Naufal Faiz Akbar
4423126871
Usaha Jasa Pariwisata
Diorama
pelaut Bank Indonesia
Pada
zaman dulu sebuah bangsa Indonesia yang masih bernama nusatara bisa di katakan
seorang pelaut. Mereka bepergian kearah asia barat dengan membawa rempah .
Diawal dalam perkembangan di nusatara sebuah perdagangan telah terjadi di
setiap pelabuhan yang berada di nusatara telah melakukan perjualan-pembelian
yang di jadikan pekerjaan sampai sekarang. Pada refrensi menyatakan ““Perahu-perahu tersebut tidak digerakkan
dengan layar, melainkan dengan semangat dan dan keebranian,” ujar kagum
Plinlus, sejarawan Romawi yang mempelajari sejarah pelayaran Indonesia.
Pelayaran-pelayaran ini juga disebut dalam sumber kuno seperti kitab Yunani
Petunjuk Pelaut ke Lautan Erithrea (Samudera Hindia).
Nusantara
Sebelum Kedatangan Bangsa Barat Sebelum kedatangan bangsa barat, Nusantara
telah berkembang menjadi wilayah perdagangan internasional. Pada saat itu
terdapat dua jalur perniagaan internasional yang digunakan oleh para pedagang,
yaitu.
1.
Jalur perniagaan melalui darat atau lebih dikenal dengan “Jalur Sutra” (Silk Road)
yang dimulai dari daratan Tiongkok (Cina) melalui Asia Tengah, Turkistan hingga
ke Laut Tengah. Jalur ini juga berhubungan dengan jalanjalan yang dipergunakan
oleh kafilah India. Jalur ini merupakan jalur paling tua yang menghubungkan
antara Cina dan Eropa.
2.
Jalur perniagaan melalui laut yang dimulai dari Cina melalui Laut Cina kemudian
Selat Malaka, Calicut (India), lalu ke Teluk Persia melalui Syam (Syuria)
sampai ke Laut Tengah atau melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut
Tengah. Melalui jalur perniagaan laut komoditi ekspor dari wilayah Nusantara
menyebar dipasaran India dan kekaisaran Romawi (Byzantium) yang terus menyebar
ke wilayah Eropa. Komoditi ekspor tersebut antara lain terdiri atas
rempah-rempah, kayu wangi, kapur barus dan kemenyan. Sejak masa kerajaan lama
(baik pada masa kejayaan Hindu-Budha maupun Islam) pengaruh raja-raja atau
sultan-sultan dari masing-masing kerajaan dalam dunia perdagangan cukup besar.
Mereka bertindak tidak sekedar sebagai pengontrol keamanan atau penarik pajak
saja, namun sering kali juga bertindak sebagai pemilik modal. Pada dasarnya
dunia perdagangan di wilayah Nusantara pada waktu itu mempunyai sifat politis
dan kapitialistik. Ada dua kerajaan utama di Nusantara yang mempunyai andil
besar dalam meramaikan perniagaan Internasional pada kurun abad ke-7 hinga
ke-15, yaitu Sriwijaya di Sumatera dan Majapahit di Jawa. Keduanya adalah
kerajaan Hindu-Budha. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan pantai
yang kekuatan ekonominya bertumpu pada perdagangan internasional. Sriwijaya
berhubungan dengan jalan raya perdagangan internasional dari Cina ke Eropa
melalui Selat Malaka. Pada abad ke-7 hingga ke-13 kerajaan tersebut tumbuh dan
berkembang menjadi pusat perdagangan di wilayah Indonesia Barat, terutama
setelah berhasil menguasai dan mengamankan jalur perdagangan di sekitar Selat
Malaka. Sriwijaya mewajibkan setiap kapal dagang yang lewat Selat Malaka untuk
singgah ke pelabuhan Sriwijaya. Oleh karena itu, kerajaan tersebut sering
dikunjungi para pedagang dari Persia, Arab, India, dan Cina untuk
memperdagangkan barang-barang dari negerinya atau negeri-negeri yang
dilaluinya. Barang-barang tersebut antara lain berupa tekstil, kapur barus,
mutiara, kayu berharga, rempah-rempah, gading, kain katun dan sengkelat, perak,
emas, sutera, pecah belah serta gula.
Selain
sebagai pusat perdagangan, Sriwijaya juga mempunyai kapal-kapal sendiri untuk
perniagaannya. Pelayaran kapal-kapal niaga Sriwijaya meliputi Asia Tenggara sampai
India, bahkan hingga Madagaskar. Dominasi perdagangan Sriwijaya mulai mengalami
masa surut ketika mendapat serangan dari kerajaan Cola, India pada abad ke-11.
Selanjutnya pada abad ke-13 kedudukannya terdesak oleh kerajaankerajaan di Jawa
Timur, terutama Singosari dengan pemimpinnya Kertanegara yang mengirimkan
ekspedisi Pamalayu hingga ke Tumasik. Akhirnya keberadaan Sriwijaya betul-betul
hilang setelah Majapahit mengirimkan ekspedisi ke wilayah itu. Sejak 1293
sampai 1500 Majapahit yang berpusat di Jawa (Timur) tampil sebagai pengganti
Sriwijaya. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit
mencapai puncak kekuasaannya. Kerajaan tersebut adalah kerajaan agraris dan
sekaligus merupakan kerajaan perdagangan. Dengan angkatan laut yang kuat, wilayah
kekuasaan Majapahit terbentang dari Maluku hingga Sumatera Utara. Perniagaannya
tidak terbatas pada perdagangan dan pelayaran pantai saja, melainkan juga
perdagangan seberang laut melalui Malak menuju Samudera Hindia. Pada saat yang
sama, menurut Marcopolo, di Sumatera terdapat kerajaan Tumasik dan Samudra
Pasai. Pasai merupakan kerajaan Islam yang mempunyai posisi kuat dalam bidang
politik dan ekonomi sehingga mampu mempertahankan kedaulatannya atas Malaka.
Namun demikian Pasai mengakui kekuasaan kerajaan Hindhu-Budha Majapahit di Jawa
dan juga kekaisaran Cina.. Sebagai pusat perdagangan, Pasai banyak melakukan
hubungan dagang dengan Gujarat, Benggala serta kota-kota pelabuhan di pantai
utara Jawa. Selain lada, Pasai juga mengekspor beberapa barang dagangan lain,
diantaranya yaitu sutra, kapur barus dan emas yang diperoleh dari daerah
pedalaman. Sedangkan sutra, orang-orang Pasai memperoleh kemampuan mengolah
sutra dari orang-orang Cina. Jaman perdagangan mengakibatkan permintaan secara
berkelanjutan akan mata uang. Mata uang dalam bentuk perak, tembaga dan timah
merupakan barang dagangan paling penting yang mengalir ke wilayah Asia,
termasuk Nusantara.
Di
wilayah itu terdapat keadaan terbuka yang lebih lama bagi saudagar asing dan
matauang mereka, meski mata uang pribumi (lokal), khususnya yang dari emas,
juga banyak dicetak. Beberapa uang asing yang telah beredar pada masa itu
adalah uang Cina, Jepang, India dan Persia. Pada rentang abad ke-9 sampai 13,
beberapa kerajaan seperti Kerajaan Kediri, Aceh dan Sulawesi telah mempunyai
uang logam dari emas; kerajaan di Bangka, Cirebon, Pontianak, Maluku dan Banten
telah mempunyai uang logam dari timah, perak dan tembaga. Emas pada masa itu
menjadi alat ukur nilai, selain itu berfungsi juga sebagai sarana untuk
menabung dan tanda status bagi seorang Raja. Namun demikian jauh sebelum masa
itu, masyarakat telah mengenal mata uang dalam bentuk sederhana sebagai alat
pembayaran, seperti manik-manik di Bengkulu dan Pekalongan, gelang di
Majalengka dan Sulawesi Selatan, belincung di Bekasi, Moko di Nusa Tenggara
Timur, dan kerang di Papua. Mata uang tembaga Cina, dan mata uang lokal yang
terbuat dari timah, merupakan peletak dasar untuk komersialisasi yang makin
meningkat di kawasan itu setelah tahun 1400 (abad ke-15). Mata uang Cina
disebut dengan uang cash (sansakerta), tetapi
orang Portugis menyebutnya dengan
caixa khususnya untuk mata uang tembaga
Cina yang diekspor dan istilah tersebut juga digunakan oleh bangsa Eropa Unit
Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Pra Bank Indonesia yang lainnya.
Sedangkan masyarakat Jawa menyebutnya dengan picis. Mata uang ini berbentuk
bulat kecil mempunyai lubang persegi ditengahnya agar dapat diikat menjadi satu
bundel senilai seribu (puon), enam ratus atau jumlah lainnya yang lazim
dilakukan masa itu. Pada Juni 1599, John Davis, seorang pelaut Inggris yang
bekerja pada kapal Belanda, melaporkan bahwa di Aceh terdapat berbagai macam
alat pembayaran seperti cashes, mas,
cowpan (kupang), perdaw dan tayel (tahil).
Ia membuat semacam daftar kurs mata uang di Aceh pada waktu itu, sebagai
berikut :
1600
cashes = 1 mas
400
cashes = 1 kupang
5
mas = 4 shilling sterling
4
mas = 1 perdaw (di Aceh disebut pardu)
4
perdaw = 1 tahil
Dalam
sumber lain disebutkan pula bahwa satu tail
(tahil) sama dengan
16 mas (dirham). Satu Ringgit
Spanyol (Real Spanyol) sama dengan 16 mas (dirham). Perkembangan Eropa : Asal
Mula Bank-Bank. Pada 1453 Dinasti Usmani (Ottoman) Turki yang dipimpin oleh
Sultan Muhammad II (1451-1481) berhasil menguasai Konstantinopel, ibu kota
Imperium RomawiByzantium (Romawi Timur). Sejak saat itu, pusat perkembangan
ekonomi dan politik dunia abad ke-14 sampai dengan awal abad ke-15 ada di
tangan Imperium Turki Usmani yang segera menguasai wilayah-wilayah strategis
yang semula dikuasai oleh orang-orang Eropa, khususnya Romawi-Byzantium.
Jatuhnya kekuasaan Romawi-Byzantium mengakibatkan tertutupnya perdagangan di
Laut Tengah bagi orang-orang Eropa. Penguasa Turki Usmani menjalankan politik
yang mempersulit pedagang Eropa beroperasi di daerah kekuasaannya. Keadaan
tersebut menyebabkan mundurnya hubungan dagang antara dunia Timur dengan Eropa,
sehingga barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh orang-orang Eropa menjadi
berkurang di pasaran Eropa, terutama rempah-rempah. Untuk itu para pedagang
Eropa akhirnya mencari jalan alternatif sendiri dengan menjelajah secara
langsung tempat penghasil rempah-rempah tersebut. Penjelajahan bangsa Eropa ini
dipelopori oleh bangsa Spanyol, Portugis dan diikuti oleh Belanda, Inggris, dan
Perancis. Selain faktor jatuhnya Konstantinopel, penjelajahan bangsa Eropa juga
disebabkan oleh beberapa faktor berikut.
1.
Semangat Reconquesta, yaitu semangat
mengalahkan atau menaklukkan
sebagai
pembalasan terhadap kekuasaan Islam dimanapun yang mereka
jumpai
2.
Kisah perjalanan Marcopolo ke dunia Timur, yaitu kisah perjalanannya dari
negeri
Cina melalui pelayaran atau lautan
3.
Penemuan Copernicus yang didukung oleh Galileo yang menyatakan bahwa
bumi
bulat
4.
Penemuan Kompas (penunjuk arah mata angin)
Maka,
pada abad ke-15 dan permulaan abad ke-16, pelaut-pelaut bangsa Eropa telah
berhasil menjelajahi samudera yang luas dan sampai ke negeri-negeri baru
seperti Amerika, Afrika dan Asia termasuk wilayah Nusantara. Semenjak itu
kegiatan perdagangan yang semula berada di Laut Tengah berpindah ke lautan yang
lebih luas yaitu Samudera Atlantik. Dalam perdagangan ini bangsa Spanyol,
Belanda,Inggris, dan Perancis berhasil mendapatkan keuntungan dari pusat-pusat
perdagangan yang sangat strategis dari daerah kekuasaannya. Kekayaan akan logam
mulia mengalir ke Eropa terutama melalui negara Spanyol, Portugis, Belanda, dan
Inggris. Dari keuntungan perdagangan itulah, pada abad ke-16 dan ke-17 banyak
Negara Eropa yang telah berhasil menemukan bentuk dan identitasnya serta telah
menjadi negara nasional yang mempunyai kedudukan kuat di dalam negeri dengan
cara menyelenggarakan administrasi negara melalui sistem birokrasi dan
memperkuat angkatan perangnya. Pada saat itu negara yang paling kaya merupakan
negara yang paling berkuasa karena sanggup memerintah wilayah kekuasaannya yang
luas. Perkembangan yang pesat dalam perdagangan itu melahirkan paham
merkantilisme yang dianut oleh negara-negara di Eropa. Merkantilisme merupakan
cara untuk mengatur kegiatan ekonomi melalui campur tangan Pemerintah dalam
pertumbuhan kapitalisme pada awal jaman modern di Eropa. Negara-negara penganut
merkantilisme menggunakan emas dan perak sebagai standar kekayaan. Kemudian
dilengkapi lagi dengan uang kertas dan berbagai bentuk kredit. Hal ini
dilakukan karena kaum usahawan sangat memerlukan modal dan alat penukar. Paham
ini menopang berlangsungnya kolonialisme dan imperialisme kuno. Sebagai
kelanjutan dari perkembangan tersebut, pada akhir abad ke-18, di Eropa Barat
mulai muncul revolusi industri sebagai perubahan yang radikal dan cepat
terhadap perkembangan kemampuan manusia dalam menciptakan peralatan kerja untuk
meningkatkan hasil produksi. Pada saat itu terjadi perubahan yang cepat di
bidang ekonomi, yaitu dari kegiatan ekonomi agraris beralih ke ekonomi industry
dengan menggunakan mesin. Revolusi Industri berawal dari Inggris, kemudian
berkembang ke daratan Eropa dan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Hingga
nantinya, tatkala negara-negara Eropa mengalami puncak industrialisasi pada abad
ke-19
lahirlah praktek kolonialisme dan imperialisme modern. Secara umum, revolusi
industri mempunyai dampak yang sangat luas dalamberbagai bidang kehidupan
manusia seperti.
1.
Munculnya industri secara besar-besaran
2.
Munculnya golongan borjuis dan golongan buruh
3.
Munculnya urbanisasi, yang ditandai dengan perpindahan penduduk daerah
pertanian
ke daerah kota untuk bekerja sebagai buruh industri
4.
Munculnya kapitalisme modern, di mana uang memegang peranan yang sangat penting
Kegiatan
ekspansi bangsa Eropa, revolusi perdagangan, dan industrialisasi mempunyai
hubungan erat dengan masalah pemerintahan, perusahaan, dan bank, terutama
sebagai sumber pembiayaan bagi perniagaan perusahaan-perusahaan Eropa di
wilayah koloninya. Embrio perbankan modern pertama kali muncul di Eropa.
pada
awal abad ke-15 dan 16, meski belum berbentuk lembaga Bank Sentral dan belum
mempunyai standarisasi nilai mata uang. Di beberapa kota yang menjadi pusat
perdagangan, berdiri lembaga perbankan, misalnya Barcelona (1401), Genoa (1404),
Venesia (1587), Milan (1593), Amsterdam (1609), Hamburg (1619), dan London
(1694).
Adapun
proses munculnya lembaga Bank Sentral mulai tampak sekitar paruh kedua abad
ke-18, tepatnya saat Raja Inggris menunjuk Bank of England sebagai Sirkulasi
dan bankers bank di wilayah Inggris pada
1773. Langkah tersebut kemudian diikuti oleh Perancis dengan menunjuk Banque de
France (1800), Swedia menunjuk Riskbank (1809), dan Belanda menunjuk De
Nederlandsche Bank (1814) sebagai Bank Sentral-nya.
Hingga
abad ke-10 pelayaran niaga masih menempuh satu jalur yang tidak terputusputus
dari timur ke barat atau sebaliknya. Sampai dengan abad itu belum ada
pelabuhan-pelabuhan
yang memiliki cukup banyak fasilitas untuk dijadikan tempat singgah dalam jalur
niaga yang panjang. Sejak abad ke-10 dan ke-11 muncul kota pelabuhan yang
disebut dengan “emporium”, yaitu suatu kota pelabuhan dengan fasilitas lengkap
yang memudahkan para pelaut untuk memperbaiki kapal-kapalnya sekaligus
melakukan transaksi perdagangan. Dalam setiap emporium biasanya terdapat
pengusaha yang memiliki modal cukup besar sehingga mampu menyediakan fasilitas
kredit, gudang-gudang, usaha dagang dan bahkan sewa dan jual beli kapal untuk
ekspedisi dagang. Lahirnya sistem”emporia” telah memudahkan pelayaran niaga. Para
pedagang tidak lagi dipaksa untuk menempuh seluruh jalur dari timur ke barat
untuk memasarkan barang dagangannya. Tetapi, dengan menempuh satu emporium
saja, maka komoditi dagangnya akan dibawa para pedagang lain menyebar ke
emporiumemporium di wilayah lain. Dengan demikian sistem emporia telah
menyebabkan jalur perdagangan menjadi lebih pendek. Berbagai emporium yang
muncul pada abad itu adalah Aden dan Mocha di Laut Merah; Muskat, Bandar Abas
dan Hormuz di Teluk Persia; Kambai dan Kalikut di Laut Arab; Satgaon di Teluk
Benggala; Zaiton dan Nanking di Laut Cina serta Malaka di Selat Malaka.
Pada
abad ke-15, Malaka mulai menggeser kedudukan Samudra Pasai dalam dunia
perdagangan internasional. Secara geografis, letak Malaka cukup strategis dan
lebih menguntungkan dibandingkan Pasai. Malaka dikenal sebagai pintu gerbang
Nusantara yang terletak pada jalan silang antara wilayah timur dan wilayah
barat Asia. Sebagaimana Sriwijaya, Malaka dapat dikatakan tidak memproduksi
sendiri bahan-bahan hasil bumi atau pertambangannya, tetapi mendatangkan dari
wilayah lain. Namun dengan kekuatan hubungan diplomatiknya dengan berbagai
negara kuat seperti Cina, Siam dan Majapahit, kerajaan Malaka berkembang
menjadi emporium terbesar di kawasan Asia. Terlebih lagi setelah penguasa
Malaka menjadi penganut Islam pada 1414, mendorong semakin banyak pedagang
Islam dari Arab dan India melakukan kegiatan perdagangan di Malaka.
Pesatnya
perkembangan Malaka juga didukung oleh kebijakan yang ditempuh para
penguasanya. Mereka berusaha menumbuhkan sistem birokrasi yang dapat memenuhi
tugasnya dalam mengatur perekonomian Malaka. Salah satu jabatan yang penting
dan berkaitan erat dengan perdagangan di pelabuhan adalah Syahbandar. Di
Malaka, terdapat empat syahbandar yang dipilih secara langsung oleh para
pedagang asing dari berbagai kelompok bangsa untuk mengurusi kepentingan mereka
masing-masing. Kedudukan strategis Malaka itu terdengar oleh orang-orang
Portugis yang telah berhasil mendirikan suatu kantor dagang di Goa, India.
Untuk itu Affonso d’Albuquerque, seorang panglima Portugis di Goa bermaksud
mengadakan hubungan dengan Malaka. Suatu utusan Portugis dipimpin oleh Lopez
Squeira pada 1509 tiba di Malaka untuk mengadakan hubungan dagang dengan
Malaka. Namun penguasa Malaka enggan untuk menerimanya, bahkan mereka menyerang
orang-orang Portugis yang tiba di Malaka saat itu.
akhirnya,
dengan dipimpin langsung oleh Panglima Portugis, Affonso d’Albuquerque,
Portugis merebut Malaka pada 1511. Mereka berharap dengan menguasai Malaka akan
dapat merampas seluruh perdagangan merica di Asia. Namun harapan mereka tidak
terpenuhi, mengingat Malaka tidak memproduksi hasil-hasil perdagangan (ekspor)
apa pun, termasuk merica yang mereka cari-cari selama ini. Tetapi Malaka
semata-mata emporium yang berfungsi sebagai pelabuhan transit bagi para
pedagang di wilayah Asia.
Setelah
menguasai Malaka, orang-orang Portugis melanjutkan perjalanannya ke Maluku,
tepatnya ke Banda yang merupakan tempat pengumpulan rempah-rempah di Maluku. Di
Banda Portugis mendapatkan pala, cengkeh dan fuli. Rempah-rempah tersebut
mereka tukar dengan bahan pakaian dari India. Dengan ini suasana perdagangan
yang ramai timbul di pulau Banda. Pada 1521 bangsa Spanyol datang dengan dua
kapal melalui Filipina dan Kalimantan Utara menuju kepulauan Maluku, yaitu
Tidore, Bacan dan Jailolo. Kedatangan mereka diterima dengan baik, ketika
mereka pulang beberapa pedagang mereka menetap di Tidore, tetapi mereka
mendapat serangan dari Portugis. Kedatangan bangsa Spanyol ke Maluku tidak
disukai oleh bangsa Portugis, karena mereka tidak menghendaki ada bangsa Eropa
lain yang menjadi pesaing monopoli perdagangan mereka di Maluku. Akan tetapi
karena sikap baik yang ditunjukakan oleh bangsa Spanyol, masyarakat Maluku
lebih menyukai mereka daripada bangsa Portugis. Oleh karena itu kapal-kapal
mereka terus mengunjungi Maluku hingga 1534. Namun karena adanya perjanjian
dengan bangsa Portugis sejak tahun 1534, Spanyol meninggalkan Maluku dan
Portugis mendapat kebebasan penuh untuk melakukan monopoli rempah-rempah di
Maluku. Sejak akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 tiba giliran bagi orang
Belanda, Inggris, Denmark dan Perancis datang ke wilayah Nusantara. Secara
khusus, kedatangan bangsa Belanda didorong oleh dua motif yaitu ekonomi dan
petualangan.
Pada
1585 ketika Portugal masuk daerah kuasa Spanyol maka peranan bangsa Belanda
sebagai pengangkut dan penyebar rempah-rempah di wilayah Eropa terhenti. Karena
kehilangan mata pencaharian tersebut, bangsa Belanda memutuskan untuk
mendapatkan rempah-rempah secara langsung dari kepulauan Nusantara. Pada 1595
armada bangsa Belanda, yang terdiri dari empat kapal dagang, untuk pertama
kalinya berlayar ke Hindia Timur dibawah pimpinan Cournelis de Houtman. Armada
tersebut sampai di Banten pada 1596. Karena mengharapkan keuntungan yang
berlimpah, permintaan Belanda kepada Banten atas sejumlah besar lada diluar
kemampuannya untuk membayar menimbulkan ketegangan antara mereka. Kemudian
Belanda meninggalkan pelabuhan Banten dengan menembaki kota Banten. Sikap kasar
tersebut menyebar ke seluruh pelabuhan di pesisir utara Jawa, sehingga Belanda
mengalami kesulitan untuk mengadakan hubungan dagang. Armada pertama tersebut
hanya berlayar hingga Bali dan pada 1597 mereka berhasil kembali ke Belanda
dengan membawa banyak rempah-rempah. Tahun berikutnya, 1598 armada kedua
Belanda yang terdiri dari Jacob van Neck, Waerwijck, Heemskerck di Banten, tiba
di banten dan diterima dengan baik oleh penguasa-penguasa di sana. Hal tersebut
disebabkan situasi Banten yang baru saja mengalami kerugian akibat tindakan
orang Portugis dan sikap bangsa Belanda yang sudah bisa menyesuaikan diri
dengan masyarakat Banten. Kedatangan bangsa Belanda di pelabuhan Tuban dan
Maluku juga mendapat sambutan yang baik daripara penguasa setempat. Hampir
setiap pulau di Kepulauan Maluku
mereka singgahi, bahkan mereka juga menempatkan orang-orangnya untuk menampung
hasil panen rempah-rempah. Kedatangan Belanda di Ternate juga diterima baik
karena pada saat itu Sultan Ternate sedang memusuhi Portugis dan Spanyol. Dengan
cara seperti itu, armada Belanda berhasil kembali ke negerinya dengan kapal-kapal
yang sarat muatan rempah-rempah dan keuntungan yang besar. Pada Maret 1602,
setelah perundingan yang alot antara
Staten General (Dewan Perwakilan) dengan perseroan-perseroan di negeri
Belanda (Holland dan Zeeland) dibentuk
Vereenidge Oost Indische Compagnie (VOC) berdasarkan suatu parlemen yang
memberi hak eksklusif kepada perseroan untuk berdagang, berlayar dan memegang
kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan dan Kepulauan Salomon. Dalam
menjalankan misi dagangnya, VOC mempunyai hak khusus (oktroi) dalam memperoleh
wilayah di Timur, mengadakan perdamaian, perjanjianperjanjian, menyatakan
perang, memiliki kapal perang, mempunyai tentara dan memiliki benteng pertahanan
sendiri.
Tujuan
utama dibentuknya VOC seperti tercermin dalam perundingan 15 Januari 1602
adalah untuk “menimbulkan bencana pada musuh dan guna keamanan tanah air”. Yang
dimaksud musuh saat itu adalah Portugis dan Spanyol yang pada kurun Juni 1580 –
Desember 1640 bergabung menjadi satu kekuasaan yang hendak merebut dominasi
perdagangan di Asia. Untuk sementara waktu, melalui VOC bangsa Belanda masih
menjalin hubungan baik bersama masyarakat Nusantara. Pada tahun-tahun setelah
J.P. Coen menjadi Gubernur Jenderal VOC, arah politik bangsa Belanda semakin
jelas bukan hanya terfokus pada perdagangan saja tetapi juga melaksanakan
monopoli perdagangan serta politik kekuasaan terhadap kerajaan-kerajaan di
Nusantara. Lima tahun sebelum menjadi Gubernur Jenderal (1614) JP Coen
berpendapat bahwa perdagangan di Asia harus dilaksanakan dan dipertahankan
dengan perlindungan serta bantuan senjata yang diperoleh dari keuntungan
perdaganga. Menurut Coen perdagangan tidak dapat dipertahankan tanpa perang,
seperti juga perang tidak dapat dipertahankan tanpa perdagangan.
Akhirnya
pada Maret 1619 VOC dibawah pimpinan Gubernur Jenderal J.P. Coen merebut
Jayakarta dari tangan Pangeran Wijayakrama dan mengukuhkan kedudukannya setelah
membumi hanguskan kota dengan membangun kota Batavia di atas puing-puing
reruntuhan Jayakarta. Setelah berhasil menguasai Batavia, J.P. Coen memindahkan
kantor pusat dagang VOC dari Ambon ke Batavia, sejak saat itu Batavia menjadi
markas besar perdagangan VOC. Hal itu merupakan langkah paling penting yang
ditempuh oleh bangsa Belanda, mengingat dari Batavia VOC mampu membangun pusat
militer dan administrasi di tempat yang relatif aman bagi pergudangan dan
pertukaran barang serta mudah mencapai jalur-jalur perdagangan daerah timur
Nusantara, Timur Jauh dan Eropa. Pada Desember 1650, VOC tercatat mempunyai 74
kapal dagang di seluruh wilayah Asia. Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan
jumlah armada para pesaingnya, Inggris, Portugis dan Spanyol. Kapalkapal dagang
VOC dipersenjatai relatif lebih lengkap daripada kapal milik bangsa lain. Oleh
karena itu kapal-kapal Belanda lebih memungkinkan untuk melakukan berbagai
manuver dengan lebih hebat. Mulai abad ke–15 dapat dikatakan bahwa hampir semua
transaksi perdagangan di Jawa menggunakan mata uang cash milik Cina. Barangkali armada besar Ming
dibawah Cheng Ho itulah yang membuat mata uang Cina begitu terkenal di
bandarbandar kepulauan yang lain seperti Malaka dan Pasai pada awal abad ke 15.
Kemudian penghapusan larangan Kaisar atas perdagangan Cina ke Selatan pada tahun
1567 tampaknya mengakibatkan arus masuk secara besar-besaran mata uang tembaga
Cina. Akibatnya banyaknya uang yang beredar membuat khawatir Pejabat Cina, sehingga pada 1590 di Guangdong dan
Fujian dibuat mata uang tembaga baru campuran dengan timah yang murah untuk
selanjutnya di edarkan. Pada 1596, armada pertama Belanda, picis bermutu rendah
ini beredar jauh ke pedalaman Jawa. Karena bermutu rendah, Mata uang picis
dari timah campuran tersebut mutunya dapat dipalsukan dengan mudah. Pada
1633, ketika Belanda (VOC) mulai merasa bahwa uang picis dapat diperoleh dari orang Cina di
Batavia, mereka menjadi mengetahui bahwa sudah ada industri pembuatan picis
Cina di Jawa, khususnya di Banten, Cirebon dan Jepara. Belanda mengambil
keuntungan dari kegiatan tersebut dengan memberikan timah atas dasar monopoli
kepada orang Cina terkemuka di daerah pendudukan Belanda. Usaha ambil untung
VOC tersebut, terhenti ketika Inggris berhasil memberikan timah dengan harga
yang lebih murah. Setelah itu VOC beralih ke mata uang tembaga sebagai sarana
dasarnya untuk memasuki perekonomian di Asia. Untuk menandingi uang kepeng Cina
pada 1727 (atau rentang waktu 1728–1751) VOC mengedarkan pecahan logam Duit
sebagai alat pembayaran sah menggantikan
picis/cash. Namun demikian menurut beberapa catatan periode penggunaan
mata uang picis yang mereka sponsori sangatlah penting guna membangun
Batavia sebagai bandar yang menarik bagi pelaut Nusantara yang
berkeinginan
untuk memegang picis dan barang dagangan dari Cina. Selain itu kedatangan
bangsa Barat pada abad ke-16 turut memperbanyak jenis mata uang yang beredar di
wilayah kepulauan Nusantara. Hal tersebut menyebabkan peranan mata uang lokal
semakin terdesak karena beredar tanpa tatanan dan kontrol yang jelas dan
teratur. Salah satu mata uang barat yang paling digemari secara luas adalah
Real Spanyol (Spaanse Matten). Pada abad ke-17 tidak ada mata uang lokal yang
dapat bersaing dengan mata uang Real
Spanyol sebagai uang internasional. Uang
itu segera menjadi uang dan satuan hitungan untuk transaksi internasional.
Dalam sepucuk surat dari Gubernur Jenderal dan Dewan VOC di Batavia kepada
negeri Belanda tertanggal 12 Pebruari 1685, mereka minta dikirimi senilai
350.000 sampai 400.000 Gulden uang yang tersedia, lebih disukai dalam bentuk
real delapan Meksiko/Real Spanyol, karena orang-orang Jawa, Sumatera dan pulau-pulau
sekitarnya lebih menyukai mata uang tersebut karena sudah selama bertahun-tahun
terbiasa menggunakannya. VOC yang berupaya memonopoli perdagangan di Kepulauan
Nusantara meminta ijin Raja Belanda untuk mencetak mata uang real baru dengan
ukuran, berat serta kadar yang sama untuk menandingi popularitas Real Spanyol. Sekitar awal abad ke-18 mata
uang Real Spanyol mulai langka, oleh karena itu kedudukannya mulai tergeser. Keadaan
itu digunakan VOC untuk menjadikan mata uang Belanda (logam perak) Rijksdaalder
sebagai alat pembayaran yang standar di wilayah Nusantara. Sesungguhnya VOC di
Batavia tidak mempunyai mata uang sendiri, membuat uang merupakan hak
kedaulatan VOC yang pelaksanaannya secara ketat berada dalamm pengawasan Staten
Generaal. Ketika dalam tahun 1644 –1645 dibuat sejumlah mata uang darurat dari
bahan tembaga dan perak, Heeren XVII langsung memerintahkan penarikannya dengan
sangat. Dengan pengecualian ini, dan selain medali-medali, VOC tidak membuat
uang di Hindia Timur sampai 1744, ketika akhirnya didirikan sebuah percetakan
uang di Batavia. Akibatnya terjadi kekacauan yang besar dalam peredaran uang di
seluruh lingkungan kegiatan VOC. Berbagai macam mata uang (termasuk Real
Spanyol ) yang tiada terbilang jumlahnya dicetak dalam nilai masingmasing.
Hingga sering terjadi perbedaan pendapat antara Heeren XVII dan Gubernur Jenderal
dengan Dewannya di Batavia mengenai penilaian yang berbeda-beda yang ditetpakan
oleh suatu badan.
Pada
akhir abad ke-18,VOC telah mengalami kemunduran, beberapa monopolinya daerah telah tumbang. Pemerintah Belanda
kemudian memulai penyeledikannya terhadap kondisi VOC dan mengungkap
kebangkrutan, skandal dan salah urus dalam segala bidang. Pada Desember
1794–Januari 1795 Perancis menyerbu negeri Belanda dan berhasil membentuk
pemerintahan boneka Perancis. Berikutnya pada 1 Januari 1800 VOC dibubarkan,
kemudian menyusul pembubaran dewan majelis (Heeren XVII) VOC di Amsterdam. Maka
seluruh wilayah kekuasaan VOC beralih menjadi wilayah kekuasaan pemerintah
Belanda. Pada 1807 Herman William Daendels dikirim ke Batavia untuk menjadi
Gubernur Jenderal di Hindia Timur dengan mengemban tugas reorganisasi pemerintahan,
memperbaiki ekonomi dan mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Daendels mengalami
kesulitan akibat kas pemerintah yang ditinggalkan VOC dalam keadaan kritis. Ia
berusaha meminjam uang sebesar 736.000 Rijksdaalder untuk memperbaiki kondisi ekonomi
di wilayah Hindia Timur, tetapi usaha tersebut tidak berhasil karena hanya
menambah semakin banyaknya mata uang
Rijksdaalder yang beredar, sementara
kas pemerintah yang seharusnya ikut menjamin nilai mata uangitu justru kosong.
Daendels dianggap kurang berhasil dalam menjalankan tugasnya, hingga akhirnya
ia diganti oleh Janssen yang kemudian menyerahkan Hindia Timur kepada Inggris. Setelah
itu pada 1811 Ratu Inggris mengangkat Sir Thomas Stamford Raffles sebagai
Letnan Gubernur Hindia Timur. Pada periode Raffles, ia menarik mata uang Rijksdaalder
sejumlah 8,5 juta (uang kertas) dari peredaran dan dianggap sebagai hutang
pemerintah yang akan dijamin dengan perak. Kemudian mata uang Realm Spanyol dihidupkan kembali sebagai
standar mata uang perak. Pada 1813 mata uang tersebut diganti dengan mata
uang Ropij Jawa yang dicetak di Surabaya. Namun Raffles tidak
lama bertahan di Hindia Timur (1811–1815), karena setelah usainya perang
melawan Perancis (Napoleon), Inggris, dan Belanda membuat kesepakatan bahwa
semua wilayah Hindia Timur diserahkan kembali kepada Belanda. Hal itu
menyebabkan upaya Raffles belum sempat memperlihatkan hasilnya ketika
kekuasaannya telah berakhir. Sejak peralihan kekuasaan tersebut, Hindia Timur
disebut sebagai Hindia Belanda (Nederland Indie) dan diperintah oleh Komisaris
Jenderal (1815–1819) yang terdiri dari Elout, Buyskes dan van der Capellen.
Diantara periode tersebut tepatnya pada 1817 pemerintah menerbitkan mata uang
baru sebagai ganti Ropij Jawa, yaitu Gulden
Hindia Belanda dengan simbol “f” berarti florin atau gulden. Pada periode itu pemerintah
merasakan beratnya beban kegiatan perekonomian Hindia Belanda tanpa adanya
fasilitas perbankan yang memadai. Dalam hubungan ekspor-impor antara Hindia
Belanda dan Belanda dibutuhkan emas dan perak guna menutupi nilai deficit dalam
Neraca perdagangan. Pemerintah Hindia Belanda harus selalu mendatangkan emas-perak
dari Belanda untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Dan hal itu hanya bisa
dilakukan dengan mudah melalui fasilitas perbankan.Komisaris Jenderal Leonard
Pierre Joseph Burgraaf Du Bus de Gisignies
dalam Kolonisatie Rapport-nya mengatakan bahwa nilai ekspor Jawa sangat rendah
jika dibandingkan dengan daerah koloni Belanda yang lain. Karena itu nilai
ekspor Jawa tidak dapat mengimbangi nilai impornya, terlebih lagi tingkat
pendapatan rakyat yang sangat rendah tidak dapat membayar barang-barang impor
secara tunai. Untuk itu Du Bus menempuh dua kebijakan yaitu menggantikan sistem
pemilikan komunal menjadi individual guna mendorong rakyat untuk bekerja
mencari uang dan mempergunakan lebih banyak modal daripada manusia dengan
konsekwensi
mengundang
modal asing dari Eropa Barat. Kebijakan “lebih banyak modal daripada manusia”
Du Bus tersebut akhirnya melahirkan gagasan ekonomi liberal yaitu “kolonisasi
Hindia Belanda dengan modal”. Akibat dari kebijakan tersebut akhirnya menimbulkan
kebutuhan akan akan hadirnya lembaga perbankan modern di Hindia Belanda.
De
Bank Van Leening dan De Bankcourant en Bank van Leening Hadirnya lembaga perbankan
di Hindia Belanda sesungguhnya telah dimulai sejak masa VOC, yaitu pada perode
1743-1750. Pada saat itu, VOC dipimpin oleh Gubernur Jenderal Van Imhoff yang
menjadikan kondisi perdagangan di Eropa sebagai acuan dalam menjalankan
pemerintahan di Hindia Timur, meskipun sebenarnya sebagian besar keadaannya
jauh berbeda. Akibatnya, lahir banyak peraturan yang melampui jamannya sehingga
gagal dalam pelaksanaannya. Pada Agustus 1746, dibentuk suatu dewan perdagangan
untuk menangani berbagai hal, seperti penyelesaian kesepakatan dalam
perdagangan pihak swasta yang perlu segera ditangani. Dalam dewan ini, duduk
tujuh orang yang diserahi tugas sebagai penguasa Bank van Leening yang
didirikan pada 20 Agustus 1746. Sebagaimana umumnya bank pada masa itu, jenis kegiatan
Bank van Leening tidak lebih dari suatu rumah pegadaian yang memberikan
pinjaman dengan jaminan barang-barang berupa emas, perak, batu permata,
barang-barang perdagangan,kain-kain, perkakas rumah tangga berukuran dan
bernilai sedang serta benda-benda serupa lainnya. Modal bank ini terdiri atas
300 lembar saham masing-masing bernilai 1000 Ringgit. 200 lembar diantaranya
dimiliki Pemerintah dan sisanya oleh pihak lain, sehingga pada 1 Desember 1746
bank ini sudah dapat beroperasi meski dengan perlahan karena segala
keterbatasannya dalam urusan perdagangan. Dalam perkembangannya Bank van
Leening mengalami kesulitan dalam mengembangkan modalnya. Hal itu dikarenakan
adanya persaingan tidak sehat dengan para pejabat VOC yang menyalahgunakan
kekayaannya dengan pungutan bunga yang tinggi. Praktek ini menyebabkan jasa
bank yang ditawarkan kurang diminati sehingga pengembangan modal menjadi
tersendat-sendat ditambah lagi bank harus menyerahkan sebagian modalnya dalam
bentuk deposito kepada Pemerintah VOC.
Untuk
mengatasi kesulitan tersebut, Pemerintah berdasarkan pasal 1 dari peraturan Bank
van Leening ini akan meningkatkan status bank menjadi bank wesel. Maka berdasarkan
konsep yang disepakati dalam rapat dewan 2 Juni 1752 direncanakan untuk
mendirikan suatu lembaga baru yaitu Bank Courant. Bank Courant ini didirikan pada
1 September 1752 yang selanjutnya berdasarkan kesepakatan 5 September 1752
digabungkan dengan Bank van Leening sehingga menjadi De Bankcourant en Bank van
Leening. Dengan adanya bank tersebut para pejabat VOC mempunyai kesempatan
untuk menanamkan kekayaan dengan memperoleh bunga dan mempermudah penatausahaan
modalnya.
Sementara
itu, sedikit-banyak bank telah mempunyai andil dalam mengembangkan dunia
perdagangan, karena sertifikat deposito atau kertas bank segera beredar dengan
cepat sebagai uang kertas bank yang banyak diminati karena dapat diuangkan
sewaktu-waktu. Karena fungsi tersebut, De Bankcourant en Bank van Leening dapat
dikatakan sebagai pendahulu dari De Javasche Bank pada abad berikutnya. Namun
sebagaimana pendahulunya (Bank van Leening), De Bank couranten Bank van Leening
juga mengalami kesulitan yang lebih berat.
Tapi
pihak Pemerintah VOC tidak mempunyai
itikad baik untuk menangani bank meski mengetahui sebabnya. Akhirnya pada 1790
terungkap adanya kekurangan uang dalam kas bank sebesar 63.000 Ringgit,
sehingga Pemerintah VOC menilai bahwa hal itu tidak dapat dibiarkan. Maka,
melalui keputusan 5 April 1794 bank dinyatakan ditutup. Pihak VOC mengambil
alih dan mengumumkan bahwa kertas bank akan ditukar dalam waktu dua bulan.
Mulai saat itu Bankcourant en Bank van Leening hanya tinggal nama, meski
dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Herman William Daendels (1808 – 1811)
pada
14 Juni 1809 bank dinyatakan hidup kembali. Semasa pemerintahan “antara”
Inggris pada periode 1811 – 1816 bank diberi wewenang untuk mengedarkan uang,
tapi mengalami kegagalan total yang berakhir dengan tidak adanya uang tunai
untuk memenuhi kewajiban-kewajiban bank dan meminta para krediturnya untuk
menerima pembayaran berupa kopi, beras dan sebagainya. Berdasarkan pasal 7 dari
konvensi tambahan dengan Inggris tertanggal 24 Juni 1817 bank diambil alih oleh
Pemerintah Belanda. Kemudian melalui pengumuman 27 Januari 1818 kesempatan
penukaran uang kertas bank diberikan sampai 18 Juni 1818 dan setelahnya akan
dinyatakan tidak mempunyai nilai lagi. Dengan demikian bank dinyatakan ditutup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar