tunggal
didahului dengan pengintegrasian empat bank milik negara yaitu BNI, BKTN,
BUNEG, dan BTN ke dalam Bank Indonesia. Setelah itu bekas empat bank pemerintah
yang telah diintegrasikan ke Bank
Indonesial, bersama Bank Indonesia sendiri dibagi ke dalam Bank Tunggal yang
diberi nama Bank Negara Indonesia. Jumlah kantor umum pemerintah bertambah dari
188 kantor pada akhir tahun 1960 menjadi 505 kantor pada akhir tahun 1965. Pada awal periode
1959–1960, di Indonesia tercatat memiliki tujuh bank pemerintah, yaitu:
Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral; Bank Negara Indonesia (BNI), Bank
Rakyat Indonesia (BRI), Bank Tani dan Nelayan (BTN), dan Bank Umum Negara
(BUNEG) sebagai bank umum; Bank Industri Negara (BIN) sebagai bank pembangunan;
serta Bank Tabungan Pos sebagai bank tabungan.
Pada periode demokrasi terpimpin dan
ekonomi terpimpin ini, seluruh komponen bangsa termasuk perbankan diarahkan
oleh Pemerintah untuk mendukung perjuangan revolusi yaitu perjuangan untuk
mewujudkan bangsa yang berdaulat berbudaya dan berkarakter serta mampu mandiri.
Dalam pada itu guna mencegah persaingan tidak sehat, pada 19 September 1959
Pemerintah menghentikan sementara pemberian izin bagi pendirian bank-bank umum
dan bank-bank tabungan swasta. Selanjutnya Pemerintah melakukan langkah-langkah
pengembangan bank-bank Nasional dengan cara mendirikan beberapa bank baru milik
Pemerintah. Awal periode ini ditandai dengan kebijakan untuk menyelesaikan
nasionalisasi bank-bank Belanda. Kebijakan tersebut bermuara pada pembentukan
Bank Tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia pada tahun 1965 yang merupakan
pengintegrasian bank-bank umum pemerintah
dan Bank Tabungan Negara ke dalam Bank Indonesia. Bank Tunggal berfungsi
sebagai bank sirkulasi, bank sentral dan sekaligus bank umum. Bank Dagang negara dan Bank Pembangunan Indonesia tidak
dilebur ke dalam Bank Tunggal.
Dalam periode 1959-1966, pemerintah RI
mengeluarkan uang kertas Seri Sandang Pangan bertanda tahun 1960 dan 1961 dalam
pecahan Rp 1 dan Rp 2,5. Pemerintah juga menerbitkan uang kertas Seri Presiden
Sukarno bertanda tahun 1964 yang merupakan penerbitan uang kertas pemerintah yang terakhir. Uang
baru tersebut mempunyai nilai Rp 1 (baru) = Rp 1.000 (lama) dan Rp 1 (baru) =
IB Rp 1. Berkaitan dengan penetapan, BI mengeluarkan uang kertas Seri Dwikora bertanda
tahun 1964 dalam pecahan 1 sen, 5 sen, 10 sen, 25 sen, dan 50 sen; uang kertas
Seri Presiden Soekarno bertanda tahun 1960 dalam pecahan Rp 5, Rp 10, Rp 25, Rp
50, Rp 100, Rp 500, dan Rp 1.000; uang kertas Seri Presiden Soekarno bertanda
tahun 1964 dalam pecahan Rp 1 dan Rp 2.50.
3. Periode 3 Tahun 1966 – 1983
Bersamaan dengan penataan kembali sistem
perbankan dan sesuai dengan prinsip keterbukaan yang dianut oleh Pemerintah,
pendirian bank dan cabang bank swasta nasional dibuka kembali pada Juli 1966.
Setelah melalui proses pengalihan kewenangan pemberian izin dari Menteri Urusan
Penertiban Bank dan Modal Swasta dan Menteri Urusan Bank Sentral kepada Menteri
Keuangan serta penutupan pendirian bank untuk sementara, pada Januari 1969
pendirian bank dan cabang bank swasta dibuka kembali dengan
persyaratan-persyaratan baru. Pendirian bank asing dibuka kembali pada Mei
1967, dengan kebijakan tersebut diberikan izin kepada 10 cabang bank asing dan
satu bank campuran. Bank Indonesia juga melarang adanya kerja sama yang tidak wajar di dalam bank yang selama ini telah menjadi salah satu
penyebab rusaknya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan swasta nasional.
BI memperkenalkan TABANAS (Tabungan
Pembangunan Nasional) dan TASKA (Tabungan Asuransi Berjangka) pada tahun 1970 untuk
meningkatkan keadaan rakyat yang melengkapi Deposito Inpres 1968. Ketiga
program tersebut dalam pengembalian dananya dijamin sepenuhnya oleh BI. Selain itu, BI juga
menyediakan dana yang cukup besar
melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang diberikan kepada tujuh bank pemerintah untuk membiayai
program kredit. Pada tahun 1972, BI mendukung
terbentuknya 12 Lembaga Keuangan Bukan
Bank (LKBB). Pada periode ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah perbankan
Indonesia, bank diklasifikasikan berdasarkan
tingkat kesehatan bank, yaitu: predikat sehat, cukup sehat, dan kurang sehat.
Tata cara penilaian tingkat kesehatan bank pada 1975 diukur berdasarkan
pelaksanaan asas-asas yang sehat serta kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan
yang berlaku. Mulai tahun 1975, industri
perbankan Indonesia telah menjadi industri yang hampir seluruh aspek kegiatannya diatur oleh pemerintah dan BI.
Pada periode ini, tidak satupun bank harus diawasi secara khusus karena
bermasalah atau harus dilikuidasi. Pada periode ini, statistik jumlah perbankan
nasional tidak mengalami perubahan selama bertahun-tahun. Kondisi perbankan
yang stabil karena ketatnya regulasi perbankan mengakibatkan kurangnya
inisiatif perbankan. Upaya untuk melakukan persaingan yang sehat juga hampir
tidak ada, tata cara transaksi perbankan masih dilakukan dengan cara
tradisional sejak bertahun-tahun, demikian juga dengan produk perbankan yang
ditawarkan hampir tidak mengalami peningkatan.
Pada tahun 1966, Bank Tunggal diakhiri dengan cara
dipecah-pecah menjadi bank-bank individual. Selanjutnya bank-bank milik
Pemerintah masing-masing diberi misi yang terfokus pada sektor ekonomi tertentu
sesuai Undang-Undang masing-masing bank yang bersangkutan.. Terdapat dua jenis
tabungan yang diprogramkan Pemerintah,
yaitu Tabungan Pembangunan Nasional (TABANAS) dan Tabungan Asuransi Berjangka
(TASKA). Pembiayaan ekonomi oleh perbankan diarahkan untuk mendukung program pengadaan
pangan, sedangkan pembiayaan untuk kredit jangka panjang dan impor pada
dasarnya dilarang oleh Pemerintah berkaitan dengan program memerangi hyperinflasi
yang terbawa dari periode sebelumnya.
Usaha lainnya yang juga
termasuk dalam prioritas pembiayaan perbankan adalah industri sandang dan
kerajinan rakyat. Untuk itu Bank Indonesia menyediakan Kredit Likuiditas yang
dikenal dengan KLBI bagi bank-bank yang memberi kredit program dimaksud. Agar
dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas maka perizinan pendirian bank yang
telah dihentikan sejak tahun 1959, dibuka kembali tahun 1966, termasuk pembukaan
kantor cabang. Izin pendirian bank baru dan pembukaan kantor cabang tersebut
diberikan oleh Menteri keuangan setelah mendapatkan pertimbangan dari Bank
Indonesia. Izin tersebut sempat dihentikan sementara waktu sejak tahun 1967
sampai dengan 1968. Krisis tersebut disebabkan oleh banyaknya kredit macet
karena kondisi ekonomi yang memburuk dengan tingkat inflasi yang sangat tinggi yang
membuat 21 bank dihentikan keikut sertaannya dalam kliring. Selanjutnya
tahun 1969 izin tersebut dibuka kembali. Persyaratan utama bagi pendirian bank
adalah :
1) kecukupan modal yang disesuaikan dengan kota tempat kedudukan
bank yang bersangkutan
2) Daerah tempat pendirian bank masih membutuhkan bank
3) Badan Hukum harus berbentuk PT yang saham-sahamnya harus atas
nama serta.
4) Seluruh Pemegang Saham dan Pimpinannya harus WNI.
Pada
periode tersebut, seiring dengan perkembangan politik yang sedang berlangsung,
uang kertas Seri Presiden Soekarno ditarik dari peredaran dan diganti dengan
Seri Jenderal Sudirman bertanda tahun 1968. Seri tersebut dikeluarkan dalam 11
pecahan dari Rp 1 sampai Rp 10.000. Selain uang kertas, untuk pertama kalinya,
BI juga mengeluarkan uang logam pada 1 Januari 1971, yaitu uang logam emisi tahun 1970 dari bahan
alumunium. Uang logam tersebut terdiri
dari pecahan Rp 1, Rp 2, dan Rp 5.
4. Periode 4 Tahun 1983 – 1997
Memasuki awal periode 1982/1983
perekonomian Indonesia mengalami tekanan yang cukup berat terutama disebabkan
oleh menurunnya harga minyak di pasaran dunia dan berlanjutnya resesi ekonomi
dunia yang berpengaruh terhadap kegiatan perekonomian dalam negeri. Untuk memperkuat perekonomian Indonesia, maka
dilakukan beberapa kebijakan pengendalian moneter yang menuju ke arah mekanisme pasar. Dari sisi
moneter, inti dari kebijakan tersebut adalah:
(1)
Kebebasan pada bank pemerintah untuk menetapkan suku bunga deposito.
Sebelumnya, suku bunga deposito
ini masih diatur oleh Bank Indonesia,
(2) Ketentuan pagu kredit, yang sebelumnya digunakan
sebagai salah satu instrumen intervensi
langsung, dihapuskan.
Paket
Juni 1983 (PAKJUN 83) telah memberikan pengaruh positif terhadap kestabilan
moneter, yang saat itu pengendalian moneter lebih mengutamakan penggunaan kebijakan
tidak langsung. Untuk keperluan operasi pasar terbuka, sejak bulan Februari
1984 Bank Indonesia menerbitkan kebijakan moneter berupa Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) dan menyediakan fasilitas diskonto. SBI
merupakan kebijakan moneter tidak langsung yang dibentuk untuk menyedot kelebihan uang yang beredar di masyarakat apa bila moneter
sudah meluas. Pada tanggal 1 Februari 1985,
Bank Indonesia menerbitkan OPT baru berupa
Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1984 cukup meningkat di bandingkan tahun-tahun
sebelumnya. Tetapi inflasi terus melaju cukup tinggi akibat menurunnya rupiah
dan naiknya harga BBM pada awal tahun 1984. Pada saat itu, beberapa bank tertentu
bergantung pada dana Pasar Uang Antar
Bank (PUAB), sehingga BI bermaksud mengurangi ketergantungan bank-bank terhadap
PUAB dengan menetapkan batas maksimum bank untuk memperoleh dana di PUAB serta menyediakan
Fasilitas Kredit Khusus (FKK) dengan jangka waktu satu tahun. Sampai awal periode ini, ekonomi
Indonesia mengalami banyak kemajuan,
namun secara keseluruhan masih tergantung pada Pemerintah.
Kondisi perekonomian pada akhir periode
1982/1983 masih sangat rendah, dilihat dari faktor eksternal maupun internal. Pada
tahun 1988, pemerintah dan BI dalam deregulasi perbankan dengan mengeluarkan
Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88). Pemberian izin usaha bank
baru yang telah dihentikan sejak tahun
1971 dibuka kembali oleh Pakto 88. Demikian pula dengan ijin pembukaan kantor cabang atau pendirian BPR menjadi lebih
dipermudah dengan persyaratan modal
ringan, Pakto 88 juga mempunyai efek samping dalam bentuk penyalah gunaan
kebebasan dan kemudahan oleh para pengurus bank. Dalam
rangka lebih meningkatkan kemampuan perbankan untuk menghimpun dana masyarakat
dan memberikan kredit, perluasan jaringan bank diperlukan. Perluasan jaringan
bank tersebut bukan sekadar untuk memperluas
wilayah monetisasi kegiatan ekonomi, tetapi juga untuk memperluas jasa
perbankan.
Pada 27 Oktober 1988, Pemerintah
mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober
1988 yang dikenal sebagai Pakto 1988. Pemerintah membuka kembali perizinan pendirian
bank swasta nasional baru dengan modal disetor minimum sebesar Rp10 milyar dan
bank perkreditan rakyat (BPR) dengan modal disetor minimum sebesar Rp50 juta.
Inisiatif-inisiatif yang diambil oleh Bank Indonesia untuk menunjang pembangunan ekonomi dapat dikelompokkan menjadi lima aspek sebagai berikut:
·
Meningkatkan peran perbankan dalam
pembangunan ekonomi.
· Menciptakan alat-alat moneter
berdasarkan mekanisme pasar dan menjaga kestabilan moneter dengan menggunakan
alat yang diciptakan-nya.
·
Melakukan pengendalian devisa dan
mendorong ekspor nonmigas.
·
Menunjang pengembangan pasar modal.
·
Menunjang pengembangan usaha kecil dan
koperasi.
Dalam
pelaksanaannya, inisiatif-inisiatif ini dikeluarkan dengan berbagai macam paket
kebijakan yang dikeluarkan secara bertahap. Pengawasan dan pembinaan bank
pada periode ini dilakukan untuk mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan efisien
dalam arti dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang
secara wajar, dan bermanfaat bagi perkembangan ekonomi Indonesia.
5. Periode 5 Tahun 1997-1999
Sejak Juli 1997 telah terjadi krisis ekonomi
moneter yang membuat ekonomi dan politik nasional semkain terpuruk. Nilai tukar
Rupiah terus merosot tajam, pemerintah melakukan tindakan pengetatan Rupiah
melalui kenaikan suku bunga yang sangat tinggi dan pengalihan dana BUMN/yayasan
dari bank-bank ke BI (SBI) serta pengetatan anggaran Pemerintah. pada Oktober
1997, pemerintah mengundang IMF untuk membantu pemulihan krisis di Indonesia.
Pada 31 Oktober 1997 disetujui LoI pertama yang merupakan program pemulihan krisis IMF. Memasuki
1998 keadaan ekonomi semakin memburuk, nilai Rupiah terhadap Dollar tertekan
hingga Rp 16.000 hal ini disebabkan pasokan barang yang menurun dengan tajam karena kegitan
produksi berkurang dan jalur distribusi terganggu karena rusaknya pusat-pusat
perdagangan karena kerusuhan Mei 1998.
Pada 15 Januari 1998 Pemerintah mempercepat program penyeimbang dan reformasi
ekonomi dengan LoI kedua. LoI kedua diikuti dengan LoI ketiga 8 April 1998 yang
membahas program penyeimbang Rupiah, pembekuan 7 bank dan penempatannya pada BPPN serta
penyelsaian hutang swasta dengan Pemerintah. Kemudian LoI keempat pada 25 Juni 1998 yang membahas revisi atas
target-target ekonomi dan penyediaan Jaringan Pengaman Sosial (JPS). Selain
mengatasi krisis moneter, pemerintah juga juga membantu menyelesaikan pinjaman
luar negeri sektor swasta.
Akibat krisis nilai tukar Rupiah terhadap Valas, terutama USD yang terjadi sejak pertengahan 1997, mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap Rupiah, kemudian terhadap perbankan, dan berlanjut terhadap Pemerintah atas penanganan krisis dimaksud. Untuk mengurangi tekanan penurunan Rupiah, kebijakan-kebijakan moneter yang ditempuh ada berbagai hal, antara lain pelebaran band intervensi, pembatasan transaksi valuta asing oleh perbankan, perubahan sistem nilai tukar dan pengetatan likuiditas perbankan. Berbagai langkah tidak sepenuhnya berhasil menahan laju depresiasi rupiah karena krisis dalam waktu singkat telah berkembang dari semula krisis moneter menjadi krisis ekonomi, krisis sosial budaya, dan krisis politik. Saat itu penurunan rupiah tetap berlangsung hingga pernah mencapai 600% dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, yaitu dari RP. 2.350,- menjadi Rp. 16.000,- per 1 USD. Kebijakan yang ditempuh dalam penyelesaian hutang luar negeri swasta, tim penyelesaian hutang luar negeri swasta yang didukung oleh Pemerintah melakukan serangkaian perundingan dengan kreditur luar negeri yang diwakili oleh Bank Steering Committee. Perundingan yang dilakukan di Frankfurt pada 4 Juni 1998 mencapai kesepakatan mengenai penyelesaian pinjaman antara bank, pinjaman perusahaan swasta dan pembiayaan perdagangan. Penyelesaian utang antar bank dilakukan melalui program pertukaran hutang antarbank (exchange offer). Pada tahap pertama pinjaman yang dipertukarkan adalah pinjaman yang jatuh waktu sampai dengan 31 Maret 1999 yang dijadwalkan kembali menjadi pinjaman baru dengan maksimum jatuh waktu 4 tahun.
Akibat krisis nilai tukar Rupiah terhadap Valas, terutama USD yang terjadi sejak pertengahan 1997, mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap Rupiah, kemudian terhadap perbankan, dan berlanjut terhadap Pemerintah atas penanganan krisis dimaksud. Untuk mengurangi tekanan penurunan Rupiah, kebijakan-kebijakan moneter yang ditempuh ada berbagai hal, antara lain pelebaran band intervensi, pembatasan transaksi valuta asing oleh perbankan, perubahan sistem nilai tukar dan pengetatan likuiditas perbankan. Berbagai langkah tidak sepenuhnya berhasil menahan laju depresiasi rupiah karena krisis dalam waktu singkat telah berkembang dari semula krisis moneter menjadi krisis ekonomi, krisis sosial budaya, dan krisis politik. Saat itu penurunan rupiah tetap berlangsung hingga pernah mencapai 600% dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, yaitu dari RP. 2.350,- menjadi Rp. 16.000,- per 1 USD. Kebijakan yang ditempuh dalam penyelesaian hutang luar negeri swasta, tim penyelesaian hutang luar negeri swasta yang didukung oleh Pemerintah melakukan serangkaian perundingan dengan kreditur luar negeri yang diwakili oleh Bank Steering Committee. Perundingan yang dilakukan di Frankfurt pada 4 Juni 1998 mencapai kesepakatan mengenai penyelesaian pinjaman antara bank, pinjaman perusahaan swasta dan pembiayaan perdagangan. Penyelesaian utang antar bank dilakukan melalui program pertukaran hutang antarbank (exchange offer). Pada tahap pertama pinjaman yang dipertukarkan adalah pinjaman yang jatuh waktu sampai dengan 31 Maret 1999 yang dijadwalkan kembali menjadi pinjaman baru dengan maksimum jatuh waktu 4 tahun.
Memasuki bulan Januari 1998, dampak
krisis, terutama yang menyangkut sektor perbankan, ternyata semakin meluas.
Saldo debet bank-bank di BI terus berlanjut. Pada tanggal 15 Januari 1998,
program stabilisasi yang mencakup
restrukturisasi sektor keuangan dan sektor riil itu ditandatangi pemerintah dengan
IMF dalam LoI. Perbankan Indonesia mengalami masalah besar akibat krisis nilai
tukar mata uang yang melanda negara-negara di kawasan Asia, termasuk dan
terutama Indonesia sejak pertengahan 1997. Dampak krisis perbankan nasional terhadap luar
negeri akhirnya dapat diatasi dengan berbagai kesepakatan, antara lain :
1) Letter of Credit (L/C) yang diterbitkan oleh
bank-bank nasional yang tidak dapat diterima di
luar negeri, dijamin secara tunai oleh Bank Indonesia.
2)
Hutang bank-bank kepada kreditur luar negeri disepakati untuk direschedul (jadwal
ulang).
Selama
krisis berlangsung, penyelamatan sistem perbankan nasional dilakukan dalam
intensitas tinggi. Koordinasi dengan Pemerintah dilakukan melalui berbagai forum,
antara lain sidang kabinet terbatas bidang Ekkuwasbang dan Prodis tanggal 3 September
1997, pencabutan izin usaha 16 bank tanggal 1 November 1997, penerapan program
penjaminan pemerintah tanggal 26 Januari 1998, pendirian BPPN tanggal 26 Januari
1998, identifikasi bank-bank berdasarkan
kriteria rekapitalisasi pada akhir 1998, pengambilalihan bank-bank oleh
pemerintah pada bulan Mei 1998 dan pembekuan operasional bank pada bulan Mei
dan Agustus 1998 serta penghentian kegiatan usaha tertentu bank-bank tanggal 13
Maret 1999.
REFERENSI
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/3D833681-7F11-4D9F-83E1-A6582EAD75DE/823-/SejarahSistemPembayaranPeriode19971999 .pdf
M. Ashadhi, Sejarah Bank Indonesia
Periode I : 1945-1959, Jakarta: Bank Indonesia, 2005
M. Ashadhi, Sejarah Bank Indonesia
Periode II : 1959-1966, Jakarta: Bank Indonesia, 2005
M. Ashadhi, Sejarah Bank Indonesia
Periode III : 1966-1983, Jakarta: Bank Indonesia, 2005
M. Ashadhi, Sejarah Bank Indonesia Periode IV : 1983-1997,
Jakarta : Bank Indonesia, 2005
thank you atas informasinya, bisa juga mampir ke blog mengenai pinjaman online jika berkenan, terima kasih
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut