Kain
Panjang Grinsing (UAS)
Muhammad
Fiqih Zidni
Kain gringsing adalah
satu-satunya kain tenun tradisional Indonesia yang dibuat menggunakan teknik
teknik dobel ikat dan memerlukan waktu 2-5 tahun. Kain ini berasal dari Desa Tenganan, Bali. Umumnya, masyarakat
Tenganan memiliki kain gringsing berusia ratusan tahun yang digunakan dalam
upacara khusus. Kata gringsing berasal dari gring yang berarti
'sakit' dan sing yang berarti 'tidak', sehingga bila
digabungkan menjadi 'tidak sakit'. Maksud yang terkandung di dalam kata
tersebut adalah seperti penolak bala. Di Bali, berbagai upacara, seperti
upacara potong gigi, pernikahan, dan upacara keagamaan lain, dilakukan dengan
bersandar pada kekuatan kain gringsing.
Sejarah
Berdasarkan mitos, adanya kain tenun gringsing berawal dari Dewa
Indra, pelindung dan guru kehidupan bagi masyarakat Tenganan. Dewa Indra kagum
dengan keindahan langit di malam hari dan dia memaparkan keindahan tersebut
melalui motif tenunan kepada rakyat pilihannya, yaitu rakyat Tenganan. Dewa itu
mengajarkan para wanita untuk menguasai teknik menenun kain gringsing yang
melukiskan dan mengabadikan keindahan bintang, bulan, matahari, dan hamparan langit lainnya. Kain tenun yang berwarna gelap
alammi digunakan masyarakat Tenganan dalam ritual keagamaan atau adat dan dipercaya
memiliki kekuatan magis. Kain ini juga disebut-sebut merupakan alat yang mampu
menyembuhkan penyakit dan menangkal pengaruh buruk. Pakar tekstil menyataan
bahwa teknik penenunan kain gringsing ini hanya dijumpai di tiga lokasi di
dunia, yaitu Tenganan (Indonesia), Jepang, dan India.
Pada tahun 1984, Urs Ramseyer (1984) dalam tulisannya yang
berjudul Clothing, Ritual and Society in Tenganan Pegeringsingan Bali,
menyatakan dugaan bahwa masyarakat Tenganan sebagai sesama penganut Dewa Indra
merupakan imigran dari India kuno. Imigran tersebut kemungkinan membawa teknik
dobel ikat melalui pelayaran dari Orrisa atau Andhra Pradesh dan mengembangkan teknik tersebut secara
independen di Tenganan. Kemungkinan lain adalah para imigran menguraikan kutipan-kutipan dari beberapa jenis tenun patola
untuk dikembangkan di Indonesia.[4]
Tata Upacara Pembuatan
Tenun Grinsing
Masyarakat Tenganan
Pegeringsingan yang menganut agama Hindu sangat percaya bahwa segala sesuatu
pekerjaan yang dimulai dengan diawali upacara keagamaan maka hasilnya akan balk
dan menjumpai kesalamatan. Dalam memulai pekerjaan menenun Kain Geringsing yang
sangat dikematkan inipun mereka sangat memperhatikan aturan yang sudah
diwariskan secara turun-temurun oleh leluhurnya. Mereka mengikuti aturan
tersebut meskipun secara teknik ilmiah mereka kurang bisa menjelaskan narnun
mereka tetap berusaha menaruh perhatian yang besar terhadap pelestarian yang
sangat erat kaitannya dengan upacara keagamaan yang harus dilaksanakan demi
mempertahankan keaslian tata cara pembuatan kain tenun tradisional Geringsing,
satu-satunya yang ada di Bali.
Pantangan bagi
masyarakat Tenganan Pegeringsingan untuk menenun kain Gringsing pada saat
datang bulan (haid). Mengenai upacara keagamaan dilakukan secara bertahap
selama proses pembuatan tenun tradisional Geringsing berlangsung.
Rentetannya adalah
sebagai berikut : setelah proses pembuatan dimulai, diawali dengan mencelupkan
benang kedalam minyak lilin (minyak kemiri/malem) dan air serbuk kayu dalam
wadah yang terbuat dan tanah hat (jeding) kemudian ditutup dengan kain putih
hitam (gotia) guna menghindan adanya pengaruh roh jahat (leak).
Setelah ikatan pertama disimpulkan disertai dengan yadnya kecil
yang terdiri dan : kembang sepatu, dauh sirih gulung, kapur sirih dan 2 set
uang kepeng 11, pada lubangnya digantungkan benang katun yang diikat 2 kendi.
Ikatan terakhir pada bahan hanya dapat diikat oleh wanita yang lewat masa
menapouse.
Proses dan Teknik Pembuatan
Buah kemiri yang sudah matang dan jatuh ke tanah
untuk pembuatan kain gringsing.
Proses pembuatan kain gringsing dari awal hingga akhir dikerjakan
dengan tangan. Benang yang digunakan merupakan hasil pintalan tangan dengan
alat pintal tradisional, bukan mesin. Benang tersebut diperoleh dari kapuk
berbiji satu yang didatangkan dariNusa Penida karena hanya di tempat tersebut bisa didapatkan kapuk berbiji satu.
Setelah selesai dipintal, benang akan mengalami proses perendaman dalam minyak
kemiri sebelum dilanjutkan ke proses ikat dan pewarnaan. Perendaman tersebut
bisa berlangsung lebih dari 40 hari hingga maksimum satu tahun dengan
penggantian air rendaman setiap 25-49 hari. Semakin lama perendaman, benang
akan makin kuat dan lebih lembut.
Buah kemiri (Aleurites moluccana) diambil
langsung di hutan Tenganan dan pembuat kain gringsing harus menggunakan kemiri
yang benar-benar matang, serta jatuh dari pohonnya. Hal ini sesuai dengan
awig-awig (aturan adat) yang menyatakan bahwa beberapa jenis pohon tertentu
(kemiri, keluak, tehep, dan durian) yang tumbuh di atas
tanah milik individu tidak boleh dipetik oleh pemiliknya, melainkan hatus
dibiarkan matang di pohon dan kemudian jatuh.[5]
Benang akan dipintal menjadi sehelai kain yang memiliki panjang
(sisi pakan) dan lebar (sisi lungsi) tertentu. Untuk merapatkan hasil tenunan,
benang akan didorong menggunakan tulang kelelawar. Kain yang sudah jadi akan diikat oleh juru ikat mengikuti pola
tertentu yang sudah ditentukan. Proses pengikatan menggunakan dua warna tali
rafia, yaitu jambon dan hijau muda. Setiap ikatan akan dibuka sesuai proses
pencelupan warna untuk menghasilkan motif dan pewarnaan yang sesuai.
Proses penataan benang, pengikatan, dan pewarnaan dilakukan pada
sisi lungsi dan pakan, sehingga teknik tersebut disebut dobel ikat. Pada teknik
tenun ikat biasa, umumnya hanya sisi pakan yang diberi motif, sedangkan sisi lungsi
hanya berupa benang polos, atau sebaliknya. Pola yang dibuat pada kain harus
ditenun dengan ketrampilan dan ketelitian sehingga setiap warna pada lungsi
akan bertemu dengan warna yang sama pada pakan dan menghasilkan motif kain yang
terlihat tegas.
Pewarna
Motif kain gringsing hanya menggunakan tiga warna yang disebut tridatu.
Pewarna alami yang digunakan dalam pembuatan motif kain gringsing adalah
'babakan' (kelopak pohon) Kepundung putih (Baccaurea racemosa) yang dicampur dengan kulit akar mengkudu(Morinda citrifolia) sebagai warna merah, minyak buah kemiri berusia tua (± 1
tahun) yang dicampur dengan air serbuk/abu kayu sebagai warna kuning, dan pohon
Taum untuk warna hitam
Motif
Konon, dulunya jenis tenun gringsing berjumlah sekitar 20 jenis.
Namun, hingga tahun 2010, yang masih dikerjakan hanya ± 14 jenis, beberapa di
antaranya adalah:
·
Lubeng, dicirikan dengan kalajengking dan berfungsi sebagai busana adat dan digunakan dalam
upacara keagamaan. Ada beberapa macam motif Lubeng, yaitu Lubeng Luhur yang
berukuran paling panjang (tiga bunga berbentuk kalajengkin yang masih utuh),
Lubeng Petang Dasa (satu bunga kalajengking utuh di tengah dan di pinggir hanya
setengah), dan Lubeng Pat Likur (ukurannya terkecil).
·
Sanan Empeg, dicirikan
dengan tiga bentuk kotak-kotak/poleng berwarna merah-hitam. Fungsi kain
gringsing bermotif ini adalah sebagai sarana upacara keagamaan dan adat, yaitu
sebagai pelengkap sesajian bagi masyarakat Tenganan Pegeringsingan. Bagi
masyarakat Bali di luar desa Tenganan, kain ini digunakan sebagai penutup
bantal/alas kepala orang melaksanakan upacara manusa yadnya potong gigi.
·
Cecempakaan, dicirikan
dengan bunga cempaka dan berfungsi sebagai busana adat dan
upacara keagamaan. Jenis-jenis Gringsing Cecempakaan adalah Cecempakaan Petang
Dasa (ukuran empat puluh), Cecempakaan Putri, dan Geringsing Cecempakaan Pat
Likur (ukuran 24 benang).
·
Cemplong, dicirikan
dengan bunga besar di antara bunga-bunga kecil sehingga terlihat ada kekosongan
antara bunga yang menjadi cemplong. Gringsing cemplong juga berfungsi sebagai
busana adat dan upacara agama. Jenis-jenisnya terdiri dari ukuran Pat Likur (24
benang), senteng/anteng (busana di pinggang wanita), dan ukuran Petang Dasa (40
benang) yang sudah hampir punah.
·
Gringsing Isi, motifnya
semua berisi atau penuh, tidak ada bagian kain yang kosong. Motif ini berfungsi
hanya untuk sarana upacara dan kuran yang ada hanya ukuran Pat Likur (24
benang).
·
Wayang, terdiri dari
gringsing wayang kebo dan gringsing wayang putri. Motif ini paling sulit
dikerjakan dan memerlukan waktu pembuatan hingga 5 tahun. Motif wayang hanya
terdiri dari dua warna, yaitu hitam sebagai latar dan garis putih yang relatif
halus untuk membentuk sosok wayang. Untuk menciptakan garis putih dengan
tersebut diperlukan ketelitian tinggi karena tingkat kesulitan selama
pengikatan dan penenunan kain relatif sulit. Wayang kebo memiliki motif wayang
lelaki, sedangkan wayang putri hanya berisi motif wayang perempuan.
·
Batun Tuung, yang
dicirikan dengan biji terung, Ukurannya tidak besar dan digunakan untuk
senteng (selendang) pada wanita dan sabuk (ikat pinggang) tubumuhan pada pria.
Motif ini sudah hampir punah.
Motif-motif kuno kain gringsing lainnya yang masih dikenal
meliputi: Teteledan, Enjekan Siap, Pepare, Gegonggangan, Sitan Pegat, Dinding
Ai, Dinding Sigading, dan Talidandan. Warna dan keunikan desain ikat mulai
mengalami perubahan dibandingkan dengan motif kain-kain kuno yang sebagian
tersimpan di museum-museum di Eropa, seperti Museum Basel, Swiss. Pada tahun 1972,
kelompok peneliti dari Museum Fur Volkerkunde, Basel, membawa foto-foto kain
gringsing yang sebagian sudah tidak ditemukan lagi di Desa Tenganan. Foto-foto
tersebut dipelajari dan dibuat kembali oleh masyarakat Tenganan untuk
melestarikan motif-motif kuno kain gringsing.
Produk kain tenun Bali diatas bisa ditemui di Toko Tenun Indonesia
Kain Grinsing diminati Kolektor Dunia
Liputan6.com, Jakarta: Keindahan karya seni para pengrajin Pulau Dewata tidak diragukan lagi. Salah satunya adalah Kain Gringsing, kain tenun ikat ganda yang sangat unik dalam motif dan warna. Dengan sekilas pandang, kualitas kain yang dibuat dengan tangan itu jelas terlihat. Kain ini diburu para kolektor dunia namun kurang dikenal oleh masyarakat Tanah Air. Untuk memperkenalkan kepada masyarakat, Kain Gringsing dipamerkan di Borneo Gallery, Jalan Kemang Utara Raya 58B, Jakarta Selatan, baru-baru ini.
Kain Gringsing adalah satu-satunya tenun ikat ganda yang dibuat di Indonesia. Kain yang dipergunakan untuk upacara-upacara keagamaan ini melambangkan kesucian dan dipercaya dapat menolak bala. Harga sehelai kain tersebut berkisar antara Rp 500 ribu hingga Rp 20 juta.
Proses pembuatan sehelai kain ikat ganda bisa memakan waktu antara lima hingga 10 tahun. Penenun biasanya memintal sendiri kapas yang akan dijadikan kain. Untuk pewarnaan, mereka menggunakan pewarna dari rumput atau kayu. Warna merah, misalnya, berasal dari akar sunti Nusa Penida. Sedangkan warna kuning berasal dari minyak kemiri.
Agar warna bisa merasuk ke dalam serat-serat benang melalui proses yang panjang. Warna kuning muncul setelah diproses 37 hari sementara warna merah perlu diproses tiga hari. Keseluruhan pemrosesan--mulai dari mencuci, jemur, dan menyimpan-- membutuhkan waktu tiga bulan.
Kain Gringsing dibuat para penenun Bali Aga, masyarakat tertua yang tinggal di Desa Tenganan, Karangasem. Tenganan memang kalah pamor dengan Ubud, Kuta, atau Sanur. Tetapi desa yang berpedoman pada awig-awig atau peraturan adat desa itu mempunyai kain Gringsing yang banyak diminati terutama motif Wayang Kebo, Wayang Putri, atau Cempaka.
Referensi
1.
^ a b c d e Amy Wirabudi. "Terpikat
Dobel Ikat: Tenun Gringsing", (EVE MAGAZINE Indonesia), 1 April 2010, hlm.
89.
2.
^ Esther Mulyanie
dan Agus Ginanjar. "Kain Gringsing Bali
Aga Diminati Kolektor Dunia ", (Liputan6.com), 21 Maret 2004.
A. Tulisan TIDAK ORIGINAL
BalasHapusB. Sumber TIDAK DICANTUMKAN
C. DITOLAK! silakan DIPERBAIKI KEMBALI
salaam,
MS Rasyid