Ujian Tengah Semester (UTS) Sejarah Indonesia
Nama : Fijra Nur Syafar
No.Reg : 4423 1268 63
Prodi : D3 Usaha Jasa Pariwisata
Jurusan : Sejarah
Fakultas : Ilmu Sosial
Nama : Fijra Nur Syafar
No.Reg : 4423 1268 63
Prodi : D3 Usaha Jasa Pariwisata
Jurusan : Sejarah
Fakultas : Ilmu Sosial
Pertempuran Jagaraga ( 1848-1849 )
Pertempuran
Jagaraga adalah perlawanan rakyat Bali yang lebih dikenal dengan sebutan
Puputan Jagaraga. Istilah puputan sendiri berasal dari kata puput yang berarti
habis atau mati. Puputan berarti perang sampai mati yang wajib berlaku bagi
semua kasta di masyarakat untuk mengorbankan jiwa dan raganya sampai titik
darah pengahabisan sebagai bentuk perlawanan. Puputan juga merupakan tradisi
masayrakat Bali untuk menjaga kehormatan tanah air dengan tindakan perlawanan bersenjata
habis-habisan sampai mati.
Puputan Jagaraga
merupakan perang yang dilakukan Kerajaan Buleleng dalam melawan penjajah
Belanda. Pada abad ke – 18, Belanda yang menjadi pembeli utama budak-budak Bali
telah menghadapi prajurit-prajurit Bali. Budak-budak Bali tersebut banya diantaranya
bertugas dalam pasukan VOC dan angkatan perang kolonial. Akan tetapi, Belanda
tidak terlibat secara lansung dalam perlawanan ini. Pemerintah Inggris di Jawa
telah berperang dengan raja-raja Buleleng dan Karangasem dalam usaha mengakhiri
perdagangan budak. Namun perdagangan budak terus berlangsung walaupun Bali
sudah menyerah.
Kemudian pemerintah
kolonial Belanda melakukan beberapa upaya untuk membujuk raja-raja Bali setelah
tahun 1816, dengan tujuan agar Bali bersedia menerima kekuasaan Belanda. Upaya
Belanda itu dilakukan antara lain melalui perjanjian tahun 1841 dengan kerajaan
Klungkang, Badung dan Buleleng. Salah satu isinya bebunyi: Raja-raja Bali
mengakui bahwa kerajaankerajaan di Bali berada di bawah pengaruh Belanda.
Perjanjian ini merupakan bukti keinginan Belanda untuk menguasai Bali. Dan
walaupun Raja Badung menyediakan prajurit-prajurit untuk angkatan perang
kolonial, tetapi Belanda tidak punya pengaruh yang besar di pulau tersebut.
Selama abad ke-19, Bali mengalami suatu rangkaian
tragedi alam, budaya, ekonomi, dan politik yang memberi sejarahnya suatu arti
yang lebih lebar dan sebuah kengerian yang melekat. Dramanya bermula dari
ledakan alam yang tersebar yang pernah diketahui, yang akibatnya dirasakan oleh
Bali dan pulau-pulau tetangganya. Dari April sampai Juli 1815, Gunung Tambora
di Pulau Sumbawa meletus, menewaskan lebih banyak orang dari pada letusan
Krakatau pada tahun 1883 yang lebih terkenal. Sepuluh ribu nyawa langsung
melayang, 38.000 orang diperkirakan hilang tak ditemukan.
Faktor Pertempuran Jagaraga
Apakah
faktor yang menyebabkan timbulnya perang Bali antara tahun 1846- 1849? Masalah
utama adalah adanya hak tawan karang yang dimiliki raja-raja Bali. Hak ini
dilimpahkan kepada kepala desa untuk menawan perahu dan isinya yang terdampar
di perairan wilayah kerajaan tersebut. Antara Belanda dengan pihak kerajaan
Buleleng yaitu Raja I Gusti Ngurah Made Karang Asem besarta Patih I Gusti Ketut
Jelantik telah ada perjanjian pada tahun 1843, isinya pihak kerajaan akan
membantu Belanda jika kapalnya terdampar di wilayah Buleleng namun perjanjian
itu tidak dapat berjalan dengan semestinya.
Pada tahun
1844 terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda di pantai Prancah (Bali
Barat) dan Sangsit (Buleleng bagian Timur). Belanda menuntut agar kerajaan
Buleleng melepaskan hak tawan karangnya sesuai perjanjian tahun 1843 itu namun
ditolak. Kejadian tersebut dijadikan alasan oleh Belanda untuk menyerang
Buleleng.
Pada sekitar tahun 1840, dua faktor meyakinkan pihak
Belanda bahwa Bali harus ditempatkan di bawah pengaruh mereka. Yang pertama
adalah perampokan dan perampasan yang dilakukan oleh orang-orang Bali terhadap
kapal-kapal yang terdampar, dan yang kedua adalah adanya kemungkinan kekuatan
Eropa lainnya akan campur tangan di Bali. Segera menjadi jelas bahwa tidak ada
alasan untuk merasa takut akan campur tangan bangsa Eropa lainnya, karena rasa
kemerdekaan orang-orangBali begitu kuat sehingga dapat diduga mereka akan
melawan setiap kekuatan asing. Akan tetapi, masih tetap ada soal perampokan dan
perampasan.
Pada tahun 1841, seorang duta Belanda membujuk
raja-raja Badung, Klungkung, Karangasem, dan Buleleng untuk menandatangani
perjanjian-perjanjian yang mengakui kedaulatan pemerintah kolonial Belanda.
Sebenarnya tujuan utama pemerintah penjajah bukanlah menguasai Bali, tetapi
hanya menciptakan dasar hukum untuk menutup Bali dan kekuatan Barat lainnya.
Diberitahukan kepada raja-raja Bali tersebut bahwa persetujuan-persetujuan itu
tidak akan membatasi kedaulatan mereka dalam negeri. Mereka menerima
persekutuan tersebut dengan harapan bahwa pihak Belanda bersedia membantu
mereka dalam menyerang kerajaan Mataram di Lombok. Dukungan militer itu rupanya
dijanjikan oleh utusan Belanda, yang bertentangan dengan perintah-perintah
pihak Belanda sendiri, dan sampai batas itu perjanjian-perjanjian itu hanyalah
muslihat.
Kemudian raja-raja tersebut dan raja-raja Tambanan dan
Lombok di bawah perintah raja-raja dari Karangasem, menandatangani
perjanjian-perjanjian lebih lanjut pada tahun 1842-1843, yang ditujukkan untuk mengakhiri
masalah perampokan terhadap kapal-kapal yang terdampar. Perjanjian-perjanjian
itu ternyata tidak efektif dan perampasan berjalan terus. Raja Bulelengkini
menjadi marah ketika pihak Belanda tampaknya memasukkan penafsiran yang lebih
luas atas penyerahan kedaulatannya, dan pada tahun 1844 dia menolak
meratifikasi persetujuan-persetujuan tersebut.
Jatuhnya
pusat kerajaan Buleleng ke tangan Belanda pada tanggal 28 Juni 1846,
belumlah berarti semangat dan jiwa kepahlawanan raja dan rakyat Buleleng telah
memudar. Bersamaan dengan jatuhnya pusat kerajaan Buleleng ke tangan Belanda,
hal ini telah menyebabkan laskar Buleleng terdesak, dan atas desakan Patih
Jelantik raja Buleleng telah mengambil keputusan untuk mengundurkan
pasukannya ke Buleleng Timur memasuki desa Jagaraga serta menetapkan
untuk menggunakan Jagaraga sebagai benteng konsolidasi kekuatan dan sebagai
ibukota kerajaan yang baru.
Ada beberapa
alternatif yang telah mendesak Patih Jelantik untuk mengambil keputusan.
Alternatif itu antara lain : Jelantik menyadari bahwa, konsolidasi persenjataan
pasukannya tidak seimbang dengan kekuatan persenjataan Belanda, sehingga akan
sia-sia melanjutkan pertempurannya. Untuk menghindari hal inilah akhirnya Patih
Jelantik memerintahkan kepada sisa-sisa laskar dan rakyat yang masih setia
terhadapnya untuk mengundurkan diri ke desa Jagaraga.
Sebab pokok
yang menjadi dasar persengketaan Buleleng dengan Belanda adalah : karena raja
Buleleng tidak pernah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam
perjanjian. Rakyat Buleleng dengan terang-terangan telah menggagalkan
pembangunan benteng di Pabean.
Bagaimana
jalannya perang Bali? Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki
dengan meriam dari pantai. Satu persatu daerah diduduki dan istana dikepung
oleh Belanda. Raja Buleleng berpura-pura menyerah kemudian perlawanan
dilanjutkan oleh Patih I Gusti Ketut Jelantik.
Pada tahun 1844, sebuah kapal dagang Belanda kandas di daerah Prancak
(daerah Jembara), yang saat itu di bawah kekuasaan Kerajaan Buleleng. Kerajaan-kerajaan
di Bali termasuk Buleleng pada saat itu memberlakukan hak tawan karang. Dengan
demikian, kapal dagang Belanda tersebut menjadi hak Kerajaan Buleleng.
Pemerintah kolonial Belanda memprotes Raja Buleleng yang dianggap merampas
kapal Belanda, namun tidak dihiraukan. Insiden inilah yang memicu pecanya
Perang Bali atau dikenal juga dengan nama Perang Jagaraga.
Pada akhir tahun 1845, Buleleng dan Karangasem
bersekutu dalam usaha menaklukkan negara-negara Bali lainnya. Pihak Belanda
merasa wajib untuk bertindak.pada tahun 1846, mereka berhasil menyerang
Buleleng dan Karangasem, tetapi serangan ini hanyalah langkah pertama dalam
suatu peperangan yang sengit dan panjang. Raja senior Bali, Dewa Agung dari
Klungkung, bersama-sama dngan sebagian raja-raja lainnya, secara diam-diam
mendukung usaha-usaha yang dilakukan Buleleng dan Karangasem untuk melawan
Belanda dan membentuk suatu koalisi militer.
Bagi masyarakat Bali, puputan
dilakukan dengan prinsip sebagai berikut:
- Nyawa seorang kesatria berada di ujung senjata kematian di medan pertempuran merupakan kehormatan.
- Dalam mempertahankan kehormatan bangsa dan negara maupun keluarga tidak dikenal dengan istilah menyerah kepada musuh
- Menurut ajaran Hindu, orang yang mati dalam peperangan, rohnya akan masuk surga
Benteng
Jagaraga berada di atas bukit, berbentuk “Supit Urang” yang dikelilingi dengan
parit dan ranjau untuk menghambat gerak musuh. Selain laskar Buleleng maka
raja-raja Karangasam, Mengwi, Gianyar dan Klungkung juga mengirim bala bantuan
sehingga jumlah seluruhnya mencapai 15000 orang. Semangat para prajurit
ditopang oleh isteri Jelantik bernama Jero Jempiring yang menggerakkan dan
memimpin kaum wanita untuk menyediakan makanan bagi para prajurit yang bertugas
digaris depan.
Pada tanggal
7 Maret 1848 kapal perang Belanda yang didatangkan dari Batavia dengan 2265 serdadu
mendarat di Sangsit. Pasukan Belanda
dipimpin oleh Mayor Jendral Van der Wijck menyerang Sangsit lalu menyerbu
benteng Jagaraga. Serangan Belanda dapat digagalkan.
Setelah
gagal, bagaimana upaya Belanda untuk menundukkan Bali? Belanda menjadi marah
dengan diundurkannya serangan balasan pada tahun 1848. Seorang perwira Belanda
bernama Rochussen menulis kepada Jenderal Van der Wijck, bahwa
jika ia diharuskan menjabat terus pangkatnya yang sekarang, ia tidak mau
beristirahat sebelum dapat memusnahkan Jagaraga.
Pada tahun 1849, mereka melancarkan serangan untuk
yang ketiga kalinya. Serangan ini meraih sukses di Bali Utara. Belanda
mendatangkan pasukan yang lebih banyak berjumlah 15000 orang lebih terdiri dari
pasukan infanteri, kavaleri, artileri dan Zeni dipimpin oleh Jendral Mayor A.V
Michiels dan Van Swieten. Benteng Jagaraga dihujani meriam dengan gencar. Tak
ada seorangpun laskar Buleleng yang mundur, mereka semuanya gugur termasuk
isteri Patih Jelantik yang bernama Jero Jempiring.
Dengan
gugurnya Patih Jelantik maka berhenti pulalah perlawanan Jagaraga terhadap
pasukan Belanda. Dalam serangan ini, dengan mengadakan pertempuran selama
sehari, Belanda telah berhasil memukul hancur pusat pertahanan dari laskar
Jagaraga, sehingga secara politis benteng Jagaraga secara keseluruhan telah
jatuh ke tangan pemerintah Kolonial Belanda pada tanggal 19 April 1849,
dengan jumlah korban di pihak Jagaraga kurang lebih sekitar 2200 orang,
termasuk 38 orang pedanda dan pemangku, lebih 80 orang Gusti, serta 83 pemekel,
sedang di pihak Belanda menderita korban sebanyak kurang lebih 264 orang
serdadu bawahan maupun tingkat yang lebih tinggi.
Dengan
jatuhnya benteng Jagaraga maka Belanda dapat menguasai Bali utara. Selain
puputan Buleleng, perlawanan rakyat Bali juga terjadi melalui puputan Badung,
Klungkung dan daerah lain walaupun akhirnya pada tahun 1909 seluruh Bali jatuh
ke tangan Belanda.
Sumber:
Amborgang, A.M. Reza. 1993. Puputan Jagaraga.
Bandung: Pustaka Buana.
Ricklefs, M.C. 2007. Sejarah Indonesia Modern
1200-2004. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
2002. Sejarah Modern Awal. Jakarta: PT.
Widyadara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar