Kamis, 10 Januari 2013

(UAS) WAYANG KULIT BALI - MUSEUM WAYANG



NAMA                       : SAHARA PUTRI N.
NO. REG                   : 4423126883
MATAKULIAH       : SEJARAH INDONESIA
USAHA JASA PARIWISATA

WAYANG KULIT BALI
(WAYANG KULIT PURWA BALI)

 
Wayang adalah salah satu seni pertunjukkan yang menjadi warisan leluhur yang terus berkembang di pulau Jawa dan Bali. UNESCO, pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Wayang adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol diantara banyak karya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni music, seni tutur, seno sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambangan.

Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In­donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem­perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.

Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.


Sejarah Wayang Kulit di Indonesia
Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.

Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.
 
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.

Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pe­wayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.
 
Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo­nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur­nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga In­dia, Walmiki.

Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In­dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawa­yang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah per­tunjukan wayang.

Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis­toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone­sia halaman 987.

Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.


Pembuatan Wayang Kulit
Wayang kulit dibuat dari bahan kulit kerbau yang sudah diproses menjadi kulit lembaran, perbuah wayang membutuhkan sekitar ukuran 50 x 30 cm kulit lembaran yang kemudian dipahat dengan peralatan yang digunakan adalah besi berujung runcing berbahan dari baja yang berkualitas baik. Besi baja ini dibuat terlebih dahulu dalam berbagai bentuk dan ukuran, ada yang runcing, pipih, kecil, besar dan bentuk lainnya yang masing-masing mempunyai fungsinya berbeda-beda.

Namun pada dasarnya, untuk menata atau membuat berbagai bentuk lubang ukiran yang sengaja dibuat hingga berlubang. Selanjutnya dilakukan pemasangan bagian-bagian tubuh seperti tangan, pada tangan ada dua sambungan, lengan bagian atas dan siku, cara menyambungnya dengan sekrup kecil yang terbuat dari tanduk kerbau atau sapi. Tangkai yang fungsinya untuk menggerak bagian lengan yang berwarna kehitaman juga terbuat berasal dari bahan tanduk kerbau dan warna keemasannya umumnya dengan menggunakan prada yaitu kertas warna emas yang ditempel atau bisa juga dengan dibron, dicat dengan bubuk yang dicairkan. Wayang yang menggunakan prada, hasilnya jauh lebih baik, warnanya bisa tahan lebih lama dibandingkan dengan yang bront.
  
  Wayang Kulit Bali
Cikal bakal wayang Kulit sudah ada di Jawa kurang lebih 1500 SM. Pertunjukkan wayang tersebut masih primitif dengan latar belakang ritual, yaitu kepercayaan kepada kekuatan roh-roh leluhur. Roh-roh akan menampakkan diri dalam bentuk bayang-bayang. Untuk itu, orang membuat obyek gambaran yang membentuk bayangan di atas sehelai kelir.

Pertunjukkan wayang sudah ada di Jawa dapat dibuktikan dalam batu bertulis yang terdapat di Jaha pada 800 M, yang bertuliskan kata “aringgit” yang berarti pertunjukkan wayang. Dalam catatan tertulis lainnya, yaitu pada jaman Diah Balitung terdapat prasasti yang berangka tahun 907 M menuliskan istilah “mawayang” yang berarti pertunjukkan wayang. Sedangkan adanya wayang di Bali ditemukan berdasarkan atas prasasti Bebetin pada 890 M pada masa pemerintahan Raja Ugrasena.

Wayang kulit di Bali merupakan prototipe wayang Jawa. Hal ini dibuktikan bahwa wayang kulit Bali tidak mempunyai bentuk yang meruncing karena distilir seperti yang terdapat pada wayang Jawa. Bentuk wayang kulit Bali kokoh dan kasar mirip dengan lukisan pada piala-piala zodiak perunggu yang didapatkan di Jawa Timur pada abad 13. Demikian juga sikap dan bentuk yang tegak lurus tampaknya mirip dengan relief pada candi Jago dekat Tumpang, Malang, berasal pada pertengahan abad 13. Wayang kulit Bali juga mirip dengan gambar-gambar relief di Candi Penataran, Blitar yang dibangun pada abad 14 M.

Pada abad 4 Bangsa Hindu sekte Siwa datang ke Indonesia. Bangsa Hindu yang datang kemudian adalah yang beragama Buddha Mahayana. Kebudayaan yang dibawa berkembang di Indonesia sehingga terjadi akulturasi budaya dari kedua bangsa. Proses akulturasi tersebut membawa dampak pada perubahan aspek-aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya perubahan seni pewayangan, antara lain dari lukisan yang sederhana menjadi bentuk yang sekarang ini. Penggunaan cerita juga mengalami perubahan, dari cerita yang menggambarkan kebesaran-kebesaran leluhur diganti dengan cerita yang diambil dalam epos Ramayana dan Mahabarata.

Pada tahun 1400 M kerajaan Bali merupakan kerajaan yang berdiri sendiri, lepas dari kekuasan Majapahit di Jawa. Pada waktu itu, budaya di Bali mendapat pengaruh kuat dari budaya Hindu dan Hindu-Jawa, sampai dengan datangnya pemerintah Belanda selama lebih kurang 500 tahun tanpa pengaruh luar. Akibatnya, di Bali muncul kebudayaan pulau yang unik, terpisah dan berkembang terus. Hal tersebut menyebabkan wayang kulit Bali tidak mengalami perubahan seperti yang terjadi pada wayang kulit Jawa. Wayang kulit Bali tetap seperti yang terpahat pada patung-patung candi-candi di Jawa Timur pada abad 13 sampai dengan 15.

Berdasarkan sejarah wayang kulit di Jawa dan di Bali menunjukkan bahwa masyarakat Bali adalah masyarakat terbuka, toleran dan adaptif. Sikap itu masih tetap terpelihara hingga kini. Dengan sikapnya yang terbuka masyarakat Bali tetap berpegang pada akar kepribadiannya sendiri. Dalam wayang kulit Parwa akar kepribadian itu terlihat dari sifat ritual sebagai transformasi pemujaan roh leluhur pada jaman dulu.


Sejak semula wayang merupakan ritus sakral sebagai media komunikasi dalam pemujaan roh leluhur. Wayang kulit Bali tetap berkembang atas kesakralannya dalam proses akulturasi budaya Hindu dan Jawa-Hindhu.
-                   
                       Jenis-jenis Wayang di Bali
Wayang kulit Bali ada beberapa macam, yaitu :
1. Wayang Kulit Purwa
2. Wayang Kulit Wong Purwa
3. Wayang Kulit Sapu Legel
4. Wayang Kulit Lemah
5. Wayang Kulit Calon Arang
6. Wayang Wong Purwa

Wayang kulit Purwa Bali bercerita tentang “Mahabarata dan Ramayana”, dan dipergelarkan pada hari Raya agama Hindu serta festival-festival. Wayang Sapu Legel dipergunakan untuk upacara ritus kehidupan manusia seperti lahirnya bayi, lahirnya Hyang Kumara, dll. Wayang Lemah dipergunakan untuk upacara Dewa Yadnya, yang mengambil lakon bersifat filsafat seperti cerita Dewa Ruci. Wayang kulit Bali yang dimiliki Museum Wayang adalah wayang kulit Purwa yang dibuat tahun 1969 dan wayang kulit Calon Arang.

Namun diantara berbagai macam jenis wayang Bali, ada satu wayang yang begitu fenomenal dan tetap terjaga kesakralannya yaitu Wayang Kulit Purwa/Parwa Bali. Berikut sedikit ulasannya.

Wayang Kulit Parwa/Purwa Bali
Seni pertunjukkan wayang Parwa terkait erat dengan upacara agama Hindu di Bali. Hal ini menunjukkan bahwa seni bagi masyarakat tidak berjalan linear bahwa seni adalah seni. Konsepsi ini seringkali mengabaikan persoalan nilai dalam seni. Dalam wayang Parwa memperlihatkan agama dan seni menyatu, disamping filsafat dan pengetahuan bersama-sama membentuk totalitas kehidupan masyarakat Bali. Senada dengan pendapat I Wayan Diya, seorang Mangku Dalang, ia mengatakan bahwa budaya dan agama menyatu dalam masyarakat Bali.

Ritus pada wayang Parwa merupakan persembahan kepada Yang Maha Kuasa. Persembahan mengandung nilai pengorbanan, keikhlasan serta semangat yang tidak berhenti dalam upacara tetapi mengalir meresap dalam dinamika kehidupan masyarakat sehari-hari. Tidak jarang untuk sebuah upacara membutuhkan pengorbanan finansial yang cukup besar. Dalam pandangan materialisme pengorbanan ini merupakan tindakan yang sia-sia, memboroskan dan tidak produktif. Namun, jika dipandang sebagai pemenuhan sifat kodrat sebagai makhluk Tuhan maka pengorbanan ini semakin mengangkat derajat kemanusiaan.


Upacara Hindu-Bali yang umum disertai pertunjukkan wayang antara lain: Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, manusia Yadnya, Resi Yadnya, dan Bhuta Yadnya. Dewa Yadnya adalah pengorbanan yang ikhlas dan tulus suci ke hadapan Sang Hyang Widdi dengan jalan cinta bakti, sujud memuja serta mengikuti segala ajaran-ajaran sucinya. Phitra Yadnya adalah pengorbanan yang ikhlas dan tulus suci kepada leluhur dengan memujakan keselamatan di akhirat serta memelihara keturunannya serta mentaati segala tuntunannya. Manusia Yadnya adalah korban suci dan tulus ikhlas untuk keselamatan keturunan serta kesejahteraan manusia lain dengan dana serta usaha untuk kesejahteraan masyarakat. Resi Yadnya adalah pengorbanan yang ikhlas dan tulus suci untuk kesejahteraan para resi serta mengamalkan ajarannya. Bhuta Yadnya adalah korban suci yang tulus ikhlas kepada sekalian makhuk bawahan yang kelihatan dan yang tidak untuk memelihara kesejahteraan alam semesta.

Pertunjukkan wayang yang digelar dalam rangka ritus adalah wayang Lemah, wayang Peteng, wayang Sudamala, dan khusus wayang Sapuleger untuk meruwat orang yang dilahirkan pada Wuku Wayang.
Seni wayang Parwa dari sudut religi memperlihatkan keterkaitan ekstensi nilai mendalam, Tuhan, manusia dan makhluk selain manusia. Keterkaitan itu membentuk sebuah pandangan yang bersifat organik holistik sebagai warisan kemanusiaan yang tersembunyi di dalam wayang.

Di antara lakon-lakon yang umum dipakai, yang diambil dari kisah perang Bharatayudha adalah:
·         Gugurnya Bisma
·         Gugurnya Drona
·         Gugurnya Abhimanyu / Abimanyu
·         Gugurnya Karna
·         Gugurnya Salya
·         Gugurnya Jayadrata
Lakon - lakon terkenal sebelum Bharatayudha misalnya:
·         Sayembara Dewi Amba
·         Pendawa - Korawa Aguru
·         Pendawa - Korawa Berjudi
·         Sayembara Drupadi
·         Lahirnya Gatotkaca
·         Aswameda Yadnya
·         Kresna Duta
·         Matinya Supala
·         Dan lain-lain.
Wayang Parwa biasanya didukung oleh sekitar 7 orang yang terdiri dari:
·         1 orang dalang
·         2 orang pembantu dalang
       ·         4 orang penabuh gender wayang (yang memainkan sepasang pemade dan sepasang kantilan)
Durasi pementasannya lebih panjang daripada Wayang lemah yakni berkisar antara 3 sampai 4 jam.

Melihat fungsi dan maknanya yang sangat penting dalam kehidupan sosial religius masyarakat Bali, kini wayang kulit hidupnya sangat subur di pulau Bali. Pada saat ini tercatat adanya 240 orang dalang (sekaa/group wayang kulit) yang memiliki potensi kuat untuk dilestarikan dan dikembangkan.



REFERENSI
BUKU           :
Nusa Jawa: silang budaya kajian sejarah terpadu (warisan kerajaan-kerajaan konsentris, Volume 3), Denys Lombard
Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 1973, DR. R. Soekmono
Ensiklopedi Wayang Purwa, 1991, R. Rio Sudibyoprono
Ensiklopedi Umum, 1973, Franklin

WEBSITE     :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar