Kamis, 10 Januari 2013

Rizky Dwi Wicaksono UAS (KRI Macan Tutul) museum bahari



Rizky Dwi Wicaksono
UAS sejarah Indonesia
KRI Macan Tutul (Museum Bahari)
4423125311


Yogyakarta , 19 Desember 1961 Presiden Soekarno yang tidak suka dengan  Belanda karena  bersikap memaksa untuk tetap berada di Irian Barat. pasca ‘pengakuan’ kedaulatan 1949 , telah ada kesepakatan bahwa bumi cendrawasih akan diserahkan kepada Indonesia . Presiden membentuk Komando Pembebasan Irian Barat Tri Komando Rakyat (Trikora).

Tidak ada tujuan baik dari Kerajaan Belanda terhadap diplomasi Pemerintah Indonesia yang dilakukan sejak 1950. Mereka malah memperkuat militernya di Irian Barat. sehingga indonesi membeli persenjataan secara massal dari Uni Sovyet untuk memperkuat APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia).
   
Operasi militer pertama yang dilakukan APRI adalah dengan melakukan operasi infiltrasi dan intelijen ke Irian Barat. ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) mendapat tugas melaksanakan salah satu operasi infiltrasi tersebut pada tahun 1962 dengan mengerahkan empat kapal perang mereka berjenis MTB (Motor Torpedo Boat) tipe Jaguar: RI Macan Tutul, RI Macan Kumbang, RI Harimau dan RI Singa.

RI Macan Tutul , MTB gress buatan Jerman Barat, digunakan untuk mengangkut dua regu dari Peleton Intai Tugas Istimewa TNI AD ke Kaimana. Ikut dalam kapal ini adalah Deputy I (Ops) KSAL Komodor Yosafat Soedarso. Dengan Kapten Kapal Wiratno, kapal ini terpaksa melucuti semua komponen senjata mematikan yang dibawa yaitu torpedo 21 inci, dan hanya menyisakan meriam anti serangan udara caliber 40 mm. Ini dilakukan karena ruang yang tersedia telah digunakan untuk personil angkut dan perahu karet pendarat pasukan.

Jakarta, 9 Januari 1962 . Misi bertolak dari Tanjung Priok dipimpin Direktur Operasi MBAL Kolonel Sudomo di Kapal RI Harimau . Misi rahasia ini tidak dikoordinasikan dengan jajaran dan kesatuan lain , dilarang singgah di pelabuhan-pelabuhan yang dilewati dan bahan bakar akan dibatasi di tengah laut.

    RI Singa tidak dapat melanjutkan misi karena mengalami kerusakan. Operasi hanya dilanjutkan tiga MTB. RI Multatuli telah menanti di perairan Laut Arafuru saat ketiga MTB tiba. Dari atas kapal ini diputuskan bahwa pendaratan dilakukan pada tanggal 15 januari 1962. Dengan kecepatan sekitar 20 knot, pukul 17.00 ketiga MTB segera menuju Kaimana dengan formasi berbanjar.

Pada posisi 04-490 selatan, 135-020 timur haluan 2390, ketiga kapal dipergoki dua pesawat intai maritime Belanda jenis Neptune dan Firefly . Tak jauh dari posisi tiga MTB, dua fregat Belanda Hr.Ms. Kortenaer dan Hr.Ms. Eversten ternyata sedang berpratoli .  Fregat Belanda Hr.Ms. Kortenaer . Menuju ke lambung kanan belakang MTB ALRI, dua fregat bergerak cepat dari arah posisi depan. Dan tidak menunggu lama, kedua belah pihak telah saling berhadapan. Tembakan pertama pada operasi ini dilakukan oleh Hr.Ms. Kortenaer. Peluru suar yang ditembakan disusul oleh tebakan peluru tajam. Pada saat yang sama Neptune terbang rendah dengan memberi bantuan tembakan suar penerang. RI Macan Tutul dan RI Macan Kumbang langsung mencoba mengusir Neptune dengan menembakkan meriam 40 mm anti serangan udara. Dua fregat Belanda tidak tinggal diam. Mereka membalas tembakan. Formasi MTB diubah dengan sistem diagonal guna menghindari cegatan dan tembakan dua fregat. Sebelah kiri, RI Macan Kumbang; tengah, RI Harimau; dan di kanan belakang RI Macan Tutul.

    Setelah jarak mencapai 1,5 mil, kedua kapal perang Belanda melepaskan tembakan meriam caliber 120mm-nya. Karena keadaan telah kritis, Komodor Yos Sudarso mengambil alih pimpinan misi. Diperintahkannya untuk membalas tembakan musuh. RI Harimau dan RI Macan Kumbang diperintahkan untuk bermanuver putar dan mengecoh Angkatan Laut Kerajaan Belanda . Takut dengan manuver kedua MTB, Belanda berkonsentrasi pada RI Matjan Tutul. Tembakan tidak dihentikan kepada MTB yang dinaiki Komodor Yos Sudarso ini. Belanda sudah memperhitungkan bahwa RI Macan Tutul adalah kapal anti kapal permukaan dengan torpedo 21 inci dapat melumat kedua fregat mereka hanya dengan dua kali tembakan yang tepat. Namun, Belanda tidak mengetahui bahwa kapal ketiga MTB tidak membawa satupun torpedo.

    Dua MTB berhasil lolos cegatan. Di antara asap, hempasan gelombang dan dentuman meriam, Komodor Yos Sudarso mengumandangkan pesan: “Kobarkan semangat pertempuran!”. Hingga akhirnya tembakan pamungkas kapal-kapal Belanda mengenai kamar pemyimpanan mesiu RI Macan Tutul. Bunga api besar menerangi malam di Laut Aru. Perlahan RI Macan Tutul tenggelam membawa Komodor Yos Sudarso, Kapten Memet (Ajudan), Kapten Kapal Wiratno dan 25 prajurit TNI AD
tiga unit  Kapal Cepat Torpedo kelas Jaguar membelah malam, salah satunya adalah KRI Matjan Tutul (Macan Tutul-EYD-red)  dengan nomor lambung 650 melintasi perairan Arafura. Sebagaimana diketahui,  KRI Macan Tutul yang di dalamnya berada Komodor Laut Yos Soedarso memimpin konvoi tersebut dan berada pada formasi kapal nomor dua. Kapal ini mendapat tembakan oleh mesin perang Belanda dan akhirnya tenggelam di laut Arafura yang memiliki kedalaman yang paling dalam mencapai 3,6 kilometer dasar lautnya.
Banyak kisah dan cerita menurut berbagai versi yang kita terima tentang peristiwa heroik tesebut. Ada yang menyebutkan adanya konspirasi di sana untuk menjatuhkan Komodor Laut Yos Soedarso akibat berseteru diam-diam dengan Soedomo. Ada yang mengatakan KRI Macan Tutul sengaja di sabotase sehingga tidak dapat memutar haluan seperti 2 kapal lainnya yang dapat berpondah haluan 180 derajat pada posisi saat kejadian Ada juga yang mengatakan bahwa Kapal tersebut dihantam oleh pesawat udara Belanda dengan bom. Padahal ceritanya  tidak seperti kisah tersebut.
Mari kita dengarkan kisah dari sisa saksi sejarah, pelaku peristiwa tersebut yang ternyata telah lama mengasingkan dirinya dari publikasi dan perhatian umum seperti kisah berikut ini.
Cerita seorang Juru Mesin di KRI Macan Tutul.
Namanya Soejono, usianya kini sekitar 65 tahun (pengakuannya). Entah sudah berganti nama apa tidak, yang jelas ia masuk wajib Militer di Surabaya tahun 1960. Dia diterima di Angkatan Laut. Setelah menjalani berbagai test dan penilaian dia diterima menjadi juru mesin dan ditempatkan di kapal RI Macan Tutul.
Setelah hampir setahun ia berada di sana, suatu hari ia melihat kapalnya sangat banyak diisi  dengan makanan dan amunisi untuk dibawa ke Irian Barat. Dari cerita ke cerita dengan sesama rekan barulah diketahui tujuan mereka adalah ke Sorong untuk memebebaskan Irian Barat dalam misi operasi Tiga Komando rakyat atau  Trikora.
Awalnya dia enggan bercerita. Sorot matanya menerawang didesak apa yang dialaminya selama ikut  dalam pembebasan Irian barat. Dia menghela nafasnya. Ia mengatakan bahwa selama ini ia menyimpan rapat-rapat rahasia itu kepada siapapun termasuk tidak bercerita kepada anaknya sekalipun. Tapi kini ia  merasa perlu dan mau berterus terang . Hal ini terjadi setelah didesak berulang kali dan  mendapat kepastian bahwa jasanya dalam misi tersebut pasti sangat dihargai oleh Pemerintah saat ini yang sedang menggiatkan program Nasionalisme di seluru tanah air.
Ia mengatakan tak perlu lagi dengan penghargaan apapun Ia merasa harusnya telah ikut mati saja pada saat itu. bersama Komor Laut Yos Sudarso Ia merasa menyesal  selamat dari peristiwa tersebut setelah melihat kenyataan demi kenyataan dalam membangun negara saat ini . Pak Soejono mulai bercerita. Malam itu dia tidak memiliki firasat apa-apa. Dia seperti biasa hanya bertugas mengurus mesin kapal agar berfungsi dengan optimal. Kapal  baru dibeli dari Jerman itu memang tidak mengalami kendala teknis seperti yang terjadi pada KRI Singa yang urung beroperasi akibat kesalahan teknis. Tapi pada misi rahasia ini dia dituntut memberi jaminan mesin kapal dalam posisi terkendali.
Dia mengatakan ketika kapalnya berada di sebuah kordinat sekitar Laut Aru, tiba tiba dia mendenngar suara menggelegar di buritan kapal yang membuat kapal itu bergoyang dan oleng. Sejenak kemudian kapal itu mulai terangkat haluannya. Seluruh ABK  panik dan berlarian mengambil posisi masing-masing.
Komodor Yos Sudarso dan Kapten Kapal memilih bertahan di dalam ruang kemudi. Mereka mengikat dirinya pada kemudi kapal bersama dengan surat-surat penting yang dapat mereka raih. Dalam hitungan menit, kapal itu seperti mundur dan mulai tersedot oleh laut. Dalam keadaan cuaca malam dan hujan satu persatu anak buah kapal perang itu berlompatan jumpalitan ke laut.
Suara teriakan ABK pun kemudian senyap hilang ditelan arus samudra Arafura yang terkenal dalam dan angker itu. KRI Macan Tutul lennyap seketika tanpa bekas, tanpa tanda apapun ke dasar samudra.
Pak Soejono bersama dua orang rekannya (dia masih ingat namanya Prada Lucas dan Pratu Herman) berpegangan erat pada benda yang mereka bawa saat mencebur ke laut. Mereka mengikatkan tubun mereka masing-masing pada benda itu sehingga tetap mengapung meskipun dalam keadaan lelah. Tidak disebutkan benada apakah itu, yang jelas mampu mengapungkan mereka bertiga pada malam itu hingga beberapa hari berikutnya.
Pada hari ke dua, cuca mendung, badan mereka yang terus menerus basah membuat lapar dan haus tiada tara. Menjelang sore, prada Lucas meninggal dunia akibat kelaparan dan shock. Mereka berdua terpaksa melepaskan prada Lucas dari ikatannya ke laut. Mereka memilih tidak membawa prada Lucas yang telah menjadi mayat karena akan menganggu keselamatan mereka.
Dengan rasa sedih yang tidak terkira, mereka memandang temannya itu mengapung di atas di atas laut sementara waktu sebelum akhirnya tenggelam dari pandangan mereka berdua. Hanya doa mereka panjatkan kepada sang Pencipta mengiringi kepergian teman mereka tanpa tembakan salvo kehormatan dan tanpa upacara apapun.
Memasuki hari ke lima, giliran pratu Herman yang meninggal setelah tidak mampu lagi menahan lapar dan kelehan serta kedinginan yang amat sangat. Sekali lagi, kini pak Soejono yang harus melepas sendiri ikatan pratu Herman. Kesedihannya kali ini hampir membuatnya putus asa, rasanya ia ingin ikut serta karena tidak mengetahui sampai berapa lagi menemukan harapan untuk hidup. Ia seperti melihat penderitaan yang tidak bertepi, tak ada tanda-tanda adanya bala bantuan  untuk kembali hidup.
Hari ke Enam, ia mulai makan baju kaos oblongnya sendiri. Hanya itulah makanan yang dia punya. Minum air laut dan mengadahkan wajah ke langit saat hujan datang serta mengunyah baju kaosnya sendiri tidak mampu mengobati lagi kekuatan hati dan fisiknya  untuk sadar. Akhirnya ia pingsan atau tidak sadarkan diri.
Ketika ia terbangun, dia menemukan dirinya sudah terdampar di ujung pulau Sulawesi, tepatnya di daerah Lokon Kabupaten Minahasa Manado, Sulut. Dia ternyata diselamatkan oleh nelayan yang melihatnya mengapung di dekat pantai. Nelayan itu lalu membawanya ke rumah mereka dan merawat pak Soejono selama 10 hari sampai sehat dan kuat kembali.
Ketika dia sudah sehat dan kuat ingatannya barulah dia sadar ternyata dia bertahan hidup di laut dalam keadaan tak ada harapan untuk hidup selama seminggu lamanya, tapi ternyata Tuhan maha penasih dan penyayang memberi takdir lain sehingga pak Soejono diberi panjang usianya sampai kini.
Sebulan setelah peristiwa heroik
Setelah tinggal bersama nelayan selama 20 hari, atau hampir sebulan setelah peristiwa tenggelamnya KRI Macan Tutul, pak Soejono memilih berangkat ke Makasar. Di sana ia membuat laporan dan menyerahkan dirinya kepada Polisi Militer di Makasar. Kalau tidak salah -katanya- ia akhirnya ditampung di mess Polisi Militer selama hamir satu bulan lamanya. Pada suatu hari, pak Soejono merasakan betapa membosankan tinggal di barak tersebut tanpa bekerja apapun dan tidak diberi tugas apapun, ia hanya makan, tidur, ngobrol, mondar-mandir dan sekali-sekali temannya ingin mendengarkan kisahnya. Ia pun akhirnya memilih minggat dari sana tanpa pemberitahuan . Pak Soejono memilih berangkat ke Surabaya . Dia pun menumpang kapal penumpang ke sana. Akan tetapi nasib nahas, setiba di pelabuhan Tanjung Perak, sudah ada pihak Polisi Militer yang “menjemputnya’ dan ia pun di bawa lagi ke markas. Tapi kali ini pak Soejono terpaksa harus meringkuk di sel karena ternyata pak Soejono dianggap melarikan diri dari pengawasan PM di Makassar.
Pak Soejono kecewa dan heran karena tidak menduga sikapnya itu ternayta dianggap menyalahi aturan dalam militer aktif. Akhirnya pak Soejono kembali ditahan dalam sel tahanan militer untuk mendapat proses lebih lanjut.
Entah nasib apa yang dialami oleh pak Soejono, kali ini ia bisa meloloskan diri dari tahanan militer tersebut. Ia pun pergi jauh-jauh dari pulau jawa. Kali ini ia memilih Kalimantan Barat sebagai tujuannya. Setibanya ia di Pontianak dia memilih tinggal jauh dari Pontianak, ia tinggal di pedalaman sejauh 200 Km dari Pontianak, tepatnya di sekitar Kabupaten Sanggau.
Di sini ia menemukan gadis idamannya seorang wanita dari pulau Jawa yang berparas cantik dan menggoda hatinya, mereka pun menikah. Setelah situasi dirasakan benar-benar aman, barulah ia pindah ke Pontianak. Pak Soejono ingat, dia pindah ke Pontianak pada saat Presiden Soeharto memasuki  periode ke dua sebagai presdien RI, jadi kalau tidak salah pada tahun 1975 atau 1976.
Kini di usia rentanya ke 66 tahun, pak Soejono hanya mengisi hidupnya di rumah dengan mendengarkan berita, membaca koran dan melihat kebun di depan halamannya rumahnya yang reot dan kumuh. Tidak ada yang merawat pak Soejono. Penampilannya dengan rambut seluruhnya uban, sorotan mata yang lelah, tubuh yang kurus dan ringkih membuat pak Soejono tak ada yang mengira bahwa ialah salah satu saksi hidup yang masih tertinggal untuk memberi cerita nyata betapa kisah pertempuran di laut Aru yang mengorbankan Komodor Laut Yos Sudarso ternyata menyisakan kenangan pilu salah satu ABK nya, yaitu pak Soejono.
Meskipun terlihat ringkih dan kurus, namun ketika coba disinggung tentang Nasionalisme dan kebangsaan semagnatnya memuncak. Ia mengomentari betapa mengecewakan dirinya melihat ulah dan polah para pejabat negara saat ini yang tega melukai Ibu Pertiwi dengan mengatasnamakan kebangsaan dan nasionalisme melalui Korupsi dan kejahatan terorganisir lainnya. Rasanya tak ada nilai dan arti apa-apa yang telah diberikan oleh para pahlawan dan prajurit yang telah rela mengorbankan jiwa dan raganya demi tanah air namun ternyata hasilnya hanya melahirkan para pelaku kejahatan terhadap Ibu Pertiwi ini dengan beraneka jenis kebohongan demi kebohongan.
Di akhir ceritanya, dia seperti gugup  ketika ditanyakan apakah mau dan bersedia diperkenalkan kepada pejabat terkait bahwa ternyata masih ada saksi hidup atas peristiwa besar dalam sejarah memperjuangkan Irian Barat pada masa Trikora  yaitu dirinya sendiri . Dia menghela nafasnya Bola matanya yang mulai kusam kelihatan berair, tapi dia berusaha tersenyum . Dia mengatakan pelan sambil melihat kelangit-langit rumahnya yang rompal penuh sarang laba-laba .
“ Saya tidak ingin dikenang sebagai apa pun walau penghargaan setinggi apapun diberikan kepada saya. Biarlah saya tenang sebelum kembali menghadap kepada Nya. Saya tidak menginginkan apa-apa lagi selain persiapan amal saya sebelum kembali kepada Nya”
“ Tak usah. Jangan pak. Jangan. Saya tidak ingin dipublikasikan lagi. Jika pun dipublikasikan, saya tak akan bersedia memberi komentar apapun dan pengakuan apapun nantinya jika ada yang menanyakan  tentang hal itu, karena saya menginginkan ketenangan menjelang akhir hidup saya.”
Tanpa terasa saya telah berbicara dengan bapak yang memilki pengalaman seru dan heroik ini hampir 90 menit. Sebelum meninggalkan beliau di rumahnya itu , saya mohon izin memuat kisah ini dengan catatan tidak akan memberi informasi apapun tentang keberadaannya karena pesan dari pelaku sejarah ini  kepada saya memang seperti itu .
Kesimpulan :
  1. Tenggelamnya RI Macan Tutul bukan karena oprasi Gabungan, jadi tidak perlu lagi  ada polemik antara TNI AL dan AU.
  2. Tenggelamnya RI Macan Tutul bukan karena karena di bom oleh serangan pesawat  Belanda, melainkan karena posisi Kapal kita telah terdeteksi oleh Belanda.
  3. Ada kemungkinan pergerakan konvoi Kapal Perang kita telah ‘bocor’ dan diintai oleh Belanda. Apakah awal bocornya di Jakarta atau di manapun yang jelas posisi kapal kita telah diketahui letaknya lebih dahulu sebelum sempat melakukan fase eksploitasi di Irian Barat.
  4. Tenggelamnya kapal RI Macan Tutul masih simpang siur. Kejadian yang sebenarnya adalah tanggal 15 Januari 1962, bukan tanggal 13 Januari, yakni  bersamaan dengan gugurnya Kepala Staf Angkatan Laut . Komodor Laut Yos Sudarso dalam usianya 36 tahun ( lahir Salatiga 24 Nopember 1925).
Referensi Web
http/sejarahkompasiana.com
http/faqidmajid.blogspot.com
id.wikipedia.com/pertempuran laut aru
http/myopera.com/pertempuran
www.museumbahari.com
Referensi Buku
Nama Pengarang        : Julius Pour
Judul                            : Konspirasi di balik tenggelam ( Matjam Tutul )
Nama Pengarang        : H.Djamaluddin Hatibu
Judul                            : Kapten Pahlawan Laut
Nama Pengarang        : A. Heruken SJ
Judul                            : Historical sites of Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar