UAS SEJARAH INDONESIA
ADINDA YULIANA PUTRI
4423126856
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
PRGRAM STUDI USAHA JASA PARIWISATA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
BIOGRAFI JOHN LIE
pahlawanan seorang tokoh
keturunan Tionghoa, yang pernah berdinas di angkatan laut pada jaman penjajahan
dulu. Ia bernama John Lie yang lahir 9 Maret di tahun 1911 di Menado. Dia
tertarik menjadi angkatan laut, karena ia mengawali pekerjaannya sebagai buruh
pelabuhan dan kemudian dia bergabung di Angkatan Laut Republik Indonesia hingga
dia memperoleh pangkat terakhir Laksaman Muda. Sebagai angkatan laut dia banyak
bertugas dalam mengamankan kapal pengangkut komoditas ekspor Indonesia ke luar
negeri. Karena berhasil menerobos hadangan pasukan Belanda, secara rutin dia
mengawal hasil bumi ke Singapura.
John Lie atau Laksamana Muda TNI
Jahja Daniel Dharma, tidak kita kenal melalui pelajaran sejarah di sekolah.
Kita baru mengenalnya kembali ketika pada 9 November 2009, Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya.
John Lie adalah orang yang bertugas di Angkatan Laut Sekutu (1942-1944) karena
itulah ia mendapat pelatihan-pelatihan kelautan dipangkalan laut di Inggris di
teluk persia. Yang membuatnya makin matang dalam bidang kelautan, yaitu
pengetahuan senjata, bongkar pasang dan pemeliharaan senjata, taktik perang
dilaut, prosedur administrasi kapal, logistik, sistem komunikasi dan morse,
pengenalan jenis-jenis kapal sekutu, pengetahuan ranjau.
Setelah perang dunia II berakhir, proklamasi kemerdekaan Indonesia menarik
pemuda-pemuda termasuk John Lie untuk kembali ke Indonesia pada Februari 1946
yang diusahakannya bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS).
Kemudian John Lie diangkat di ALRI dengan Kelasi III. Dengan tugas menunjukkan
kecermelangan dan kematangan dibidang kelautan. Termasuk mengamankan pelabuhan
Cilacap dari ranjau-ranjau yang ditanam dan melatih kader pemuda Indonesia
dalam bidang kelautan.
Kita lebih mengenal perjuangannya melalui “the outlaw” (pembangkang), sebuah
speed boat RI yang berhasil yang berhasil menembus blockade Belanda. Pada
kalangan koresponden barat ia di kenal sebagai “the guns and bibles smuggler”.
Ia juga turut terlibat dalam operasi militer dalam mempertahankan kemerdekaan
Indonesia dari pembrontakan-pembrontakan, seperti RMS (republic Maluku Selatan)
dan lain-lain. Dan pada tanggal 30 Agustus 1966 John Lie mengganti namanya
dengan Jahja Daniel dan wafat pada tahun 1988.
Semasa pension ia aktif dalam pelayanan gereja dan kaum gelandagan. Bagi John
Lie tugas yang dilakukannya bukan hanya menjalankan “the outlaw” sesuai misi.
Suatu waktu ada yang membawa titipan dari wakil presiden RI Moh. Hatta untuk
Mayor John Lie sebesar 5.600 ringgit dalam bentuk cek dengan pesan “ kiriman
senjata dan peluru semua sudah diiterima dengan selamat”. Semua the outlaw
bangga karena mereka mendapat perhatian dan perhargaan dari wakil presiden.
Pada 1949 merupakan pelayaran terakhir yang
dilakukan John Lie bersama anak buah kapalnya. Mereka berlayar dari Aceh ke
Phuket. Di Bangkok ia mendapat tugas baru mencari dan mengumpulkan lebih banyak
senjata dan keperluan militer lainnya. The Outlaw kemudia di pinpin oleh Letnan
Laut O.P Kusno, seorang pelaut yang juga berpengalaman.
John Lie bukan orang Indonesia, mungkin Melayu,
mungkin Tionghoa, atau mungkin Tionghoa Melayu, juga bukan sejarah Partai
Komunis. Dan John Lie dan Fransisca C. Fanggidaej yaitu seorang perempuan
perjuangan yang pernah bergabung dengan sekelompok intelektual muda Maluku di
Surabaya, duduk sebagai anggota parlementer sesudah tahun 1956.
PENYELUDUPAN DENGAN AL-KITAB
John Lie dikenal sebagai pejuang
yang rohani. Ia mendapat julukan "The Smuggler With The Bible" atau
penyelundup dengan Alkitabnya. Kapalnya "The OutLaw" hampir dipenuhi
dengan ayat-ayat dari Alkitab dan ke mana-mana ia pergi Alkitab tidak pernah
lepas dari tangannya. Ini bermakna betapa John Lie dalam setiap tindak-tanduk
dan perbuatan selalu bersandar kepada Tuhan. Ia takut berpisah atau terlampau
jauh dari Tuhannya sehingga ia selalu ingin berdekatan dengan Alkitab sesuai
imannya.
Pernah dikisahkan dalam sebuah
kesempatan, John Lie pada saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia
ditangkap perwira Inggris. Namun di pengadilan Singapura, ia dibebaskan karena
tidak terbukti bersalah. Dalam kesempatan lain, ia mengalami peristiwa
menegangkan saat membawa senjata semi otomatis dari Johor ke Sumatera, dihadang
pesawat terbang patroli Belanda. Dua penembak, seorang berkulit putih dan
seorang berkulit gelap mengarahkan senjata ke kapal mereka. Entah mengapa,
komandan Belanda tidak mengeluarkan perintah tembak dan pesawat itu
meninggalkan kapal John Lie. Barangkali ini adalah sebuah mujizat bagi seorang
pejuang yang sangat rohani. John Lie juga terlibat dalam penumpasan RMS, DI/TII
dan PRRI/PermestaIa lahir dari pasangan suami isteri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng
Nie Nio. Awalnya beliau bekerja sebagai mualim kapal pelayaran niaga milik
Belanda KPM lalu bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS)
sebelum akhirnya diterima di Angkatan Laut RI. Semula ia bertugas di Cilacap
dengan pangkat Kapten. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil
membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Atas jasanya,
pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor.
KARIER
ANGKATAN LAUT
Pada masa revolusi fisik
1945-1949, mereka juga ikut berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Salah satunya adalah perjuangan Mayor
John Lie yang akan dikisahkan berikut ini.
Adanya dicapai kesepakatan
mutlak, itu tidak akan tercapai. Namun adanya pahlawan nasional dari etnis Tionghoa
justru sangat penting bagi masyarakat Indonesia keseluruhan yang bisa melihat
bahwa etnis Tionghoa itu sama dengan etnis lain di Tanah Air sama-sama berjuang
untuk kemerdekaan bangsa.
John Lie adalah sosok legendaris
dalam organisasi penyelundup senjata yang terentang dari Filipina sampai India.
Jaringan ini punya kantor rahasia di Manila, Singapura, Penang, Bangkok, Rangon
dan New Delhi
Untuk mempertahankan kedaulatan
Republik Indonesia yang masih sangat muda, kepemilikan senjata api adalah hal
mutlak. Bahkan dalam perjanjian gencatan senjata Agresi Militer Belanda
I, Perdana Menteri Hatta menegaskan bahwa gencatan senjata tidak termasuk
impor dan ekspor senjata oleh Republik.
Belanda tetap memberlakukan
blokade terhadap Indonesia dalam rangka menghalangi kemerdekaan bekas
jajahannya. Menyiasatinya, senjata diperjualbelikan dengan menembus blokade
Belanda itu. Dari sanalah karier penyelundup John Lie mencapai puncaknya.
Meskipun Republik muda itu tak punya dana, Lie berhasil mendapatkan senjata dengan
cara barter dengan hasil bumi.
Menurut buku “The Indonesian
Revolution and The Singaporean Connection”, harga senjata bervariasi. Tahun
1948, penyelundup menjual dua karabin dan ribuan magasin dengan bayaran satu
ton teh. Satu senapan mesin dan ribuan magasin dihargai 2,5 ton teh, enam ton
teh bisa digunakan untuk membeli enam senjata anti pesawat udara beserta ribuan
magasinnya.
John Lie adalah legenda. Menurut
laporan majalah Life yang terbit pada 26 September 1949, kapal Lie yang
panjangnya 110 kaki (34 meter) selalu lolos dari patroli Belanda. Mengingat
kapal itu tak dilengkapi senjata, meloloskan diri bukan perkara mudah. Kapal
kerap dikejar sepanjang Selat Malaka, tak jarang dibombardir dengan peluru dan
bom. Empat kapal lain yang sejenis telah dihancurkan Belanda.
Kapten Lie yang saat itu berusia
39 tahun, punya siasat. Kapal hitam dengan nomor registrasi PPB 58 LB itu
disembunyikannya di teluk-teluk kecil sepanjang Sumatera dengan ditutupi
dedaunan. Lie dan krunya lalu menunggu dalam diam hingga kapal dan pesawat
Belanda menghentikan pencariannya.
Lie bergerak dengan bantuan
belasan krunya, semuanya anak muda dengan usia rata-rata 21 tahun. Mereka
bekerja tanpa dibayar demi patriotisme kepada Republik Indonesia. Mereka bolak
-balik membeli senjata, dan menukarnya dengan hasil bumi, seperti teh, karet
dan kopi.
John Lie adalah penganut Kristen
yang taat. Dalam misinya dia selalu membawa dua Injil. Satu berbahasa Inggris
dan satu Belanda. Meski demikian dia tak pilih-pilih; sering juga dia memasok senjata
bagi para pejuang Muslim di Aceh.
Kepada wartawan majalah Life,
Roy Rowan, Lie menyatakan sumpahnya "menjalankan kapal ini untuk Tuhan,
negara dan kemanusiaan." Cita-citanya hanya satu: mengubah Indonesia
yang saat itu adalah hutan belantara, menjadi taman surga. Menurutnya, tugas
mengubah Indonesia menjadi surga adalah takdir Tuhan untuknya.
Pada Desember 1966 Lie
mengakhiri kariernya di TNI Angkatan Laut dengan pangkat terakhir Laksamana
Muda. Sebelum itu, pada Agustus 1966 dia mengganti nama menjadi Jahja Daniel
Dharma. Lie meninggal karena sakit pada 27 Agustus 1988.
Tahun 2009, 21 tahun setelah
kematiannya, John Lie dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.
Sebagai
penyelundup
Ia lalu ditugaskan mengamankan
pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan
di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis. Pada
masa awal (tahun 1947), ia pernah mengawal kapal yang membawa karet 800 ton
untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan. Sejak
itu, ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau
hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang
mereka peroleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatera
seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan
mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus
menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka
gunakan.
Untuk keperluan operasi ini,
John Lie memiliki kapal kecil cepat, dinamakan the Outlaw. Seperti dituturkan
dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit sebanyak
15 kali ia melakukan operasi "penyelundupan". Pernah saat membawa 18
drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris. Di pengadilan di
Singapura ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum. Ia juga
mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semiotomatis dari Johor ke
Sumatera, dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie mengatakan,
kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi
berkulit gelap tampaknya berasal dari Maluku, mengarahkan senjata ke kapal
mereka. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu
lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin persediaan bahan bakar
menipis sehingga mereka buru-buru pergi.
Setelah menyerahkan senjata
kepada Bupati Usman Effendi dan komandan batalyon Abusamah, mereka lalu mendapat
surat resmi dari syahbandar bahwa kapal the Outlaw adalah milik Republik
Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu kemudian John Lie kembali
ke Port Swettenham di Malaya untuk mendirikan pangkalan AL yang menyuplai bahan
bakar, bensin, makanan, senjata, dan keperluan lain bagi perjuangan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
AKHIR
KARIER MILITER
Pada
awal 1950 ketika ada di Bangkok, ia dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL
Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada masa
berikut ia aktif dalam penumpasan RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku lalu
PRRI/Permesta. Ia mengakhiri pengabdiannya di TNI Angkatan Laut pada Desember
1966 dengan pangkat terakhir Laksamana Muda.
John
Lie atau Laksamana Muda TNI Jahja Daniel Dharma, tidak kita kenal melalui
pelajaran sejarah di sekolah. Kita baru mengenalnya kembali ketika pada 9 November
2009, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan
Nasional kepadanya.
Meski
Indonesia telah merdeka tahun 1945, pengangkatan pahlawan nasional baru dimulai
sejak tahun 1959. Sampai sekarang tercatat lebih dari 100 pahlawan yang berasal
dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.Dalam waktu lebih 30 tahun, etnis
Tionghoa tidak disebut dalam pelajaran sejarah Indonesia. Aneka peringatan atau
pertunjukan kultural yang berbau Tionghoa tidak pernah ditampilkan di depan
umum.
Baru
pada era reformasi keadaannya berangsur berubah. Perayaan Imlek, misalnya,
diakui sebagai hari libur fakultatif (masa Presiden Abdurrahman Wahid) dan
libur resmi (era kepemimpinan Mega). Barongsai dipertunjukkan di mana-mana.
Sejarah kelenteng diulas di televisi.Tampaknya, perjalanan warga Tionghoa masih
panjang untuk mendapatkan kedudukan yang sederajat dengan etnis lain di Tanah
Air. Diskriminasi di bidang hukum masih berlaku terhadap etnis Tionghoa.
Tidak
kalah, diskriminasi di bidang sejarah. Sumbangan amat besar etnis Tionghoa
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi selama berabad-abad di Nusantara tidak
pernah diajarkan kepada siswa. Perlu dicatat, etnis Tionghoa berjuang melawan
Belanda. Di Kalimantan Barat, seperti diteliti sejarawan UGM Harlem Siahaan,
kongsi Tionghoa pernah mengangkat senjata terhadap Belanda.
HAMPIR
REDUP DIMAKAN LUPA
Salah
seorang tokoh etnis Tionghoa yang berjasa kepada Republik ini adalah John Lie
atau Laksamana Muda TNI Jahja Daniel Dharma, tidak kita kenal melalui pelajaran
sejarah di sekolah. Kita baru mengenalnya kembali ketika pada 9 November 2009,
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional
kepadanya.
Laksamana
Muda TNI (Purn) John Lie atau yang lebih dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma (lahir
di Manado, Sulawesi Utara, 9 Maret 1911 – meninggal di Jakarta, 27 Agustus 1988
pada umur 77 tahun) adalah salah seorang perwira tinggi di Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Laut dari etnis Tionghoa dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia
lahir dari pasangan suami isteri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio. Awalnya
beliau bekerja sebagai mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM lalu
bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) sebelum akhirnya
diterima di Angkatan Laut RI. Semula ia bertugas di Cilacap dengan pangkat
Kapten. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil membersihkan ranjau
yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Atas jasanya, pangkatnya
dinaikkan menjadi Mayor.
Sosok
nama John Lie relatif kurang dikenal juga di kalangan warga Tionghoa khususnya
generasi mudanya. Buku-buku sejarah resmi terbitan pemerintah yang dipakai di
sekolah, tidak menyebut nama dan peran Lie. Penulis buku - Solichin Salam
membuat buku buku berjudul "John Lie Penembus Blokade Kapal-Kapal Kerajaan
Belanda" yang terbit pada tahun 1988. Kisah perjuangan Lie berjudul
"Dari Pelayaran Niaga ke Operasi Menembus Blokade Musuh Sebagaimana Pernah
Diceritakannya kepada Wartawan" dimuat dalam buku "Memoar Pejuang
Republik Seputar 'Zaman Singapura' 1945 - 1950" yang ditulis Kustiniyati
Mochtar, Gramedia Pustaka Utama (2002).
Karena
sedikitnya pustaka mengenai Lie, tidak mengherankan namanya semakin redup
dimakan lupa. Oleh karena itu usaha M. Nursam menulis buku "Memenuhi
Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda John Lie" (2008) yang
diterbitkan Penerbit Ombak, Yogyakarta dan Yayasan Nabil, Jakarta, patut diberi
penghargaan.
Buku
ini dibangun dari berbagai sumber antara lain wawancara dengan keluarga,
kerabat dan teman-teman Lie antara lain Laksamana Sudomo, bawahannya semasa di
TNI AL. Sealin itu berasal dari wawancara John Lie dengan wartawan dan berita
tentangnya yang dimuat di media masa seperti Majalah Life (26 Oktober 1949),
Majalah Star Weekly (1956), Majalah Masa dan Dunia (1955), dan Harian Suara
Pembaruan (1988).
Artikel
berjudul "Guns and Bibles are Smuggled to Indonesia" ditulis oleh
wartawan Life bernama Roy Rowan. Oleh M. Nursam artikel ini dimuat seutuhnya.
Artikel tersebut ditulis berdasarkan wawancara dengan Lie. Pada 1949 Lie masih
menjalankan tugasnya sebagai penyelundup. Dari Sumatera sebagai nahkoda kapal
PBB 58 LB ia menembus blokade Belanda menuju Singapura, Malaysia dan Thailand
membawa hasil bumi Indonesia untuk ditukar dengan senjata yang diperlukan untuk
perjuangan melawan Belanda. Lie dicari-cari belanda untuk ditangkap meski
lolos. Kapal yang dinahkodainya sering juga disebut The Outlaw.
John
Lie, pahlawan Nasional yang berasal dari TNI Angkatan Laut. Presiden RI memberi
penganugerahan gelar itu kepada Laksamana Muda TNI (Purn) Jahja Daniel Dharma,
yang lebih dikenal sebagai John Lie. Penganugerahan dilakukan di Istana Negara
dalam rangka hari pahlawan
Selama
perang kemerdekaan, John Lie, kelahiran Manado, 9 Maret 1911, dikenal sebagai
pelaut yang berhasil menembus blokade tentara Belanda di seputar Selat Malaka.
Tugasnya menyelundupkan hasil bumi ke Malaysia untuk ditukar dengan senjata
untuk keperluan perjuangan tentara Indonesia. Sebagai tentara TNI Angkatan
Laut, ia adalah panglima kapal perang dalam tugas menumpas pemberontakan PRRI dan
RMS (Intisari, Juli 2009).
Pengusulan
gelar pahlawan dilakukan Yayasan Nabil, atas pemikiran salah satu anggota dewan
pakarnya, Dr. Asvi Warman Adam, yang dirintis sejak tahun 2003. Tahapan dimulai
dengan penulisan buku biografi John Lie Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi oleh M.
Nursam, seminar tentang kepalawanan John di Jakarta dan Manado pada awal tahun
2009, hingga pengusulan kepada Pemerintah RI melalui Badan Pembina Pahlawan
Daerah Sulawesi Utara.
Menariknya,
John Lie (meninggal 27 Agustus 1998) juga tercatat sebagai salah satu pahlawan
keturunan Tionghoa. Dilahirkan sebagai John Lie Tjeng Tjoan, merupakan anak
kedua dari pasangan Lie Kae Tae dan Maryam Oei Tjeng Nie Nio. John generasi
kelima dari leluhur yang datang dari Fuzhou dan Xiamen yang menetap di Minahasa
sejak tahun 1790.
DOKUMENTASI DI MUSEUM BAHARI
SUMBER
INFORMASI :·
- buku ” Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda John Lie”
- buku “Peranakan Idealis dari Lie Eng Hok Sampai Teguh Karya”
- buku ‘Memoar Perempuan Revolusioner Fransisca F. Fanggidaej
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar