Kamis, 10 Januari 2013

UTS - Monas - Fijra Nur Syafar

Ujian Tengah Semester (UTS) Sejarah Indonesia

Nama     : Fijra Nur Syafar
No.Reg  : 4423 1268 63
Prodi      : D3 Usaha Jasa Pariwisata
Jurusan  : Sejarah
Fakultas : Ilmu Sosial


Pertempuran Jagaraga ( 1848-1849 )

    Pertempuran Jagaraga adalah perlawanan rakyat Bali yang lebih dikenal dengan sebutan Puputan Jagaraga. Istilah puputan sendiri berasal dari kata puput yang berarti habis atau mati. Puputan berarti perang sampai mati yang wajib berlaku bagi semua kasta di masyarakat untuk mengorbankan jiwa dan raganya sampai titik darah pengahabisan sebagai bentuk perlawanan. Puputan juga merupakan tradisi masayrakat Bali untuk menjaga kehormatan tanah air dengan tindakan perlawanan bersenjata habis-habisan sampai mati.
    Puputan Jagaraga merupakan perang yang dilakukan Kerajaan Buleleng dalam melawan penjajah Belanda. Pada abad ke – 18, Belanda yang menjadi pembeli utama budak-budak Bali telah menghadapi prajurit-prajurit Bali. Budak-budak Bali tersebut banya diantaranya bertugas dalam pasukan VOC dan angkatan perang kolonial. Akan tetapi, Belanda tidak terlibat secara lansung dalam perlawanan ini. Pemerintah Inggris di Jawa telah berperang dengan raja-raja Buleleng dan Karangasem dalam usaha mengakhiri perdagangan budak. Namun perdagangan budak terus berlangsung walaupun Bali sudah menyerah.
    Kemudian pemerintah kolonial Belanda melakukan beberapa upaya untuk membujuk raja-raja Bali setelah tahun 1816, dengan tujuan agar Bali bersedia menerima kekuasaan Belanda. Upaya Belanda itu dilakukan antara lain melalui perjanjian tahun 1841 dengan kerajaan Klungkang, Badung dan Buleleng. Salah satu isinya bebunyi: Raja-raja Bali mengakui bahwa kerajaankerajaan di Bali berada di bawah pengaruh Belanda. Perjanjian ini merupakan bukti keinginan Belanda untuk menguasai Bali. Dan walaupun Raja Badung menyediakan prajurit-prajurit untuk angkatan perang kolonial, tetapi Belanda tidak punya pengaruh yang besar di pulau tersebut.
Selama abad ke-19, Bali mengalami suatu rangkaian tragedi alam, budaya, ekonomi, dan politik yang memberi sejarahnya suatu arti yang lebih lebar dan sebuah kengerian yang melekat. Dramanya bermula dari ledakan alam yang tersebar yang pernah diketahui, yang akibatnya dirasakan oleh Bali dan pulau-pulau tetangganya. Dari April sampai Juli 1815, Gunung Tambora di Pulau Sumbawa meletus, menewaskan lebih banyak orang dari pada letusan Krakatau pada tahun 1883 yang lebih terkenal. Sepuluh ribu nyawa langsung melayang, 38.000 orang diperkirakan hilang tak ditemukan.

Faktor Pertempuran Jagaraga
Apakah faktor yang menyebabkan timbulnya perang Bali antara tahun 1846- 1849? Masalah utama adalah adanya hak tawan karang yang dimiliki raja-raja Bali. Hak ini dilimpahkan kepada kepala desa untuk menawan perahu dan isinya yang terdampar di perairan wilayah kerajaan tersebut. Antara Belanda dengan pihak kerajaan Buleleng yaitu Raja I Gusti Ngurah Made Karang Asem besarta Patih I Gusti Ketut Jelantik telah ada perjanjian pada tahun 1843, isinya pihak kerajaan akan membantu Belanda jika kapalnya terdampar di wilayah Buleleng namun perjanjian itu tidak dapat berjalan dengan semestinya.
Pada tahun 1844 terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda di pantai Prancah (Bali Barat) dan Sangsit (Buleleng bagian Timur). Belanda menuntut agar kerajaan Buleleng melepaskan hak tawan karangnya sesuai perjanjian tahun 1843 itu namun ditolak. Kejadian tersebut dijadikan alasan oleh Belanda untuk menyerang Buleleng.
Pada sekitar tahun 1840, dua faktor meyakinkan pihak Belanda bahwa Bali harus ditempatkan di bawah pengaruh mereka. Yang pertama adalah perampokan dan perampasan yang dilakukan oleh orang-orang Bali terhadap kapal-kapal yang terdampar, dan yang kedua adalah adanya kemungkinan kekuatan Eropa lainnya akan campur tangan di Bali. Segera menjadi jelas bahwa tidak ada alasan untuk merasa takut akan campur tangan bangsa Eropa lainnya, karena rasa kemerdekaan orang-orangBali begitu kuat sehingga dapat diduga mereka akan melawan setiap kekuatan asing. Akan tetapi, masih tetap ada soal perampokan dan perampasan.
Pada tahun 1841, seorang duta Belanda membujuk raja-raja Badung, Klungkung, Karangasem, dan Buleleng untuk menandatangani perjanjian-perjanjian yang mengakui kedaulatan pemerintah kolonial Belanda. Sebenarnya tujuan utama pemerintah penjajah bukanlah menguasai Bali, tetapi hanya menciptakan dasar hukum untuk menutup Bali dan kekuatan Barat lainnya. Diberitahukan kepada raja-raja Bali tersebut bahwa persetujuan-persetujuan itu tidak akan membatasi kedaulatan mereka dalam negeri. Mereka menerima persekutuan tersebut dengan harapan bahwa pihak Belanda bersedia membantu mereka dalam menyerang kerajaan Mataram di Lombok. Dukungan militer itu rupanya dijanjikan oleh utusan Belanda, yang bertentangan dengan perintah-perintah pihak Belanda sendiri, dan sampai batas itu perjanjian-perjanjian itu hanyalah muslihat.
Kemudian raja-raja tersebut dan raja-raja Tambanan dan Lombok di bawah perintah raja-raja dari Karangasem, menandatangani perjanjian-perjanjian lebih lanjut pada tahun 1842-1843, yang ditujukkan untuk mengakhiri masalah perampokan terhadap kapal-kapal yang terdampar. Perjanjian-perjanjian itu ternyata tidak efektif dan perampasan berjalan terus. Raja Bulelengkini menjadi marah ketika pihak Belanda tampaknya memasukkan penafsiran yang lebih luas atas penyerahan kedaulatannya, dan pada tahun 1844 dia menolak meratifikasi persetujuan-persetujuan tersebut.
Jatuhnya pusat kerajaan Buleleng ke tangan Belanda pada tanggal 28 Juni 1846, belumlah berarti semangat dan jiwa kepahlawanan raja dan rakyat Buleleng telah memudar. Bersamaan dengan jatuhnya pusat kerajaan Buleleng ke tangan Belanda, hal ini telah menyebabkan laskar Buleleng terdesak, dan atas desakan Patih Jelantik raja Buleleng telah mengambil keputusan untuk mengundurkan pasukannya ke Buleleng Timur memasuki desa Jagaraga serta menetapkan untuk menggunakan Jagaraga sebagai benteng konsolidasi kekuatan dan sebagai ibukota kerajaan yang baru.
Ada beberapa alternatif yang telah mendesak Patih Jelantik untuk mengambil keputusan. Alternatif itu antara lain : Jelantik menyadari bahwa, konsolidasi persenjataan pasukannya tidak seimbang dengan kekuatan persenjataan Belanda, sehingga akan sia-sia melanjutkan pertempurannya. Untuk menghindari hal inilah akhirnya Patih Jelantik memerintahkan kepada sisa-sisa laskar dan rakyat yang masih setia terhadapnya untuk mengundurkan diri ke desa Jagaraga. 
Sebab pokok yang menjadi dasar persengketaan Buleleng dengan Belanda adalah : karena raja Buleleng tidak pernah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Rakyat Buleleng dengan terang-terangan telah menggagalkan pembangunan benteng di Pabean. 
Bagaimana jalannya perang Bali? Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki dengan meriam dari pantai. Satu persatu daerah diduduki dan istana dikepung oleh Belanda. Raja Buleleng berpura-pura menyerah kemudian perlawanan dilanjutkan oleh Patih I Gusti Ketut Jelantik.
Pada tahun 1844, sebuah kapal dagang Belanda kandas di daerah Prancak (daerah Jembara), yang saat itu di bawah kekuasaan Kerajaan Buleleng. Kerajaan-kerajaan di Bali termasuk Buleleng pada saat itu memberlakukan hak tawan karang. Dengan demikian, kapal dagang Belanda tersebut menjadi hak Kerajaan Buleleng. Pemerintah kolonial Belanda memprotes Raja Buleleng yang dianggap merampas kapal Belanda, namun tidak dihiraukan. Insiden inilah yang memicu pecanya Perang Bali atau dikenal juga dengan nama Perang Jagaraga.
Pada akhir tahun 1845, Buleleng dan Karangasem bersekutu dalam usaha menaklukkan negara-negara Bali lainnya. Pihak Belanda merasa wajib untuk bertindak.pada tahun 1846, mereka berhasil menyerang Buleleng dan Karangasem, tetapi serangan ini hanyalah langkah pertama dalam suatu peperangan yang sengit dan panjang. Raja senior Bali, Dewa Agung dari Klungkung, bersama-sama dngan sebagian raja-raja lainnya, secara diam-diam mendukung usaha-usaha yang dilakukan Buleleng dan Karangasem untuk melawan Belanda dan membentuk suatu koalisi militer.
Bagi masyarakat Bali, puputan dilakukan dengan prinsip sebagai berikut:
  1. Nyawa seorang kesatria berada di ujung senjata kematian di medan pertempuran merupakan kehormatan.
  2. Dalam mempertahankan kehormatan bangsa dan negara maupun keluarga tidak dikenal dengan istilah menyerah kepada musuh
  3. Menurut ajaran Hindu, orang yang mati dalam peperangan, rohnya akan masuk surga


Benteng Jagaraga berada di atas bukit, berbentuk “Supit Urang” yang dikelilingi dengan parit dan ranjau untuk menghambat gerak musuh. Selain laskar Buleleng maka raja-raja Karangasam, Mengwi, Gianyar dan Klungkung juga mengirim bala bantuan sehingga jumlah seluruhnya mencapai 15000 orang. Semangat para prajurit ditopang oleh isteri Jelantik bernama Jero Jempiring yang menggerakkan dan memimpin kaum wanita untuk menyediakan makanan bagi para prajurit yang bertugas digaris depan.
Pada tanggal 7 Maret 1848 kapal perang Belanda yang didatangkan dari Batavia dengan 2265 serdadu mendarat di Sangsit. Pasukan Belanda dipimpin oleh Mayor Jendral Van der Wijck menyerang Sangsit lalu menyerbu benteng Jagaraga. Serangan Belanda dapat digagalkan.
Setelah gagal, bagaimana upaya Belanda untuk menundukkan Bali? Belanda menjadi marah dengan diundurkannya serangan balasan pada tahun 1848. Seorang perwira Belanda bernama Rochussen menulis kepada Jenderal Van der Wijck, bahwa jika ia diharuskan menjabat terus pangkatnya yang sekarang, ia tidak mau beristirahat sebelum dapat memusnahkan Jagaraga.
Pada tahun 1849, mereka melancarkan serangan untuk yang ketiga kalinya. Serangan ini meraih sukses di Bali Utara. Belanda mendatangkan pasukan yang lebih banyak berjumlah 15000 orang lebih terdiri dari pasukan infanteri, kavaleri, artileri dan Zeni dipimpin oleh Jendral Mayor A.V Michiels dan Van Swieten. Benteng Jagaraga dihujani meriam dengan gencar. Tak ada seorangpun laskar Buleleng yang mundur, mereka semuanya gugur termasuk isteri Patih Jelantik yang bernama Jero Jempiring.
Dengan gugurnya Patih Jelantik maka berhenti pulalah perlawanan Jagaraga terhadap pasukan Belanda. Dalam serangan ini, dengan mengadakan pertempuran selama sehari, Belanda telah berhasil memukul hancur pusat pertahanan dari laskar Jagaraga, sehingga secara politis benteng Jagaraga secara keseluruhan telah jatuh ke tangan pemerintah Kolonial Belanda pada tanggal 19 April 1849, dengan jumlah korban di pihak Jagaraga kurang lebih sekitar 2200 orang, termasuk 38 orang pedanda dan pemangku, lebih 80 orang Gusti, serta 83 pemekel, sedang di pihak Belanda menderita korban sebanyak kurang lebih 264 orang serdadu bawahan maupun tingkat yang lebih tinggi.
Dengan jatuhnya benteng Jagaraga maka Belanda dapat menguasai Bali utara. Selain puputan Buleleng, perlawanan rakyat Bali juga terjadi melalui puputan Badung, Klungkung dan daerah lain walaupun akhirnya pada tahun 1909 seluruh Bali jatuh ke tangan Belanda.

Sumber:

Amborgang, A.M. Reza. 1993. Puputan Jagaraga. Bandung: Pustaka Buana.
Ricklefs, M.C. 2007. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
2002. Sejarah Modern Awal. Jakarta: PT. Widyadara.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar