Oleh
: Rika Aprilia
4423126881
Usaha
Jasa Pariwisata 2012
Wayang
Arjuna, Gareng, Bagong, Semar, dan Petruk
UJIAN AKHIR SEMESTER
Pengertian Wayang
Wayang adalah salah satu
unsur kebudayaan Indonesia yang mengandung nilai nilai seni, Pendidikan dan nilai pengetahuan yang tinggi,
dan benar-benar sangat beharga untuk dipelajari dengan seksama dan sedalam-dalamnya.
Wayang dalam bahasajawa kata ini bearti 'bayangan'. Boneka-boneka yang digunakan dalam pertunjukan
itu berbayang atau memberi bayang-bayang, maka dinamakan wayang. Mempunyai
beberapa istilah pada alat-alatnya seperti : kelir,
blencong, kothak, kepraklkepyak, dan dalang, dari istilah
pewayangan tersebut
semuanya menggunakan bahasa jawa, dari
sini dapat disimpulkan wayang merupakan budaya
jawa asli.
Wayang Purwa adalah wayang yang bersumber dari cerita
Mahabharata dan Ramayana. memang diakui bahwa
mengenai istilah 'purwa' masih terdapat beberapa pen dapat yang
berbeda-beda.
Asal Usul Wayang
Banyak orang mengira
babwa wayang merupakan
peningalan kebudayaan Hindu dan orang
Indonesia hanya meniru saja apa yang dicontohkan oleh orang hindu. Tetapi menurut penyelidikan Prof.Kern
dan Dr.Brandes (1978, P02) menunjukkan be berapa hal
bahwa unsur Hindu itu hanya
merupakan selapis
pernis/luar belaka yang
menutupi bahan dasar/asli kebudayaan Indonesia. Wayang
dalam bentuk
yang asli
Bangsa Indonesia di Jawa. Yakni kira-kira tahun I 500 sebelum masehi.
Penyesuaian visual wayang terhadap
kodrat dan zaman
menyebabkan terjadinya perubahanan bentuk.
Tetapi bagaimana pun pembaharuan dan perubahan
bentuk itu terjadi, hanya akan mengenai luamya saja dan tidak mengenai
hal-hal yang prinsip, sehingga akan tetap berjalan di atas dasar pertunjukan wayang klasik tradisional.
Fungsi Wayang juga telah mengalami beberapa perubahan, yaitu sejak dari
fungsi sebagai alat suatu upacara yang ada hubungannya
dengan kepercayaan ( magis religius ) hingga menjadi alat pendidikan yang bersifat
didaktis dan sebagai alat penerangan, Ialu menjadi bentuk kesenuan daerah,
dan kemudian menjadi obyek
ilmiah.
Baratayuda
Artikel ini mengenai
lakon dalam pewayangan Jawa yang diangkat dari Mahabharata.
Baratayuda, adalah istilah yang
dipakai di Indonesia untuk menyebut perang besar di
Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Perang
ini merupakan klimaks dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India.
Istilah Baratayuda
berasal dari kata Bharatayuddha (Perang Bharata), yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuna yang ditulis pada tahun 1157 oleh Mpu
Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri. Sebenarnya kitab baratayuda yang ditulis pada masa Kediri
itu untuk simbolisme keadaan perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Jenggala
yang sama sama keturunan Raja Erlangga . Keadaan perang saudara itu digambarkan
seolah-olah seperti yang tertulis dalam Kitab Mahabarata karya Vyasa yaitu
perang antara Pandawa dan Kurawa yang sebenarnya juga keturunan Vyasa sang
penulis
Kisah Kakawin
Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke
dalam bahasa Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta.
Di Yogyakarta, cerita Baratayuda ditulis ulang dengan judul Serat
Purwakandha pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848.
Sebab Peperangan
Sama halnya dengan versi
aslinya, yaitu versi Mahabharata, perang Baratayuda merupakan puncak perselisihan antara
keluarga Pandawa yang dipimpin
oleh Puntadewa (atau Yudistira) melawan sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin oleh Duryudana.
Akan tetapi versi pewayangan menyebut perang Baratayuda sebagai peristiwa yang sudah
ditetapkan kejadiannya oleh dewata. Konon, sebelum Pandawa dan Korawa
dilahirkan, perang ini sudah ditetapkan akan terjadi. Selain itu, Padang
Kurusetra sebagai medan pertempuran
menurut pewayangan bukan berlokasi di India, melainkan berada di Jawa, tepatnya di dataran tinggi Dieng. Dengan kata lain, kisah Mahabharata menurut
tradisi Jawa dianggap terjadi di Pulau Jawa.
Bibit perselisihan
antara Pandawa dan Korawa dimulai sejak orang tua mereka masih sama-sama muda. Pandu, ayah para Pandawa suatu hari membawa pulang tiga orang
putri dari tiga negara, bernama Kunti, Gendari, dan Madrim. Salah satu dari mereka dipersembahkan kepada Dretarastra, kakaknya yang buta. Dretarastra memutuskan untuk memilih
Gendari, kenapa yang dipilih Gendari? Karena sekali lagi Dretarastra buta, ia
tidak dapat melihat apapun, jadi ketika ia memilih ketiga putri itu yang dengan
cara mengangkat satu per satu, terpilih lah Gendari yang mempunyai bobot paling
berat, sehingga Dretarastra berpikir bahwa kelak Gendari akan mempunyai banyak
anak, sama seperti impian Dretarastra. Hal ini membuat putri dari Kerajaan
Plasajenar itu tersinggung dan sakit hati.
Gendari merasa ia tak lebih dari piala bergilir. Ia pun bersumpah keturunannya
kelak akan menjadi musuh bebuyutan anak-anak Pandu.
Gendari dan adiknya,
bernama Sengkuni, mendidik anak-anaknya yang berjumlah seratus orang untuk
selalu memusuhi anak-anak Pandu. Ketika Pandu meninggal, anak-anaknya semakin
menderita. nyawa mereka selalu diincar oleh sepupu mereka, yaitu para Korawa.
Kisah-kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi Mahabharata,
antara lain usaha pembunuhan Pandawa dalam istana yang terbakar, sampai
perebutan Kerajaan Amarta
melalui permainan dadu.
Akibat kekalahan dalam
perjudian tersebut, para Pandawa harus menjalani hukuman pengasingan di Hutan
Kamiyaka selama 12 tahun, ditambah dengan setahun menyamar sebagai orang rakyat
jelata di Kerajaan
Wirata. Namun setelah masa hukuman
berakhir, para Korawa menolak mengembalikan hak-hak para Pandawa. Sebenarnya
Yudhistira (Saudara sulung dari Pandhawa), hanya menginginkan 5 desa saja untuk
dikembalikan ke pandhawa. Tidak utuh satu Amarta yang dituntut. tetapi Korawa
pun tidak sudi memberikan satu jengkal tanah pun ke pandhawa. Akhirnya
keputusan diambil lewat perang Baratayuda yang tidak dapat dihindari lagi.
Kitab Jitabsara
Dalam pewayangan Jawa dikenal adanya
sebuah kitab yang tidak terdapat dalam versi Mahabharata. Kitab tersebut bernama Jitabsara berisi tentang
urutan siapa saja yang akan menjadi korban dalam perang Baratayuda. kitab ini
ditulis oleh Batara Penyarikan, atas perintah Batara
Guru, raja kahyangan.
Kresna raja Kerajaan Dwarawati
yang menjadi penasihat pihak Pandawa berhasil mencuri kitab tersebut dengan menyamar sebagai
seekor lebah putih. Namun, sebagai seorang ksatria, ia tidak mengambilnya
begitu saja. Batara Guru merelakan kitab Jitabsara menjadi milik Kresna,
asalkan ia selalu menjaga kerahasiaan isinya, serta menukarnya dengan Kembang
wijayakusuma, yaitu bunga pusaka milik Kresna yang bisa digunakan untuk
menghidupkan orang mati. Kresna menyanggupinya. Sejak saat itu Kresna
kehilangan kemampuannya untuk menghidupkan orang mati, namun ia mengetahui
dengan pasti siapa saja yang akan gugur di dalam Baratayuda sesuai isi
Jitabsara yang telah ditakdirkan dewata.
Aturan
Peperangan
Jalannya perang
Baratayuda versi pewayangan sedikit berbeda dengan perang versi Mahabharata. Menurut versi Jawa, pertempuran diatur sedemikian rupa sehingga hanya
tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk saja yang maju perang, sedangkan yang lain
menunggu giliran untuk maju.
Sebagai contoh, apabila
dalam versi Mahabharata, Duryodhana sering
bertemu dan terlibat pertempuran melawan Bimasena, maka dalam pewayangan mereka hanya bertemu sekali, yaitu
pada hari terakhir di mana Duryudana tewas di tangan Bima.
Dalam pihak Pandawa yang
bertugas mengatur siasat peperangan adalah Kresna. Ia yang berhak
memutuskan siapa yang harus maju, dan siapa yang harus mundur. sementara itu di
pihak Korawa semuanya diatur oleh para penasihat Duryudana yaitu Bisma, Durna
dan Salya.
Pembagian
babak
Di bawah ini disajikan
pembagian kisah Baratayuda menurut versi pewayangan Jawa.
· Babak 1: Seta Gugur
· Babak 2: Tawur (Bisma
Gugur)
· Babak 3: Paluhan
(Bogadenta Gugur)
· Babak 4: Ranjapan
(Abimanyu Gugur)
· Babak 5: Timpalan
(Burisrawa Gugur atau Dursasana Gugur)
Jalannya
pertempuran
Karena kisah Baratayuda
yang tersebar di Indonesia dipengaruhi oleh kisah sisipan yang tidak terdapat
dalam kitab aslinya, mungkin banyak terdapat perbedaan sesuai dengan daerah
masing-masing. Meskipun demikian, inti kisahnya sama.
Babak pertama
Dikisahkan, Bharatayuddha
diawali dengan pengangkatan senapati agung atau pimpinan perang kedua belah
pihak. Pihak Pandawa mengangkat Resi Seta sebagai pimpinan perang dengan
pendamping di sayap kanan Arya Utara dan sayap
kiri Arya Wratsangka. Ketiganya terkenal ketangguhannya dan berasal dari
Kerajaan Wirata yang mendukung Pandawa. Pandawa menggunakan siasat perang
Brajatikswa yang berarti senjata tajam. Sementara di pihak Kurawa mengangkat Bisma (Resi Bisma) sebagai pimpinan perang dengan pendamping
Pendeta Drona dan prabu Salya, raja kerajaan Mandaraka yang mendukung Korawa. Bisma
menggunakan siasat Wukirjaladri yang berarti "gunung samudra."
Balatentara Korawa menyerang laksana gelombang lautan yang menggulung-gulung,
sedang pasukan Pandawa yang dipimpin
Resi Seta menyerang dengan dahsyat seperti senjata yang menusuk langsung ke
pusat kematian. Sementara itu Rukmarata, putra Prabu Salya datang ke
Kurukshetra untuk menonton jalannya perang. Meski bukan anggota pasukan perang,
dan berada di luar garis peperangan, ia telah melanggar aturan perang, dengan
bermaksud membunuh Resi Seta, Pimpinan Perang Pandawa. Rukmarata memanah Resi
Seta namun panahnya tidak melukai sasaran. Setelah melihat siapa yang
memanahnya, yakni seorang pangeran muda yang berada di dalam kereta di luar
garis pertempuran, Resi Seta kemudian mendesak pasukan lawan ke arah Rukmarata.
Setelah kereta Rukmarata berada di tengah pertempuran, Resi Seta segera
menghantam dengan gada (pemukul) Kyai
Pecatnyawa, hingga hancur berkeping-keping. Rukmarata, putera mahkota Mandaraka
tewas seketika.
Dalam peperangan
tersebut Arya Utara gugur di tangan Prabu Salya sedangkan Arya
Wratsangka tewas oleh Pendeta Drona. Bisma dengan
bersenjatakan Aji Nagakruraya, Aji Dahana, busur Naracabala, Panah kyai
Cundarawa, serta senjata Kyai Salukat berhadapan dengan Resi Seta yang
bersenjata gada Kyai Lukitapati,
pengantar kematian bagi yang mendekatinya. Pertarungan keduanya dikisahkan
sangat seimbang dan seru, hingga akhirnya Bisma dapat menewaskan Resi Seta.
Bharatayuddha babak pertama diakhiri dengan sukacita pihak Korawa karena kematian pimpinan perang Pandawa.
Babak Kedua
Setelah Resi Seta gugur,
Pandawa kemudian mengangkat Drestadyumna (Trustajumena) sebagai pimpinan perangnya dalam perang Bharatayuddha.
Sedangkan Bisma tetap menjadi
pimpinan perang Korawa. Dalam babak
ini kedua kubu berperang dengan siasat yang sama yaitu Garudanglayang (Garuda
terbang).
Dalam pertempuran ini
dua anggota Korawa, Wikataboma dan kembarannya, Bomawikata, terbunuh setelah
kepala keduanya diadu oleh Bima. Sementara itu
beberapa raja sekutu Korawa juga terbunuh dalam babak ini. Diantaranya Prabu
Sumarma, raja Trigartapura tewas oleh Bima, Prabu Dirgantara terbunuh oleh Arya
Satyaki, Prabu Dirgandana tewas di tangan Arya Sangasanga (anak
Setyaki), Prabu Dirgasara dan Surasudirga tewas di tangan Gatotkaca, dan Prabu Malawapati, raja Malawa tewas terkena panah
Hrudadali milik Arjuna.
Bisma setelah melihat
komandan pasukannya berguguran kemudian maju ke medan pertempuran, mendesak
maju menggempur lawan. Atas petunjuk Kresna, Pandawa kemudian
mengirim Dewi Wara Srikandi untuk maju
menghadapi Bisma. Dengan tampilnya prajurit wanita tersebut di medan
pertempuran menghadapi Bisma. Bisma merasa bahwa tiba waktunya maut
menjemputnya, sesuai dengan kutukan Dewi Amba yang tewas di tangan Bisma. Bisma gugur dengan perantaraan
panah Hrudadali milik Arjuna yang dilepaskan
oleh istrinya, Srikandi.
Kutipan dari Kakawin Bharatayuddha
Kutipan di bawah ini mengambarkan suasana perang di Kurukshetra, yaitu setelah pihak Pandawa yang dipimpin oleh Raja Drupada menyusun sebuah barisan yang diberi nama “Garuda” yang sangat hebat untuk menggempur pasukan Korawa.
|
· Babak 6: Suluhan
(Gatotkaca Gugur)
· Babak 7: Karna Tanding
· Babak 8: Rubuhan
(Duryudana Gugur)
· Babak 9: Lahirnya
Parikesit
|
.
Semar, Gareng, Petruk,
Bagong
Dalam perkembangan selanjutnya,
hadirnya Semar sebagai pamomong keturunan Saptaarga tidak sendirian. Ia
ditemani oleh tiga anaknya, yaitu; Gareng, Petruk, Bagong. Ke empat abdi
tersebut dinamakan Panakawan. Dapat disaksikan, hampir pada setiap pegelaran
wayang kulit purwa, akan muncul seorang ksatria keturunan Saptaarga diikuti
oleh Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Cerita apa pun yang dipagelarkan, ke lima
tokoh ini menduduki posisi penting. Kisah Mereka diawali mulai dari sebuah
pertapaan Saptaarga atau pertapaan lainnya. Setelah mendapat berbagai macam
ilmu dan nasihat-nasihat dari Sang Begawan, mereka turun gunung untuk
mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, dengan melakukan tapa ngrame. (menolong
tanpa pamrih).
Dikisahkan, perjalanan sang Ksatria
dan ke empat abdinya memasuki hutan. Ini menggambarkan bahwa sang ksatria mulai
memasuki medan kehidupan yang belum pernah dikenal, gelap, penuh semak belukar,
banyak binatang buas, makhluk jahat yang siap menghadangnya, bahkan jika lengah
dapat mengacam jiwanya. Namun pada akhirnya Ksatria, Semar, Gareng, Petruk,
Bagong berhasil memetik kemenangan dengan mengalahkan kawanan Raksasa, sehingga
berhasil keluar hutan dengan selamat. Di luar hutan, rintangan masih
menghadang, bahaya senantiasa mengancam. Berkat Semar dan anak-anaknya, sang
Ksatria dapat menyingkirkan segala penghalang dan berhasil menyelesaikan tugas
hidupnya dengan selamat.
Mengapa peranan Semar dan
anak-anaknya sangat menentukan keberhasilan suatu kehidupan? Sudah dipaparkan
pada dua tulisan sebelumnya, bahwa Semar merupakan gambaran penyelenggaraan
Illahi yang ikut berproses dalam kehidupan manusia. Untuk lebih memperjelas
peranan Semar, maka tokoh Semar dilengkapi dengan tiga tokoh lainnya. Ke empat
panakawan tersebut merupakan simbol dari cipta, rasa, karsa dan karya. Semar
mempunyai ciri menonjol yaitu kuncung putih. Kuncung putih di kepala sebagai
simbol dari pikiran, gagasan yang jernih atau cipta. Gareng mempunyai ciri yang
menonjol yaitu bermata kero, bertangan cekot dan berkaki pincang. Ke tiga cacat
fisik tersebut menyimbolkan rasa. Mata kero, adalah rasa kewaspadaan, tangan
cekot adalah rasa ketelitian dan kaki pincang adalah rasa kehati-hatian. Petruk
adalah simbol dari kehendak, keinginan, karsa yang digambarkan dalam kedua
tangannya. Jika digerakkan, kedua tangan tersebut bagaikan kedua orang yang
bekerjasama dengan baik. Tangan depan menunjuk, memilih apa yang dikehendaki,
tangan belakang menggenggam erat-erat apa yang telah dipilih. Sedangkan karya
disimbolkan Bagong dengan dua tangan yang kelima jarinya terbuka lebar, artinya
selalu bersedia bekerja keras. Cipta, rasa, karsa dan karya merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Cipta, rasa, karsa dan karya berada dalam
satu wilayah yang bernama pribadi atau jati diri manusia, disimbolkan tokoh Ksatria.
Gambaran manusia ideal adalah merupakan gambaran pribadi manusia yang utuh,
dimana cipta, rasa, karsa dan karya dapat menempati fungsinya masing-masing
dengan harmonis, untuk kemudian berjalan seiring menuju cita-cita yang luhur.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa antara Ksatria dan panakawan mempunyai
hubungan signifikan. Tokoh ksatria akan berhasil dalam hidupnya dan mencapai
cita-cita ideal jika didasari sebuah pikiran jernih (cipta), hati tulus (rasa),
kehendak, tekad bulat (karsa) dan mau bekerja keras (karya).
Simbolisasi ksatria dan empat
abdinya, serupa dengan 'ngelmu' sedulur papat lima pancer. Sedulur papat adalah
panakawan, lima pancer adalah ksatriya. Posisi pancer berada ditengah, diapit
oleh dua saudara tua (kakang mbarep, kakang kawah) dan dua saudara muda (adi
ari-ari dan adi wuragil). Ngelmu sedulur papat lima pancer lahir dari konsep
penyadaran akan awal mula manusia diciptakan dan tujuan akhir hidup manusia
(sangkan paraning dumadi). Awal mula manusia diciptakan di awali dari saat-saat
menjelang kelahiran. Sebelum sang bayi (bayi, dalam konteks ini adalah pancer)
lahir dari rahim ibu, yang muncul pertama kali adalah rasa cemas si ibu. Rasa
cemas itu dinamakan Kakang mbarep. Kemudian pada saat menjelang bayi itu lahir,
keluarlah cairan bening atau banyu kawah sebagai pelicin, untuk melindungi si
bayi, agar proses kelahiran lancar dan kulit bayi yang lembut tidak lecet atau
terluka. Banyu kawah itu disebut Kakang kawah. Setelah bayi lahir akan disusul
dengan keluarnya ari-ari dan darah. Ari-ari disebut Adi ari-ari dan darah
disebut Adi wuragil.
Ngelmu sedulur papat lima pancer
memberi tekanan bahwa, manusia dilahirkan ke dunia ini tidak sendirian. Ada
empat saudara yang mendampingi. Pancer adalah suksma sejati dan sedulur papat
adalah raga sejati. Bersatunya suksma sejati dan raga sejati melahirkan sebuah
kehidupan.
Hubungan antara pancer dan sedulur
papat dalam kehidupan, digambarkan dengan seorang sais mengendalikan sebuah
kereta, ditarik oleh empat ekor kuda, yang berwarna merah, hitam, kuning dan
putih. Sais kereta melambangkan kebebasan untuk memutuskan dan berbuat sesuatu.
Kuda merah melambangkan energi, semangat, kuda hitam melambangkan kebutuhan
biologis, kuda kuning melambangkan kebutuhan rohani dan kuda putih melambangkan
keheningan, kesucian. Sebagai sais, tentunya tidak mudah mengendalikan empat
kuda yang saling berbeda sifat dan kebutuhannya. Jika sang sais mampu
mengendalikan dan bekerjasama dengan ke empat ekor kudanya dengan baik dan
seimbang, maka kereta akan berjalan lancar sampai ke tujuan akhir. Sang Sangkan
Paraning Dumadi.
Semar
Kyai Lurah Semar
Badranaya
adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat
para kesatria dalam pementasan
kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli
kedua wiracarita tersebut
yang berbahasa Sanskerta, karena
tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.
Sejarah Semar
Menurut sejarawan Prof.
Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama
kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan
Majapahit berjudul Sudamala. Selain
dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala
juga dipahat sebagai relief dalam Candi
Sukuh yang berangka tahun 1439.
Semar dikisahkan sebagai
abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja,
melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya,
ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan
pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan
masih seputar Mahabharata yang
saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan
Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh
Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih
banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan
selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam
karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa,
melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para
dewa.
Asal-Usul dan Kelahiran
Terdapat beberapa versi
tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini
sebagai penjelmaan dewa.
Dalam naskah Serat
Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa
memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang
Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah
jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari
Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Batara
Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi
pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.
Dalam naskah Paramayoga
dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang
Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting
bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud
telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing
diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit
putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang
berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian
bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai
penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus.
Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat
bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan
Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan
berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki
Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para
dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.
Dalam naskah Purwakanda
dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh,
Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa
takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya
merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan
tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga
putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke
dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara
Guru. Sementara itu Manan mendapat
pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara
Narada dan diangkat sebagai penasihat
Batara Guru.
Dalam naskah Purwacarita
dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang
Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang
Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga
bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing
menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang
berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari
kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih
karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun
mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut
dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan
matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung
tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian
gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan.
Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka
mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum
menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja
kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia.
Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.
Silsilah dan Keluarga
Dalam pewayangan
dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kahyangan sempat dijodohkan dengan
sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari perkawinan itu lahir sepuluh orang
anak, yaitu:
o Batara Wungkuham
o Batara Surya
o Batara Candra
o Batara Tamburu
o Batara Siwah
o Batara Kuwera
o Batara Yamadipati
o Batara Kamajaya
o Batara Mahyanti
o Batari Darmanastiti
Semar sebagai penjelmaan
Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa,
leluhur para Pandawa. Pada suatu
hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa
memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari
bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari
tersebut telah terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian
menjadi istri Semar, dan biasa dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara
itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati,
karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama Kaniraras.
Pasangan Panakawan / Punokawan
Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar
selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar.
Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar.
Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta
dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.
Dalam pewayangan Sunda,
urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya
didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak
bernama Besut.
Bentuk Fisik
Semar memiliki bentuk
fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad
raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal
umat manusia dan makhluk lainnya.
Semar selalu tersenyum,
tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya
tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol
tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti
perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup
sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.
Keistimewaan Semar
Semar merupakan tokoh
pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun
keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya
ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.
Semar dalam karya sastra
hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa,
terutama para Pandawa yang merupakan
tokoh utama kisah Mahabharata. Namun
dalam pementasan wayang yang bertemakan
Ramayana, para
dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan
wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.
Petruk
Petruk adalah tokoh punakawan dalam pewayangan Jawa, di
pihak keturunan/trah Witaradya. Petruk
tidak disebutkan dalam kitab Mahabarata. Jadi jelas bahwa kehadirannya dalam dunia pewayangan
merupakan gubahan asli Jawa. Di ranah Pasundan, Petruk lebih dikenal dengan nama Dawala
atau Udel.
Kisah
Masa
lalu
Menurut pedalangan, ia
adalah anak pendeta raksasa di pertapaan dan bertempat di dalam laut bernama Begawan Salantara.
Sebelumnya ia bernama Bambang Pecruk Panyukilan. Ia gemar bersenda
gurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan senang berkelahi. Ia seorang
yang pilih tanding/sakti di tempat kediamannya dan daerah sekitarnya. Oleh
karena itu ia ingin berkelana guna menguji kekuatan dan kesaktiannya.
Di tengah jalan ia
bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan Bluluktiba yang pergi dari
padepokannya di atas bukit, untuk mencoba kekebalannya. Karena mempunyai maksud
yang sama, maka terjadilah perang tanding. Mereka berkelahi sangat lama, saling
menghantam, bergumul, tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga
tubuhnya menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud aslinya yang tampan.
Perkelahian ini kemudian dipisahkan oleh Smarasanta (Semar) dan Bagong yang mengiringi
Batara Ismaya. Mereka
diberi petuah dan nasihat sehingga akhirnya keduanya menyerahkan diri dan
berguru kepada Smara/Semar dan mengabdi kepada Sanghyang Ismaya. Demikianlah
peristiwa tersebut diceritakan dalam lakon Batara Ismaya Krama.
Karena perubahan wujud
tersebut masing-masing kemudian berganti nama. Bambang Pecruk Panyukilan
menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi menjadi Gareng.
Istri
dan keturunan
Petruk mempuyai istri
bernama Dewi Ambarwati, putri Prabu
Ambarsraya, raja Negara Pandansurat yang didapatnya melalui perang tanding.
Para pelamarnya antara lain: Kalagumarang dan Prabu Kalawahana raja raksasa di
Guwaseluman. Petruk harus menghadapi mereka dengan perang tanding dan akhirnya
ia dapat mengalahkan mereka dan keluar sebagai pemenang. Dewi Ambarwati
kemudian diboyong ke Girisarangan dan Resi Pariknan yang memangku perkawinannya.
Dalam perkawinan ini mereka mempunyai anak lelaki dan diberi nama Lengkungkusuma.
Petruk dalam lakon pewayangan
Oleh karena Petruk
merupakan tokoh pelawak/dagelan (Jawa), kemudian oleh seorang dalang digubah suatu lakon khusus yang penuh dengan
lelucon-lelucon dan kemudian diikuti dalang-dalang lainnya, sehingga terdapat
banyak sekali lakon-lakon yang menceritakan kisah-kisah Petruk yang
menggelikan, contohnya lakon Pétruk Ilang Pethèlé ("Petruk
kehilangan kapaknya").
Dalam kisah Ambangan
Candi Spataharga/Saptaraga, Dewi Mustakaweni, putri
dari negara Imantaka, berhasil mencuri pusaka Jamus
Kalimasada dengan jalan menyamar sebagai
kerabat Pandawa (Gatutkaca), sehingga dengan mudah ia dapat membawa lari pusaka
tersebut. Kalimasada kemudian menjadi rebutan antara kedua negara itu. Di dalam
kekeruhan dan kekacauan yang timbul tersebut, Petruk mengambil kesempatan
menyembunyikan Kalimasada, sehingga karena kekuatan dan pengaruhnya yang ampuh,
Petruk dapat menjadi raja menduduki singgasana Kerajaan Lojitengara dan
bergelar Prabu Welgeduwelbeh. Lakon ini terkenal dengan judul Petruk Dadi
Ratu ("Petruk Menjadi Raja"). Prabu Welgeduwelbeh/Petruk dengan
kesaktiannya dapat membuka rahasia Prabu Pandupragola, raja negara
Tracanggribig, yang tidak lain adalah kakaknya sendiri, yaitu Nala
Gareng. Dan sebaliknya Bagong-lah yang menurunkan Prabu Welgeduwelbeh dari tahta
kerajaan Lojitengara dan terbongkar rahasianya menjadi Petruk kembali.
Kalimasada kemudian dikembalikan kepada pemilik aslinya, Prabu Puntadewa.
Hubungan dengan punakawan lainnya
Petruk dan panakawan
yang lain (Semar, Gareng dan Bagong) selalu hidup di dalam suasana kerukunan sebagai satu
keluarga. Bila tidak ada kepentingan yang istimewa, mereka tidak pernah
berpisah satu sama lain. Mengenai Punakawan, punakawan berarti ”kawan yang
menyaksikan” atau pengiring. Saksi dianggap sah, apabila terdiri dari dua
orang, yang terbaik apabila saksi tersebut terdiri dari orang-orang yang bukan
sekeluarga. Sebagai saksi seseorang harus dekat dan mengetahui sesuatu yang
harus disaksikannya. Di dalam pedalangan, saksi atau punakawan itu memang hanya
terdiri dari dua orang, yaitu Semar dan Bagong bagi trah Witaradya.
Sebelum Sanghyang Ismaya
menjelma dalam diri cucunya yang bernama Smarasanta (Semar), kecuali Semar
dengan Bagong yang tercipta dari bayangannya, mereka kemudian mendapatkan
Gareng/Bambang Sukodadi dan Petruk/Bambang Panyukilan. Setelah Batara Ismaya
menjelma kepada Janggan Smarasanta (menjadi Semar), maka Gareng dan Petruk
tetap menggabungkan diri kepada Semar dan Bagong. Disinilah saat mulai adanya
punakawan yang terdiri dari empat orang dan kemudian mendapat sebutan dengan
nana ”parepat/prapat”.
Tokoh
Wayang Petruk
Biografi Salah Satu Tokoh Wayang Petruk
Petruk adalah anak Gandarwa (sebangsa jin), ia adalah anak kedua Semar setelah Gareng. Petruk adalah tokoh punakawan dalam pewayangan Jawa, di pihak keturunan/trah Witaradya. Petruk adalah anak yang pintar diantara Gareng dan Bagong, karena ialah yang paling pandai dalam berbicara. Petruk tidak disebutkan dalam kitab Mahabarata. Jadi jelas bahwa kehadirannya dalam dunia pewayangan merupakan gubahan asli Jawa. Di ranah Pasundan, Petruk lebih dikenal dengan nama Dawala atau Udel.
Masa lalu
Menurut pedalangan, ia adalah anak pendeta raksasa di pertapaan dan bertempat di dalam laut bernama Begawan Salantara. Sebelumnya ia bernama Bambang Pecruk Panyukilan. Ia gemar bersenda gurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan senang berkelahi. Ia seorang yang pilih tanding/sakti di tempat kediamannya dan daerah sekitarnya. Oleh karena itu ia ingin berkelana guna menguji kekuatan dan kesaktiannya.
Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan Bluluktiba yang pergi dari padepokannya di atas bukit, untuk mencoba kekebalannya. Karena mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang tanding. Mereka berkelahi sangat lama, saling menghantam, bergumul, tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuhnya menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud aslinya yang tampan. Perkelahian ini kemudian dipisahkan oleh Smarasanta (Semar) dan Bagong yang mengiringi Batara Ismaya. Mereka diberi petuah dan nasihat sehingga akhirnya keduanya menyerahkan diri dan berguru kepada Smara/Semar dan mengabdi kepada Sanghyang Ismaya. Demikianlah peristiwa tersebut diceritakan dalam lakon Batara Ismaya Krama.
Karena perubahan wujud tersebut masing-masing kemudian berganti nama. Bambang Pecruk Panyukilan menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi menjadi Gareng.
Istri dan keturunan
Petruk mempunyai istri bernama Dewi Ambarwati, putri Prabu Ambarsraya, raja Negara Pandansurat yang didapatnya melalui perang tanding. Para pelamarnya antara lain: Kalagumarang dan Prabu Kalawahana raja raksasa di Guwaseluman. Petruk harus menghadapi mereka dengan perang tanding dan akhirnya ia dapat mengalahkan mereka dan keluar sebagai pemenang. Dewi Ambarwati kemudian diboyong ke Girisarangan dan Resi Pariknan yang memangku perkawinannya. Dalam perkawinan ini mereka mempunyai anak lelaki dan diberi nama Lengkungkusuma.
Petruk dalam lakon pewayangan
Oleh karena Petruk merupakan tokoh pelawak/dagelan (Jawa), kemudian oleh seorang dalang digubah suatu lakon khusus yang penuh dengan lelucon-lelucon dan kemudian diikuti dalang-dalang lainnya, sehingga terdapat banyak sekali lakon-lakon yang menceritakan kisah-kisah Petruk yang menggelikan, contohnya lakon Pétruk Ilang Pethèlé ("Petruk kehilangan kapaknya").
Dalam kisah Ambangan Candi Spataharga/Saptaraga, Dewi Mustakaweni, putri dari negara Imantaka, berhasil mencuri pusaka Jamus Kalimasada dengan jalan menyamar sebagai kerabat Pandawa (Gatutkaca), sehingga dengan mudah ia dapat membawa lari pusaka tersebut. Kalimasada kemudian menjadi rebutan antara kedua negara itu. Di dalam kekeruhan dan kekacauan yang timbul tersebut, Petruk mengambil kesempatan menyembunyikan Kalimasada, sehingga karena kekuatan dan pengaruhnya yang ampuh, Petruk dapat menjadi raja menduduki singgasana Kerajaan Lojitengara dan bergelar Prabu Welgeduwelbeh. Lakon ini terkenal dengan judul Petruk Dadi Ratu ("Petruk Menjadi Raja"). Prabu Welgeduwelbeh/Petruk dengan kesaktiannya dapat membuka rahasia Prabu Pandupragola, raja negara Tracanggribig, yang tidak lain adalah kakaknya sendiri, yaitu Nala Gareng. Dan sebaliknya Bagong-lah yang menurunkan Prabu Welgeduwelbeh dari tahta kerajaan Lojitengara dan terbongkar rahasianya menjadi Petruk kembali. Kalimasada kemudian dikembalikan kepada pemilik aslinya, Prabu Puntadewa.
Hubungan dengan punakawan lainnya
Petruk dan panakawan yang lain (Semar, Gareng dan Bagong) selalu hidup di dalam suasana kerukunan sebagai satu keluarga. Bila tidak ada kepentingan yang istimewa, mereka tidak pernah berpisah satu sama lain. Mengenai Punakawan, punakawan berarti ”kawan yang menyaksikan” atau pengiring. Saksi dianggap sah, apabila terdiri dari dua orang, yang terbaik apabila saksi tersebut terdiri dari orang-orang yang bukan sekeluarga. Sebagai saksi seseorang harus dekat dan mengetahui sesuatu yang harus disaksikannya. Di dalam pedalangan, saksi atau punakawan itu memang hanya terdiri dari dua orang, yaitu Semar dan Bagong bagi trah Witaradya.
Sebelum Sanghyang Ismaya menjelma dalam diri cucunya yang bernama Smarasanta (Semar), kecuali Semar dengan Bagong yang tercipta dari bayangannya, mereka kemudian mendapatkan Gareng/Bambang Sukodadi dan Petruk/Bambang Panyukilan. Setelah Batara Ismaya menjelma kepada Janggan Smarasanta (menjadi Semar), maka Gareng dan Petruk tetap menggabungkan diri kepada Semar dan Bagong. Disinilah saat mulai adanya punakawan yang terdiri dari empat orang dan kemudian mendapat sebutan dengan nana ”parepat/prapat”.
Petruk adalah anak Gandarwa (sebangsa jin), ia adalah anak kedua Semar setelah Gareng. Petruk adalah tokoh punakawan dalam pewayangan Jawa, di pihak keturunan/trah Witaradya. Petruk adalah anak yang pintar diantara Gareng dan Bagong, karena ialah yang paling pandai dalam berbicara. Petruk tidak disebutkan dalam kitab Mahabarata. Jadi jelas bahwa kehadirannya dalam dunia pewayangan merupakan gubahan asli Jawa. Di ranah Pasundan, Petruk lebih dikenal dengan nama Dawala atau Udel.
Masa lalu
Menurut pedalangan, ia adalah anak pendeta raksasa di pertapaan dan bertempat di dalam laut bernama Begawan Salantara. Sebelumnya ia bernama Bambang Pecruk Panyukilan. Ia gemar bersenda gurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan senang berkelahi. Ia seorang yang pilih tanding/sakti di tempat kediamannya dan daerah sekitarnya. Oleh karena itu ia ingin berkelana guna menguji kekuatan dan kesaktiannya.
Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan Bluluktiba yang pergi dari padepokannya di atas bukit, untuk mencoba kekebalannya. Karena mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang tanding. Mereka berkelahi sangat lama, saling menghantam, bergumul, tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuhnya menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud aslinya yang tampan. Perkelahian ini kemudian dipisahkan oleh Smarasanta (Semar) dan Bagong yang mengiringi Batara Ismaya. Mereka diberi petuah dan nasihat sehingga akhirnya keduanya menyerahkan diri dan berguru kepada Smara/Semar dan mengabdi kepada Sanghyang Ismaya. Demikianlah peristiwa tersebut diceritakan dalam lakon Batara Ismaya Krama.
Karena perubahan wujud tersebut masing-masing kemudian berganti nama. Bambang Pecruk Panyukilan menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi menjadi Gareng.
Istri dan keturunan
Petruk mempunyai istri bernama Dewi Ambarwati, putri Prabu Ambarsraya, raja Negara Pandansurat yang didapatnya melalui perang tanding. Para pelamarnya antara lain: Kalagumarang dan Prabu Kalawahana raja raksasa di Guwaseluman. Petruk harus menghadapi mereka dengan perang tanding dan akhirnya ia dapat mengalahkan mereka dan keluar sebagai pemenang. Dewi Ambarwati kemudian diboyong ke Girisarangan dan Resi Pariknan yang memangku perkawinannya. Dalam perkawinan ini mereka mempunyai anak lelaki dan diberi nama Lengkungkusuma.
Petruk dalam lakon pewayangan
Oleh karena Petruk merupakan tokoh pelawak/dagelan (Jawa), kemudian oleh seorang dalang digubah suatu lakon khusus yang penuh dengan lelucon-lelucon dan kemudian diikuti dalang-dalang lainnya, sehingga terdapat banyak sekali lakon-lakon yang menceritakan kisah-kisah Petruk yang menggelikan, contohnya lakon Pétruk Ilang Pethèlé ("Petruk kehilangan kapaknya").
Dalam kisah Ambangan Candi Spataharga/Saptaraga, Dewi Mustakaweni, putri dari negara Imantaka, berhasil mencuri pusaka Jamus Kalimasada dengan jalan menyamar sebagai kerabat Pandawa (Gatutkaca), sehingga dengan mudah ia dapat membawa lari pusaka tersebut. Kalimasada kemudian menjadi rebutan antara kedua negara itu. Di dalam kekeruhan dan kekacauan yang timbul tersebut, Petruk mengambil kesempatan menyembunyikan Kalimasada, sehingga karena kekuatan dan pengaruhnya yang ampuh, Petruk dapat menjadi raja menduduki singgasana Kerajaan Lojitengara dan bergelar Prabu Welgeduwelbeh. Lakon ini terkenal dengan judul Petruk Dadi Ratu ("Petruk Menjadi Raja"). Prabu Welgeduwelbeh/Petruk dengan kesaktiannya dapat membuka rahasia Prabu Pandupragola, raja negara Tracanggribig, yang tidak lain adalah kakaknya sendiri, yaitu Nala Gareng. Dan sebaliknya Bagong-lah yang menurunkan Prabu Welgeduwelbeh dari tahta kerajaan Lojitengara dan terbongkar rahasianya menjadi Petruk kembali. Kalimasada kemudian dikembalikan kepada pemilik aslinya, Prabu Puntadewa.
Hubungan dengan punakawan lainnya
Petruk dan panakawan yang lain (Semar, Gareng dan Bagong) selalu hidup di dalam suasana kerukunan sebagai satu keluarga. Bila tidak ada kepentingan yang istimewa, mereka tidak pernah berpisah satu sama lain. Mengenai Punakawan, punakawan berarti ”kawan yang menyaksikan” atau pengiring. Saksi dianggap sah, apabila terdiri dari dua orang, yang terbaik apabila saksi tersebut terdiri dari orang-orang yang bukan sekeluarga. Sebagai saksi seseorang harus dekat dan mengetahui sesuatu yang harus disaksikannya. Di dalam pedalangan, saksi atau punakawan itu memang hanya terdiri dari dua orang, yaitu Semar dan Bagong bagi trah Witaradya.
Sebelum Sanghyang Ismaya menjelma dalam diri cucunya yang bernama Smarasanta (Semar), kecuali Semar dengan Bagong yang tercipta dari bayangannya, mereka kemudian mendapatkan Gareng/Bambang Sukodadi dan Petruk/Bambang Panyukilan. Setelah Batara Ismaya menjelma kepada Janggan Smarasanta (menjadi Semar), maka Gareng dan Petruk tetap menggabungkan diri kepada Semar dan Bagong. Disinilah saat mulai adanya punakawan yang terdiri dari empat orang dan kemudian mendapat sebutan dengan nana ”parepat/prapat”.
alam pewayangan, Semar
bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh
kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak
asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan
gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para
pemerintah - yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan
suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya
pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.
BAGONG
adalah anak angkat ketiga Semar. Dia adik Gareng dan Petruk.
Diceritakan ketika itu Gareng dan Petruk minta dicarikan teman, sanghyang
Tunggal bersabda :"Ketahuilah bahwa temanmu adalah bayanganmu
sendiri." Seketika itu bayangan berubah menjadi manusia dan selanjutnya
diberi nama Bagong.
Bagong berbadan pendek, gemuk seperti semar tetapi mata dan mulut lebar. Ia memiliki watak banyak bercanda, pintar membuat lelucon, bahkan terkadang saking lucunya menjadi menjengkelkan. Beradat lancang, tetapi jujur, dan juga sakti. Kalau menjalankan tugas terkadang tergesa-gesa kurang perhitungan. Bagong bersuara besar dan kedengaran agak kendor di leher.
Ada yang mengatakan kalau Bagong berasal dari kata Baghoo (bahasa Arab) yang artinya senang membangkang/ menentang, tidak mudah menurut atau percaya pada nasihat orang lain. Ini juga menjadi nasihat pada tuannya bahwa manusia didunia ini mempunyai watak yang bermacam-macam dan perlu diperhatikan dan diwaspadai dari watak dan karakter masing - masing watak tersebut.
Bagong berbadan pendek, gemuk seperti semar tetapi mata dan mulut lebar. Ia memiliki watak banyak bercanda, pintar membuat lelucon, bahkan terkadang saking lucunya menjadi menjengkelkan. Beradat lancang, tetapi jujur, dan juga sakti. Kalau menjalankan tugas terkadang tergesa-gesa kurang perhitungan. Bagong bersuara besar dan kedengaran agak kendor di leher.
Ada yang mengatakan kalau Bagong berasal dari kata Baghoo (bahasa Arab) yang artinya senang membangkang/ menentang, tidak mudah menurut atau percaya pada nasihat orang lain. Ini juga menjadi nasihat pada tuannya bahwa manusia didunia ini mempunyai watak yang bermacam-macam dan perlu diperhatikan dan diwaspadai dari watak dan karakter masing - masing watak tersebut.
Ciri fisik
Sebagai seorang panakawan yang sifatnya menghibur penonton wayang, tokoh Bagong pun dilukiskan dengan ciri-ciri fisik yang
mengundang kelucuan. Tubuhnya bulat, matanya lebar, bibirnya tebal dan terkesan
memble. Dalam figur wayang kulit, Bagong membawa senjata kudi.
Gaya bicara Bagong
terkesan semaunya sendiri. Dibandingkan dengan ketiga panakawan lainnya, yaitu Semar, Gareng, dan Petruk, maka Bagong adalah sosok yang paling lugu dan kurang
mengerti tata krama. Meskipun demikian majikannya tetap bisa memaklumi.
Asal-usul
Beberapa versi
menyebutkan bahwa, sesungguhnya Bagong bukan anak kandung Semar. Dikisahkan Semar merupakan penjelmaan seorang dewa
bernama Batara Ismaya yang
diturunkan ke dunia bersama kakaknya, yaitu Togog atau Batara Antaga untuk
mengasuh keturunan adik mereka, yaitu Batara
Guru.
Togog dan Semar
sama-sama mengajukan permohonan kepada ayah mereka, yaitu Sanghyang Tunggal,
supaya masing-masing diberi teman. Sanghyang Tunggal ganti mengajukan
pertanyaan berbunyi, siapa kawan sejati manusia. Togog menjawab
"hasrat", sedangkan Semar menjawab "bayangan". Dari jawaban
tersebut, Sanghyang Tunggal pun mencipta hasrat Togog menjadi manusia kerdil
bernama Bilung, sedangkan
bayangan Semar dicipta menjadi manusia bertubuh bulat, bernama Bagong.
Versi lain menyebutkan,
Semar adalah cucu Batara Ismaya. Semar mengabdi kepada seorang pertapa bernama Resi Manumanasa yang
kelak menjadi leluhur para Pandawa. Ketika
Manumanasa hendak mencapai moksha, Semar merasa
kesepian dan meminta diberi teman. Manumanasa menjawab bahwa temannya yang
paling setia adalah bayangannya sendiri. Seketika itu pula, bayangan Semar pun
berubah menjadi manusia, dan diberi nama Bagong.
Bagong pada zaman Kolonial
Gaya bicara Bagong yang
seenaknya sendiri sempat dipergunakan para dalang untuk
mengkritik penjajahan kolonial Hindia
Belanda. Ketika Sultan
Agung meninggal tahun 1645, putranya yang bergelar Amangkurat
I menggantikannya sebagai pemimpin Kesultanan
Mataram. Raja baru ini sangat berbeda
dengan ayahnya. Ia memerintah dengan sewenang-wenang serta menjalin kerja sama
dengan pihak VOC-Belanda.
Keluarga besar
Kesultanan Mataram saat itu pun terpecah belah. Ada yang mendukung pemerintahan
Amangkurat I yang pro-Belanda, ada pula yang menentangnya. Dalam hal kesenian
pun terjadi perpecahan. Seni wayang kulit terbagi menjadi dua golongan, yaitu
golongan Nyai Panjang Mas yang anti-Amangkurat I, dan golongan Kyai Panjang Mas
yang sebaliknya.
Rupanya pihak Belanda
tidak menyukai tokoh Bagong yang sering dipergunakan para dalang untuk
mengkritik penjajahan VOC. Atas dasar ini, golongan Kyai Panjang Mas pun
menghilangkan tokoh Bagong, sedangkan Nyai Panjang Mas tetap mempertahankannya.
Pada zaman selanjutnya,
Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan dan berganti nama menjadi Kasunanan Kartasura. Sejak tahun 1745 Kartasura kemudian dipindahkan ke Surakarta. Selanjutnya terjadi perpecahan yang berakhir dengan
diakuinya Sultan Hamengkubuwono
I yang bertakhta di Yogyakarta.
Dalam hal pewayangan,
pihak Surakarta mempertahankan aliran Kyai Panjang Mas yang hanya memiliki tiga
orang panakawan (Semar, Gareng, dan Petruk), sedangkan pihak Yogyakarta
menggunakan aliran Nyai Panjang Mas yang tetap mengakui keberadaan Bagong.
Akhirnya, pada zaman
kemerdekaan Bagong bukan lagi milik Yogyakarta saja. Para dalang aliran
Surakarta pun kembali menampilkan empat orang punakawan dalam setiap pementasan
mereka. Bahkan, peran Bagong cenderung lebih banyak daripada Gareng yang biasanya hanya muncul dalam gara-gara saja.
Bagong versi Jawa Timur
Dalam pewayangan gaya
Jawa Timuran, yang berkembang di daerah Surabaya, Gresik, Mojokerto, Jombang, Malang dan sekitarnya,
tokoh Semar hanya memiliki
dua orang anak , yaitu Bagong dan Sarangaja. Bagong sendiri memiliki anak
bernama Besut.Dalam versi ini
adik Bagong memang jarang di pentaskan namun ada lakon tertentu dimana
Sarangaja keluar seperti lakon Adeg'e Khayangan Suralaya dimana pada cerita ini
menceritakan Asal usul Bagong dalam versi Jawa Timur.
Tentu saja Bagong gaya
Jawa Timuran memiliki peran yang sangat penting sebagai panakawan utama dalam
setiap pementasan wayang. Ucapannya yang penuh humor khas timur membuatnya
sebagai tokoh wayang yang paling ditunggu kemunculannya.Dalam versi ini, Bagong
memiliki nama sebutan lain, yaitu Jamblahita.
GARENG
adalah anak Gandarwa (sebangsa jin)
yang diambil anak angkat pertama oleh Semar. Nama lain gareng adalah : Pancalpamor
( artinya menolak godaan duniawi ) Pegatwaja ( artinya gigi
sebagai perlambang bahwa Gareng tidak suka makan makanan yang enak-enak yang
memboroskan dan mengundang penyakit. Nala Gareng (artinya hati
yang kering, kering dari kemakmuran, sehingga ia senantiasa berbuat baik).
Gareng adalah punakawan kedua setelah Semar. ciri fisik Gareng :
Gareng adalah punakawan kedua setelah Semar. ciri fisik Gareng :
- Mata juling................ artinya tidak mau melihat hal-hal yang mengundang kejahatan/ tidak baik.
- Tangan ceko (melengkung) ................... artinya tidak mau mengambil/ merampas hak orang lain.
- Sikil gejik (seperti pincang) ................... artinya selalu penuh kewaspadaan dalam segala perilaku.
Gareng senang bercanda, setia kepada
tuannya, dan gemar menolong. Dalam pengembaraannya pernah menjadi raja bernama
Prabu Pandu Bergola di kerajaan Parang Gumiwang. Ia sakti mandraguna, semua
raja ditaklukkannya. Tetapi ia ingin mencoba kerajaan Amarta ( tempat ia
mengabdi ketika menjadi punakawan).Semua satria pandawapun dikalahkannya.
Sementara itu Semar, Petruk dan Bagong sangat kebingungan karena kepergian
Gareng.
Untunglah Pandawa mempunyai penasehat yang ulung, yaitu Prabu Kresna. Ia menyarankan kepada Semar, jika ia ingin bertemu dengan Gareng relakanlah Petruk untuk untuk menghadapi Pandu Bergola. Semar tanggap dengan ucapan Krena, sedangkan hati Petruk menjadi ciut nyalinya. Petruk berfikir Semua raja juga termasuk Pandawa saja dikalahkan Pandu Bergola, apa jadinya kalau dia yang menghadapinya. Melihat kegamangan Petruk, Semar mendekat dan membisikkan sesuatu kepadanya. Setelah itu petruk menjadi semangat dan girang, kemudian ia berangkat menghadapi Pandu Bergola.
Saat Pandu Bergola sudah berhadapan dengan Petruk, ia selalu membelakangi ( tidak mau bertatap muka), jika terpaksa bertatap muka ia selalu menunduk. Tetapi Petruk senantiasa mendesak untuk bertanding. Akhirnya terjadilah perang tanding yang sangat ramai, penuh kelucuan dan juga kesaktian. Saat pergumulan terjadi Pandu Bergola berubah wujud menjadi Gareng. Tetapi Petruk belum menyadarinya. Pergumulan terus berlanjut ........ sampai pada akhirnya Semar memisahkan keduanya. Begitu tahu wujud asli Pandu Bergola ...... Petruk memeluk erat-erat kakaknya (Gareng) dengan penuh girang. semua keluarga Pandawa ikut bersuka cita karena abdinya telah kembali.
Gareng ditanya oleh Kresna, mengapa melakukan seperti itu. ia menjawab bahwa dia ingin mengingatkan tuan-tuannya (Pandawa), jangan lupa karena sudah makmur sehingga kurang/ hilang kehati-hatian serta kewaspadaannya. Bagaimana jadinya kalau negara diserang musuh dengan tiba-tiba? negara akan hancur dan rakyat menderita. Maka sebelum semua itu terjadi Gareng mengingatkan pada rajanya. Pandawa merasa gembira dan beruntung punya abdi seperti Gareng.
Makna yang terkandung dalam kisah Gareng adalah :
Untunglah Pandawa mempunyai penasehat yang ulung, yaitu Prabu Kresna. Ia menyarankan kepada Semar, jika ia ingin bertemu dengan Gareng relakanlah Petruk untuk untuk menghadapi Pandu Bergola. Semar tanggap dengan ucapan Krena, sedangkan hati Petruk menjadi ciut nyalinya. Petruk berfikir Semua raja juga termasuk Pandawa saja dikalahkan Pandu Bergola, apa jadinya kalau dia yang menghadapinya. Melihat kegamangan Petruk, Semar mendekat dan membisikkan sesuatu kepadanya. Setelah itu petruk menjadi semangat dan girang, kemudian ia berangkat menghadapi Pandu Bergola.
Saat Pandu Bergola sudah berhadapan dengan Petruk, ia selalu membelakangi ( tidak mau bertatap muka), jika terpaksa bertatap muka ia selalu menunduk. Tetapi Petruk senantiasa mendesak untuk bertanding. Akhirnya terjadilah perang tanding yang sangat ramai, penuh kelucuan dan juga kesaktian. Saat pergumulan terjadi Pandu Bergola berubah wujud menjadi Gareng. Tetapi Petruk belum menyadarinya. Pergumulan terus berlanjut ........ sampai pada akhirnya Semar memisahkan keduanya. Begitu tahu wujud asli Pandu Bergola ...... Petruk memeluk erat-erat kakaknya (Gareng) dengan penuh girang. semua keluarga Pandawa ikut bersuka cita karena abdinya telah kembali.
Gareng ditanya oleh Kresna, mengapa melakukan seperti itu. ia menjawab bahwa dia ingin mengingatkan tuan-tuannya (Pandawa), jangan lupa karena sudah makmur sehingga kurang/ hilang kehati-hatian serta kewaspadaannya. Bagaimana jadinya kalau negara diserang musuh dengan tiba-tiba? negara akan hancur dan rakyat menderita. Maka sebelum semua itu terjadi Gareng mengingatkan pada rajanya. Pandawa merasa gembira dan beruntung punya abdi seperti Gareng.
Makna yang terkandung dalam kisah Gareng adalah :
- Jangan menilai seseorang dari wujud fisiknya. Budi itu terletak di hati, watak tidak tampak pada wujud fisik tetapi pada tingkah dan perilaku. Belum tentu fisiknya cacat hatinya jahat.
- Manusia wajib saling mengingatkan.
- Jangan suka merampas hak orang lain.
- Cintailah saudaramu dengan setulus hati.
- Kalau bertindah harus dengan penuh perhitungan dan hati-hati.
Arjuna
adalah nama seorang
tokoh protagonis dalam wiracarita
Mahabharata.
Ia dikenal sebagai sang Pandawa yang menawan parasnya dan lemah lembut
budinya. Ia adalah putra Prabu Pandudewanata, raja di Hastinapura
dengan Dewi
Kunti atau Dewi Prita, yaitu putri Prabu Surasena,
Raja Wangsa
Yadawa di Mandura.
Arjuna merupakan teman
dekat Kresna,
yaitu awatara
(penjelmaan) Batara Wisnu yang turun ke dunia demi
menyelamatkan dunia dari kejahatan. Arjuna juga merupakan seorang yang sempat
menyaksikan "wujud semesta Kresna" menjelang perang Bharatayuddha
berlangsung. Ia juga menerima ajaran Bhagawadgita
atau "Nyanyian Dewata", yaitu wejangan suci yang disampaikan oleh
Kresna kepadanya sesaat sebelum perang Bharatayuddha berlangsung karena Arjuna
mengalami keragu-raguan untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang Ksatria
dimedan perang.
Arti nama
Dalam bahasa
Sanskerta, secara harfiah kata Arjuna berarti
"bersinar terang", "putih" , "bersih". Dilihat
dari maknanya, kata Arjuna bisa berarti "jujur di dalam wajah dan
pikiran".
Arjuna mendapat julukan
"Kuruśreṣṭha" yang berarti
"keturunan dinasti Kuru yang terbaik". Ia merupakan manusia pilihan
yang mendapat kesempatan untuk mendapat wejangan suci yang sangat mulia dari Kresna,
yang terkenal sebagai Bhagawadgita (nyanyian Dewata).
Ia memiliki sepuluh
nama: Arjuna, Phālguna, Jishnu, Kirti, Shwetawāhana, Wibhatsu, Wijaya, Pārtha,
Sawyashachi (juga disamakan dengan Sabyasachi), dan Dhananjaya. Ketika ia
ditanya tentang sepuluh namanya sebagai bukti identitas, maka ia menjawab:
“
|
Sepuluh namaku adalah:
Arjuna, Phālguna, Jishnu, Kirti, Shwetawāhana, Wibhatsu, Wijaya, Pārtha,
Sawyashachi dan Dhananjaya. Aku dipanggil Dhananjaya ketika aku
menaklukkan seluruh raja pada saat Yadnya Rajasuya dan mengumpulkan harta mereka. Aku selalu bertarung sampai akhir dan aku selalu menang, itulah sebabnya aku dipanggil Wijaya. Kuda yang diberikan Dewa Agni kepadaku berwarna putih, itulah sebabnya aku dipanggil Shwetawāhana. Ayahku
Indra memberiku mahkota indah ketika aku bersamanya, itulah sebabnya aku dipanggil Kriti. Aku tidak
pernah bertarung dengan curang dalam pertempuran, itulah sebabnya aku
dipanggil Wibhatsu. Aku tidak pernah menakuti musuhku dengan keji, aku
bisa menggunakan kedua tanganku ketika menembakkan anah panah, itulah
sebabnya aku disebut Sawyashachī. Raut wajahku unik bagaikan pohon
Arjun, dan namaku adalah "yang tak pernah lapuk", itulah sebabnya
aku dipanggil Arjuna. Aku lahir di lereng gunung Himawan, di sebuah tempat yang disebut Satsringa pada hari ketika bintang Uttarā Phālgunī berada di atas, itulah sebabnya aku disebut Phālguna. Aku
disebut Jishnu karena aku menjadi hebat ketika marah. Ibuku bernama
Prithā, sehingga aku disebut juga Pārtha. Aku bersumpah bahwa aku akan
menghancurkan setiap orang yang melukai kakakku Yudistira dan menaburkan darahnya di bumi. Aku tak bisa ditaklukkan oleh siapa pun.
|
Kelahiran
Dalam Mahabharata
diceritakan bahwa Raja Hastinapura yang bernama Pandu
tidak bisa melanjutkan keturunan karena dikutuk oleh seorang resi.
Kunti
(istri pertamanya) menerima anugerah dari Resi
Durwasa
agar mampu memanggil Dewa-Dewa sesuai dengan keinginannya, dan juga dapat
memperoleh anak dari Dewa tersebut. Pandu dan Kunti memanfaatkan anugerah
tersebut kemudian memanggil Dewa Yama (Dharmaraja; Yamadipati), Dewa Bayu
(Marut), dan Dewa Indra (Sakra) yang kemudian memberi mereka tiga
putra. Arjuna merupakan putra ketiga, lahir dari Indra, pemimpin para Dewa.
Sifat dan kepribadian
Arjuna memiliki karakter
yang mulia, berjiwa kesatria, imannya kuat, tahan terhadap godaan duniawi,
gagah berani, dan selalu berhasil merebut kejayaan sehingga diberi julukan
"Dananjaya". Musuh seperti apapun pasti akan ditaklukkannya, sehingga
ia juga diberi julukan "Parantapa", yang berarti penakluk musuh. Di
antara semua keturunan Kuru di dalam silsilah Dinasti Kuru, ia dijuluki
"Kurunandana", yang artinya putra kesayangan Kuru. Ia juga memiliki
nama lain "Kuruprāwira", yang berarti "kesatria Dinasti
Kuru yang terbaik", sedangkan arti harfiahnya adalah
"Perwira Kuru".
Di antara para Pandawa,
Arjuna merupakan kesatria pertapa yang paling teguh. Pertapaannya sangat
khusyuk. Ketika ia mengheningkan cipta, menyatukan dan memusatkan pikirannya
kepada Tuhan, segala gangguan dan godaan duniawi tak akan bisa menggoyahkan
hati dan pikirannya. Maka dari itu, Sri Kresna
sangat kagum padanya, karena ia merupakan kawan yang sangat dicintai Kresna
sekaligus pemuja Tuhan yang sangat tulus. Sri Kresna
pernah berkata padanya, "Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbaktilah
kepada-Ku, dan serahkanlah dirimu pada-Ku, maka kau akan datang kepada-Ku. Aku
berkata demikian, karena kaulah kawan-Ku yang sangat Kucintai".
Masa muda dan pendidikan
Arjuna dididik bersama
dengan saudara-saudaranya yang lain (para Pandawa
dan Korawa)
oleh Bagawan
Drona. Kemahirannya dalam ilmu memanah sudah tampak semenjak kecil.
Pada usia muda ia sudah mendapat gelar "Maharathi" atau
"kesatria terkemuka". Ketika Guru Drona meletakkan burung kayu pada
pohon, ia menyuruh muridnya satu-persatu untuk membidik burung tersebut,
kemudian ia menanyakan kepada muridnya apa saja yang sudah mereka lihat. Banyak
muridnya yang menjawab bahwa mereka melihat pohon, cabang, ranting, dan segala
sesuatu yang dekat dengan burung tersebut, termasuk burung itu sendiri. Ketika
tiba giliran Arjuna untuk membidik, Guru Drona menanyakan apa yang ia lihat.
Arjuna menjawab bahwa ia hanya melihat burung saja, tidak melihat benda yang
lainnya. Hal itu membuat Guru Drona kagum bahwa Arjuna sudah pintar.
Pada suatu hari, ketika Drona
sedang mandi di sungai Gangga, seekor buaya
datang mengigitnya. Drona dapat membebaskan dirinya dengan mudah, namun karena
ia ingin menguji keberanian murid-muridnya, maka ia berteriak meminta tolong.
Di antara murid-muridnya, hanya Arjuna yang datang memberi pertolongan. Dengan
panahnya, ia membunuh buaya yang menggigit gurunya. Atas pengabdian Arjuna,
Drona memberikan sebuah astra yang bernama "Brahmasirsa".
Drona juga mengajarkan kepada Arjuna tentang cara memanggil dan menarik astra
tersebut. Menurut Mahabharata, Brahmasirsa hanya dapat ditujukan kepada dewa,
raksasa,
setan jahat, dan makhluk sakti yang berbuat jahat, agar dampaknya tidak
berbahaya.
Pusaka
Arjuna memiliki senjata
sakti yang merupakan anugerah para dewata, hasil pertapaannya. Ia memiliki
panah Pasupati
pemberian Dewa Siwa yang digunakannya untuk mengalahkan Jayadrata
dan Karna
dalam Bharatayuddha. Busurnya bernama Gandiwa,
pemberian Dewa Baruna ketika ia hendak membakar hutan Kandawa.
Ia juga memiliki sebuah terompet kerang (sangkala) bernama Dewadatta, yang
berarti "anugerah Dewa".
Arjuna mendapatkan
Dropadi
Pada suatu ketika, Raja Drupada
dari Kerajaan Panchala mengadakan sayembara untuk
mendapatkan Dropadi, puterinya. Sebuah ikan kayu diletakkan
di atas kubah balairung, dan di bawahnya terdapat kolam yang memantulkan
bayangan ikan yang berada di atas. Kesatria yang berhasil memanah ikan tersebut
dengan hanya melihat pantulannya di kolam, berhak mendapatkan Dropadi.
Berbagai kesatria
mencoba melakukannya, namun tidak berhasil. Ketika Karna
yang hadir pada saat itu ikut mencoba, ia berhasil memanah ikan tersebut dengan
baik. Namun ia ditolak oleh Dropadi dengan alasan Karna lahir di kasta
rendah. Arjuna bersama saudaranya yang lain menyamar sebagai Brahmana,
turut serta menghadiri sayembara tersebut. Arjuna berhasil memanah ikan tepat
sasaran dengan hanya melihat pantulan bayangannya di kolam, dan ia berhak
mendapatkan Dropadi.
Ketika para Pandawa
pulang membawa Dropadi, mereka berkata, "Ibu, engkau pasti tidak akan percaya
dengan apa yang kami bawa!". Kunti (Ibu para Pandawa) yang sedang sibuk,
menjawab "Bagi dengan rata apa yang sudah kalian peroleh". Sesuai
dengan apa yang dikatakan oleh Kunti, maka para Pandawa bersepakat untuk
membagi Dropadi sebagai istri mereka. Mereka juga berjanji tidak akan
mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di kamar bersama dengan salah satu
dari Pandawa. Hukuman dari perbuatan yang mengganggu adalah pembuangan selama 1
tahun.
Perjalanan menjelajahi
Bharatawarsha
Pada suatu hari, ketika
Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha,
seorang pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh
para raksasa. Arjuna yang merasa memiliki kewajiban
untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya. Namun senjata tersebut
disimpan di sebuah kamar dimana Yudistira dan Dropadi
sedang menikmati malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar
mengambil senjata, tidak memedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang
bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani
pembuangan selama 1 tahun.
Arjuna menghabiskan masa
pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha
atau daratan India Kuno. Ketika sampai di sungai
Gangga, Arjuna bertemu dengan Ulupi,
puteri Naga Korawya dari istana naga atau Nagaloka. Arjuna terpikat dengan
kecantikan Ulupi lalu menikah dengannya. Dari hasil perkawinannya, ia
dikaruniai seorang putra yang diberi nama Irawan.
Setelah itu, ia melanjutkan perjalanannya menuju wilayah pegunungan Himalaya.
Setelah mengunjungi sungai-sungai suci yang ada di sana, ia berbelok ke
selatan. Ia sampai di sebuah negeri yang bernama Manipura. Raja negeri tersebut bernama
Citrasena. Ia memiliki seorang puteri yang sangat cantik bernama Citrānggadā.
Arjuna jatuh cinta kepada puteri tersebut dan hendak menikahinya, namun
Citrasena mengajukan suatu syarat bahwa apabila puterinya tersebut melahirkan
seorang putra, maka anak puterinya tersebut harus menjadi penerus tahta
Manipura oleh karena Citrasena tidak memiliki seorang putra. Arjuna menyetujui
syarat tersebut. Dari hasil perkawinannya, Arjuna dan Citrānggadā memiliki
seorang putra yang diberi nama Babruwahana.
Oleh karena Arjuna terikat dengan janjinya terdahulu, maka ia meninggalkan
Citrānggadā setelah beberapa bulan tinggal di Manipura. Ia tidak mengajak
istrinya pergi ke Hastinapura.
Setelah meninggalkan Manipura, ia meneruskan perjalanannya menuju
arah selatan. Dia sampai di lautan yang mengapit Bharatawarsha
di sebelah selatan, setelah itu ia berbelok ke utara. Ia berjalan di sepanjang
pantai Bharatawarsha bagian barat. Dalam pengembaraannya, Arjuna sampai di
pantai Prabasa (Prabasatirta) yang terletak di dekat Dwaraka,
yang kini dikenal sebagai Gujarat. Di sana ia menyamar sebagai seorang
pertapa untuk mendekati adik Kresna yang bernama Subadra,
tanpa diketahui oleh siapa pun. Atas perhatian dari Baladewa,
Arjuna mendapat tempat peristirahatan yang layak di taman Subadra. Meskipun
rencana untuk membiarkan dua pemuda tersebut tinggal bersama ditentang oleh
Kresna, namun Baladewa meyakinkan bahwa peristiwa buruk tidak akan terjadi.
Arjuna tinggal selama beberapa bulan di Dwaraka, dan Subadra telah melayani
semua kebutuhannya selama itu. Ketika saat yang tepat tiba, Arjuna menyatakan
perasaan cintanya kepada Subadra. Pernyataan itu disambut oleh Subadra. Dengan
kereta yang sudah disiapkan oleh Kresna, mereka pergi ke Indraprastha untuk
melangsungkan pernikahan.
Baladewa
marah setelah mendengar kabar bahwa Subadra
telah kabur bersama Arjuna. Kresna meyakinkan bahwa Subadra pergi atas
kemauannya sendiri, dan Subadra sendiri yang mengemudikan kereta menuju Indraprastha,
bukan Arjuna. Kresna juga mengingatkan Baladewa bahwa dulu ia menolak untuk
membiarkan kedua pasangan tersebut tinggal bersama, namun usulnya ditentang
oleh Baladewa. Setelah Baladewa sadar, ia membuat keputusan untuk
menyelenggarakan upacara pernikahan yang mewah bagi Arjuna dan Subadra di
Indraprastha. Ia juga mengajak kaum Yadawa untuk turut hadir di pesta
pernikahan Arjuna-Subadra. Setelah pesta pernikahan berlangsung, kaum Yadawa
tinggal di Indraprastha selama beberapa hari, lalu pulang kembali ke Dwaraka,
namun Kresna tidak turut serta.
Terbakarnya hutan
Kandawa
Pada suatu ketika,
Arjuna dan Kresna berkemah di tepi sungai
Yamuna. Di tepi hutan tersebut terdapat hutan lebat yang bernama Kandawa.
Di sana mereka bertemu dengan Agni, Dewa
Api.
Agni berkata bahwa hutan Kandawa seharusnya telah musnah dilalap api, namun
Dewa Indra
selalu menurunkan hujannya untuk melindungi temannya yang bernama Taksaka,
yang hidup di hutan tersebut. Maka, Agni memohon agar Kresna dan Arjuna
bersedia membantunya menghancurkan hutan Kandawa. Kresna dan Arjuna bersedia
membantu Agni, namun terlebih dahulu mereka meminta Agni agar menyediakan
senjata kuat bagi mereka berdua untuk menghalau gangguan yang akan muncul.
Kemudian Agni memanggil Baruna, Dewa
Lautan.
Baruna memberikan busur suci bernama Gandiwa serta tabung berisi
anak panah
dengan jumlah tak terbatas kepada Arjuna. Untuk Kresna, Baruna memberikan Cakra
Sudarsana. Dengan senjata tersebut, mereka berdua menjaga agar Agni
mampu melalap hutan Kandawa sampai habis.
Arjuna dalam masa
pencapaian sorga
Relief Arjuna dan Siwa
pada candi Surawana (Surowono), Jawa
Timur. Di sini tampak Arjuna dan Siwa yang menyamar sebagai pemburu,
sedang bertengkar mengenai siapa yang telah memanah babi hutan.
Setelah Yudistira
kalah bermain dadu, para Pandawa beserta Dropadi
mengasingkan diri ke hutan. Kesempatan tersebut dimanfa'atkan oleh Arjuna untuk
bertapa demi memperoleh kesaktian dalam peperangan melawan para sepupunya yang
jahat. Arjuna memilih lokasi bertapa di gunung Indrakila. Dalam usahanya, ia
diuji oleh tujuh bidadari yang dipimpin oleh Supraba,
namun keteguhan hati Arjuna mampu melawan berbagai godaan yang diberikan oleh
para bidadari.
Para bidadari yang kesal
kembali ke kahyangan, dan melaporkan kegagalan mereka kepada Dewa
Indra.
Setelah mendengarkan laporan para bidadari, Indra turun di tempat Arjuna
bertapa sambil menyamar sebagai seorang pendeta.
Dia bertanya kepada Arjuna, mengenai tujuannya melakukan tapa di gunung
Indrakila. Arjuna menjawab bahwa ia bertapa demi memperoleh kekuatan untuk
mengurangi penderitaan rakyat, serta untuk menaklukkan musuh-musuhnya, terutama
para Korawa
yang selalu bersikap jahat terhadap para Pandawa.
Setelah mendengar penjelasan dari Arjuna, Dewa Indra menampakkan wujudnya yang
sebenarnya. Dia memberikan anugerah kepada Arjuna berupa senjata sakti.
Setelah mendapat
anugerah dari Dewa Indra, Arjuna memperkuat tapanya ke hadapan Dewa
Siwa.
Dewa Siwa yang terkesan dengan tapa Arjuna kemudian mengirimkan seekor babi
hutan berukuran besar. Ia menyeruduk gunung Indrakila hingga bergetar. Hal
tersebut membuat Arjuna terbangun dari tapanya. Karena ia melihat seekor babi
hutan sedang mengganggu tapanya, maka ia segera melepaskan anak panahnya untuk
membunuh babi tersebut. Di saat yang bersamaan, Dewa Siwa
datang dan menyamar sebagai pemburu, turut melepaskan anak panah ke arah babi
hutan yang dipanah oleh Arjuna. Karena kesaktian Sang Dewa, kedua anak panah
yang menancap di tubuh babi hutan itu menjadi satu.
Pertengkaran hebat
terjadi antara Arjuna dan Dewa Siwa yang menyamar menjadi pemburu. Mereka
sama-sama mengaku telah membunuh babi hutan siluman, namun hanya satu anak
panah saja yang menancap, bukan dua. Maka dari itu, Arjuna berpikir bahwa si
pemburu telah mengklaim sesuatu yang sebenarnya menjadi hak Arjuna. Setelah adu
mulut, mereka berdua berkelahi. Saat Arjuna menujukan serangannya kepada si
pemburu, tiba-tiba orang itu menghilang dan berubah menjadi wujud aslinya yaitu
Dewa Siwa. Arjuna meminta ma'af kepada Sang Dewa karena ia telah berani
melakukan tantangan. Dewa Siwa tidak marah kepada Arjuna, justru sebaliknya ia
merasa kagum. Atas keberaniannya, Dewa Siwa memberi anugerah berupa panah sakti
bernama "Pasupati".
Setelah menerima
anugerah tersebut, Arjuna dijemput oleh para penghuni kahyangan untuk menuju
kediaman Dewa Indra, raja para dewa. Di sana Arjuna
menghabiskan waktu selama beberapa tahun. Di sana pula Arjuna bertemu dengan
bidadari Urwasi.
Karena Arjuna tidak mau menikahi bidadari Urwasi, maka Urwasi mengutuk Arjuna
agar menjadi banci.
Kutukan itu dimanfaatkan
oleh Arjuna pada saat para Pandawa menyelesaikan hukuman pembuangan mereka
dalam hutan. Sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa harus hidup dalam
penyamaran selama satu tahun. Pandawa beserta Dropadi
menuju ke kerajaan Wirata. Di sana Arjuna menyamar sebagai
guru tari yang banci, dengan nama samaran Brihanala. Meskipun demikian,
Arjuna telah berhasil membantu putra mahkota kerajaan Wirata, yaitu pangeran Utara, dengan menghalau musuh yang hendak
menyerbu kerajaan Wirata.
Meletusnya perang
Setelah menjalani masa
pembuangan selama 13 tahun para Pandawa ingin memperoleh kembali kerajaannya.
Namun ketika sampai di sana, hak mereka ditolak dengan tegas oleh Duryodana,
bahkan ia menantang untuk berperang. Demi kerajaannya, para Pandawa menyetujui
untuk melakukan perang.
Arjuna menerima Bhagawadgita
Kresna,
adik Baladewa,
tidak ingin terlibat langsung dalam peperangan antara Pandawa
dan Korawa.
Ia ingin salah satu pihak memilih tentaranya, sedangkan pihak yang lain
memilihnya sebagai penasihat. Akhirnya, Duryodana
memilih tentaranya, sedangkan Arjuna memilih Kresna sebagai kusir keretanya
selama delapan belas hari pertarungan di Medan Kuru atau Kurukshetra.
Dalam Mahabharata, peran Kresna sebagai kusir
bermakna "pemandu" atau "penunjuk jalan", yaitu memandu
Arjuna melewati segala kebimbangan hatinya dan menunjukkan jalan kebenaran
kepada Arjuna. Ajaran kebenaran yang diuraikan Kresna kepada Arjuna disebut Bhagawadgita.
Hal itu bermula beberapa
saat sebelum perang di Kurukshetra. Arjuna melakukan inspeksi
terhadap pasukannya, agar ia bisa mengetahui siapa yang harus ia bunuh dalam
pertempuran nanti. Tiba-tiba Arjuna dilanda pergolakan batin ketika ia melihat
kakeknya, guru besarnya, saudara sepupu, teman sepermainan, ipar, dan
kerabatnya yang lain berkumpul di Kurukshetra
untuk melakukan pembantaian besar-besaran. Arjuna menjadi tak tega untuk
membunuh mereka semua. Dilanda oleh masalah batin, antara mana yang benar dan
mana yang salah, Arjuna bertekad untuk mengundurkan diri dari pertempuran.
Arjuna berkata:
“
|
Kresnayang baik hati, setelah melihat kawan-kawan dan sanak keluarga di hadapan saya, dengan semangat untuk bertempur seperti itu, saya merasa anggota-anggota badan saya gemetar dan mulut saya terasa kering.....Kita akan dikuasai dosa jika membunuh penyerang seperti itu. Karena itu, tidak pantas kalau kita membunuh para putra Drestarastra dan kawan-kawan kita. O Kresna, suami Dewi Laksmi, apa keuntungannya bagi kita, dan bagaimana mungkin kita berbahagia dengan membunuh sanak keluarga kita sendiri?
|
”
|
Melihat hal itu, Kresna
yang mengetahui dengan baik segala ajaran agama
Hindu,
menguraikan ajaran-ajaran kebenaran agar semua keraguan di hati Arjuna sirna.
Kresna menjelaskan, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang sepantasnya
dilakukan Arjuna sebagai kewajibannya di medan perang. Selain itu Kresna
menunjukkan bentuk semestanya kepada Arjuna. Ajaran kebenaran yang dijabarkan
Kresna tersebut dikenal sebagai Bhagawadgita,
yang berarti "Nyanyian Tuhan". Kitab Bhagawad Gita yang sebenarnya
merupakan suatu bagian dari Bhismaparwa, menjadi kitab tersendiri yang
sangat terkenal dalam ajaran Hindu, karena dianggap merupakan intisari dari
ajaran-ajaran Weda.
Arjuna dalam
Bharatayuddha
Dalam pertempuran di Kurukshetra, atau Bharatayuddha,
Arjuna bertarung dengan para kesatria hebat dari pihak Korawa,
dan tidak jarang ia membunuh mereka, termasuk panglima besar pihak Korawa yaitu
Bisma.
Di awal pertempuran, Arjuna masih dibayangi oleh kasih sayang Bisma sehingga ia
masih segan untuk membunuhnya. Hal itu membuat Kresna
marah berkali-kali, dan Arjuna berjanji bahwa kelak ia akan mengakhiri nyawa
Bisma. Pada pertempuran di hari kesepuluh, Arjuna berhasil membunuh Bisma, dan
usaha tersebut dilakukan atas bantuan dari Srikandi.
Setelah Abimanyu putra Arjuna gugur pada hari ketiga belas, Arjuna
bertarung dengan Jayadrata untuk membalas dendam atas kematian putranya.
Pertarungan antara Arjuna dan Jayadrata diakhiri menjelang senja hari, dengan
bantuan dari Kresna.
Pada pertempuran di hari
ketujuh belas, Arjuna terlibat dalam duel sengit melawan Karna.
Ketika panah Karna melesat menuju kepala Arjuna, Kresna
menekan kereta Arjuna ke dalam tanah dengan kekuatan saktinya sehingga panah
Karna meleset beberapa inci dari kepala Arjuna. Saat Arjuna menyerang Karna
kembali, kereta Karna terperosok ke dalam lubang (karena sebuah kutukan). Karna
turun untuk mengangkat kembali keretanya yang terperosok. Salya,
kusir keretanya, menolak untuk membantunya. Karena mematuhi etika peperangan,
Arjuna menghentikan penyerangannya bila kereta Karna belum berhasil diangkat.
Pada saat itulah Kresna mengingatkan Arjuna atas kematian Abimanyu,
yang terbunuh dalam keadaan tanpa senjata dan tanpa kereta. Dilanda oleh
pergolakan batin, Arjuna melepaskan panah Rudra yang mematikan ke kepala Karna.
Senjata itu memenggal kepala Karna.
Kehidupan setelah
Bharatayuddha
Tak lama setelah Bharatayuddha
berakhir, Yudistira diangkat menjadi Raja Kuru
dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Untuk menengakkan dharma
di seluruh Bharatawarsha, sekaligus menaklukkan para raja
kejam dengan pemerintahan tiran, maka Yudistira menyelenggarakan Aswamedha Yadnya.
Upacara tersebut dilakukan dengan melepaskan seekor kuda
dan kuda itu diikuti oleh Arjuna beserta para prajurit. Daerah yang dilalui oleh
kuda tersebut menjadi wilayah Kerajaan
Kuru. Ketika Arjuna sampai di Manipura, ia bertemu dengan Babruwahana,
putra Arjuna yang tidak pernah melihat wajah ayahnya semenjak kecil.
Babruwahana bertarung dengan Arjuna, dan berhasil membunuhnya. Ketika
Babruwahana mengetahui hal yang sebenarnya, ia sangat menyesal. Atas bantuan Ulupi
dari negeri
Naga, Arjuna hidup kembali.
Tiga puluh enam tahun
setelah Bharatayuddha berakhir, Dinasti
Yadu musnah di Prabhasatirtha karena perang saudara. Kresna
dan Baladewa,
yang konon merupakan kesatria paling sakti dalam dinasti tersebut,
ikut tewas namun tidak dalam waktu yang bersamaan. Setelah berita kehancuran
itu disampaikan oleh Daruka, Arjuna datang ke kerajaan
Dwaraka untuk menjemput para wanita dan anak-anak. Sesampainya di
Dwaraka, Arjuna melihat bahwa kota gemerlap tersebut telah sepi. Basudewa
yang masih hidup, tampak terkulai lemas dan kemudian wafat di mata Arjuna.
Sesuai dengan amanat yang ditinggalkan Kresna, Arjuna mengajak para wanita dan
anak-anak untuk mengungsi ke Kurukshetra. Dalam perjalanan, mereka diserang
oleh segerombolan perampok. Arjuna berusaha untuk menghalau serbuan tersebut,
namun kekuatannya menghilang pada saat ia sangat membutuhkannya. Dengan sedikit
pengungsi dan sisa harta yang masih bisa diselamatkan, Arjuna menyebar mereka
di wilayah Kurukshetra.
Setelah Arjuna berhasil
menjalankan misinya untuk menyelamatkan sisa penghuni Dwaraka, ia pergi menemui
Resi
Byasa
demi memperoleh petunjuk. Arjuna mengadu kepada Byasa bahwa kekuatannya
menghilang pada saat ia sangat membutuhkannya. Byasa yang bijaksana sadar bahwa
itu semua adalah takdir Yang Maha Kuasa. Byasa menyarankan bahwa sudah
selayaknya para Pandawa meninggalkan kehidupan duniawi. Setelah mendapat nasihat
dari Byasa, para Pandawa spakat untuk melakukan perjalanan suci menjelajahi Bharatawarsha.
Perjalanan suci dan
kematian
Perjalanan suci yang
dilakukan oleh para Pandawa diceritakan dalam kitab Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa. Dalam perjalanan
sucinya, para Pandawa dihadang oleh api yang sangat besar, yaitu Agni.
Ia meminta Arjuna agar senjata Gandiwa beserta tabung anak panahnya yang tak
pernah habis dikembalikan kepada Baruna, sebab tugas Nara
sebagai Arjuna sudah berakhir di zaman Dwaparayuga
tersebut. Dengan berat hati, Arjuna melemparkan senjata saktinya ke lautan, ke
kediaman Baruna. Setelah itu, Agni lenyap dari hadapannya dan para Pandawa
melanjutkan perjalanannya.
Ketika para Pandawa
serta istrinya memilih untuk mendaki gunung Himalaya
sebagai tujuan akhir perjalanan mereka, Arjuna gugur di tengah perjalanan
setelah kematian Nakula, Sahadewa,
dan Dropadi.
Arjuna di Nusantara
Di Nusantara, tokoh
Arjuna juga dikenal dan sudah terkenal dari dahulu kala. Arjuna terutama
menjadi populer di daerah Jawa, Bali, Madura,
dan Lombok.
Di Jawa dan kemudian di Bali, Arjuna menjadi tokoh utama dalam beberapa kakawin,
seperti misalnya Kakawin Arjunawiwāha, Kakawin Pārthayajña, dan Kakawin Pārthāyana (juga dikenal dengan nama
Kakawin Subhadrawiwāha. Selain itu Arjuna juga didapatkan dalam beberapa
relief candi di pulau Jawa misalkan candi Surowono.
Arjuna dalam dunia pewayangan Jawa
Arjuna juga merupakan
seorang tokoh ternama dalam dunia pewayangan dalam budaya Jawa Baru. Di bawah ini
disajikan beberapa ciri khas yang mungkin berbeda dengan ciri khas Arjuna dalam
kitab Mahābhārata versi India
dengan bahasa Sanskerta.
Sifat dan kepribadian
Arjuna seorang kesatria
yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu. Selain menjadi murid Resi Drona
di Padepokan Sukalima, ia juga menjadi murid Resi Padmanaba dari Pertapaan
Untarayana. Arjuna pernah menjadi brahmana
di Goa Mintaraga, bergelar Bagawan Ciptaning. Ia dijadikan kesatria unggulan
para dewa untuk membinasakan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara
Manimantaka. Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Dewa
Indra, bergelar Prabu Karitin. dan mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti dari
para dewa, antara lain: Gendewa (dari Bhatara
Indra), Panah Ardadadali (dari Bhatara
Kuwera), Panah Cundamanik (dari Bhatara
Narada).
Arjuna memiliki sifat
cerdik dan pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi
yang lemah. Ia memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta.
Setelah perang Bharatayuddha, Arjuna menjadi raja di Negara
Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata. Akhir riwayat Arjuna diceritakan, ia moksa
(mati sempurna) bersama keempat saudaranya yang lain di gunung Himalaya.
Ia adalah petarung tanpa
tanding di medan laga, meski bertubuh ramping berparas rupawan sebagaimana
seorang dara, berhati lembut meski berkemauan baja, kesatria dengan segudang istri
dan kekasih meski mampu melakukan tapa yang paling berat, seorang kesatria
dengan kesetiaan terhadap keluarga yang mendalam tapi kemudian mampu memaksa
dirinya sendiri untuk membunuh saudara tirinya. Bagi generasi tua Jawa,
dia adalah perwujudan lelaki seutuhnya. Sangat berbeda dengan Yudistira,
dia sangat menikmati hidup di dunia. Petualangan cintanya senantiasa memukau orang
Jawa, tetapi secara aneh dia sepenuhnya berbeda dengan Don Juan
yang selalu mengejar wanita. Konon Arjuna begitu halus dan tampan sosoknya
sehingga para puteri begitu, juga para dayang, akan segera menawarkan diri
mereka. Merekalah yang mendapat kehormatan, bukan Arjuna. Ia sangat berbeda
dengan Wrekudara. Dia menampilkan keanggunan tubuh dan
kelembutan hati yang begitu dihargai oleh orang Jawa berbagai generasi.
Pusaka
Arjuna juga memiliki
pusaka-pusaka sakti lainnya, atara lain: Keris Kiai Kalanadah diberikan pada Gatotkaca
saat mempersunting Dewi Pergiwa (putra Arjuna), Panah Sangkali (dari Resi Drona),
Panah Candranila, Panah Sirsha, Panah Kiai Sarotama, Panah
Pasupati (dari Batara Guru), Panah Naracabala, Panah
Ardhadhedhali, Keris Kiai Baruna, Keris Pulanggeni (diberikan pada Abimanyu),
Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton (pemberian Bagawan
Wilawuk dari pertapaan Pringcendani) dan Kuda Ciptawilaha dengan Cambuk Kiai
Pamuk. Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain: Panglimunan, Tunggengmaya,
Sepiangin, Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama. Arjuna juga
memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu Kampuh atau Kain Limarsawo,
Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung Candrakanta dan Cincin
Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya,
raja negara Paranggelung).
Istri dan keturunan
Dalam Mahabharata
versi pewayangan Jawa, Arjuna mempunyai banyak sekali istri,itu semua sebagai
simbol penghargaan atas jasanya ataupun atas keuletannya yang selalu berguru
kepada banyak pertapa. Berikut sebagian kecil istri dan anak-anaknya:
1 Dewi Subadra,
berputra Raden Abimanyu;
2 Dewi Sulastri, berputra
Raden Sumitra;
3 Dewi Larasati, berputra
Raden Bratalaras;
4 Dewi Ulupi
atau Palupi, berputra Bambang Irawan;
5 Dewi Jimambang, berputra
Kumaladewa dan Kumalasakti;
6 Dewi Ratri, berputra
Bambang Wijanarka;
7 Dewi Dresanala, berputra
Raden Wisanggeni;
8 Dewi Wilutama, berputra
Bambang Wilugangga;
9 Dewi Manuhara,
berputra Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati;
10 Dewi Supraba,
berputra Raden Prabakusuma;
11 Dewi Antakawulan,
berputra Bambang Antakadewa;
12 Dewi Juwitaningrat,
berputra Bambang Sumbada;
13 Dewi Maheswara;
14 Dewi Retno Kasimpar;
15 Dewi Dyah Sarimaya;
16 Dewi Srikandi.
Banyaknya istri yang dimiliki Arjuna ini dalam
cerita pewayangan bukanlah merupakan gambaran seseorang yang serakah istri atau
mata keranjang, namun gambaran bahwa Arjuna dapat menerima dan diterima oleh
semua golongan.
Ketika muda, Arjuna pernah ingin memperistri Dewi Anggraini, istri Prabu Ekalaya atau juga sering disebut Prabu Palgunadi dari kerajaan Paranggelung. Saat itu Arjuna yang ingin memaksakan kehendaknya mengakibatkan Dewi Anggraini bunuh diri karena ia hanya setia pada suaminya. Prabu Ekalaya yang mengetahui hal itu menantang Arjuna, namun kehebatan Prabu Ekalaya ternyata lebih dari Arjuna. Arjuna lalu mengadu pada Drona. Ia beranggapan gurunya telah ingkar janji dengan pernah menyebutkan tidak akan pernah mengajari memanah kepada siapapun selain Arjuna. Resi Drona lalu pergi kepada Prabu Ekalaya. Prabu Ekalaya memang adalah penggemar dari Resi Drona, namun karena ia tak dapat berguru secara langsung, ia menciptakan arca Drona di istananya untuk diajak bicara dadn berlatih. Oleh Drona hal tersebut dianggap sebagai suatu hal terlarang dengan memasang arcanya di sana. Maka sebagai gantinya Resi Drona lalu meminta Cincin Mustika Ampal yang telah tertanam di ibu jari Prabu Ekalaya. Oleh drona jari tersebut lalu dipotong lalu di tempelkan pada jari Arjuna. Sejak itulah Arjuna memiliki enam jari pada tangan kanannya. Hal ini dalam bahasa Jawa disebut siwil. Saat bertemu dengan Arjuna lagi, Prabu Ekalaya kalah. Saat itu ia menyadari bahwa ia telah diperdaya, maka sebelum mati ia berkata akan membalas dendam pada Drona kelak dalam Perang Baratayuda.
Arjuna memiliki banyak sekali senjata dan aji-aji.Senjata-senjata Arjuna antara lain adalah Panah Gendewa dari Batara Agni setelah ia membantu Batara Agni melawan Batar Indra dengan membakar Hutan Kandawa, Panah Pasopati dari Kirata, seorang pemburu jelmaan Batara Guru, sebelum Arjuna membunuh Niwatakaca, Mahkota Emas dan berlian dari Batara Indra, setelah ia mengalahkan Prabu Niwatakaca dan menjadi Raja para bidadari selama tujuh hari, keris Pulanggeni, keris Kalanadah yang berasal dari taring Batara Kala, Panah Sarotama, Panah Ardadali, Panah Cundamanik, Panah Brahmasirah, Panah Angenyastra, dan Arya Sengkali, keempatnya dari Resi Drona, Minyak Jayangketon dari Begawan Wilawuk, mertuanya, pusaka Mercujiwa, panah Brahmasirah, cambuk kyai Pamuk, panah Mergading dan banyak lagi. Selain itu aji-aji yang dimiliki Arjuna adalah sebagai berikut :
- Aji Panglimunan/Kemayan : dapat menghilang
- Aji Sepiangin : dapat berjalan tanpa jejak
- Aji Tunggengmaya : dapat mencipta sumber air
- Aji Mayabumi : dapat meperbesar wibawa dalam pertempuran
- Aji Mundri/Maundri/Pangatep-atep : dapat menambah berat tubuh
- Aji Pengasihan : menjadi dikasihi sesama
- Aji Asmaracipta : menambah kemampuan olah pikir
- Aji Asmaratantra : menambah kekuatan dalam perang
- Aji Asmarasedya : manambah keteguhan hati dalam perang
- Aji Asmaraturida : meanmbah kekuatan dalam olah rasa
- Aji Asmaragama : menambah kemampuan berolah asmara
- Aji Anima : dapat menjadi kecil hingga tak dapat dilihat
- Aji Lakuna : menjadi ringan dan dapat melayang
- Aji Prapki : sampai tujuan yang diinginkan dalam sekejap mata
- Aji Matima/Sempaliputri : dapat mengubah wujudnya.
- Aji Kamawersita : dapat perkasa dalam olah asmara
Arjuna pernah membantu Demang Sagotra rukun dengan istrinya saat ia mencari nasi bungkus untuk Nakula dan Sadewa setelah peristiwa Balesigala-gala. Konon hal ini yang membuat Demang Sagotra rela menjadi tawur kemenangan Pandawa kelak dalam Perang Baratayuda Jayabinangun.
Setelah Pandawa dihadiahi hutan Kandaprasta yang terkenal angker, Arjuna bertemu dengan Begawan Wilawuk yang sedang mencarikan pria yang diimpikan putrinya. Saat itu Begawan Wilawuk yang berujud raksasa membawa Arjuna dan menikahkannya dengan putrinya, Dewi Jimambang. Konon ini adalah istri pertama dari Arjuna. Dari mertuanya, ia mendapat warisan minyak Jayangketon yang berhasiat dapat melihat makhluk halus jika dioleskan di pelupuk mata. Minyak ini berjasa besar bagi para Pandawa yang saat itu berhadapan dengan Jin Yudistira dan saudara-saudaranya yang tak dapat dilihat mata biasa. Saat itu pulalah Arjuna dapat mengalahkan Jin Dananjaya dari wilayah Madukara. Jin Danajaya lalu merasuk dalam tubuh Arjuna. Selain mendapat nama Dananjaya, Arjuna juga memperoleh wilayah kesatrian di Madukara dengan Patih Suroto sebagai patihnya.
Saat menjadi buangan selama 12 tahun di hutan setelah Puntadewa kalah dalam permainan dadu Arjuna pernah pergi untuk bertapa di gunung Indrakila dengan nama Begawan Mintaraga. Dia saat yang sama Prabu Niwatakaca dari kerajaan Manimantaka yang meminta Dewi Supraba yang akan dijadikan istrinya. Saat itu tak ada seorang dewapun yang dapat menandingi kehebatan Prabu Niwatakaca dan Patihnya Ditya Mamangmurka. Menurut para dewa, hanya Arjunalah yang sanggup menaklukan raja raksasa tersebut. Batara Indra lalu mengirim tujuh bidadari untuk memberhentikan tapa dari Begawan Mintaraga. Ketujuh bidadari tersebut adalah Dewi Supraba sendiri, Dewi Wilutama, Dewi Leng-leng Mulat, Dewi Tunjungbiru, Dewi Warsiki, Dewi Gagarmayang dan Dewi Surendra. Tetapi ketujuh bidadari tersebut tetap saja tidak berhasil menggerakkan sang pertapa dari tempat duduknya. Setelah ketujuh bidadari tersebut kembali ke kayangan dan melaporkan kegagalannya, tiba-tiba munculah seorang raksasa besar yang mengobrak-abrik gunung Indrakila. Oleh Ciptaning, Buta tersebut di sumpah menjadi seekor babi hutan. Lalu babi hutan tersebut dipanahnya. Disaat yang bersamaan panah seorang pemburu yang bernama Keratapura. Setelah melalui perdebatan panjang dan perkelahian, ternyata Arjuna kalah. Arjuna lalu sadar bahwa yang dihadapinya tersebut adalah Sang Hyang Siwa atau Batara Guru. Ia lalu menyembah Batara Guru. Oleh Bataar Guru Arjuna diberi panah Pasopati dan diminta mengalahkan Prabu Niwatakaca.
Ternyata mengalahkan Prabu Niwatakaca tidak semudah yang dibayangkan. Arjuna lalu meminta bantuan Batari Supraba. Dengan datangnya Dewi Supraba ke tempat kediaman Prabu Niwatakaca, membuat sang Prabu sangat senang karena ia memang telah keseng-sem dengan sang dewi. Prabu Niwatakaca yang telah lupa daratan tersebut menjawab semua pertanyaan Dewi Supraba, sedang Arjuna bersembunyi di dalam gelungnya. Pertanyaan tersebut diantaranya adalah dimana letak kelemahan Prabu Niwatakaca, sang Prabu dengan tenang menjawab, kelemahannya ada di lidah. Seketika itu Arjuna muncul dan melawan Prabu Niwatakaca. Karena merasa di permainkan, Prabu Niwatakaca membanting Arjuna dan mengamuk sejadi-jadinya. Saat itu Arjuna hanya berpura-pura mati. Ketika Niwatakaca tertawa dan sesumbar akan kekuatannya, Arjuna lalu melepaskan panah Pasopatinya tepat kedalam mulut sang prabu dan tewaslah Niwatakaca.
Arjuna lalu diangkat menjadi raja di kayangan Tejamaya, tempat para bidadari selama tujuh hari (satu bulan di kayangan = satu hari di dunia). Arjuna juga boleh memilih 40 orang bidadari untuk menjadi istrinya dimana ketujuh bidadari yang menggodanya juga termasuk dalam ke-40 bidadari tersebut dan juga Dewi Dresnala, Putri Batara Brahma. Selain itu Arjuna juga mendapat mahkota emas berlian dari Batara Indra, panah Ardadali dari Batara Kuwera, dan banyak lagi. Arjuna juga diberi kesempatan untuk mengajukan suatu permintaan. Permintaan Arjuna tersebut adalah agar Pandawa jaya dalam perang Baratayuda. Hal ini menimbulkan kritik keras dari Semar yang merupakan pamong Arjuna yang menganggap Arjuna kurang bijaksana. Menurut Semar, Arjuna seharusnya tidak egois dengan memikirkan diri sendiri dan tidak memikirkan keturunan Pandawa lainnya. Dan memang benar, kesemua Putra Pandawa yang terlibat dalam Perang Baratayuda tewas.
Di saat Arjuna sedang duduk-duduk tiba-tiba datanglah Dewi Uruwasi. Dewi Uruwasi yang telah jatuh cinta terhadap Arjuna meminta dijadikan istrinya. Arjuna menolak secara halus, namun Dewi Uruwasi yang sudah buta karena cinta tetap mendesak. Karena Arjuan tetap menolak, Dewi Uruwasi mengutuknya akan menjadi banci kelak. Arjuna yang sedih dengan kutukan tersebut dihibur Batara Indra. Menurut Batara Indra hal tersebut akan berguna kelak dan tak perlu disesali.Setelah kembali dari Kayangan, Arjuna dan saudara-saudaranya harus menyamar di negri Wirata. Dan disinilah kutukan Dewi Uruwasi berguna. Arjuna lalu menjadi guru tari dan kesenian, dan menjadi banci yang bernama Kendri Wrehatnala. Di akhir penyamarannya, Arjuna kembali menjadi seorang ksatria dan mengusir para kurawa yang ingin mnghancurkan kerajaan Wirata. Arjuna lalu akan dikawinkan dengan Dewi Utari namun Arjuna meminta agar Dewi Utari dikawinkan dengan putranya yaitu Raden Abimanyu.
Kendati Arjuna adalah seorang berbudi luhur namun ia tetap tidak dapat luput dari kesalahan. Hal ini menyangkut hal pilih kasih. Saat putranya Bambang Sumitra akan menikah dengan Dewi Asmarawati, Arjuna terlihat acuh tak acuh. Oleh Semar, lalu acara tersebut diambil alih sehingga pesta tersebut berlangsung dengan sangat meriah dengan mengadirkan dewa-dewa dan dewi-dewi dari kayangan. Arjuna kemudian sadar akan kekhilafannya dalam hal pilih-pilih kasih. Suatu pelajaran yang dapat dipetik disini adalah sebagai orang tua hendaknya tidak memilih-milih kasih pada anak-anaknya.
Dalam perang Baratayuda Arjuna menjadi senopati Agung Pandawa yang berhasil membunuh banyak satriya Kurawa dan juga senotapi-senopati lainnya. Yang tewas di tangan Arjuna antara lain Raden Jayadrata yang telah membunuh putra kesayangannya yaitu Abimanyu, Prabu Bogadenta, Raden Citraksa, Raden Citraksi, Raden Burisrawa, dan Adipati Karna.
Masih dalam Baratayuda, Arjuna yang baru saja kehilangan putra kesayangannya menjadi kehilangan semangat, ditambah lagi guru dan saudara-saudaranya satu-persatu gugur di medan Kurusetra. Prabu Kresna lalu memberi nasihat bahwa dalam perang itu tidak ada kawan-lawan, kakak-adik ataupun guru-murid semuanya adalah takdir dan harus dijalani. Ajaran ini dikenal dengan nama Bagawat Gita. Yang membuat semangat ksatria penengah pandawa tersebut kembali menyala saat akan berhadapan dengan Adipati Karna, saudara tua seibu.
Setelah Perang Baratayuda berakhir, Dewi Banowati yang memang telah lama berselingkuh dengan Arjuna kemudian diperistrinya. Sebelumnya Arjuna telah memiliki seorang putri dari Dewi Banowati. Di saat yang sama Prabu Duryudana yang mulai curiga dengan hubungan istrinya dan Arjuna lalu berkata bahwa jika yang lahir bayi perempuan, itu adalah putri dari Arjuna dan Banowati akan diusir tetapi jika itu laki-laki maka itu adalah putranya. Saat bayi tersebut lahir ternyata adalah seorang perempuan. Banowati sangat panik akan hal itu. Namun atas pertolongan Kresna, bayi tersebut ditukar sebelum Prabu Duryudana melihatnya. Bayi perempuan yang lalu diasuh oleh Dewi Manuhara, istri Arjuna yang lain kemudian di beri nama Endang Pergiwati. Karena kelahirannya hampir sama dengan putri Dewi Manuhara yang bernama Endang Pergiwa, lalu keduanya di aku kembar. Sedang untuk putra dari Dewi Banowati dan Prabu Duryudana, Prabu Kresna mengambil seorang anak gandrawa dan diberi nama Lesmana Mandrakumara. Karena ia adalah anak gandrawa yang dipuja menjadi manusia, maka Lesmana Mandrakumara memiliki perwatakan yang cengeng dan agak tolol. Malang bagi Dewi Banowati, pada malam ia sedang mengasuh Parikesit, ia dibunuh oleh Aswatama yang bersekongkol dengan Kartamarma dan Resi Krepa untuk membunuh Parikesit yang masih Bayi. Dihari yang sama Dewi Srikandi, dan Pancawala juga dibunuh saat sedang tidur. Untunglah bayi parikesit yang menangis lalu menendang senjata Pasopati yang di taruh Arjuna di dekatnya dan membunuh Aswatama.
Arjuna yang sedang sedih karena Banowati telah dibunuh bersama Dewi Srikandi lalu mencari seorang putri yang mirip dengan Dewi Banowati. Putri tersebut adalah Dewi Citrahoyi, istri Prabu Arjunapati yang juga murid dari prabu Kresna. Prabu Kresna yang tanggap akan hal itu lalu meminta Prabu Arjunapati menyerahkan istrinya pada Arjuna. Prabu Arjunapati yang tersinggung akan hal itu menantang Prabu Kresna berperang dan dalam pertempuran itu Prabu Arjunapati gugur sampyuh dengan Patih Udawa dan Dewi Citrahoyi lalu menjadi istri Arjuna.
Setelah penguburan para pahlawan yang gugur dalam perang Baratayuda dan pengangkatan Prabu Puntadewa menjadi raja Astina dengan gelar Prabu Kalimataya, Arjuna melaksanakan amanat kakaknya dengan mengadakan Sesaji Korban Kuda atau disebut Sesaji Aswameda. Arjuna yang diiringi sepasukan tentara Astina lalu mengikuti seekor kuda kemanapun kuda itu berjalan dan kerajaan-kerajaan yang dilewati kuda tersebut harus tunduk pada Astina, jika tidak Arjuna dan pasukannya akan menyerang kerajaan tersebut. Semua kerajaan yang dilewati kuda tersebut ternyata dapat dikalahkan. Arjuna lalu kembali ke Astina dan akhir hidupnya diceritakan mati moksa dengan keempat saudaranya dan Dewi Drupadi.
Dalam pewayangan gaya Yogyakarta, Arjuna memiliki beberapa wanda yaitu wanda Jenggleng, wanda Yudasmara, wanda Kinanthi, dan wanda Jangkung.
Ketika muda, Arjuna pernah ingin memperistri Dewi Anggraini, istri Prabu Ekalaya atau juga sering disebut Prabu Palgunadi dari kerajaan Paranggelung. Saat itu Arjuna yang ingin memaksakan kehendaknya mengakibatkan Dewi Anggraini bunuh diri karena ia hanya setia pada suaminya. Prabu Ekalaya yang mengetahui hal itu menantang Arjuna, namun kehebatan Prabu Ekalaya ternyata lebih dari Arjuna. Arjuna lalu mengadu pada Drona. Ia beranggapan gurunya telah ingkar janji dengan pernah menyebutkan tidak akan pernah mengajari memanah kepada siapapun selain Arjuna. Resi Drona lalu pergi kepada Prabu Ekalaya. Prabu Ekalaya memang adalah penggemar dari Resi Drona, namun karena ia tak dapat berguru secara langsung, ia menciptakan arca Drona di istananya untuk diajak bicara dadn berlatih. Oleh Drona hal tersebut dianggap sebagai suatu hal terlarang dengan memasang arcanya di sana. Maka sebagai gantinya Resi Drona lalu meminta Cincin Mustika Ampal yang telah tertanam di ibu jari Prabu Ekalaya. Oleh drona jari tersebut lalu dipotong lalu di tempelkan pada jari Arjuna. Sejak itulah Arjuna memiliki enam jari pada tangan kanannya. Hal ini dalam bahasa Jawa disebut siwil. Saat bertemu dengan Arjuna lagi, Prabu Ekalaya kalah. Saat itu ia menyadari bahwa ia telah diperdaya, maka sebelum mati ia berkata akan membalas dendam pada Drona kelak dalam Perang Baratayuda.
Arjuna memiliki banyak sekali senjata dan aji-aji.Senjata-senjata Arjuna antara lain adalah Panah Gendewa dari Batara Agni setelah ia membantu Batara Agni melawan Batar Indra dengan membakar Hutan Kandawa, Panah Pasopati dari Kirata, seorang pemburu jelmaan Batara Guru, sebelum Arjuna membunuh Niwatakaca, Mahkota Emas dan berlian dari Batara Indra, setelah ia mengalahkan Prabu Niwatakaca dan menjadi Raja para bidadari selama tujuh hari, keris Pulanggeni, keris Kalanadah yang berasal dari taring Batara Kala, Panah Sarotama, Panah Ardadali, Panah Cundamanik, Panah Brahmasirah, Panah Angenyastra, dan Arya Sengkali, keempatnya dari Resi Drona, Minyak Jayangketon dari Begawan Wilawuk, mertuanya, pusaka Mercujiwa, panah Brahmasirah, cambuk kyai Pamuk, panah Mergading dan banyak lagi. Selain itu aji-aji yang dimiliki Arjuna adalah sebagai berikut :
- Aji Panglimunan/Kemayan : dapat menghilang
- Aji Sepiangin : dapat berjalan tanpa jejak
- Aji Tunggengmaya : dapat mencipta sumber air
- Aji Mayabumi : dapat meperbesar wibawa dalam pertempuran
- Aji Mundri/Maundri/Pangatep-atep : dapat menambah berat tubuh
- Aji Pengasihan : menjadi dikasihi sesama
- Aji Asmaracipta : menambah kemampuan olah pikir
- Aji Asmaratantra : menambah kekuatan dalam perang
- Aji Asmarasedya : manambah keteguhan hati dalam perang
- Aji Asmaraturida : meanmbah kekuatan dalam olah rasa
- Aji Asmaragama : menambah kemampuan berolah asmara
- Aji Anima : dapat menjadi kecil hingga tak dapat dilihat
- Aji Lakuna : menjadi ringan dan dapat melayang
- Aji Prapki : sampai tujuan yang diinginkan dalam sekejap mata
- Aji Matima/Sempaliputri : dapat mengubah wujudnya.
- Aji Kamawersita : dapat perkasa dalam olah asmara
Arjuna pernah membantu Demang Sagotra rukun dengan istrinya saat ia mencari nasi bungkus untuk Nakula dan Sadewa setelah peristiwa Balesigala-gala. Konon hal ini yang membuat Demang Sagotra rela menjadi tawur kemenangan Pandawa kelak dalam Perang Baratayuda Jayabinangun.
Setelah Pandawa dihadiahi hutan Kandaprasta yang terkenal angker, Arjuna bertemu dengan Begawan Wilawuk yang sedang mencarikan pria yang diimpikan putrinya. Saat itu Begawan Wilawuk yang berujud raksasa membawa Arjuna dan menikahkannya dengan putrinya, Dewi Jimambang. Konon ini adalah istri pertama dari Arjuna. Dari mertuanya, ia mendapat warisan minyak Jayangketon yang berhasiat dapat melihat makhluk halus jika dioleskan di pelupuk mata. Minyak ini berjasa besar bagi para Pandawa yang saat itu berhadapan dengan Jin Yudistira dan saudara-saudaranya yang tak dapat dilihat mata biasa. Saat itu pulalah Arjuna dapat mengalahkan Jin Dananjaya dari wilayah Madukara. Jin Danajaya lalu merasuk dalam tubuh Arjuna. Selain mendapat nama Dananjaya, Arjuna juga memperoleh wilayah kesatrian di Madukara dengan Patih Suroto sebagai patihnya.
Saat menjadi buangan selama 12 tahun di hutan setelah Puntadewa kalah dalam permainan dadu Arjuna pernah pergi untuk bertapa di gunung Indrakila dengan nama Begawan Mintaraga. Dia saat yang sama Prabu Niwatakaca dari kerajaan Manimantaka yang meminta Dewi Supraba yang akan dijadikan istrinya. Saat itu tak ada seorang dewapun yang dapat menandingi kehebatan Prabu Niwatakaca dan Patihnya Ditya Mamangmurka. Menurut para dewa, hanya Arjunalah yang sanggup menaklukan raja raksasa tersebut. Batara Indra lalu mengirim tujuh bidadari untuk memberhentikan tapa dari Begawan Mintaraga. Ketujuh bidadari tersebut adalah Dewi Supraba sendiri, Dewi Wilutama, Dewi Leng-leng Mulat, Dewi Tunjungbiru, Dewi Warsiki, Dewi Gagarmayang dan Dewi Surendra. Tetapi ketujuh bidadari tersebut tetap saja tidak berhasil menggerakkan sang pertapa dari tempat duduknya. Setelah ketujuh bidadari tersebut kembali ke kayangan dan melaporkan kegagalannya, tiba-tiba munculah seorang raksasa besar yang mengobrak-abrik gunung Indrakila. Oleh Ciptaning, Buta tersebut di sumpah menjadi seekor babi hutan. Lalu babi hutan tersebut dipanahnya. Disaat yang bersamaan panah seorang pemburu yang bernama Keratapura. Setelah melalui perdebatan panjang dan perkelahian, ternyata Arjuna kalah. Arjuna lalu sadar bahwa yang dihadapinya tersebut adalah Sang Hyang Siwa atau Batara Guru. Ia lalu menyembah Batara Guru. Oleh Bataar Guru Arjuna diberi panah Pasopati dan diminta mengalahkan Prabu Niwatakaca.
Ternyata mengalahkan Prabu Niwatakaca tidak semudah yang dibayangkan. Arjuna lalu meminta bantuan Batari Supraba. Dengan datangnya Dewi Supraba ke tempat kediaman Prabu Niwatakaca, membuat sang Prabu sangat senang karena ia memang telah keseng-sem dengan sang dewi. Prabu Niwatakaca yang telah lupa daratan tersebut menjawab semua pertanyaan Dewi Supraba, sedang Arjuna bersembunyi di dalam gelungnya. Pertanyaan tersebut diantaranya adalah dimana letak kelemahan Prabu Niwatakaca, sang Prabu dengan tenang menjawab, kelemahannya ada di lidah. Seketika itu Arjuna muncul dan melawan Prabu Niwatakaca. Karena merasa di permainkan, Prabu Niwatakaca membanting Arjuna dan mengamuk sejadi-jadinya. Saat itu Arjuna hanya berpura-pura mati. Ketika Niwatakaca tertawa dan sesumbar akan kekuatannya, Arjuna lalu melepaskan panah Pasopatinya tepat kedalam mulut sang prabu dan tewaslah Niwatakaca.
Arjuna lalu diangkat menjadi raja di kayangan Tejamaya, tempat para bidadari selama tujuh hari (satu bulan di kayangan = satu hari di dunia). Arjuna juga boleh memilih 40 orang bidadari untuk menjadi istrinya dimana ketujuh bidadari yang menggodanya juga termasuk dalam ke-40 bidadari tersebut dan juga Dewi Dresnala, Putri Batara Brahma. Selain itu Arjuna juga mendapat mahkota emas berlian dari Batara Indra, panah Ardadali dari Batara Kuwera, dan banyak lagi. Arjuna juga diberi kesempatan untuk mengajukan suatu permintaan. Permintaan Arjuna tersebut adalah agar Pandawa jaya dalam perang Baratayuda. Hal ini menimbulkan kritik keras dari Semar yang merupakan pamong Arjuna yang menganggap Arjuna kurang bijaksana. Menurut Semar, Arjuna seharusnya tidak egois dengan memikirkan diri sendiri dan tidak memikirkan keturunan Pandawa lainnya. Dan memang benar, kesemua Putra Pandawa yang terlibat dalam Perang Baratayuda tewas.
Di saat Arjuna sedang duduk-duduk tiba-tiba datanglah Dewi Uruwasi. Dewi Uruwasi yang telah jatuh cinta terhadap Arjuna meminta dijadikan istrinya. Arjuna menolak secara halus, namun Dewi Uruwasi yang sudah buta karena cinta tetap mendesak. Karena Arjuan tetap menolak, Dewi Uruwasi mengutuknya akan menjadi banci kelak. Arjuna yang sedih dengan kutukan tersebut dihibur Batara Indra. Menurut Batara Indra hal tersebut akan berguna kelak dan tak perlu disesali.Setelah kembali dari Kayangan, Arjuna dan saudara-saudaranya harus menyamar di negri Wirata. Dan disinilah kutukan Dewi Uruwasi berguna. Arjuna lalu menjadi guru tari dan kesenian, dan menjadi banci yang bernama Kendri Wrehatnala. Di akhir penyamarannya, Arjuna kembali menjadi seorang ksatria dan mengusir para kurawa yang ingin mnghancurkan kerajaan Wirata. Arjuna lalu akan dikawinkan dengan Dewi Utari namun Arjuna meminta agar Dewi Utari dikawinkan dengan putranya yaitu Raden Abimanyu.
Kendati Arjuna adalah seorang berbudi luhur namun ia tetap tidak dapat luput dari kesalahan. Hal ini menyangkut hal pilih kasih. Saat putranya Bambang Sumitra akan menikah dengan Dewi Asmarawati, Arjuna terlihat acuh tak acuh. Oleh Semar, lalu acara tersebut diambil alih sehingga pesta tersebut berlangsung dengan sangat meriah dengan mengadirkan dewa-dewa dan dewi-dewi dari kayangan. Arjuna kemudian sadar akan kekhilafannya dalam hal pilih-pilih kasih. Suatu pelajaran yang dapat dipetik disini adalah sebagai orang tua hendaknya tidak memilih-milih kasih pada anak-anaknya.
Dalam perang Baratayuda Arjuna menjadi senopati Agung Pandawa yang berhasil membunuh banyak satriya Kurawa dan juga senotapi-senopati lainnya. Yang tewas di tangan Arjuna antara lain Raden Jayadrata yang telah membunuh putra kesayangannya yaitu Abimanyu, Prabu Bogadenta, Raden Citraksa, Raden Citraksi, Raden Burisrawa, dan Adipati Karna.
Masih dalam Baratayuda, Arjuna yang baru saja kehilangan putra kesayangannya menjadi kehilangan semangat, ditambah lagi guru dan saudara-saudaranya satu-persatu gugur di medan Kurusetra. Prabu Kresna lalu memberi nasihat bahwa dalam perang itu tidak ada kawan-lawan, kakak-adik ataupun guru-murid semuanya adalah takdir dan harus dijalani. Ajaran ini dikenal dengan nama Bagawat Gita. Yang membuat semangat ksatria penengah pandawa tersebut kembali menyala saat akan berhadapan dengan Adipati Karna, saudara tua seibu.
Setelah Perang Baratayuda berakhir, Dewi Banowati yang memang telah lama berselingkuh dengan Arjuna kemudian diperistrinya. Sebelumnya Arjuna telah memiliki seorang putri dari Dewi Banowati. Di saat yang sama Prabu Duryudana yang mulai curiga dengan hubungan istrinya dan Arjuna lalu berkata bahwa jika yang lahir bayi perempuan, itu adalah putri dari Arjuna dan Banowati akan diusir tetapi jika itu laki-laki maka itu adalah putranya. Saat bayi tersebut lahir ternyata adalah seorang perempuan. Banowati sangat panik akan hal itu. Namun atas pertolongan Kresna, bayi tersebut ditukar sebelum Prabu Duryudana melihatnya. Bayi perempuan yang lalu diasuh oleh Dewi Manuhara, istri Arjuna yang lain kemudian di beri nama Endang Pergiwati. Karena kelahirannya hampir sama dengan putri Dewi Manuhara yang bernama Endang Pergiwa, lalu keduanya di aku kembar. Sedang untuk putra dari Dewi Banowati dan Prabu Duryudana, Prabu Kresna mengambil seorang anak gandrawa dan diberi nama Lesmana Mandrakumara. Karena ia adalah anak gandrawa yang dipuja menjadi manusia, maka Lesmana Mandrakumara memiliki perwatakan yang cengeng dan agak tolol. Malang bagi Dewi Banowati, pada malam ia sedang mengasuh Parikesit, ia dibunuh oleh Aswatama yang bersekongkol dengan Kartamarma dan Resi Krepa untuk membunuh Parikesit yang masih Bayi. Dihari yang sama Dewi Srikandi, dan Pancawala juga dibunuh saat sedang tidur. Untunglah bayi parikesit yang menangis lalu menendang senjata Pasopati yang di taruh Arjuna di dekatnya dan membunuh Aswatama.
Arjuna yang sedang sedih karena Banowati telah dibunuh bersama Dewi Srikandi lalu mencari seorang putri yang mirip dengan Dewi Banowati. Putri tersebut adalah Dewi Citrahoyi, istri Prabu Arjunapati yang juga murid dari prabu Kresna. Prabu Kresna yang tanggap akan hal itu lalu meminta Prabu Arjunapati menyerahkan istrinya pada Arjuna. Prabu Arjunapati yang tersinggung akan hal itu menantang Prabu Kresna berperang dan dalam pertempuran itu Prabu Arjunapati gugur sampyuh dengan Patih Udawa dan Dewi Citrahoyi lalu menjadi istri Arjuna.
Setelah penguburan para pahlawan yang gugur dalam perang Baratayuda dan pengangkatan Prabu Puntadewa menjadi raja Astina dengan gelar Prabu Kalimataya, Arjuna melaksanakan amanat kakaknya dengan mengadakan Sesaji Korban Kuda atau disebut Sesaji Aswameda. Arjuna yang diiringi sepasukan tentara Astina lalu mengikuti seekor kuda kemanapun kuda itu berjalan dan kerajaan-kerajaan yang dilewati kuda tersebut harus tunduk pada Astina, jika tidak Arjuna dan pasukannya akan menyerang kerajaan tersebut. Semua kerajaan yang dilewati kuda tersebut ternyata dapat dikalahkan. Arjuna lalu kembali ke Astina dan akhir hidupnya diceritakan mati moksa dengan keempat saudaranya dan Dewi Drupadi.
Dalam pewayangan gaya Yogyakarta, Arjuna memiliki beberapa wanda yaitu wanda Jenggleng, wanda Yudasmara, wanda Kinanthi, dan wanda Jangkung.
Julukan
Dalam wiracarita
Mahabharata versi nusantara, Arjuna banyak memiliki nama dan nama julukan,
antara lain: Parta (pahlawan perang), Janaka (memiliki banyak
istri), Pemadi (tampan), Dananjaya, Kumbaljali, Ciptaning
Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra
Batara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Indrasuta,
Danasmara (perayu ulung) dan Margana (suka menolong)
"Begawan Mintaraga" adalah nama yang digunakan oleh Arjuna saat
menjalani laku tapa di puncak Indrakila dalam rangka memperoleh senjata sakti
dari dewata, yang akan digunakan dalam perang yang tak terhindarkan melawan
musuh-musuhnya, yaitu keluarga Korawa.
Nama lain
Nama lain Arjuna di
bawah ini merupakan nama lain Arjuna yang sering muncul dalam kitab-kitab Mahabharata
atau Bhagawad Gita yang merupakan bagian daripadanya,
dalam versi bahasa Sanskerta. Nama-nama lain di bawah ini
memiliki makna yang sangat dalam, mengandung pujian, dan untuk menyatakan rasa
kekeluargaan (nama-nama yang dicetak tebal dan miring merupakan sepuluh nama
Arjuna).
17 Anagha(Anaga, yang tak
berdosa)
18 Bhārata(Barata, keturunan
Bhārata)
19 Bhārataśreṣṭha(Barata-sresta,
keturunan Bhārata yang terbaik)
20 Bhāratasattama(Bharata-satama,
keturunan Bhārata yang utama)
21 Bhārataśabhā(Barata-saba, keturunan
Bharata yang mulia)
22 Dhanañjaya(perebut kekayaan)*
23 Gandīvi(Gandiwi, pemilik
Gandiwa, senjata panahnya)
24 Gudakeśa(penakluk rasa kantuk,
yang berambut halus)
25 Jishnu(hebat ketika marah)*
26 Kapidhwaja(yang memakai panji
berlambang monyet)
27 Kaunteya/ Kuntīputra (putra
Dewi Kunti)
28 Kīrti(yang bermahkota indah)*
29 Kurunandana(putra kesayangan
dinasti Kuru)
30 Kurupravīra(Kuru-prawira, perwira
Kuru, ksatria dinasti Kuru yang terbaik)
31 Kurusattama(Kuru-satama, keturunan
dinasti Kuru yang utama)
32 Kuruśṛṣṭha(Kuru-sresta, keturunan
dinasti Kuru yang terbaik)
33 Mahābāhu(Maha-bahu, yang
berlengan perkasa)
34 Pāṇḍava(Pandawa, putra Pandu)
35 Parantapa(penakluk musuh)*
36 Pārtha(keturunan Partha atau
Dewi Kunti)*
37 Phālguna(yang lahir saat bintang
Uttara Phalguna muncul)*
38 Puruṣaṛṣabhā(Purusa-rsaba, manusia
terbaik)
39 Sawyaśachī(Sawya-saci, yang mampu
memanah dengan tangan kanan maupun kiri)*
40 Śwetawāhana(Sweta-wahana, yang
memiliki kuda berwarna putih)*
41 Wibhatsu(yang bertarung dengan
jujur)*
42 Wijaya(yang selalu memenangkan
setiap pertempuran)*
Refrensi :
- Hikayat Wayang Arjuna
- Antareja Antasena
- Punakawan Bedhol Desa
http://id.shvoong.com/humanities/1894
http://id.shvoong.com/humanities/1894249-wayang-bagong-dan-makna-filosofisnya/#ixzz2GhnGaZiL
http://www.tembi.org/wayang/punokawan.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Arjuna
http://id.wikipedia.org/wiki/Arjuna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar