NAMA : SAHARA PUTRI N.
NO.
REG : 4423126883
MATAKULIAH : SEJARAH INDONESIA
USAHA
JASA PARIWISATA
WAYANG
KULIT BALI
(WAYANG
KULIT PURWA BALI)
Wayang adalah salah satu seni pertunjukkan yang
menjadi warisan leluhur yang terus berkembang di pulau Jawa dan Bali. UNESCO, pada
7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor
dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni
bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Wayang adalah salah satu puncak seni budaya bangsa
Indonesia yang paling menonjol diantara banyak karya lainnya. Budaya wayang
meliputi seni peran, seni suara, seni music, seni tutur, seno sastra, seni
lukis, seni pahat, dan juga seni perlambangan.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan,
budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa.
Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi
dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu
dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk
menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada
pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam
pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas
dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang
bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_
pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya budayawan
Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk
yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu
menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis
van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J.
Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa.
Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit
yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang
dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.
Sejarah
Wayang Kulit di Indonesia
Mengenai
asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang
berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat
ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa
Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara
para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats,
Rentse, dan Kruyt.
Alasan
mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya
dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa.
Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk,
Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain
itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa
(Kuna), dan bukan bahasa lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari
India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain
adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar
kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah
India.
Namun,
sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang
memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.
Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia
setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012),
yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra
yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia,
sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa
Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang
merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki.
Selanjutnya,
para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke
bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan
memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha
Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan
lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi India, adalah
Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini
dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).
Wayang
sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman
pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara
lain sudah menyebutkan kata-kata "mawayang" dan `aringgit' yang
maksudnya adalah pertunjukan wayang.
Mengenai
saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan
Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman
neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu
didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehistoric Research
in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia
Indonesia halaman 987.
Masuknya
agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada
budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal
abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk
khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.
Pembuatan Wayang Kulit
Wayang
kulit dibuat dari bahan kulit kerbau yang sudah diproses menjadi kulit
lembaran, perbuah wayang membutuhkan sekitar ukuran 50 x 30 cm kulit lembaran
yang kemudian dipahat dengan peralatan yang digunakan adalah besi berujung
runcing berbahan dari baja yang berkualitas baik. Besi baja ini dibuat terlebih
dahulu dalam berbagai bentuk dan ukuran, ada yang runcing, pipih, kecil, besar
dan bentuk lainnya yang masing-masing mempunyai fungsinya berbeda-beda.
Namun pada dasarnya, untuk menata atau membuat berbagai
bentuk lubang ukiran yang sengaja dibuat hingga berlubang. Selanjutnya
dilakukan pemasangan bagian-bagian tubuh seperti tangan, pada tangan ada dua
sambungan, lengan bagian atas dan siku, cara menyambungnya dengan sekrup kecil
yang terbuat dari tanduk kerbau atau sapi. Tangkai yang fungsinya untuk
menggerak bagian lengan yang berwarna kehitaman juga terbuat berasal dari bahan
tanduk kerbau dan warna keemasannya umumnya dengan menggunakan prada yaitu
kertas warna emas yang ditempel atau bisa juga dengan dibron, dicat dengan
bubuk yang dicairkan. Wayang yang menggunakan prada, hasilnya jauh lebih baik,
warnanya bisa tahan lebih lama dibandingkan dengan yang bront.
Wayang
Kulit Bali
Cikal bakal wayang
Kulit sudah ada di Jawa kurang lebih 1500 SM. Pertunjukkan wayang tersebut
masih primitif dengan latar belakang ritual, yaitu kepercayaan kepada kekuatan
roh-roh leluhur. Roh-roh akan menampakkan diri dalam bentuk bayang-bayang.
Untuk itu, orang membuat obyek gambaran yang membentuk bayangan di atas sehelai
kelir.
Pertunjukkan wayang
sudah ada di Jawa dapat dibuktikan dalam batu bertulis yang terdapat di Jaha
pada 800 M, yang bertuliskan kata “aringgit” yang berarti pertunjukkan wayang.
Dalam catatan tertulis lainnya, yaitu pada jaman Diah Balitung terdapat
prasasti yang berangka tahun 907 M menuliskan istilah “mawayang” yang berarti
pertunjukkan wayang. Sedangkan adanya wayang di Bali ditemukan berdasarkan atas
prasasti Bebetin pada 890 M pada masa pemerintahan Raja Ugrasena.
Wayang kulit di Bali
merupakan prototipe wayang Jawa. Hal ini dibuktikan bahwa wayang kulit Bali
tidak mempunyai bentuk yang meruncing karena distilir seperti yang terdapat
pada wayang Jawa. Bentuk wayang kulit Bali kokoh dan kasar mirip dengan lukisan
pada piala-piala zodiak perunggu yang didapatkan di Jawa Timur pada abad 13.
Demikian juga sikap dan bentuk yang tegak lurus tampaknya mirip dengan relief
pada candi Jago dekat Tumpang, Malang, berasal pada pertengahan abad 13. Wayang
kulit Bali juga mirip dengan gambar-gambar relief di Candi Penataran, Blitar
yang dibangun pada abad 14 M.
Pada abad 4 Bangsa
Hindu sekte Siwa datang ke Indonesia. Bangsa Hindu yang datang kemudian adalah
yang beragama Buddha Mahayana. Kebudayaan yang dibawa berkembang di Indonesia
sehingga terjadi akulturasi budaya dari kedua bangsa. Proses akulturasi
tersebut membawa dampak pada perubahan aspek-aspek kehidupan. Termasuk di
dalamnya perubahan seni pewayangan, antara lain dari lukisan yang sederhana
menjadi bentuk yang sekarang ini. Penggunaan cerita juga mengalami perubahan,
dari cerita yang menggambarkan kebesaran-kebesaran leluhur diganti dengan
cerita yang diambil dalam epos Ramayana dan Mahabarata.
Pada tahun 1400 M
kerajaan Bali merupakan kerajaan yang berdiri sendiri, lepas dari kekuasan
Majapahit di Jawa. Pada waktu itu, budaya di Bali mendapat pengaruh kuat dari
budaya Hindu dan Hindu-Jawa, sampai dengan datangnya pemerintah Belanda selama
lebih kurang 500 tahun tanpa pengaruh luar. Akibatnya, di Bali muncul
kebudayaan pulau yang unik, terpisah dan berkembang terus. Hal tersebut
menyebabkan wayang kulit Bali tidak mengalami perubahan seperti yang terjadi
pada wayang kulit Jawa. Wayang kulit Bali tetap seperti yang terpahat pada
patung-patung candi-candi di Jawa Timur pada abad 13 sampai dengan 15.
Berdasarkan sejarah
wayang kulit di Jawa dan di Bali menunjukkan bahwa masyarakat Bali adalah
masyarakat terbuka, toleran dan adaptif. Sikap itu masih tetap terpelihara
hingga kini. Dengan sikapnya yang terbuka masyarakat Bali tetap berpegang pada
akar kepribadiannya sendiri. Dalam wayang kulit Parwa akar kepribadian itu
terlihat dari sifat ritual sebagai transformasi pemujaan roh leluhur pada jaman
dulu.
Sejak semula wayang
merupakan ritus sakral sebagai media komunikasi dalam pemujaan roh leluhur.
Wayang kulit Bali tetap berkembang atas kesakralannya dalam proses akulturasi
budaya Hindu dan Jawa-Hindhu.
-
Jenis-jenis Wayang
di Bali
Wayang kulit Bali ada
beberapa macam, yaitu :
1. Wayang Kulit Purwa
2. Wayang Kulit Wong Purwa
3. Wayang Kulit Sapu Legel
4. Wayang Kulit Lemah
5. Wayang Kulit Calon Arang
6. Wayang Wong Purwa
1. Wayang Kulit Purwa
2. Wayang Kulit Wong Purwa
3. Wayang Kulit Sapu Legel
4. Wayang Kulit Lemah
5. Wayang Kulit Calon Arang
6. Wayang Wong Purwa
Wayang kulit Purwa Bali
bercerita tentang “Mahabarata dan Ramayana”, dan dipergelarkan pada hari Raya
agama Hindu serta festival-festival. Wayang Sapu Legel dipergunakan untuk
upacara ritus kehidupan manusia seperti lahirnya bayi, lahirnya Hyang Kumara,
dll. Wayang Lemah dipergunakan untuk upacara Dewa Yadnya, yang mengambil lakon
bersifat filsafat seperti cerita Dewa Ruci. Wayang kulit Bali yang dimiliki
Museum Wayang adalah wayang kulit Purwa yang dibuat tahun 1969 dan wayang kulit
Calon Arang.
Namun diantara berbagai macam jenis wayang Bali, ada
satu wayang yang begitu fenomenal dan tetap terjaga kesakralannya yaitu Wayang
Kulit Purwa/Parwa Bali. Berikut sedikit ulasannya.
Wayang Kulit Parwa/Purwa Bali
Seni pertunjukkan
wayang Parwa terkait erat dengan upacara agama Hindu di Bali. Hal ini
menunjukkan bahwa seni bagi masyarakat tidak berjalan linear bahwa seni adalah
seni. Konsepsi ini seringkali mengabaikan persoalan nilai dalam seni. Dalam
wayang Parwa memperlihatkan agama dan seni menyatu, disamping filsafat dan
pengetahuan bersama-sama membentuk totalitas kehidupan masyarakat Bali. Senada
dengan pendapat I Wayan Diya, seorang Mangku Dalang, ia mengatakan bahwa budaya
dan agama menyatu dalam masyarakat Bali.
Ritus pada wayang Parwa
merupakan persembahan kepada Yang Maha Kuasa. Persembahan mengandung nilai
pengorbanan, keikhlasan serta semangat yang tidak berhenti dalam upacara tetapi
mengalir meresap dalam dinamika kehidupan masyarakat sehari-hari. Tidak jarang
untuk sebuah upacara membutuhkan pengorbanan finansial yang cukup besar. Dalam
pandangan materialisme pengorbanan ini merupakan tindakan yang sia-sia,
memboroskan dan tidak produktif. Namun, jika dipandang sebagai pemenuhan sifat
kodrat sebagai makhluk Tuhan maka pengorbanan ini semakin mengangkat derajat
kemanusiaan.
Upacara Hindu-Bali yang
umum disertai pertunjukkan wayang antara lain: Dewa Yadnya, Pitra Yadnya,
manusia Yadnya, Resi Yadnya, dan Bhuta Yadnya. Dewa Yadnya adalah pengorbanan
yang ikhlas dan tulus suci ke hadapan Sang Hyang Widdi dengan jalan cinta
bakti, sujud memuja serta mengikuti segala ajaran-ajaran sucinya. Phitra Yadnya
adalah pengorbanan yang ikhlas dan tulus suci kepada leluhur dengan memujakan
keselamatan di akhirat serta memelihara keturunannya serta mentaati segala
tuntunannya. Manusia Yadnya adalah korban suci dan tulus ikhlas untuk
keselamatan keturunan serta kesejahteraan manusia lain dengan dana serta usaha
untuk kesejahteraan masyarakat. Resi Yadnya adalah pengorbanan yang ikhlas dan
tulus suci untuk kesejahteraan para resi serta mengamalkan ajarannya. Bhuta
Yadnya adalah korban suci yang tulus ikhlas kepada sekalian makhuk bawahan yang
kelihatan dan yang tidak untuk memelihara kesejahteraan alam semesta.
Pertunjukkan wayang
yang digelar dalam rangka ritus adalah wayang Lemah, wayang Peteng, wayang
Sudamala, dan khusus wayang Sapuleger untuk meruwat orang yang dilahirkan pada
Wuku Wayang.
Seni wayang Parwa dari
sudut religi memperlihatkan keterkaitan ekstensi nilai mendalam, Tuhan, manusia
dan makhluk selain manusia. Keterkaitan itu membentuk sebuah pandangan yang
bersifat organik holistik sebagai warisan kemanusiaan yang tersembunyi di dalam
wayang.
Di
antara lakon-lakon yang umum dipakai, yang diambil dari kisah perang Bharatayudha adalah:
·
Gugurnya Bisma
·
Gugurnya Drona
·
Gugurnya Abhimanyu / Abimanyu
·
Gugurnya Karna
·
Gugurnya Salya
·
Gugurnya Jayadrata
Lakon
- lakon terkenal sebelum Bharatayudha misalnya:
·
Sayembara Dewi
Amba
·
Pendawa
- Korawa Aguru
·
Pendawa
- Korawa Berjudi
·
Sayembara Drupadi
·
Lahirnya Gatotkaca
·
Aswameda Yadnya
·
Kresna
Duta
·
Matinya Supala
·
Dan lain-lain.
Wayang
Parwa biasanya didukung oleh sekitar 7 orang yang terdiri dari:
·
1 orang dalang
·
2 orang pembantu dalang
·
4 orang penabuh gender wayang (yang
memainkan sepasang pemade dan sepasang kantilan)
Durasi
pementasannya lebih panjang daripada Wayang lemah yakni berkisar antara 3 sampai 4 jam.
Melihat fungsi dan maknanya yang sangat penting
dalam kehidupan sosial religius masyarakat Bali, kini wayang kulit hidupnya
sangat subur di pulau Bali. Pada saat ini tercatat adanya 240 orang dalang
(sekaa/group wayang kulit) yang memiliki potensi kuat untuk dilestarikan dan
dikembangkan.
REFERENSI
BUKU :
Nusa Jawa: silang budaya kajian
sejarah terpadu (warisan
kerajaan-kerajaan konsentris, Volume 3), Denys Lombard
Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 1973, DR.
R. Soekmono
Ensiklopedi Wayang Purwa, 1991, R. Rio Sudibyoprono
Ensiklopedi Umum, 1973, Franklin
WEBSITE :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar