UAS SEJARAH INDONESIA
NAMA : Lingga Diamanti .D
NO REGISTRASI : 4423125304
PRODI : Usaha Jasa Pariwisata 2012
JURUSAN : Sejarah
Museum
Tekstil menempati
gedung tua di Jalan K.S. Tubun / Petamburan No. 4 Tanah Abang, Jakarta Barat
Museum
Tekstil, Tampak Muka
Gedungnya
sendiri pada mulanya adalah rumah pribadi seorang warga negara Perancis yang dibangun pada abad ke-19. Kemudian dibeli oleh konsul
Turki bernama Abdul Azis Almussawi Al Katiri yang menetap di Indonesia. Selanjutnya tahun 1942
dijual kepada Dr. Karel Christian Cruq.
Di masa
perjuangan kemerdekaan Indonesia, gedung ini menjadi markas Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan tahun 1947
didiami oleh Lie Sion Pin. Pada tahun 1952
dibeli oleh Departemen
Sosial dan pada tanggal 25 Oktober 1975
diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta yang untuk kemudian pada tanggal 28 Juni 1976
diresmikan penggunaannya oleh Ibu Tien Soeharto sebagai Museum Tekstil.
Koleksi yang
disimpan di Museum Tekstil adalah benda-benda koleksi yang ada hubungannya
dengan dunia pertekstilan khususnya tekstil yang berasal dari kawasan Nusantara
dari akhir abad ke-18 sampai masa kini, namun kebanyakan dari paruh pertama di
abad ke-20. Saat ini koleksi Museum Tekstil berjumlah 1914 koleksi yang terdiri
dari wastra, busana dan peralatan tekstil.
Koleksi
museum tekstil dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu:
- Koleksi
Kain Tenun
- Koleksi
Kain Batik
- Koleksi
Kontemporer
- Koleksi
Campuran
- Koleksi
Peralatan Pembuatan Batik / Tenun / dll.
“Macan Ali” adalah Bendera sekaligus lambang
Kebesaran Keraton Cirebon, bentuknya berupa kaligrafi arab yang mengikuti
bentuk piktogram stilasi dari“Macan Duduk”. Sering ditemukan di Lukisan
Kaca seniman Cirebon.
Di Keraton Pakungwati Cirebon (keraton awal) pernah
dibentuk sepasukan khusus berjumlah 12 orang yang dapat berubah wujud menjadi
macan. Keraton memberikan “jubah & Bandrang (Kepala Tombak)” sebagai tanda.
Kalau mau berubah dengan memakai jubah itu, pasukan ini tidak muncul
sembarangan, hanya kalau Cirebon terancam bahaya saja. Tandanya Cirebon bahaya
adalah apabila “Kantil” atau Kurung Batang di Astana Gunung.Jati yang berlapis
emas raib, terbang, atau bergoncang.
Pasukan ini
berlanjut diwariskan ke ahli warisnya sampai sekarang, konon pemunculannya
hanya di bulan Mulud dan di tempat keramat yang ditunjuk. Sekarang sudah
berkurang jumlahnya mungkin cuman 5 saja. Menurut cerita lain kalau bulan Mulud
suka muncul di Petilasan Tapak Semar (arah barat hutan Astana Gunung Jati).
Waktu ribut2 tahta di Keraton Kanoman dulu, muncul di sumur tujuh Jalatunda,
menurut orang yang melihat bentuknya orang bergamis, berjalan agak merangkak
lama kelamaan berkelebat jadi macan menghilang. Tiap anggota punya nama dan
pangkat, diambil dari nama daerah masing2…misalnya “Ki Gedheng”
Cerita yang
lain, perihal pelacakan Pasukan Khusus Macan pengawal Kraton Cirebon, bernama
Singha Barwang Djalalullah yang konon kabarnya cuma tersisa 5 orang. Tidak bisa
diperkirakan berapa jumlah tepatnya pasukan macan ini yang tersisa, bisa 3, 5
atau 7 orang. Yang pasti di bawah dari 10 orang. Berkurangnya pasukan ini
dikarenakan beberapa hal, pertama adalah tidak mempunyai keturunan karena
pasukan ini bersifat turun temurun. Kedua yang bersangkutan meninggal dengan
membawa pakaian simbol pasukan macan yang disebut “Kantong Macan”. Pernah satu
kejadian seekor macan di kepung dan diburu masyarakat kampung yang tidak
mengerti, macan yang diburu kabur menghindar, hingga terperosok di sebuah sumur
tua. sewaktu dilihat ke sumur ternyata bukan seekor macan, melainkan seorang
manusia yang terkapar. Pada saat hendak diangkat orang tersebut sirna.
Pakaian yang
bernama Kantong Macan ini sebesar ibu jari kaki, cara memakainya dengan
memasukan kedua ibu jari tangan. Anehnya kantong macan tadi terus mengembang
seperti elastis hingga masuk kedalam tubuh seperti pakaian. Ritual pemakaian
harus hening dan sedikit penerangan. Kekuatan spiritual dari pakaian ini
tergantung si empunya, bisa 50:50 (antara manusia:siluman) atau 20:80 dan
sebaliknya. Semakin tinggi tingkatannya semakin tinggi kodrati manusianya.
Sejarah adanya
pasukan ini bermula ketika Susuhunan Gunung Jati sebagai pendiri kratonan
Cirebon, diberikan hadiah dari kakeknya yang penguasa Pajajaran (Prabu
Siliwangi). Hadiah itu berupa sepasukan khusus Pajajaran yang terdiri atas 12
orang yang dapat beralih rupa sebagai macan. Sebagaimana pasukan pengamanan,
metoda penggunaan Ring 1, 2 dst juga berlaku. Masing-masing ring terdiri atas 4
orang yang meliputi arah mata angin dengan titik pusatnya Kraton Pakungwati.
Semakin dekat dengan pusat, semakin tinggi ilmunya. Istilah yang digunakan
adalah KW (tidak tau apa maksudnya). Ada KW 1, KW 2 dst. Kabarnya satu KW
pernah diberikan sultan Cirebon kepada Sultan Brunei, Hasanal Bolkiah.
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan
merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau.
Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya
menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga
tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak
didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Sejarah
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada
naskah Carita Purwaka Caruban
Nagari, Cirebon pada
awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang
lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda:
campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku
bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda
untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat
adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon
(udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam.
Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon
inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang
kemudian menjadi Cirebon.[1]
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari
pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu
pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan
perdagangan di kepulauan Nusantara maupun
dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal
pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Perkembangan
awal
Ki
Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan
Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai
membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan)
pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi.
Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat
baru di desa Caruban.
Ki
Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh
masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau
wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi
Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki
Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga
bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua,
dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
Masa
Kesultanan Cirebon (Pakungwati)
Pangeran Cakrabuana (….
–1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri
Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang
(puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah
remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu,
yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya
sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia
memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu
(abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama
leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu
Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai
Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa
meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu
mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan
demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah
Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai
menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai
"raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan
aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.
Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Lukisan
Sunan Gunung Jati
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya,
Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568)
yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif
Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula
sebagai Ingkang Sinuhun
Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman
Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon
dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati
kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa
Barat sepertiMajalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[2]
Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan
mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas
dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah
kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak
tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua
tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung
Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung
Jinem Astana Gunung Sembung.
Panembahan
Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang
layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu
Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati.
Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama
kurang lebih 79 tahun.
Panembahan
Ratu II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649,
pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran
Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing
Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi
kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma
yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan
Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara
dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten
merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I
adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa
Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan
Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran.
Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan
ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma
dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat
dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa
sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah
sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
Terpecahnya
Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan
penguasa. Pangeran Wangsakerta yang bertanggung jawab atas pemerintahan di
Cirebon selama ayahnya tidak berada di tempat,khawatir atas nasib kedua
kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk meminta bantuan Sultan Ageng
Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam Perang Pagarage),
beliau mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk memperbaiki
hubungan diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo yang
disupport oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil
diselamatkan. Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan lain
dari bantuannya pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua
Pangeran yang ia selamatkan sebagai Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan
Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Kanoman,sedangkan Pangeran
Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun lebih hanya diberi jabatan
kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar Cirebon tidak
beraliansi lagi dengan Mataram.
Perpecahan
I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian
terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan
Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak
baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan
masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian,
para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
·
Sultan Keraton Kasepuhan,
Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin
(1677-1703)
·
Sultan Kanoman, Pangeran
Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin
(1677-1723)
·
Pangeran Wangsakerta, sebagai
Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau
Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra
tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena
keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon
di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh,
rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi
sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau
keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar
para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi
kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan
menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika
tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang
dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
Perpecahan
II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar,
sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi
perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin
memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan
Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial
Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat
keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman
menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan
para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran.
Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan
Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V
jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh
Imamuddin (1803-1811).
Masa
kolonial dan kemerdekaan
Sesudah kejadian tersebut,
pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur
Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan
Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906
dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi
dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup
luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan
Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450
hektar.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam
Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing
dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.
Perkembangan
terakhir
Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi
merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun
demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat
kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan
Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah
beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap
yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529,
sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan
yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.
Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di
keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang
Muhammad Saladin, untuk pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua
sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton
tersebut.
Museum
Tekstil menempati
gedung tua di Jalan K.S. Tubun / Petamburan No. 4 Tanah Abang, Jakarta Barat
Museum
Tekstil, Tampak Muka
Gedungnya
sendiri pada mulanya adalah rumah pribadi seorang warga negara Perancis yang dibangun pada abad ke-19. Kemudian dibeli oleh konsul
Turki bernama Abdul Azis Almussawi Al Katiri yang menetap di Indonesia. Selanjutnya tahun 1942
dijual kepada Dr. Karel Christian Cruq.
Di masa
perjuangan kemerdekaan Indonesia, gedung ini menjadi markas Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan tahun 1947
didiami oleh Lie Sion Pin. Pada tahun 1952
dibeli oleh Departemen
Sosial dan pada tanggal 25 Oktober 1975
diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta yang untuk kemudian pada tanggal 28 Juni 1976
diresmikan penggunaannya oleh Ibu Tien Soeharto sebagai Museum Tekstil.
Koleksi yang
disimpan di Museum Tekstil adalah benda-benda koleksi yang ada hubungannya
dengan dunia pertekstilan khususnya tekstil yang berasal dari kawasan Nusantara
dari akhir abad ke-18 sampai masa kini, namun kebanyakan dari paruh pertama di
abad ke-20. Saat ini koleksi Museum Tekstil berjumlah 1914 koleksi yang terdiri
dari wastra, busana dan peralatan tekstil.
Koleksi
museum tekstil dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu:
- Koleksi
Kain Tenun
- Koleksi
Kain Batik
- Koleksi
Kontemporer
- Koleksi
Campuran
- Koleksi
Peralatan Pembuatan Batik / Tenun / dll.
“Macan Ali” adalah Bendera sekaligus lambang
Kebesaran Keraton Cirebon, bentuknya berupa kaligrafi arab yang mengikuti
bentuk piktogram stilasi dari“Macan Duduk”. Sering ditemukan di Lukisan
Kaca seniman Cirebon.
Di Keraton Pakungwati Cirebon (keraton awal) pernah
dibentuk sepasukan khusus berjumlah 12 orang yang dapat berubah wujud menjadi
macan. Keraton memberikan “jubah & Bandrang (Kepala Tombak)” sebagai tanda.
Kalau mau berubah dengan memakai jubah itu, pasukan ini tidak muncul
sembarangan, hanya kalau Cirebon terancam bahaya saja. Tandanya Cirebon bahaya
adalah apabila “Kantil” atau Kurung Batang di Astana Gunung.Jati yang berlapis
emas raib, terbang, atau bergoncang.
Pasukan ini
berlanjut diwariskan ke ahli warisnya sampai sekarang, konon pemunculannya
hanya di bulan Mulud dan di tempat keramat yang ditunjuk. Sekarang sudah
berkurang jumlahnya mungkin cuman 5 saja. Menurut cerita lain kalau bulan Mulud
suka muncul di Petilasan Tapak Semar (arah barat hutan Astana Gunung Jati).
Waktu ribut2 tahta di Keraton Kanoman dulu, muncul di sumur tujuh Jalatunda,
menurut orang yang melihat bentuknya orang bergamis, berjalan agak merangkak
lama kelamaan berkelebat jadi macan menghilang. Tiap anggota punya nama dan
pangkat, diambil dari nama daerah masing2…misalnya “Ki Gedheng”
Cerita yang
lain, perihal pelacakan Pasukan Khusus Macan pengawal Kraton Cirebon, bernama
Singha Barwang Djalalullah yang konon kabarnya cuma tersisa 5 orang. Tidak bisa
diperkirakan berapa jumlah tepatnya pasukan macan ini yang tersisa, bisa 3, 5
atau 7 orang. Yang pasti di bawah dari 10 orang. Berkurangnya pasukan ini
dikarenakan beberapa hal, pertama adalah tidak mempunyai keturunan karena
pasukan ini bersifat turun temurun. Kedua yang bersangkutan meninggal dengan
membawa pakaian simbol pasukan macan yang disebut “Kantong Macan”. Pernah satu
kejadian seekor macan di kepung dan diburu masyarakat kampung yang tidak
mengerti, macan yang diburu kabur menghindar, hingga terperosok di sebuah sumur
tua. sewaktu dilihat ke sumur ternyata bukan seekor macan, melainkan seorang
manusia yang terkapar. Pada saat hendak diangkat orang tersebut sirna.
Pakaian yang
bernama Kantong Macan ini sebesar ibu jari kaki, cara memakainya dengan
memasukan kedua ibu jari tangan. Anehnya kantong macan tadi terus mengembang
seperti elastis hingga masuk kedalam tubuh seperti pakaian. Ritual pemakaian
harus hening dan sedikit penerangan. Kekuatan spiritual dari pakaian ini
tergantung si empunya, bisa 50:50 (antara manusia:siluman) atau 20:80 dan
sebaliknya. Semakin tinggi tingkatannya semakin tinggi kodrati manusianya.
Sejarah adanya
pasukan ini bermula ketika Susuhunan Gunung Jati sebagai pendiri kratonan
Cirebon, diberikan hadiah dari kakeknya yang penguasa Pajajaran (Prabu
Siliwangi). Hadiah itu berupa sepasukan khusus Pajajaran yang terdiri atas 12
orang yang dapat beralih rupa sebagai macan. Sebagaimana pasukan pengamanan,
metoda penggunaan Ring 1, 2 dst juga berlaku. Masing-masing ring terdiri atas 4
orang yang meliputi arah mata angin dengan titik pusatnya Kraton Pakungwati.
Semakin dekat dengan pusat, semakin tinggi ilmunya. Istilah yang digunakan
adalah KW (tidak tau apa maksudnya). Ada KW 1, KW 2 dst. Kabarnya satu KW
pernah diberikan sultan Cirebon kepada Sultan Brunei, Hasanal Bolkiah.
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan
merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau.
Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya
menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga
tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak
didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Sejarah
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada
naskah Carita Purwaka Caruban
Nagari, Cirebon pada
awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang
lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda:
campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku
bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda
untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat
adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon
(udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam.
Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon
inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang
kemudian menjadi Cirebon.[1]
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari
pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu
pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan
perdagangan di kepulauan Nusantara maupun
dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal
pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Perkembangan
awal
Ki
Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan
Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai
membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan)
pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi.
Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat
baru di desa Caruban.
Ki
Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh
masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau
wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi
Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki
Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga
bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua,
dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
Masa
Kesultanan Cirebon (Pakungwati)
Pangeran Cakrabuana (….
–1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri
Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang
(puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah
remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu,
yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya
sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia
memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu
(abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama
leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu
Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai
Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa
meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu
mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan
demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah
Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai
menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai
"raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan
aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.
Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Lukisan
Sunan Gunung Jati
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya,
Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568)
yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif
Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula
sebagai Ingkang Sinuhun
Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman
Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon
dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati
kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa
Barat sepertiMajalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[2]
Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan
mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas
dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah
kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak
tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua
tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung
Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung
Jinem Astana Gunung Sembung.
Panembahan
Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang
layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu
Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati.
Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama
kurang lebih 79 tahun.
Panembahan
Ratu II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649,
pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran
Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing
Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi
kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma
yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan
Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara
dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten
merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I
adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa
Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan
Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran.
Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan
ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma
dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat
dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa
sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah
sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
Terpecahnya
Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan
penguasa. Pangeran Wangsakerta yang bertanggung jawab atas pemerintahan di
Cirebon selama ayahnya tidak berada di tempat,khawatir atas nasib kedua
kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk meminta bantuan Sultan Ageng
Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam Perang Pagarage),
beliau mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk memperbaiki
hubungan diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo yang
disupport oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil
diselamatkan. Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan lain
dari bantuannya pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua
Pangeran yang ia selamatkan sebagai Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan
Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Kanoman,sedangkan Pangeran
Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun lebih hanya diberi jabatan
kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar Cirebon tidak
beraliansi lagi dengan Mataram.
Perpecahan
I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian
terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan
Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak
baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan
masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian,
para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
·
Sultan Keraton Kasepuhan,
Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin
(1677-1703)
·
Sultan Kanoman, Pangeran
Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin
(1677-1723)
·
Pangeran Wangsakerta, sebagai
Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau
Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra
tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena
keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon
di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh,
rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi
sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau
keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar
para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi
kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan
menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika
tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang
dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
Perpecahan
II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar,
sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi
perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin
memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan
Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial
Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat
keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman
menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan
para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran.
Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan
Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V
jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh
Imamuddin (1803-1811).
Masa
kolonial dan kemerdekaan
Sesudah kejadian tersebut,
pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur
Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan
Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906
dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi
dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup
luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan
Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450
hektar.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam
Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing
dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.
Perkembangan
terakhir
Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi
merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun
demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat
kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan
Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah
beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap
yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529,
sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan
yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.
Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di
keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang
Muhammad Saladin, untuk pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua
sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar