Rabu, 02 Januari 2013

Kapal Pinisi


“ Kapal Pinisi ”


Kapal Pinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan . Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar , yaitu tiga di ujung depan , dua di depan , dan dua di belakang , umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau . Kapal Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia.

Sejarah Kapal Pinisi
Sejarah Kapal kayu Pinisi ini telah digunakan di Indonesia sejak beberapa abad yang lalu, diperkirakan kapal pinisi sudah ada sebelum tahun 1500an . Menurut naskah Lontarak I Babad La Lagaligo pada abad ke 14 , Pinisi pertama sekali dibuat oleh Sawerigading , Putera Mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai. Kapal kayu Pinisi telah digunakan di Indonesia sejak beberapa abad yang lalu, diperkirakan kapal pinisi sudah ada sebelum tahun 1500an. Menurut naskah Lontarak I Babad La Lagaligo pada abad ke 14, Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai . Sawerigading berhasil ke negeri Tiongkok dan memperisteri Puteri We Cudai . Setelah beberapa lama tinggal di negeri Tiongkok , Sawerigading kembali kekampung halamannya dengan menggunakan Pinisinya ke Luwu. Menjelang masuk perairan Luwu kapal diterjang gelombang besar dan Pinisi terbelah tiga yang terdampar di desa Ara, Tanah Lemo dan Bira. Masyarakat ketiga desa tersebut kemudian merakit pecahan kapal tersebut menjadi perahu yang kemudian dinamakan Pinisi. Orang Ara adalah pembuat badan kapal, di Tana Lemo kapal tersebut dirakit dan orang Bira yang merancang kapal tersebut menjadi Pinisi dan ketujuh layar tersebut lahir dari pemikiran orang-orang Bira.
Konon, nama Pinisi ini diambil dari nama seseorang yang bernama Pinisi itu sendiri . Suatu ketika beliau berlayar melewati pesisir pantai Bira , Beliau melihat rentetan kapal sekitar laut sana, dia kemudian menegur salah seorang nahkoda kapal tersebut bahwasanya layar yang digunakannya masih perlu diperbaiki. Sejak saat itu orang Bira berfikir dan mendesain layar sedemikian rupa dan akhirnya berbentuk layar Pinisi yang seperti sekarang ini. Atas teguran orang tersebut maka orang-orang Bira memberi layar itu dengan nama Pinisi.
Upacara kurban untuk pembuatan perahu pinisi adalah salah satu dimana kemegahan pinisi dilahirkan.Para pembuat perahu tradisional ini, yakni: orang-orang Ara, Tana Lemo dan Bira, yang secara turun temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya. Upacara ritual juga masih mewarnai proses pembuatan perahu ini, Hari baik untuk mencari kayu biasanya jatuh pada hari ke lima dan ketujuh pada bulan yang berjalan. Angka 5 (naparilimai dalle’na) yang artinya rezeki sudah ditangan. Sedangkan angka 7 (natujuangngi dalle’na) berarti selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik, lalu kepala tukang yang disebut "punggawa" memimpin pencarian.
Sebelum pohon ditebang, dilakukan upacara untuk mengusir roh penghuni kayu tersebut. Seekor ayam dijadikan sebagai korban untuk dipersembahkan kepada roh. Jenis pohon yang ditebang itu disesuaikan dengan fungsi kayu tersebut. Pemotongan kayu untuk papan selalu disesuaikan dengan arah urat kayu agar kekuatannya terjamm. Setelah semua bahan kayu mencukupi, barulah dikumpulkan untuk dikeringkan.Pembuatan perahu pinisi di Tanah Beru.
Peletakan lunas juga memakai upacara khusus. Waktu pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita. Setelah dimantrai, bagian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Karena itu, pemotongan harus dilakukan oleh orang yang bertenaga kuat.
Ujung lunas yang sudah terpotong tidak boleh menyentuh tanah. Bila balok bagian depan sudah putus, potongan itu harus dilarikan untuk dibuang ke laut. Potongan itu menjadi benda penolak bala dan dijadikan kiasan Sebagai suami yang siap melaut untuk mencari nafkah. Sedangkan potongan balok lunas bagian belakang disimpan di rumah, dikiaskan sebagai istri pelaut yang dengan setia menunggu suami pulang dan membawa rezeki. Pemasangan papan pengapit lunas, disertai dengan upacara Kalebiseang. Upacara Anjarreki yaitu untuk penguatan lunas, disusul dengan penyusunan papan dari bawah dengan ukuran lebar yang terkecil sampai keatas dengan ukuran yang terlebar. Jumlah seluruh papan dasar untuk perahu pinisi adalah 126 lembar. Setelah papan teras tersusun, diteruskan dengan pemasangan buritan tempat meletakkan kemudi bagian bawah. Apabila badan perahu sudah selesai dikerjakan, dilanjutkan dengan pekerjaan a’panisi, yaitu memasukkan majun pada sela papan. Untuk merekat sambungan papan supaya kuat, digunakan sejenis kulit pohon barruk. Selanjutnya, dilakukan allepa, yaitu mendempul. Bahan dempul terbuat dari campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran tersebut diaduk Selama 12 jam, dikerjakan sedikitnya 6 orang. Untuk kapal 100 ton, diperlukan 20 kg dempul badan kapal. Sentuhan terakhir adalah menggosok dempul dengan kulit pepaya. Proses terakhir kelahiran pinisi adalan peluncurannya. Upacara selamatan diadakan lagi. Peluncuran kapal diawali dengan upacara adat Appasili yaitu ritual yang bertujuan untuk menolak bala. Kelengkapan upacara berupa seikat dedaunan yang terdiri dari daun sidinging, sinrolo, taha tinappasa, taha siri, dan panno-panno yang diikat bersama pimping. Dedaunan dimasukkan ke dalam air dan kemudian dipercikkan dengan cara dikibas-kibaskan ke sekeliling perahu. Untuk perahu dengan bobot kurang dan 100 ton, biasanya dipotong seekor kambing. Sedangkan untuk kapal 100 ton keatas, dipotong seekor sapi. Selanjutnya ada upacara Ammossi yaitu upacara pemberian pusat pada pertengahan lunas perahu dan setelah itu perahu ditarik ke laut. Pemberian pusat ini merupakan istilah yang didasarkan pada kepercayaan bahwa perahu ialah 'anak' punggawa atau Panrita Lopi sehingga dengan demikian berdasarkan kepercayaan maka upacara ammossi merupakan simbol pemotongan tali pusar bayi yang baru lahir. Ketika pinisi sudah mengapung di laut, barulah dipasang layar dan dua tiang. Layarnya berjumlah tujuh. Kapal yang diluncurkan biasanya sudah siap dengan awaknya. Peluncuran kapal dilaksanakan pada waktu air pasang dan matahari sedang naik. Punggawa alias kepala tukang, sebagai pelaksana utama upacara tersebut, duduk di sebelah kiri lunas. Doa atau tepatnya mantra pun diucapkan . Sawerigading berhasil ke negeri Tiongkok dan memperisteri Puteri We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal di negeri Tiongkok, Sawerigading kembali kekampung halamannya dengan menggunakan Pinisinya ke Luwu. Menjelang masuk perairan Luwu kapal diterjang gelombang besar dan Pinisi terbelah tiga yang terdampar di desa Ara, Tanah Beru dan Lemo-lemo. Masyarakat ketiga desa tersebut kemudian merakit pecahan kapal tersebut menjadi perahu yang kemudian dinamakan Pinisi.


Ritual pembangunan Pinisi

Para pengrajin harus menghitung hari baik untuk memulai pencarian kayu sebagai bahan baku. Biasanya jatuh pada hari ke lima dan ketujuh pada bulan yang berjalan. Angka 5 (naparilimai dalle'na) yang artinya rezeki sudah di tangan. Sedangkan angka 7 ( natujuangngi dalle'na ) berarti selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik, lalu kepala tukang yang disebut " punggawa " memimpin pencarian. Pada saat peletakan lunas, juga harus disertai prosesi khusus. Saat dilakukan pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita. Usai dimantrai, bagian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Itu sebabnya untuk melakukan pemotongan harus dikerjakan oleh orang yang bertenaga kuat. Demikian selanjutnya setiap tahapan selalu melalui ritual tertentu.
Proses Pembuatan Kapal Pinisi
Orang Bugis terkenal dengan pembuat kapal dan pelaut yang tangguh , Kapal tradisional ini mempunyai dua tiang layar utama dan tujuh buah layar. Tiga layar dipasang di ujung depan, dua layar di bagian depan, dan dua layar lagi dipasang di bagian belakang kapal. Tujuh layar menyimbolkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengarungi tujuh samudera di dunia.

Ada  dua  jenis kapal pinisi, jenis pertama adalah Lamba atau Lambo yang merupakan pinisi modern yang sudah dilengkapi dengan motor diesel (mesin). Sementara jenis kedua adalah Palari yang merupakan bentuk awal pinisi dengan ukuran lebih kecil dari Lamba. Umumnya ukuran kapal tidak terlalu besar. Hanya berukuran panjang antara 10-15 meter dengan daya angkut hingga 30 ton saja. Secara fungsional kapal pinisi digunakan untuk mengangkut barang dagangan atau sebagai kapal nelayan untuk mencari ikan. Namun sekarang tidak sedikit yang menggunakan kapal pinisi sebagai kapal pesiar mewah. Sebagai kapal pesiar tentu ukurannya akan jauh lebih besar daripada yang digunakan untuk mengangkut barang.





Tanah Beru merupakan tanah leluhur bagi kapal pinisi. Bisa dibilang Tanah Beru yang terletak tidak jauh dari Tanjung Bira (hanya 20 menit perjalanan) merupakan sentra pembuatan kapal tradisional ini. Bagi Anda yang traveling ke Tanjung Bira ada baiknya mampir sejenak ke Tana Beru jika punya waktu luang untuk melihat dari dekat proses pembuatan kapal pinisi. Ya secara tidak sengaja saya menemukan tempat pembuatan kapal pinisi di Tanjung Bira. Tepatnya berada di Dusun Tanetang, Pantai Tanjung Bira Timur. Kerennya, tempat pembuatan kapal berada di bibir pantai . Meskipun tidak sebesar di Tana Beru tapi Anda bisa menikmati keindahan pantai sekaligus melihat dan belajar budaya pembuatan kapal pinisi yang masih tradisional di sini.

Pembuatan kapal pinisi baik di
Tanjung Bira dan Tana Beru memang benar-benar masih cukup tradisional dengan bantuan mesin yang masih sangat minim. Dalam proses pembuatannya juga masih mengenal hal-hal mistis. Kapal pinisi dibuat setelah melalui ritual kecil pemotongan lunas yang dipimpin oleh pawang perahu yang disebut Panrita Lopi. Lunas adalah bagian paling dasar pada kapal. Berbagai macam sesajen harus ada dalam ritual ini misalnya saja jajanan yang harus berasa manis dan seekor ayam jago putih. Jajanan dengan rasa manis merupakan simbol keinginan dari pemilik agar kapalnya mendatangkan keuntungan yang banyak. Sementara darah ayam jago putih yang ditempelkan pada lunas merupakan simbol harapan agar nantinya tak ada darah yang tertumpah saat proses pembuatan kapal. Kemudian kepala tukang pembuatan kapal akan memotong lunas yang selanjutnya diserahkan kepada pemimpin pembuatan kapal. Potongan ujung lunas bagian depan akan dibuang ke laut sebagai simbol bahwa kapal akan menyatu dengan lautan. Sementara potongan lunas bagian belakang akan dibuang ke daratan sebagai tanda bahwa saat kapal melaut akan kembali ke daratan. Pada bagian akhir ritual , Panrita Lopi membacakan doa kepada Sang Pencipta.


Melihat proses pembuatan kapal pinisi dari dekat memang sangat mengagumkan. Saat itu di Pantai Tanjung Bira Timur sudah ada bebeerapa kapal yang dibuat dengan ukuran yang berbeda-beda. Mulai dari kapal yang berukuran kecil yang seperti perahu nelayan, kapal berukuran sedang, sampai dengan kapal yang berukuran besar. Karena proses pembuatannya masih tradisional, praktis alat yang digunakan juga masih tradisional. Alat yang menggunakan mesin hanya gergaji mesin yang digunakan untuk memotong kayu-kayu berukuran besar dan mesin penghalus kayu. Dalam proses pembuatan kapal pinisi ada yang namanya Punggawa. Punggawa adalah orang yang memimpin pembuatan kapal. Punggawa haruslah orang yang mengerti secara teknis pembuatan kapal. Dia juga bertanggung jawab terhadap pembagian kerja serta mengarahkan pekerja yang disebut Sawi. Sawi bekerja pada bagiannya masing-masing. Ada yang mengangkat kayu balok dengan ukuran besar, memotong kayu dengan gergaji mesin, memasang kayu pada bagian kapal, menghaluskan body kapal, dan lain-lain. mereka bekerja seolah-olah tida mempunyai komando.

Proses pembuatan kapal pinisi yang dilakukan secara tradisional di
Tanjung Bira ini memakan waktu yang tidak sebentar . pembuatan kapal pinisi kurang lebih membutuhkan waktu antara setengah tahun hingga satu tahun tergantung dari ukuran dan tingkat kerumitan kapal , Setelah kapal selesai dibuat , selanjutnya adalah proses penurunan kapal ke laut . Dalam proses ini kembali diadakan upacara adat serta penyembelihan hewan seperti kambing atau sapi. Jika hewan yang dipotong adalah kambing , maka pemotongan dilakukan di atas kapal , Sedangkan jika yang dipotong adalah sapi , cukup dilakukan pemotongan di depan kapal . Penyembelihan hewan dilakukan sebagai wujud rasa syukur atas selesainya pembuatan kapal.
kebanyakan pemesan kapal merupakan pemesan dari luar negeri seperti Australia , Austria , Jerman , Rusia , Spanyol , Inggris , Amerika Serikat , Singapura , dan  Malaysia . harga kapal Pinisi satu unit kapal dibandrol dengan harga antara 500 juta hingga 2 miliar tergantung dari ukuran dan daya muat kapal. . jika ingin melihat pembuatan kapal pinisi secara langsung ketika kita sampai di Kabupaten Bulukumba seharusnya kita mampir sebentar ke Tanah Beru atau Tanjung Bira untuk melihat proses pembuatan kapal pinisi . Semoga kapal pinisi akan terus lestari dan terus mengarungi lautan baik di Indonesia maupun di mancanegara.

Museum Bahari menyimpan 126  koleki benda-benda sejarah kelautan . Terutama kapal dan perahu-perahu niaga tradisional . Di antara puluhan miniatur yang dipajang terdapat 19 koleksi perahu asli dan 107 buah miniatur, foto-foto dan biota laut lainnya termasuk Kapal Pinisi juga terdapat didalam Museum Bahari .

Jam Buka dan Karcis Masuk ke Museum Bahari


Alamat
Jalan Pasar Ikan No. 1
Jakarta Utara
Telepon 021-669-3406 dan 021-669-2476


Jam Buka
Selasa - Minggu
09.00 - 15.00
Senin & Hari libur nasional
Tutup


Karcis masuk
Perorangan:
Dewasa
Rp 3.000
Pelajar/Mahasiswa
Rp 1.000
Anak-anak
Rp 1.000

Rombongan (minimal 20 orang):
Dewasa
Rp 1.500
Pelajar/Mahasiswa
Rp 750
Anak-anak
Rp 500

Tarif pemandu untuk Bahasa Indonesia Rp 25.000
Tarif pemandu untuk Bahasa Belanda atau Bahasa Inggris Rp 50.000



 Referensi dari Web :

Referensi dari Buku :
- Nama Pengarang           : H.Djamaluddin Hatibu
   Judul                             : Kapten Pahlawan Laut

- Nama Pengarang           : Pius Caro
   Judul                                  : Phinisi Nusantara ( Pelayaran 69 Hari mengarungi Samudra Pasifik )

- Nama Pengarang           : Rudy Badil
  Judul                                   : Norman Edwin
  Hal                                        : 440

Arta Damaiyani
Usaha Jasa Pariwisata D3



Tidak ada komentar:

Posting Komentar