Sejarah Indonesia (UAS)
Museum Tekstil (Sejarah
Batik)
Museum tekstil berada di Jl. KS Tubun
No.4 Petamburan, Jakarta Barat. Museum ini didirikan atas gagasan Kelompok
Pencinta Kain Tradisional Indonesia (WASTRAPREMA), bapak Ir.Safioen (selaku
Dirjen Tekstil Departemen Perindustrian saat itu) dan di dukung oleh Bapak Ali
Sadikin (gubernur DKI Jakarta pada saat itu). Museum tekstil di resmikan oleh
Ibu Tien Soeharto (Ibu Negara pada masanya) dan di saksikan oleh Bapak Ali
Sadikin pada tanggal 28 Juni 1976.
Koleksi awal Museum Tekstil di dapat dari sumbangan
Wastraprema dengan jumlah sekitar 500 koleksi, semakin lama semakin bertambah
koleksi Museum Tekstil melalui pembelian oleh Dinas Museum dan Sejarah atau Dinas
Museum dan Pemugaran atau Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, serta sumbangan
dari masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Hingga saat ini koleksi
Museum Tekstil berjumlah 1914 buah. Salah satu koleksi di museum tekstil adalah
Batik. Di museum tekstil selain terdapat kain batiknya, kita juga dapat melihat
proses pembuatan batik.
Sejarah Batik
Sejarah pembatikan di Indonesia berkaitan dengan
perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa.
Perkembangan batik banyak di lakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian
pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.
Kesenian
batik di Indonesia di kenal sejak zaman Majapahit dan terus berkembang kepada
kerajaan dan raja-raja berikutnya. Pada akhir abad ke XVIII atau awal abad ke
XIX kesenian batik mulai meluas dan menjadi milik rakyat Indonesia khususnya
suku Jawa. Pada awalnya batik yang di kenala hanyalah batik tulis hingga abad
ke XX, sedangkan batik cap baru di kenal setelah perang dunia ke satu selesai
atau sekitar tahun 1920. Hubungannya dengan penyebaran ajaran agama Islam adalah
banyak daerah-daerah pusat pembatikan di jawa merupakan daerah-daerah santri.
Pada saat itu, batik menjadi alat perjuangan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang
Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian
batik merupakan kesenian gambar di atau kain untuk pakaian yang menjadi satu
kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Pada awalnya batik di
kerjakan hanya terbatas dalam keraton dan hasilnya hanya untuk pakaian raja,
keluarga dan pengikut raja saja. Kemudian banyak pengikut raja yang tinggal di
luar keraton, maka di kerjakan di tempat atau rumah mereka masing-masing.
Semakin
lama kesenian batik ini di tiru oleh rakyat yang tinggal di dekat keraton, lalu
semakin meluas dan menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk
mengisi waktu luang. Batik yang semula hanya di pakai oleh keluarga keraton
menjadi pakaian rakyat yang di gemari laki-laki maupun wanita. Bahan-bahan yang
di gunakan untuk membuat batik saat itu merupakan hasil sendiri seperti kain
putih yang di gunakan merupakan hasil tenunan sendiri. Bahan-bahan pewarna yang
di pakai juga berasal dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang di buat sendiri,
contohnya dari pohon mengkudu, tinggi, soga, nila. Bahan sodanya di buat
sendiri dari soda abu, serta garamnya berasal dari tanah lumpur.
Batik
Yogyakarta adalah salah satu batik dari Indonesia yang awlnya di buat terbatas
hanya untuk kalangan keluarga keraton saja. Motif yang terdapat pada batik
Yogyakarta mengandung makna dan cerita. Itu adalah salah satu yang menjadi
pembeda antara batik Yogyakarta dengan batik yang lain, yang menjaga batik
Yogyakarta tetap memiliki eksklusifitas dari sebuah mahakarya seni dan budaya
Indonesia.
Motif
batik khususnya di jawa tengah terutama Solo dan Yogyakarta setiap gambar
memiliki makna karena setiap motif pada batik tradisional klasik selalu
memiliki filosofi masing-masing. Filosofi ini berkaitan dalam kebudayaan Hindu
Jawa. Ada beberapa motif tertentu yang di anggap sakrel dan hanya dapat di
pakai pada kesempatan atau periwstiwa tertentu. Fungsi kain batik di lingkungan
keraton hanya di gunakan sebagai kain bawahan atau bukan di gunakan untuk gaun
atau kemeja. Setiap motif batik keraton juga mempunyai arti masing-masing.
Ini
adalah beberapa contoh motif dan artinya :
Motif Sida Mukti
Motif
Sida Mukti berarti “menjadi berkecukupan, makmur” secara harfiah, dan motif ini
hanya boleh di gunakan oleh kalangan keluarga keraton.
Motif Wahyu Tuurun
Motif
ini berarti turunnya wahyu, yang hanya boleh di gunakan pada saat upacara
Jumenengan atau perayaan ulang tahun naik tahta.
Motif Parang
Motif
parang bernuansa cukup ramai biasanya di pakai untuk acara pesta atau
menghadiri suatu perayaan. Motif ini di ciptakan oleh pendiri kerajaan Mataram
yang bernama Panembahan Senopati. Ada mitos yang menyebutkan bahwa sang raja
sering bertapa di sepanjang pesisir pantai selatan pulau Jawa yang di penuhi
oleh jajaran pegunungan seribu yang terlihat seperti pereng (tebing) berbaris.
Akhirnya ia menamai tempat bertapaannya itu dengan pereng yang kemudian berubah
menjadi parang. Di salah satu tempat bertapanya, ada bagian yang terdiri dari
tebing-tebing atau pereng yang rusak karena terkikis deburan ombak laut
selatan, sehingga ia menciptakan motif batik yang di beri nama dengan parang
Rusak.
Motif Kawung
Motif kawung berwarna lebih lembut di bandingkan dengan
batik-batik yang lain. Batik ini biasa di gunakan untuk melayat.
Keempat motif batik ini hanya dapat di gunakan bagi
keluarga keraton, dan tidak boleh di gunakan untuk rakyat jelata. Masih
terdapat banyak motif batik lainnya selain empat motif batik tersebut,
diantaranya adalah : motif bouquet,
motip ceplok, motif kelir, motif lereng, motif nitik, motif seling, motif sido
luhur, motif sogan, motif truntum, motif tumpal, motif udan liris, dan motif
wirasat. Untuk bahan kain, proses pembuatannya dan jenis produknya di
kelompokan menjadi beberapa kelompok utama, diantaranya:
·
Batik Cap
·
Batik Cap Sumatera
·
Batik Tulis Kombinasi Cap
·
Batik Tulis Sutera
·
Blus Sutera
·
Hem Batik
·
Kemeja Batik
·
Sarimbit
Proses
pembuatan Batik pada zaman dulu memang tidak main-main melibatkan seluruh
indera rasa karena batik merupakan warisan leluhur. Konon katanya, pada masa
kerajaan untuk membuat selembar kain batik, pembuat harus melakukan serangkaian
ritual terlebih dahulu seperti berpuasa dan bersemedi.
“Pada zaman PB III, mori atau kain yang akan dibatik
harus direndam dulu selama 40 hari 40 malam. Jadi, membuat batik itu tidak asal
jadi karena ada serangkaian ritual yang harus dilakukan agar auranya keluar,”
dilakukan untuk mendapatkan ilham dalam menciptakan motif batik. Dari laku
seperti inilah kenapa motif batik diyakini mengandung filosofi kata Wakil
Pengageng Sasono Wilopo Keraton Surakarta, Kanjeng Raden Arya Winarno Kusuma.
Penerapan batik larangan sudah tidak sekuat dulu akibat perkembangan zaman.
Bahkan motif-motif batik tersebut sedah banyak di pakai oleh masyarakat di luar
tembok keraton.
Filosofi Jawa
Zaman memang berubah. Namun bagi sebagian masyarakat
Jawa, pemakaian batik tetap saja untuk menandai setiap peristiwa penting dalam
kehidupan manusia, sejak lahir hingga mati. Artinya, beberapa motif batik hanya
bisa digunakan untuk peristiwa-peristiwa penting. Peristiwa kelahiran,
misalnya, sebaiknya jabang bayi dialasi dengan kain batik tua milik neneknya atau
kopohan yang berarti basah. Ini mengandung harapan agar si bayi berumur panjang
seperti sang nenek.
Untuk pernikahan, batik yang cocok dikenakan
mempelai adalah batik dengan motif yang berawalan sida, misalnya Sida Mulya,
Sida Luhur, Sida Asih, dan Sida Mukti. Motif Sida Mukti biasanya dipakai oleh
pengantin pria dan wanita pada acara perkawinan, dinamakan juga sawitan
(sepasang). Ada pula motif yang bukan sawitan kembar, tetapi biasanya dipakai
pasangan pengantin yaiu motif Ratu Ratih berpasangan dengan Semen Rama, yang
melambangkan kesetiaan seorang istri kepada suaminya.
Namun jika tak ada motif sida, mempelai bisa juga
mengenakan motif Truntum, Wahyu Tumurun, Semen Gurdha, Semen Rama dan Semen
Jlekithet. Masing-masing mengandung maksud agar kedua mempelai mendapat
kebahagiaan, kemakmuran dan menjadi orang terpandang. Namun sangat pamali jika
mempelai mengenakan motif Parang Rusak.Sebab, rumah tangganya kelak akan
hancur.
Sementara pada upacara perkawinan, orang tua
pengantin akan mengenakan motif Truntum, yang maknanya menuntun kedua mempelai
dalam memasuki liku-liku kehidupan baru yaitu berumah tangga. Dikenal juga
motif Sida Wirasat. Wirasat berarti nasehat, dan pada motif ini selalu terdapat
kombinasi motif truntum di dalamnya.
Motif Wirasat merupakan pengembangan dari motif Sida
Mulya, yang isinya terdiri dari bermacam–macam motif batik, antara lain motif
Cakar, Truntum, Sida Luhur, dan Sida Mulya. Makna motif ini, supaya dikabulkan
segala permohonannya, mencapai kedudukan tinggi, terpenuhi segala materi, juga
permohonan petunjuk dari Tuhan saat mendapat kegelapan agar cepat diberi jalan
yang terang. Motif ini muncul bersamaan dengan motif Sida Mukti pada masa PB IV
tahun 1800-an. Pada awalnya motif ini dipakai oleh golongan tua saja, tetapi
dalam perkembangannya motif ini didalam masyarakat sering dipakai orang tua
penganten putra dalam acara mbesan. Motif ini berpola geometris seperti batik
Sido Luhur, Sido Mukti dan berkaitan dengan kepercayaan kejawen. Dasar
pengertian ini adalah konsep kekuasaan dipercaya muncul dari alam semesta,
disamping dari kekuasaan manusia.
Simbol Status dan Pangkat
Motif batik gagrak Surakarta sangat erat kaitannya
dengan perjanjian Giyanti tahun 1755, yang memecah Kerajaan Mataram menjadi
dua: Surakarta dan Yogyakarta.
Dari perpecahan tersebut, seluruh busana (batik) keraton dibawa ke Yogyakarta. Sejak perpecahan itulah keraton Mataram Surakarta tidak mempunyai corak busana khas keraton, hingga kemudian Paku Buwono III memerintahkan untuk membuat motif batik Surakarta. Namun perkembanganan corak batik gagrak Surakarta yang pesat, justru mengakibatkan nilai-nilai filosofi, budaya, dan tatanan dalam penggunaan kain batik menjadi kabur; kain batik yang diperuntukkan bangsawan dan kawula menjadi tidak jelas.
Dari perpecahan tersebut, seluruh busana (batik) keraton dibawa ke Yogyakarta. Sejak perpecahan itulah keraton Mataram Surakarta tidak mempunyai corak busana khas keraton, hingga kemudian Paku Buwono III memerintahkan untuk membuat motif batik Surakarta. Namun perkembanganan corak batik gagrak Surakarta yang pesat, justru mengakibatkan nilai-nilai filosofi, budaya, dan tatanan dalam penggunaan kain batik menjadi kabur; kain batik yang diperuntukkan bangsawan dan kawula menjadi tidak jelas.
Sang Raja, PB III, pun membuat sejumlah aturan,
antara lain dengan mengeluarkan motif batik larangan. Yaitu motif batik
tertentu yang hanya boleh dipakai oleh kalangan keraton, dan rakyat jelata
dilarang memakainya. Inilah awal batik gagrak Surakarta mengenal tatanan berbusana
di dalam kehidupan masyarakat jawa, khususnya dibumi Mataram Surakarta
Hadiningrat).
Selain batik larangan, pihak keraton juga menjadikan
batik sebagai simbol status dan tanda kepangkatan pemakainya. Artinya, pada
tatanan masyarakat Keraton Surakarta tempo dulu, status sosial dan pangkat
seseorang bisa dilihat dari motif batik yang dikenakannya.
Nah, motif batik yang dipakai kalangan lingkungan kerajaan Surakarta tersebut, antara lain adalah:
Nah, motif batik yang dipakai kalangan lingkungan kerajaan Surakarta tersebut, antara lain adalah:
Batik Parangrusak. Motif ini dipakai oleh Kanjeng
Gusti Pangeran Aryo Adipati (KGPAA), Pangeran Putra, Pangeran Sentana dan
Sentana dalem yang berpangkat bupati riya nginggil yang bergelar KRMH.
Batik Udan Riris. Motif batik ini dipakai oleh
pepatih dalem. Batik Rejeng. Motif ini dikenakan para komandan prajurit (setingkat
Perwira Tinggi) dan duta keraton. Batik Tambal Kanoman. Batikan Kampuh atau
Dodotan para Bupati dan dijadikan seragam Bupati Anom dan juru tulis kantor di
lingkungan Kabupaten. Batik Semen Latar Putih. Motif ini di pakai oleh
Abdidalem yang berpangkat Bupati, Bupati Anom dalam dan luar.
Batik Padas Gempal. Motif ini di pakai para Abdi dalem
yang berpangkat Panewu/Mantri dari golongan sorogeni (prajurit Sorogeni, yang
berseragam merah) kebawah.
Batik Medhangan. Motif ini di pakai oleh para Panewu/Mantri ke bawah dari golongan Sangkragnyana. Batik Kumitir. Motif ini di gunakan oleh para Panewu/Mantri ke bawah dari golongan kanoman. Batik Tambal Miring. Motif ini di pakai oleh para Abdidalem yang berpangkat Panewu/Mantri dari golongan Juru Tulis.
Batik Medhangan. Motif ini di pakai oleh para Panewu/Mantri ke bawah dari golongan Sangkragnyana. Batik Kumitir. Motif ini di gunakan oleh para Panewu/Mantri ke bawah dari golongan kanoman. Batik Tambal Miring. Motif ini di pakai oleh para Abdidalem yang berpangkat Panewu/Mantri dari golongan Juru Tulis.
Batik Jamblang. Motif ini di pakai oleh para
Panewu/Mantri ke bawah dari golongan kadipaten Anom. Batik Ayam Puser. Motif
ini dipakai oleh para Abdidalem yg berpangkat Panewu/Mantri ke bawah dari
golongan Yogeswara atau Suranata atau Abdidalem Ulama.
Batik Slobog. Motif ini di gunakan oleh para Abdidalem Panewu/Mantri ke bawah dari golongan niyaga (penabuh gamelan).
Batik Slobog. Motif ini di gunakan oleh para Abdidalem Panewu/Mantri ke bawah dari golongan niyaga (penabuh gamelan).
Batik Wora wari Rumpuk. Motif ini di gunakan oleh
para Abdidalem Panewu/Mantri ke bawah dari golongan Pangrehpraja atau yang
membawahi wilayah. Batik Krambil Secukil. Motif ini di gunakan oleh para
Abdidalem Panewu/Mantri ke bawah, di bawah perintah Kepatihan. Kain Lurik
Perkutut. Merupakan kain yang di pergunakan Abdidalem berpangkat Jajar
Priyantaka. Kain Sindur. Merupakan kain yang di pergunakan Abdidalem
Krisdastawa atau Canthangbalung.
Referensi :
Buku:
Judul : Sejarah perkembangan seni lukis
batik Indonesia
Pengarang : Amri Yahya
Tebal : 58 halaman
Judul : Keterampilan
untuk kelas XI
Pengarang : Herny
Kusantati,dkk
Penerbit : Grafindo Media
Pratama
Tahun terbit : 2007
Tebal buku : 148 halaman
oleh: Lisya Erlin Nopiandini
pariwisata unj 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar