Kamis, 10 Januari 2013

UAS - Diorama Pelaut Bank Indonesia


Naufal Faiz Akbar
4423126871
Usaha Jasa Pariwisata


Diorama pelaut Bank Indonesia

Pada zaman dulu sebuah bangsa Indonesia yang masih bernama nusatara bisa di katakan seorang pelaut. Mereka bepergian kearah asia barat dengan membawa rempah . Diawal dalam perkembangan di nusatara sebuah perdagangan telah terjadi di setiap pelabuhan yang berada di nusatara telah melakukan perjualan-pembelian yang di jadikan pekerjaan sampai sekarang. Pada refrensi menyatakan ““Perahu-perahu tersebut tidak digerakkan dengan layar, melainkan dengan semangat dan dan keebranian,” ujar kagum Plinlus, sejarawan Romawi yang mempelajari sejarah pelayaran Indonesia. Pelayaran-pelayaran ini juga disebut dalam sumber kuno seperti kitab Yunani Petunjuk Pelaut ke Lautan Erithrea (Samudera Hindia).
Nusantara Sebelum Kedatangan Bangsa Barat Sebelum kedatangan bangsa barat, Nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan internasional. Pada saat itu terdapat dua jalur perniagaan internasional yang digunakan oleh para pedagang, yaitu.
1. Jalur perniagaan melalui darat atau lebih dikenal dengan “Jalur Sutra” (Silk Road) yang dimulai dari daratan Tiongkok (Cina) melalui Asia Tengah, Turkistan hingga ke Laut Tengah. Jalur ini juga berhubungan dengan jalanjalan yang dipergunakan oleh kafilah India. Jalur ini merupakan jalur paling tua yang menghubungkan antara Cina dan Eropa.
2. Jalur perniagaan melalui laut yang dimulai dari Cina melalui Laut Cina kemudian Selat Malaka, Calicut (India), lalu ke Teluk Persia melalui Syam (Syuria) sampai ke Laut Tengah atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut Tengah. Melalui jalur perniagaan laut komoditi ekspor dari wilayah Nusantara menyebar dipasaran India dan kekaisaran Romawi (Byzantium) yang terus menyebar ke wilayah Eropa. Komoditi ekspor tersebut antara lain terdiri atas rempah-rempah, kayu wangi, kapur barus dan kemenyan. Sejak masa kerajaan lama (baik pada masa kejayaan Hindu-Budha maupun Islam) pengaruh raja-raja atau sultan-sultan dari masing-masing kerajaan dalam dunia perdagangan cukup besar. Mereka bertindak tidak sekedar sebagai pengontrol keamanan atau penarik pajak saja, namun sering kali juga bertindak sebagai pemilik modal. Pada dasarnya dunia perdagangan di wilayah Nusantara pada waktu itu mempunyai sifat politis dan kapitialistik. Ada dua kerajaan utama di Nusantara yang mempunyai andil besar dalam meramaikan perniagaan Internasional pada kurun abad ke-7 hinga ke-15, yaitu Sriwijaya di Sumatera dan Majapahit di Jawa. Keduanya adalah kerajaan Hindu-Budha. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan pantai yang kekuatan ekonominya bertumpu pada perdagangan internasional. Sriwijaya berhubungan dengan jalan raya perdagangan internasional dari Cina ke Eropa melalui Selat Malaka. Pada abad ke-7 hingga ke-13 kerajaan tersebut tumbuh dan berkembang menjadi pusat perdagangan di wilayah Indonesia Barat, terutama setelah berhasil menguasai dan mengamankan jalur perdagangan di sekitar Selat Malaka. Sriwijaya mewajibkan setiap kapal dagang yang lewat Selat Malaka untuk singgah ke pelabuhan Sriwijaya. Oleh karena itu, kerajaan tersebut sering dikunjungi para pedagang dari Persia, Arab, India, dan Cina untuk memperdagangkan barang-barang dari negerinya atau negeri-negeri yang dilaluinya. Barang-barang tersebut antara lain berupa tekstil, kapur barus, mutiara, kayu berharga, rempah-rempah, gading, kain katun dan sengkelat, perak, emas, sutera, pecah belah serta gula.
Selain sebagai pusat perdagangan, Sriwijaya juga mempunyai kapal-kapal sendiri untuk perniagaannya. Pelayaran kapal-kapal niaga Sriwijaya meliputi Asia Tenggara sampai India, bahkan hingga Madagaskar. Dominasi perdagangan Sriwijaya mulai mengalami masa surut ketika mendapat serangan dari kerajaan Cola, India pada abad ke-11. Selanjutnya pada abad ke-13 kedudukannya terdesak oleh kerajaankerajaan di Jawa Timur, terutama Singosari dengan pemimpinnya Kertanegara yang mengirimkan ekspedisi Pamalayu hingga ke Tumasik. Akhirnya keberadaan Sriwijaya betul-betul hilang setelah Majapahit mengirimkan ekspedisi ke wilayah itu. Sejak 1293 sampai 1500 Majapahit yang berpusat di Jawa (Timur) tampil sebagai pengganti Sriwijaya. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit mencapai puncak kekuasaannya. Kerajaan tersebut adalah kerajaan agraris dan sekaligus merupakan kerajaan perdagangan. Dengan angkatan laut yang kuat, wilayah kekuasaan Majapahit terbentang dari Maluku hingga Sumatera Utara. Perniagaannya tidak terbatas pada perdagangan dan pelayaran pantai saja, melainkan juga perdagangan seberang laut melalui Malak menuju Samudera Hindia. Pada saat yang sama, menurut Marcopolo, di Sumatera terdapat kerajaan Tumasik dan Samudra Pasai. Pasai merupakan kerajaan Islam yang mempunyai posisi kuat dalam bidang politik dan ekonomi sehingga mampu mempertahankan kedaulatannya atas Malaka. Namun demikian Pasai mengakui kekuasaan kerajaan Hindhu-Budha Majapahit di Jawa dan juga kekaisaran Cina.. Sebagai pusat perdagangan, Pasai banyak melakukan hubungan dagang dengan Gujarat, Benggala serta kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa. Selain lada, Pasai juga mengekspor beberapa barang dagangan lain, diantaranya yaitu sutra, kapur barus dan emas yang diperoleh dari daerah pedalaman. Sedangkan sutra, orang-orang Pasai memperoleh kemampuan mengolah sutra dari orang-orang Cina. Jaman perdagangan mengakibatkan permintaan secara berkelanjutan akan mata uang. Mata uang dalam bentuk perak, tembaga dan timah merupakan barang dagangan paling penting yang mengalir ke wilayah Asia, termasuk Nusantara.
Di wilayah itu terdapat keadaan terbuka yang lebih lama bagi saudagar asing dan matauang mereka, meski mata uang pribumi (lokal), khususnya yang dari emas, juga banyak dicetak. Beberapa uang asing yang telah beredar pada masa itu adalah uang Cina, Jepang, India dan Persia. Pada rentang abad ke-9 sampai 13, beberapa kerajaan seperti Kerajaan Kediri, Aceh dan Sulawesi telah mempunyai uang logam dari emas; kerajaan di Bangka, Cirebon, Pontianak, Maluku dan Banten telah mempunyai uang logam dari timah, perak dan tembaga. Emas pada masa itu menjadi alat ukur nilai, selain itu berfungsi juga sebagai sarana untuk menabung dan tanda status bagi seorang Raja. Namun demikian jauh sebelum masa itu, masyarakat telah mengenal mata uang dalam bentuk sederhana sebagai alat pembayaran, seperti manik-manik di Bengkulu dan Pekalongan, gelang di Majalengka dan Sulawesi Selatan, belincung di Bekasi, Moko di Nusa Tenggara Timur, dan kerang di Papua. Mata uang tembaga Cina, dan mata uang lokal yang terbuat dari timah, merupakan peletak dasar untuk komersialisasi yang makin meningkat di kawasan itu setelah tahun 1400 (abad ke-15). Mata uang Cina disebut dengan uang cash  (sansakerta), tetapi orang Portugis menyebutnya dengan  caixa  khususnya untuk mata uang tembaga Cina yang diekspor dan istilah tersebut juga digunakan oleh bangsa Eropa Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Pra Bank Indonesia yang lainnya. Sedangkan masyarakat Jawa menyebutnya dengan picis. Mata uang ini berbentuk bulat kecil mempunyai lubang persegi ditengahnya agar dapat diikat menjadi satu bundel senilai seribu (puon), enam ratus atau jumlah lainnya yang lazim dilakukan masa itu. Pada Juni 1599, John Davis, seorang pelaut Inggris yang bekerja pada kapal Belanda, melaporkan bahwa di Aceh terdapat berbagai macam alat pembayaran seperti  cashes, mas, cowpan (kupang), perdaw dan tayel (tahil).  Ia membuat semacam daftar kurs mata uang di Aceh pada waktu itu, sebagai berikut :
1600 cashes = 1 mas
400 cashes = 1 kupang
5 mas = 4 shilling sterling
4 mas = 1 perdaw (di Aceh disebut pardu)
4 perdaw = 1 tahil






Dalam sumber lain disebutkan pula bahwa satu  tail (tahil)  sama  dengan  16  mas (dirham). Satu Ringgit Spanyol (Real Spanyol) sama dengan 16 mas (dirham). Perkembangan Eropa : Asal Mula Bank-Bank. Pada 1453 Dinasti Usmani (Ottoman) Turki yang dipimpin oleh Sultan Muhammad II (1451-1481) berhasil menguasai Konstantinopel, ibu kota Imperium RomawiByzantium (Romawi Timur). Sejak saat itu, pusat perkembangan ekonomi dan politik dunia abad ke-14 sampai dengan awal abad ke-15 ada di tangan Imperium Turki Usmani yang segera menguasai wilayah-wilayah strategis yang semula dikuasai oleh orang-orang Eropa, khususnya Romawi-Byzantium. Jatuhnya kekuasaan Romawi-Byzantium mengakibatkan tertutupnya perdagangan di Laut Tengah bagi orang-orang Eropa. Penguasa Turki Usmani menjalankan politik yang mempersulit pedagang Eropa beroperasi di daerah kekuasaannya. Keadaan tersebut menyebabkan mundurnya hubungan dagang antara dunia Timur dengan Eropa, sehingga barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh orang-orang Eropa menjadi berkurang di pasaran Eropa, terutama rempah-rempah. Untuk itu para pedagang Eropa akhirnya mencari jalan alternatif sendiri dengan menjelajah secara langsung tempat penghasil rempah-rempah tersebut. Penjelajahan bangsa Eropa ini dipelopori oleh bangsa Spanyol, Portugis dan diikuti oleh Belanda, Inggris, dan Perancis. Selain faktor jatuhnya Konstantinopel, penjelajahan bangsa Eropa juga disebabkan oleh beberapa faktor berikut.
1. Semangat  Reconquesta, yaitu semangat mengalahkan atau menaklukkan
sebagai pembalasan terhadap kekuasaan Islam dimanapun yang mereka
jumpai
2. Kisah perjalanan Marcopolo ke dunia Timur, yaitu kisah perjalanannya dari
negeri Cina melalui pelayaran atau lautan
3. Penemuan Copernicus yang didukung oleh Galileo yang menyatakan bahwa
bumi bulat
4. Penemuan Kompas (penunjuk arah mata angin)
Maka, pada abad ke-15 dan permulaan abad ke-16, pelaut-pelaut bangsa Eropa telah berhasil menjelajahi samudera yang luas dan sampai ke negeri-negeri baru seperti Amerika, Afrika dan Asia termasuk wilayah Nusantara. Semenjak itu kegiatan perdagangan yang semula berada di Laut Tengah berpindah ke lautan yang lebih luas yaitu Samudera Atlantik. Dalam perdagangan ini bangsa Spanyol, Belanda,Inggris, dan Perancis berhasil mendapatkan keuntungan dari pusat-pusat perdagangan yang sangat strategis dari daerah kekuasaannya. Kekayaan akan logam mulia mengalir ke Eropa terutama melalui negara Spanyol, Portugis, Belanda, dan Inggris. Dari keuntungan perdagangan itulah, pada abad ke-16 dan ke-17 banyak Negara Eropa yang telah berhasil menemukan bentuk dan identitasnya serta telah menjadi negara nasional yang mempunyai kedudukan kuat di dalam negeri dengan cara menyelenggarakan administrasi negara melalui sistem birokrasi dan memperkuat angkatan perangnya. Pada saat itu negara yang paling kaya merupakan negara yang paling berkuasa karena sanggup memerintah wilayah kekuasaannya yang luas. Perkembangan yang pesat dalam perdagangan itu melahirkan paham merkantilisme yang dianut oleh negara-negara di Eropa. Merkantilisme merupakan cara untuk mengatur kegiatan ekonomi melalui campur tangan Pemerintah dalam pertumbuhan kapitalisme pada awal jaman modern di Eropa. Negara-negara penganut merkantilisme menggunakan emas dan perak sebagai standar kekayaan. Kemudian dilengkapi lagi dengan uang kertas dan berbagai bentuk kredit. Hal ini dilakukan karena kaum usahawan sangat memerlukan modal dan alat penukar. Paham ini menopang berlangsungnya kolonialisme dan imperialisme kuno. Sebagai kelanjutan dari perkembangan tersebut, pada akhir abad ke-18, di Eropa Barat mulai muncul revolusi industri sebagai perubahan yang radikal dan cepat terhadap perkembangan kemampuan manusia dalam menciptakan peralatan kerja untuk meningkatkan hasil produksi. Pada saat itu terjadi perubahan yang cepat di bidang ekonomi, yaitu dari kegiatan ekonomi agraris beralih ke ekonomi industry dengan menggunakan mesin. Revolusi Industri berawal dari Inggris, kemudian berkembang ke daratan Eropa dan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Hingga nantinya, tatkala negara-negara Eropa mengalami puncak industrialisasi pada abad
ke-19 lahirlah praktek kolonialisme dan imperialisme modern. Secara umum, revolusi industri mempunyai dampak yang sangat luas dalamberbagai bidang kehidupan manusia seperti.
1. Munculnya industri secara besar-besaran
2. Munculnya golongan borjuis dan golongan buruh
3. Munculnya urbanisasi, yang ditandai dengan perpindahan penduduk daerah
pertanian ke daerah kota untuk bekerja sebagai buruh industri
4. Munculnya kapitalisme modern, di mana uang memegang peranan yang sangat penting
Kegiatan ekspansi bangsa Eropa, revolusi perdagangan, dan industrialisasi mempunyai hubungan erat dengan masalah pemerintahan, perusahaan, dan bank, terutama sebagai sumber pembiayaan bagi perniagaan perusahaan-perusahaan Eropa di wilayah koloninya. Embrio perbankan modern pertama kali muncul di Eropa.
pada awal abad ke-15 dan 16, meski belum berbentuk lembaga Bank Sentral dan belum mempunyai standarisasi nilai mata uang. Di beberapa kota yang menjadi pusat perdagangan, berdiri lembaga perbankan, misalnya Barcelona (1401), Genoa (1404), Venesia (1587), Milan (1593), Amsterdam (1609), Hamburg (1619), dan London (1694).
Adapun proses munculnya lembaga Bank Sentral mulai tampak sekitar paruh kedua abad ke-18, tepatnya saat Raja Inggris menunjuk Bank of England sebagai Sirkulasi dan  bankers bank di wilayah Inggris pada 1773. Langkah tersebut kemudian diikuti oleh Perancis dengan menunjuk Banque de France (1800), Swedia menunjuk Riskbank (1809), dan Belanda menunjuk De Nederlandsche Bank (1814) sebagai Bank Sentral-nya.

Hingga abad ke-10 pelayaran niaga masih menempuh satu jalur yang tidak terputusputus dari timur ke barat atau sebaliknya. Sampai dengan abad itu belum ada
pelabuhan-pelabuhan yang memiliki cukup banyak fasilitas untuk dijadikan tempat singgah dalam jalur niaga yang panjang. Sejak abad ke-10 dan ke-11 muncul kota pelabuhan yang disebut dengan “emporium”, yaitu suatu kota pelabuhan dengan fasilitas lengkap yang memudahkan para pelaut untuk memperbaiki kapal-kapalnya sekaligus melakukan transaksi perdagangan. Dalam setiap emporium biasanya terdapat pengusaha yang memiliki modal cukup besar sehingga mampu menyediakan fasilitas kredit, gudang-gudang, usaha dagang dan bahkan sewa dan jual beli kapal untuk ekspedisi dagang. Lahirnya sistem”emporia” telah memudahkan pelayaran niaga. Para pedagang tidak lagi dipaksa untuk menempuh seluruh jalur dari timur ke barat untuk memasarkan barang dagangannya. Tetapi, dengan menempuh satu emporium saja, maka komoditi dagangnya akan dibawa para pedagang lain menyebar ke emporiumemporium di wilayah lain. Dengan demikian sistem emporia telah menyebabkan jalur perdagangan menjadi lebih pendek. Berbagai emporium yang muncul pada abad itu adalah Aden dan Mocha di Laut Merah; Muskat, Bandar Abas dan Hormuz di Teluk Persia; Kambai dan Kalikut di Laut Arab; Satgaon di Teluk Benggala; Zaiton dan Nanking di Laut Cina serta Malaka di Selat Malaka.
Pada abad ke-15, Malaka mulai menggeser kedudukan Samudra Pasai dalam dunia perdagangan internasional. Secara geografis, letak Malaka cukup strategis dan lebih menguntungkan dibandingkan Pasai. Malaka dikenal sebagai pintu gerbang Nusantara yang terletak pada jalan silang antara wilayah timur dan wilayah barat Asia. Sebagaimana Sriwijaya, Malaka dapat dikatakan tidak memproduksi sendiri bahan-bahan hasil bumi atau pertambangannya, tetapi mendatangkan dari wilayah lain. Namun dengan kekuatan hubungan diplomatiknya dengan berbagai negara kuat seperti Cina, Siam dan Majapahit, kerajaan Malaka berkembang menjadi emporium terbesar di kawasan Asia. Terlebih lagi setelah penguasa Malaka menjadi penganut Islam pada 1414, mendorong semakin banyak pedagang Islam dari Arab dan India melakukan kegiatan perdagangan di Malaka.
Pesatnya perkembangan Malaka juga didukung oleh kebijakan yang ditempuh para penguasanya. Mereka berusaha menumbuhkan sistem birokrasi yang dapat memenuhi tugasnya dalam mengatur perekonomian Malaka. Salah satu jabatan yang penting dan berkaitan erat dengan perdagangan di pelabuhan adalah Syahbandar. Di Malaka, terdapat empat syahbandar yang dipilih secara langsung oleh para pedagang asing dari berbagai kelompok bangsa untuk mengurusi kepentingan mereka masing-masing. Kedudukan strategis Malaka itu terdengar oleh orang-orang Portugis yang telah berhasil mendirikan suatu kantor dagang di Goa, India. Untuk itu Affonso d’Albuquerque, seorang panglima Portugis di Goa bermaksud mengadakan hubungan dengan Malaka. Suatu utusan Portugis dipimpin oleh Lopez Squeira pada 1509 tiba di Malaka untuk mengadakan hubungan dagang dengan Malaka. Namun penguasa Malaka enggan untuk menerimanya, bahkan mereka menyerang orang-orang Portugis yang tiba di Malaka saat itu. 
akhirnya, dengan dipimpin langsung oleh Panglima Portugis, Affonso d’Albuquerque, Portugis merebut Malaka pada 1511. Mereka berharap dengan menguasai Malaka akan dapat merampas seluruh perdagangan merica di Asia. Namun harapan mereka tidak terpenuhi, mengingat Malaka tidak memproduksi hasil-hasil perdagangan (ekspor) apa pun, termasuk merica yang mereka cari-cari selama ini. Tetapi Malaka semata-mata emporium yang berfungsi sebagai pelabuhan transit bagi para pedagang di wilayah Asia.
Setelah menguasai Malaka, orang-orang Portugis melanjutkan perjalanannya ke Maluku, tepatnya ke Banda yang merupakan tempat pengumpulan rempah-rempah di Maluku. Di Banda Portugis mendapatkan pala, cengkeh dan fuli. Rempah-rempah tersebut mereka tukar dengan bahan pakaian dari India. Dengan ini suasana perdagangan yang ramai timbul di pulau Banda. Pada 1521 bangsa Spanyol datang dengan dua kapal melalui Filipina dan Kalimantan Utara menuju kepulauan Maluku, yaitu Tidore, Bacan dan Jailolo. Kedatangan mereka diterima dengan baik, ketika mereka pulang beberapa pedagang mereka menetap di Tidore, tetapi mereka mendapat serangan dari Portugis. Kedatangan bangsa Spanyol ke Maluku tidak disukai oleh bangsa Portugis, karena mereka tidak menghendaki ada bangsa Eropa lain yang menjadi pesaing monopoli perdagangan mereka di Maluku. Akan tetapi karena sikap baik yang ditunjukakan oleh bangsa Spanyol, masyarakat Maluku lebih menyukai mereka daripada bangsa Portugis. Oleh karena itu kapal-kapal mereka terus mengunjungi Maluku hingga 1534. Namun karena adanya perjanjian dengan bangsa Portugis sejak tahun 1534, Spanyol meninggalkan Maluku dan Portugis mendapat kebebasan penuh untuk melakukan monopoli rempah-rempah di Maluku. Sejak akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 tiba giliran bagi orang Belanda, Inggris, Denmark dan Perancis datang ke wilayah Nusantara. Secara khusus, kedatangan bangsa Belanda didorong oleh dua motif yaitu ekonomi dan petualangan.
Pada 1585 ketika Portugal masuk daerah kuasa Spanyol maka peranan bangsa Belanda sebagai pengangkut dan penyebar rempah-rempah di wilayah Eropa terhenti. Karena kehilangan mata pencaharian tersebut, bangsa Belanda memutuskan untuk mendapatkan rempah-rempah secara langsung dari kepulauan Nusantara. Pada 1595 armada bangsa Belanda, yang terdiri dari empat kapal dagang, untuk pertama kalinya berlayar ke Hindia Timur dibawah pimpinan Cournelis de Houtman. Armada tersebut sampai di Banten pada 1596. Karena mengharapkan keuntungan yang berlimpah, permintaan Belanda kepada Banten atas sejumlah besar lada diluar kemampuannya untuk membayar menimbulkan ketegangan antara mereka. Kemudian Belanda meninggalkan pelabuhan Banten dengan menembaki kota Banten. Sikap kasar tersebut menyebar ke seluruh pelabuhan di pesisir utara Jawa, sehingga Belanda mengalami kesulitan untuk mengadakan hubungan dagang. Armada pertama tersebut hanya berlayar hingga Bali dan pada 1597 mereka berhasil kembali ke Belanda dengan membawa banyak rempah-rempah. Tahun berikutnya, 1598 armada kedua Belanda yang terdiri dari Jacob van Neck, Waerwijck, Heemskerck di Banten, tiba di banten dan diterima dengan baik oleh penguasa-penguasa di sana. Hal tersebut disebabkan situasi Banten yang baru saja mengalami kerugian akibat tindakan orang Portugis dan sikap bangsa Belanda yang sudah bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat Banten. Kedatangan bangsa Belanda di pelabuhan Tuban dan Maluku juga mendapat sambutan yang baik daripara penguasa setempat. Hampir setiap pulau     di Kepulauan Maluku mereka singgahi, bahkan mereka juga menempatkan orang-orangnya untuk menampung hasil panen rempah-rempah. Kedatangan Belanda di Ternate juga diterima baik karena pada saat itu Sultan Ternate sedang memusuhi Portugis dan Spanyol. Dengan cara seperti itu, armada Belanda berhasil kembali ke negerinya dengan kapal-kapal yang sarat muatan rempah-rempah dan keuntungan yang besar. Pada Maret 1602, setelah perundingan yang alot antara  Staten General (Dewan Perwakilan) dengan perseroan-perseroan di negeri Belanda (Holland dan Zeeland) dibentuk  Vereenidge Oost Indische Compagnie (VOC) berdasarkan suatu parlemen yang memberi hak eksklusif kepada perseroan untuk berdagang, berlayar dan memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan dan Kepulauan Salomon. Dalam menjalankan misi dagangnya, VOC mempunyai hak khusus (oktroi) dalam memperoleh wilayah di Timur, mengadakan perdamaian, perjanjianperjanjian, menyatakan perang, memiliki kapal perang, mempunyai tentara dan memiliki benteng pertahanan sendiri.
Tujuan utama dibentuknya VOC seperti tercermin dalam perundingan 15 Januari 1602 adalah untuk “menimbulkan bencana pada musuh dan guna keamanan tanah air”. Yang dimaksud musuh saat itu adalah Portugis dan Spanyol yang pada kurun Juni 1580 – Desember 1640 bergabung menjadi satu kekuasaan yang hendak merebut dominasi perdagangan di Asia. Untuk sementara waktu, melalui VOC bangsa Belanda masih menjalin hubungan baik bersama masyarakat Nusantara. Pada tahun-tahun setelah J.P. Coen menjadi Gubernur Jenderal VOC, arah politik bangsa Belanda semakin jelas bukan hanya terfokus pada perdagangan saja tetapi juga melaksanakan monopoli perdagangan serta politik kekuasaan terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara. Lima tahun sebelum menjadi Gubernur Jenderal (1614) JP Coen berpendapat bahwa perdagangan di Asia harus dilaksanakan dan dipertahankan dengan perlindungan serta bantuan senjata yang diperoleh dari keuntungan perdaganga. Menurut Coen perdagangan tidak dapat dipertahankan tanpa perang, seperti juga perang tidak dapat dipertahankan tanpa perdagangan.
Akhirnya pada Maret 1619 VOC dibawah pimpinan Gubernur Jenderal J.P. Coen merebut Jayakarta dari tangan Pangeran Wijayakrama dan mengukuhkan kedudukannya setelah membumi hanguskan kota dengan membangun kota Batavia di atas puing-puing reruntuhan Jayakarta. Setelah berhasil menguasai Batavia, J.P. Coen memindahkan kantor pusat dagang VOC dari Ambon ke Batavia, sejak saat itu Batavia menjadi markas besar perdagangan VOC. Hal itu merupakan langkah paling penting yang ditempuh oleh bangsa Belanda, mengingat dari Batavia VOC mampu membangun pusat militer dan administrasi di tempat yang relatif aman bagi pergudangan dan pertukaran barang serta mudah mencapai jalur-jalur perdagangan daerah timur Nusantara, Timur Jauh dan Eropa. Pada Desember 1650, VOC tercatat mempunyai 74 kapal dagang di seluruh wilayah Asia. Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan jumlah armada para pesaingnya, Inggris, Portugis dan Spanyol. Kapalkapal dagang VOC dipersenjatai relatif lebih lengkap daripada kapal milik bangsa lain. Oleh karena itu kapal-kapal Belanda lebih memungkinkan untuk melakukan berbagai manuver dengan lebih hebat. Mulai abad ke–15 dapat dikatakan bahwa hampir semua transaksi perdagangan di Jawa menggunakan mata uang  cash milik Cina. Barangkali armada besar Ming dibawah Cheng Ho itulah yang membuat mata uang Cina begitu terkenal di bandarbandar kepulauan yang lain seperti Malaka dan Pasai pada awal abad ke 15. Kemudian penghapusan larangan Kaisar atas perdagangan Cina ke Selatan pada tahun 1567 tampaknya mengakibatkan arus masuk secara besar-besaran mata uang tembaga Cina. Akibatnya banyaknya uang yang beredar membuat khawatir Pejabat  Cina, sehingga pada 1590 di Guangdong dan Fujian dibuat mata uang tembaga baru campuran dengan timah yang murah untuk selanjutnya di edarkan. Pada 1596, armada pertama Belanda, picis bermutu rendah ini beredar jauh ke pedalaman Jawa. Karena bermutu rendah, Mata uang  picis  dari timah campuran tersebut mutunya dapat dipalsukan dengan mudah. Pada 1633, ketika Belanda (VOC) mulai merasa bahwa uang  picis dapat diperoleh dari orang Cina di Batavia, mereka menjadi mengetahui bahwa sudah ada industri pembuatan picis Cina di Jawa, khususnya di Banten, Cirebon dan Jepara. Belanda mengambil keuntungan dari kegiatan tersebut dengan memberikan timah atas dasar monopoli kepada orang Cina terkemuka di daerah pendudukan Belanda. Usaha ambil untung VOC tersebut, terhenti ketika Inggris berhasil memberikan timah dengan harga yang lebih murah. Setelah itu VOC beralih ke mata uang tembaga sebagai sarana dasarnya untuk memasuki perekonomian di Asia. Untuk menandingi uang kepeng Cina pada 1727 (atau rentang waktu 1728–1751) VOC mengedarkan pecahan logam Duit sebagai alat pembayaran sah menggantikan  picis/cash. Namun demikian menurut beberapa catatan periode penggunaan mata uang  picis  yang mereka sponsori sangatlah penting guna membangun Batavia sebagai bandar yang menarik bagi pelaut Nusantara yang
berkeinginan untuk memegang picis dan barang dagangan dari Cina. Selain itu kedatangan bangsa Barat pada abad ke-16 turut memperbanyak jenis mata uang yang beredar di wilayah kepulauan Nusantara. Hal tersebut menyebabkan peranan mata uang lokal semakin terdesak karena beredar tanpa tatanan dan kontrol yang jelas dan teratur. Salah satu mata uang barat yang paling digemari secara luas adalah Real Spanyol (Spaanse Matten). Pada abad ke-17 tidak ada mata uang lokal yang dapat bersaing dengan mata uang  Real Spanyol  sebagai uang internasional. Uang itu segera menjadi uang dan satuan hitungan untuk transaksi internasional. Dalam sepucuk surat dari Gubernur Jenderal dan Dewan VOC di Batavia kepada negeri Belanda tertanggal 12 Pebruari 1685, mereka minta dikirimi senilai 350.000 sampai 400.000 Gulden uang yang tersedia, lebih disukai dalam bentuk real delapan Meksiko/Real Spanyol, karena orang-orang Jawa, Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya lebih menyukai mata uang tersebut karena sudah selama bertahun-tahun terbiasa menggunakannya. VOC yang berupaya memonopoli perdagangan di Kepulauan Nusantara meminta ijin Raja Belanda untuk mencetak mata uang real baru dengan ukuran, berat serta kadar yang sama untuk menandingi popularitas  Real Spanyol. Sekitar awal abad ke-18 mata uang Real Spanyol mulai langka, oleh karena itu kedudukannya mulai tergeser. Keadaan itu digunakan VOC untuk menjadikan mata uang Belanda (logam perak) Rijksdaalder sebagai alat pembayaran yang standar di wilayah Nusantara. Sesungguhnya VOC di Batavia tidak mempunyai mata uang sendiri, membuat uang merupakan hak kedaulatan VOC yang pelaksanaannya secara ketat berada dalamm pengawasan Staten Generaal. Ketika dalam tahun 1644 –1645 dibuat sejumlah mata uang darurat dari bahan tembaga dan perak, Heeren XVII langsung memerintahkan penarikannya dengan sangat. Dengan pengecualian ini, dan selain medali-medali, VOC tidak membuat uang di Hindia Timur sampai 1744, ketika akhirnya didirikan sebuah percetakan uang di Batavia. Akibatnya terjadi kekacauan yang besar dalam peredaran uang di seluruh lingkungan kegiatan VOC. Berbagai macam mata uang (termasuk Real Spanyol ) yang tiada terbilang jumlahnya dicetak dalam nilai masingmasing. Hingga sering terjadi perbedaan pendapat antara Heeren XVII dan Gubernur Jenderal dengan Dewannya di Batavia mengenai penilaian yang berbeda-beda yang ditetpakan oleh suatu badan.   
Pada akhir abad ke-18,VOC telah mengalami kemunduran, beberapa monopolinya  daerah telah tumbang. Pemerintah Belanda kemudian memulai penyeledikannya terhadap kondisi VOC dan mengungkap kebangkrutan, skandal dan salah urus dalam segala bidang. Pada Desember 1794–Januari 1795 Perancis menyerbu negeri Belanda dan berhasil membentuk pemerintahan boneka Perancis. Berikutnya pada 1 Januari 1800 VOC dibubarkan, kemudian menyusul pembubaran dewan majelis (Heeren XVII) VOC di Amsterdam. Maka seluruh wilayah kekuasaan VOC beralih menjadi wilayah kekuasaan pemerintah Belanda. Pada 1807 Herman William Daendels dikirim ke Batavia untuk menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Timur dengan mengemban tugas reorganisasi pemerintahan, memperbaiki ekonomi dan mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Daendels mengalami kesulitan akibat kas pemerintah yang ditinggalkan VOC dalam keadaan kritis. Ia berusaha meminjam uang sebesar 736.000 Rijksdaalder untuk memperbaiki kondisi ekonomi di wilayah Hindia Timur, tetapi usaha tersebut tidak berhasil karena hanya menambah semakin banyaknya mata uang  Rijksdaalder  yang beredar, sementara kas pemerintah yang seharusnya ikut menjamin nilai mata uangitu justru kosong. Daendels dianggap kurang berhasil dalam menjalankan tugasnya, hingga akhirnya ia diganti oleh Janssen yang kemudian menyerahkan Hindia Timur kepada Inggris. Setelah itu pada 1811 Ratu Inggris mengangkat Sir Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur Hindia Timur. Pada periode Raffles, ia menarik mata uang Rijksdaalder sejumlah 8,5 juta (uang kertas) dari peredaran dan dianggap sebagai hutang pemerintah yang akan dijamin dengan perak. Kemudian mata uang  Realm Spanyol dihidupkan kembali sebagai standar mata uang perak. Pada 1813 mata uang tersebut diganti dengan mata uang  Ropij Jawa  yang dicetak di Surabaya. Namun Raffles tidak lama bertahan di Hindia Timur (1811–1815), karena setelah usainya perang melawan Perancis (Napoleon), Inggris, dan Belanda membuat kesepakatan bahwa semua wilayah Hindia Timur diserahkan kembali kepada Belanda. Hal itu menyebabkan upaya Raffles belum sempat memperlihatkan hasilnya ketika kekuasaannya telah berakhir. Sejak peralihan kekuasaan tersebut, Hindia Timur disebut sebagai Hindia Belanda (Nederland Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal (1815–1819) yang terdiri dari Elout, Buyskes dan van der Capellen. Diantara periode tersebut tepatnya pada 1817 pemerintah menerbitkan mata uang baru sebagai ganti  Ropij Jawa, yaitu Gulden Hindia Belanda dengan simbol “f” berarti florin atau gulden. Pada periode itu pemerintah merasakan beratnya beban kegiatan perekonomian Hindia Belanda tanpa adanya fasilitas perbankan yang memadai. Dalam hubungan ekspor-impor antara Hindia Belanda dan Belanda dibutuhkan emas dan perak guna menutupi nilai deficit dalam Neraca perdagangan. Pemerintah Hindia Belanda harus selalu mendatangkan emas-perak dari Belanda untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Dan hal itu hanya bisa dilakukan dengan mudah melalui fasilitas perbankan.Komisaris Jenderal Leonard Pierre Joseph Burgraaf Du Bus de  Gisignies dalam Kolonisatie Rapport-nya mengatakan bahwa nilai ekspor Jawa sangat rendah jika dibandingkan dengan daerah koloni Belanda yang lain. Karena itu nilai ekspor Jawa tidak dapat mengimbangi nilai impornya, terlebih lagi tingkat pendapatan rakyat yang sangat rendah tidak dapat membayar barang-barang impor secara tunai. Untuk itu Du Bus menempuh dua kebijakan yaitu menggantikan sistem pemilikan komunal menjadi individual guna mendorong rakyat untuk bekerja mencari uang dan mempergunakan lebih banyak modal daripada manusia dengan konsekwensi  
mengundang modal asing dari Eropa Barat. Kebijakan “lebih banyak modal daripada manusia” Du Bus tersebut akhirnya melahirkan gagasan ekonomi liberal yaitu “kolonisasi Hindia Belanda dengan modal”. Akibat dari kebijakan tersebut akhirnya menimbulkan kebutuhan akan akan hadirnya lembaga perbankan modern di Hindia Belanda.
De Bank Van Leening dan De Bankcourant en Bank van Leening Hadirnya lembaga perbankan di Hindia Belanda sesungguhnya telah dimulai sejak masa VOC, yaitu pada perode 1743-1750. Pada saat itu, VOC dipimpin oleh Gubernur Jenderal Van Imhoff yang menjadikan kondisi perdagangan di Eropa sebagai acuan dalam menjalankan pemerintahan di Hindia Timur, meskipun sebenarnya sebagian besar keadaannya jauh berbeda. Akibatnya, lahir banyak peraturan yang melampui jamannya sehingga gagal dalam pelaksanaannya. Pada Agustus 1746, dibentuk suatu dewan perdagangan untuk menangani berbagai hal, seperti penyelesaian kesepakatan dalam perdagangan pihak swasta yang perlu segera ditangani. Dalam dewan ini, duduk tujuh orang yang diserahi tugas sebagai penguasa Bank van Leening yang didirikan pada 20 Agustus 1746. Sebagaimana umumnya bank pada masa itu, jenis kegiatan Bank van Leening tidak lebih dari suatu rumah pegadaian yang memberikan pinjaman dengan jaminan barang-barang berupa emas, perak, batu permata, barang-barang perdagangan,kain-kain, perkakas rumah tangga berukuran dan bernilai sedang serta benda-benda serupa lainnya. Modal bank ini terdiri atas 300 lembar saham masing-masing bernilai 1000 Ringgit. 200 lembar diantaranya dimiliki Pemerintah dan sisanya oleh pihak lain, sehingga pada 1 Desember 1746 bank ini sudah dapat beroperasi meski dengan perlahan karena segala keterbatasannya dalam urusan perdagangan. Dalam perkembangannya Bank van Leening mengalami kesulitan dalam mengembangkan modalnya. Hal itu dikarenakan adanya persaingan tidak sehat dengan para pejabat VOC yang menyalahgunakan kekayaannya dengan pungutan bunga yang tinggi. Praktek ini menyebabkan jasa bank yang ditawarkan kurang diminati sehingga pengembangan modal menjadi tersendat-sendat ditambah lagi bank harus menyerahkan sebagian modalnya dalam bentuk deposito kepada Pemerintah VOC.
Untuk mengatasi kesulitan tersebut, Pemerintah berdasarkan pasal 1 dari peraturan Bank van Leening ini akan meningkatkan status bank menjadi bank wesel. Maka berdasarkan konsep yang disepakati dalam rapat dewan 2 Juni 1752 direncanakan untuk mendirikan suatu lembaga baru yaitu Bank Courant. Bank Courant ini didirikan pada 1 September 1752 yang selanjutnya berdasarkan kesepakatan 5 September 1752 digabungkan dengan Bank van Leening sehingga menjadi De Bankcourant en Bank van Leening. Dengan adanya bank tersebut para pejabat VOC mempunyai kesempatan untuk menanamkan kekayaan dengan memperoleh bunga dan mempermudah penatausahaan modalnya.
Sementara itu, sedikit-banyak bank telah mempunyai andil dalam mengembangkan dunia perdagangan, karena sertifikat deposito atau kertas bank segera beredar dengan cepat sebagai uang kertas bank yang banyak diminati karena dapat diuangkan sewaktu-waktu. Karena fungsi tersebut, De Bankcourant en Bank van Leening dapat dikatakan sebagai pendahulu dari De Javasche Bank pada abad berikutnya. Namun sebagaimana pendahulunya (Bank van Leening), De Bank couranten Bank van Leening juga mengalami kesulitan yang lebih berat.
Tapi pihak  Pemerintah VOC tidak mempunyai itikad baik untuk menangani bank meski mengetahui sebabnya. Akhirnya pada 1790 terungkap adanya kekurangan uang dalam kas bank sebesar 63.000 Ringgit, sehingga Pemerintah VOC menilai bahwa hal itu tidak dapat dibiarkan. Maka, melalui keputusan 5 April 1794 bank dinyatakan ditutup. Pihak VOC mengambil alih dan mengumumkan bahwa kertas bank akan ditukar dalam waktu dua bulan. Mulai saat itu Bankcourant en Bank van Leening hanya tinggal nama, meski dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Herman William Daendels (1808 – 1811)
pada 14 Juni 1809 bank dinyatakan hidup kembali. Semasa pemerintahan “antara” Inggris pada periode 1811 – 1816 bank diberi wewenang untuk mengedarkan uang, tapi mengalami kegagalan total yang berakhir dengan tidak adanya uang tunai untuk memenuhi kewajiban-kewajiban bank dan meminta para krediturnya untuk menerima pembayaran berupa kopi, beras dan sebagainya. Berdasarkan pasal 7 dari konvensi tambahan dengan Inggris tertanggal 24 Juni 1817 bank diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Kemudian melalui pengumuman 27 Januari 1818 kesempatan penukaran uang kertas bank diberikan sampai 18 Juni 1818 dan setelahnya akan dinyatakan tidak mempunyai nilai lagi. Dengan demikian bank dinyatakan ditutup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar