Kamis, 10 Januari 2013

UAS Sejarah Batik (museum Tekstil)



Sejarah Indonesia (UAS)
Museum Tekstil (Sejarah Batik)

          Museum tekstil berada di Jl. KS Tubun No.4 Petamburan, Jakarta Barat. Museum ini didirikan atas gagasan Kelompok Pencinta Kain Tradisional Indonesia (WASTRAPREMA), bapak Ir.Safioen (selaku Dirjen Tekstil Departemen Perindustrian saat itu) dan di dukung oleh Bapak Ali Sadikin (gubernur DKI Jakarta pada saat itu). Museum tekstil di resmikan oleh Ibu Tien Soeharto (Ibu Negara pada masanya) dan di saksikan oleh Bapak Ali Sadikin pada tanggal 28 Juni 1976.
            Koleksi awal Museum Tekstil di dapat dari sumbangan Wastraprema dengan jumlah sekitar 500 koleksi, semakin lama semakin bertambah koleksi Museum Tekstil melalui pembelian oleh Dinas Museum dan Sejarah atau Dinas Museum dan Pemugaran atau Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, serta sumbangan dari masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Hingga saat ini koleksi Museum Tekstil berjumlah 1914 buah. Salah satu koleksi di museum tekstil adalah Batik. Di museum tekstil selain terdapat kain batiknya, kita juga dapat melihat proses pembuatan batik.
Sejarah Batik
            Sejarah pembatikan di Indonesia berkaitan dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Perkembangan batik banyak di lakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.
Kesenian batik di Indonesia di kenal sejak zaman Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Pada akhir abad ke XVIII atau awal abad ke XIX kesenian batik mulai meluas dan menjadi milik rakyat Indonesia khususnya suku Jawa. Pada awalnya batik yang di kenala hanyalah batik tulis hingga abad ke XX, sedangkan batik cap baru di kenal setelah perang dunia ke satu selesai atau sekitar tahun 1920. Hubungannya dengan penyebaran ajaran agama Islam adalah banyak daerah-daerah pusat pembatikan di jawa merupakan daerah-daerah santri. Pada saat itu, batik menjadi alat perjuangan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atau kain untuk pakaian yang menjadi satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Pada awalnya batik di kerjakan hanya terbatas dalam keraton dan hasilnya hanya untuk pakaian raja, keluarga dan pengikut raja saja. Kemudian banyak pengikut raja yang tinggal di luar keraton, maka di kerjakan di tempat atau rumah mereka masing-masing.
Semakin lama kesenian batik ini di tiru oleh rakyat yang tinggal di dekat keraton, lalu semakin meluas dan menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu luang. Batik yang semula hanya di pakai oleh keluarga keraton menjadi pakaian rakyat yang di gemari laki-laki maupun wanita. Bahan-bahan yang di gunakan untuk membuat batik saat itu merupakan hasil sendiri seperti kain putih yang di gunakan merupakan hasil tenunan sendiri. Bahan-bahan pewarna yang di pakai juga berasal dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang di buat sendiri, contohnya dari pohon mengkudu, tinggi, soga, nila. Bahan sodanya di buat sendiri dari soda abu, serta garamnya berasal dari tanah lumpur.
Batik Yogyakarta adalah salah satu batik dari Indonesia yang awlnya di buat terbatas hanya untuk kalangan keluarga keraton saja. Motif yang terdapat pada batik Yogyakarta mengandung makna dan cerita. Itu adalah salah satu yang menjadi pembeda antara batik Yogyakarta dengan batik yang lain, yang menjaga batik Yogyakarta tetap memiliki eksklusifitas dari sebuah mahakarya seni dan budaya Indonesia.
Motif batik khususnya di jawa tengah terutama Solo dan Yogyakarta setiap gambar memiliki makna karena setiap motif pada batik tradisional klasik selalu memiliki filosofi masing-masing. Filosofi ini berkaitan dalam kebudayaan Hindu Jawa. Ada beberapa motif tertentu yang di anggap sakrel dan hanya dapat di pakai pada kesempatan atau periwstiwa tertentu. Fungsi kain batik di lingkungan keraton hanya di gunakan sebagai kain bawahan atau bukan di gunakan untuk gaun atau kemeja. Setiap motif batik keraton juga mempunyai arti masing-masing.
Ini adalah beberapa contoh motif dan artinya :
Motif Sida Mukti
Motif Sida Mukti berarti “menjadi berkecukupan, makmur” secara harfiah, dan motif ini hanya boleh di gunakan oleh kalangan keluarga keraton.
Motif Wahyu Tuurun
Motif ini berarti turunnya wahyu, yang hanya boleh di gunakan pada saat upacara Jumenengan atau perayaan ulang tahun naik tahta.
Motif Parang
Motif parang bernuansa cukup ramai biasanya di pakai untuk acara pesta atau menghadiri suatu perayaan. Motif ini di ciptakan oleh pendiri kerajaan Mataram yang bernama Panembahan Senopati. Ada mitos yang menyebutkan bahwa sang raja sering bertapa di sepanjang pesisir pantai selatan pulau Jawa yang di penuhi oleh jajaran pegunungan seribu yang terlihat seperti pereng (tebing) berbaris. Akhirnya ia menamai tempat bertapaannya itu dengan pereng yang kemudian berubah menjadi parang. Di salah satu tempat bertapanya, ada bagian yang terdiri dari tebing-tebing atau pereng yang rusak karena terkikis deburan ombak laut selatan, sehingga ia menciptakan motif batik yang di beri nama dengan parang Rusak.
Motif Kawung




            Motif kawung berwarna lebih lembut di bandingkan dengan batik-batik yang lain. Batik ini biasa di gunakan untuk melayat.
            Keempat motif batik ini hanya dapat di gunakan bagi keluarga keraton, dan tidak boleh di gunakan untuk rakyat jelata. Masih terdapat banyak motif batik lainnya selain empat motif batik tersebut, diantaranya adalah :  motif bouquet, motip ceplok, motif kelir, motif lereng, motif nitik, motif seling, motif sido luhur, motif sogan, motif truntum, motif tumpal, motif udan liris, dan motif wirasat. Untuk bahan kain, proses pembuatannya dan jenis produknya di kelompokan menjadi beberapa kelompok utama, diantaranya:
·         Batik Cap
·         Batik Cap Sumatera
·         Batik Tulis Kombinasi Cap
·         Batik Tulis Sutera
·         Blus Sutera
·         Hem Batik
·         Kemeja Batik
·         Sarimbit
Proses pembuatan Batik pada zaman dulu memang tidak main-main melibatkan seluruh indera rasa karena batik merupakan warisan leluhur. Konon katanya, pada masa kerajaan untuk membuat selembar kain batik, pembuat harus melakukan serangkaian ritual terlebih dahulu seperti berpuasa dan bersemedi.
“Pada zaman PB III, mori atau kain yang akan dibatik harus direndam dulu selama 40 hari 40 malam. Jadi, membuat batik itu tidak asal jadi karena ada serangkaian ritual yang harus dilakukan agar auranya keluar,” dilakukan untuk mendapatkan ilham dalam menciptakan motif batik. Dari laku seperti inilah kenapa motif batik diyakini mengandung filosofi kata Wakil Pengageng Sasono Wilopo Keraton Surakarta, Kanjeng Raden Arya Winarno Kusuma. Penerapan batik larangan sudah tidak sekuat dulu akibat perkembangan zaman. Bahkan motif-motif batik tersebut sedah banyak di pakai oleh masyarakat di luar tembok keraton.
Filosofi Jawa
Zaman memang berubah. Namun bagi sebagian masyarakat Jawa, pemakaian batik tetap saja untuk menandai setiap peristiwa penting dalam kehidupan manusia, sejak lahir hingga mati. Artinya, beberapa motif batik hanya bisa digunakan untuk peristiwa-peristiwa penting. Peristiwa kelahiran, misalnya, sebaiknya jabang bayi dialasi dengan kain batik tua milik neneknya atau kopohan yang berarti basah. Ini mengandung harapan agar si bayi berumur panjang seperti sang nenek.
Untuk pernikahan, batik yang cocok dikenakan mempelai adalah batik dengan motif yang berawalan sida, misalnya Sida Mulya, Sida Luhur, Sida Asih, dan Sida Mukti. Motif Sida Mukti biasanya dipakai oleh pengantin pria dan wanita pada acara perkawinan, dinamakan juga sawitan (sepasang). Ada pula motif yang bukan sawitan kembar, tetapi biasanya dipakai pasangan pengantin yaiu motif Ratu Ratih berpasangan dengan Semen Rama, yang melambangkan kesetiaan seorang istri kepada suaminya.
Namun jika tak ada motif sida, mempelai bisa juga mengenakan motif Truntum, Wahyu Tumurun, Semen Gurdha, Semen Rama dan Semen Jlekithet. Masing-masing mengandung maksud agar kedua mempelai mendapat kebahagiaan, kemakmuran dan menjadi orang terpandang. Namun sangat pamali jika mempelai mengenakan motif Parang Rusak.Sebab, rumah tangganya kelak akan hancur.
Sementara pada upacara perkawinan, orang tua pengantin akan mengenakan motif Truntum, yang maknanya menuntun kedua mempelai dalam memasuki liku-liku kehidupan baru yaitu berumah tangga. Dikenal juga motif Sida Wirasat. Wirasat berarti nasehat, dan pada motif ini selalu terdapat kombinasi motif truntum di dalamnya.

Motif Wirasat merupakan pengembangan dari motif Sida Mulya, yang isinya terdiri dari bermacam–macam motif batik, antara lain motif Cakar, Truntum, Sida Luhur, dan Sida Mulya. Makna motif ini, supaya dikabulkan segala permohonannya, mencapai kedudukan tinggi, terpenuhi segala materi, juga permohonan petunjuk dari Tuhan saat mendapat kegelapan agar cepat diberi jalan yang terang. Motif ini muncul bersamaan dengan motif Sida Mukti pada masa PB IV tahun 1800-an. Pada awalnya motif ini dipakai oleh golongan tua saja, tetapi dalam perkembangannya motif ini didalam masyarakat sering dipakai orang tua penganten putra dalam acara mbesan. Motif ini berpola geometris seperti batik Sido Luhur, Sido Mukti dan berkaitan dengan kepercayaan kejawen. Dasar pengertian ini adalah konsep kekuasaan dipercaya muncul dari alam semesta, disamping dari kekuasaan manusia.
Simbol Status dan Pangkat
Motif batik gagrak Surakarta sangat erat kaitannya dengan perjanjian Giyanti tahun 1755, yang memecah Kerajaan Mataram menjadi dua: Surakarta dan Yogyakarta.
Dari perpecahan tersebut, seluruh busana (batik) keraton dibawa ke Yogyakarta. Sejak perpecahan itulah keraton Mataram Surakarta tidak mempunyai corak busana khas keraton, hingga kemudian Paku Buwono III memerintahkan untuk membuat motif batik Surakarta. Namun perkembanganan corak batik gagrak Surakarta yang pesat, justru mengakibatkan nilai-nilai filosofi, budaya, dan tatanan dalam penggunaan kain batik menjadi kabur; kain batik yang diperuntukkan bangsawan dan kawula menjadi tidak jelas.
Sang Raja, PB III, pun membuat sejumlah aturan, antara lain dengan mengeluarkan motif batik larangan. Yaitu motif batik tertentu yang hanya boleh dipakai oleh kalangan keraton, dan rakyat jelata dilarang memakainya. Inilah awal batik gagrak Surakarta mengenal tatanan berbusana di dalam kehidupan masyarakat jawa, khususnya dibumi Mataram Surakarta Hadiningrat).
Selain batik larangan, pihak keraton juga menjadikan batik sebagai simbol status dan tanda kepangkatan pemakainya. Artinya, pada tatanan masyarakat Keraton Surakarta tempo dulu, status sosial dan pangkat seseorang bisa dilihat dari motif batik yang dikenakannya.
Nah, motif batik yang dipakai kalangan lingkungan kerajaan Surakarta tersebut, antara lain adalah:
Batik Parangrusak. Motif ini dipakai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati (KGPAA), Pangeran Putra, Pangeran Sentana dan Sentana dalem yang berpangkat bupati riya nginggil yang bergelar KRMH.
Batik Udan Riris. Motif batik ini dipakai oleh pepatih dalem. Batik Rejeng. Motif ini dikenakan para komandan prajurit (setingkat Perwira Tinggi) dan duta keraton. Batik Tambal Kanoman. Batikan Kampuh atau Dodotan para Bupati dan dijadikan seragam Bupati Anom dan juru tulis kantor di lingkungan Kabupaten. Batik Semen Latar Putih. Motif ini di pakai oleh Abdidalem yang berpangkat Bupati, Bupati Anom dalam dan luar.
Batik Padas Gempal. Motif ini di pakai para Abdi dalem yang berpangkat Panewu/Mantri dari golongan sorogeni (prajurit Sorogeni, yang berseragam merah) kebawah.
Batik Medhangan. Motif ini di pakai oleh para Panewu/Mantri ke bawah dari golongan Sangkragnyana. Batik Kumitir. Motif ini di gunakan oleh para Panewu/Mantri ke bawah dari golongan kanoman. Batik Tambal Miring. Motif ini di pakai oleh para Abdidalem yang berpangkat Panewu/Mantri dari golongan Juru Tulis.
Batik Jamblang. Motif ini di pakai oleh para Panewu/Mantri ke bawah dari golongan kadipaten Anom. Batik Ayam Puser. Motif ini dipakai oleh para Abdidalem yg berpangkat Panewu/Mantri ke bawah dari golongan Yogeswara atau Suranata atau Abdidalem Ulama.
Batik Slobog. Motif ini di gunakan oleh para Abdidalem Panewu/Mantri ke bawah dari golongan niyaga (penabuh gamelan).
Batik Wora wari Rumpuk. Motif ini di gunakan oleh para Abdidalem Panewu/Mantri ke bawah dari golongan Pangrehpraja atau yang membawahi wilayah. Batik Krambil Secukil. Motif ini di gunakan oleh para Abdidalem Panewu/Mantri ke bawah, di bawah perintah Kepatihan. Kain Lurik Perkutut. Merupakan kain yang di pergunakan Abdidalem berpangkat Jajar Priyantaka. Kain Sindur. Merupakan kain yang di pergunakan Abdidalem Krisdastawa atau Canthangbalung.
Referensi :
                                                      



Buku:
Judul               : Sejarah perkembangan seni lukis batik Indonesia
Pengarang       : Amri Yahya
Tebal               : 58 halaman

Judul               : Keterampilan untuk kelas XI
Pengarang       : Herny Kusantati,dkk
Penerbit           : Grafindo Media Pratama
Tahun terbit     : 2007
Tebal buku      : 148 halaman

oleh: Lisya Erlin Nopiandini
pariwisata unj 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar