Sejarah Indonesia
(UAS)
Museum Tekstil
Museum
Tekstil yang berlokasi di Jalan Aipda K.S. Tubun, No.4 Kelurahan Petamburan,
Kecamatan Tanah Abang Jakarta Barat ini, merupakan sebuah cagar budaya yang
bertujuan untuk, mengumpulkan, mengawetkan, serta memamerkan karya-karya seni
yang berkaitan dengan pertekstilan yang ada di Indonesia. Museum milik
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini menempati gedung tua diatas areal seluas
16.410 meter persegi, yang dulunya disebut Indische Woonhuis/Asrama Pegawai
Departemen Sosial. Dan kini dikenal dengan nama Museum Tekstil. Museum Tekstil
merupakan satu-satunya museum di Jakarta yang memiliki tugas sebagai pembawa
misi untuk melestarikan budaya tekstil tradisional Indonesia. Dan Museum
Tekstil pun berupaya untuk menjalankan fungsinya melalui program-program kegiatan
yang diadakan bagi publik. Ada pun visi dan misi dari Museum Tekstil:
Visi
: Menjadikan Museum Tekstil sebagai institusi keuntungan yang menjadi pusat pelestarian alam dan
budaya, media aktivitas ilmiah, seni-budaya, penunjang pendidikan, media
informasi, dan sebagai rekreasi edukatif-kultural yang menjadi salah satu acuan
dan referensi bagi proses pembangunan bangsa.
Misi
: Melakukan usaha-usaha pelestarian alam baik hewani maupun nabati dalam hal
yang berkaitan dengan budaya pertekstilan di Indonesia, melakukan kegiatan
inventarisasi sumber-sumber daya alam dan koleksi-koleksi tekstil tradisional
dari berbagai wilayah di Indonesia berikut bentuk dan ragamnya, melakukan
kegiatan dokumentasi, penelitian-penelitian, dan melakukan penyajian informasi
dan mengkomunikasikannya kepada masyarakat agar dapat dimanfaatkan sepenuhnya bagi
kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Dahulu
bangunan tua ini dibangun pada tahun 1850-an yaitu abad ke 19.Yang pada awalnya merupakan rumah
pribadi milik seorang warga negara Perancis. Namun gedung ini kemudian dijual
pada seorang anggota Konsulat Turki bernama Abdul Azis Almussawi Al Katiri,
yang menetap di Indonesia. Pada tahun 1942 dijual kepada DR. Karel Christian
Cruq. Pada masa perjuangan kemerdekaan R.I. gedung ini dipergunakan sebagai
Markas Barisan Keamanan Rakyat (BKR).Tahun 1947 kepemilikan gedung ini dipegang
oleh seorang bernama Lie Siou Pin. Setelah beberapa kali beralih kepemilikan
dan beralih fungsi, akhirnya pada tahun 1952 dibeli oleh Departemen Sosial R.I.
Pada tanggal 25 Oktober 1975 diserahkan kepada Pemerintah DKI Jakarta yang
kemudian pada tanggal 28 Juni 1976 diresmikan penggunaannya sebagai Museum
Tekstil oleh Ibu Tien Soeharto.Bangunan ini dilindungi oleh SK Mendikbud RI
Nomor 0128/M/1988. Bangunan masih asli, dalam keadaan baik dan terawat. Museum
Tekstil ini dibuka untuk umum pada hari Selasa hingga Minggu, sedangkan hari
Senin dan Hari Besar tutup. Pada hari Selasa hingga Kamis, museum buka pada
pukul 09.00 s/d 15.00 WIB. Hari Jumat, museum buka dari pukul 09.00 s/d 12.30
WIB dan pada hari Sabtu dan Minggu dari pukul 09.00 s/d 15.00.
Berdasarkan peraturan daerah pemerintah
provinsi DKI Jakarta No. 3 Tahun 2012, tiket masuk Museum Tekstil:
Perorangan
·
Dewasa :
Rp 5.000,-
·
Mahasiswa :
Rp 3.000,-
·
Anak-anak/pelajar: Rp 2.000,-
Rombongan (Min. 30 orang)
·
Dewasa :
Rp 3.750,-
·
Mahasiswa :
Rp 2.250,-
·
Anak-anak/pelajar
: Rp 1.500,-
Kursus membatik (termasuk tiket masuk museum)
·
Lokal : Rp 40.000,-
·
Asing : Rp 75.000,-
Adapun fasilitas-fasilitas yang ada di
Museum Tekstil adalah :
·
Gedung Utama digunakan untuk memamerkan tekstil-tekstil Indonesia, dan biasa digunakan untuk latar belakang pengambilan gambar film, lukisan, foto,
ataupun video klip.
·
Gedung Galeri Batik digunakan untuk memamerkan koleksi batik dari berbagai daerah di Indonesia.
·
Gedung Workshop Center (Pendopo) digunakan untuk berbagai aktivitas pelatihan membatik, jumputan, dll.
·
Taman Pewarna Alam terdapat pohon-pohon yang dapat digunakan sebagai bahan baku pewarna alam dengan luas sekitar 2000 m². Penanaman pohon-pohon itu bertujuan mendidik
masyarakat agar mengenal dan mengetahui pohon-pohon yang dapat digunakan
sebagai bahan baku pewarna alam.
·
Auditorium Perpustakaan sebagai sumber data dan informasi mengenai pertekstilan Indonesia.
·
Ruang Laboraturium dan Konservasi digunakan untuk kegiatan rutin konservasi tekstil.
·
RuangPenyimpanan (Storage) berfungsi untuk laboratorium dan kegiatan rutin konservasi tekstil.
·
Gerai Cinderamata yang terdapat aksesori, kain dan busana batik, buku-buku mengenai tekstil yang dapat diperoleh untuk para pengunjung.
·
Ruang Multimedia yang biasa digunakan untuk pemutaran film documenter mengenai seluk-beluk pertekstilan Indonesia dan ruang seminar.
·
Mushalla yang terletak di belakang Gedung Galeri Batik.
·
Area Parkir yang terbagi atas bagian depan, tengah, dan belakang.
Museum Tekstil ini sendiri mengkoleksi benda-benda yang ada hubungannya dengan dunia pertekstilan, khususnya tekstil yang berasal dari kawasan Nusantara dari akhir abad ke-18 sampai masakini. Sebagai sebuah museum tekstil terbesar di
Indonesia, museum ini mempunyai koleksi-koleksi yang terhitung banyak. Dan saat ini koleksi Museum Tekstil berjumlah 1914 koleksi yang terdiri dari:
Ø Wastra (kain tradisional) seperti Kain Panjang : Gringsing Kupu, Kothak Purnam Gringsing Ceplok Gurdo,Parang Baris, Parang Curiga, Parang Ceplok Babon Angrem, Bleg-Blegan Sutera, Parang Klitik Seling Centung, Laras Driyo, Batik Tengahan Tritik, Parang Seling Tritik, dan lainnya.
Ø Kostum untuk tari : Bedhaya yang terdiri dari Bedhaya Paes Ageng, Bedhaya Srimpen, dan Bedhaya Putri Cina; Lawung Ageng yaitu Pengampil; Wayang Golek Menak yaitu Menak Alus (Jayegrana), Menak Gagah; Wayang Wong yaitu Raja
Gagah, Aswani Kumba, dan lainnya.
Ø Aksesori tari-tarian seperti Gelung Keling, Tropong, Puthutan,
Lar-laran, Iket Tepen, Songkok, Gelung,
Tekes, Jebeng, Songkok Variasi, dan lainnya.
Ø Peralatan tekstil, dan lain-lain.
Wisatawan
yang berkunjung ke museum ini dapat menyaksikan aneka kain batik bermotif
geometris sederhana hingga yang bermotif rumit, seperti batik Yogyakarta, Solo,
Pekalongan, Cirebon, Palembang, Madura, dan Riau. Selain itu, wisatawan juga
dapat menyaksikan bendera Keraton Cirebon yang merupakan koleksi pilihan,
karena usianya yang paling tua. Bendera itu terbuat dari bahan kapas berupa
batik tulis yang berhias kaligrafi Arab. Bendera mirip plakat itu konon
merupakan peninggalan bersejarah dari tahun 1776 yang sangat disakralkan di
Istana Cirebon. Pada saat itu bendera tersebut sering dipakai sebagai simbol
syiar Islam.
Keistimewaan
lainnya yang terdapat di museum ini adalah kursus membatik. Kursus ini
dilaksanakan bersamaan dengan hari-hari buka museum. Kursus membuat batik ini
dilaksanakan di sebuah bangunan yang terletak di halaman paling belakang Museum
Tekstil. Bangunan ini bergaya rumah panggung lebar yang tak mempunyai sekat di
dalamnya. Semua bahan bangunannya terbuat dari kayu dengan cat berwarna coklat
tua. Di ruangan ini tidak terdapat pendingin ruangan (AC), karena telah terdapat
beberapa jendela yang mengelilingi ruangan untuk mengalirkan udara segar.
Tari
Lawung Ageng
Beksan Lawung atau yang lebih sering disebut
Tari
Lawung Ageng adalah tarian perang-perangan
atau ulah yuda.
Sri Sultan Hamengku Buwono I atau Pangeran Mangkubumi pada tahun 1755-1792 menciptakan tarian salah satu beksan ini. Beksan
ini diilhami oleh keadaan waktu dimana ada kegiatan prajurit-prajurit sebagai abdi
dalem raja selalu mengadakan latihan watangan, berlatih ketangkasan berkuda dengan
membawa watang atau lawung, yaitu sebuah tongkat panjang yang kurang lebih 3 m berujung tumpul, dan silang
menyodok untuk menjatuhkan lawan. Dialog yang digunakan merupakan campuran dari
bahasa Madura, bahasa Melayu, dan bahasa Jawa. Beksan lawung secara lengkap terdiri dari 3 bagian yaitu
Beksan Lawung Alit , Beksan Lawung Ageng dan Beksan Sekar Medura. Beksan ini
merupakan usaha dari Sultan untuk mengalihkan perhatian Belanda terhadap
kegiatan prajurit Kraton Yogyakarta. Karena pada masa itu dalam suasana perang,
sultan harus mengakui dan tunduk segala kekuasaan Belanda di Kasultanan
Yogyakarta. Ia harus patuh pada segala perintah maupun peraturan yang telah
ditentukan, termasuk olah keprajuritan. Latihan keprajuritan dengan menggunakan
senjata di larang oleh Belanda.
Oleh
karena itu sultan mengalihkan olah keprajuritan ke dalam bentuk beksan yaitu
Beksan Lawung. Melalui Beksan Lawung ini sultan berusaha untuk membangkitkan sifat kepahlawanan
prajurit Kraton pada masa perang tersebut. Beksan Lawung menunjukkan semangat
dan keberanian melalui gerakan-gerakan tari. Oleh karena itu tema dalam Kraton
khususnya Beksan Lawung kebanyakan bertema kepahlawanan. Beksna berisi
sindiran-sindiran halus sebagai ungkapan rasa tidak senang sultan terhadap pembesar-pembesar
Belanda di Kraton Yogyakarta.
Selain
itu, Beksan Lawung diangkat sebagai tari ritual wakil sultan dalam upacara
perkawinan putra dan putrinya, bukan semata-mata sebagai wakil yang wadang
tetapi juga wakil kawruh urip yang harus dicerna oleh kedua mempelai lewat
keseluruhan pagelaran. Hakekat pesan ini secara transparan diutarakan lewat
lewat lagon diawal pertunjukan Beksan Lawung sebagi petuah sultan tentang
perkawinan yang diakhiri dengan simbol kesuburan . Dalam Beksan lawung
disimbolkan dengan tongkat atau lawung, dan perempuan dilambangkan dengan
tanah. Tanah sebagai bumi sering disebut 'ibu pertiwi', lambang keperempuan. Dalam latihan Beksan Lawung
diberikan kepada prajurit-prajurit peleton/ pasukan Trunajaya sehingga Beksan
Lawung atau Beksan Trunajaya itu berubah menjadi Beksa lawung ageng dikarenakan
hadir Beksa lawung alit dan Beksan Sekar Madura sebagai bagian dari Beksan Lawung
secara keseluruhan. Sebagai akibat orang seringkali menyebut Beksa lawung
diidentikkan dengan Beksan lawung ageng.
Pada
tahun 1918 berdiri perkumpulan Kridha Beksa Wirama, sehingga Beksan Lawung boleh dipergelarkan dan diajarkan kepada orang lain
di luar Kraton atas izin Sultan Hamengku Buwono VII. Sejak itulah kesenian
istana, khususnya Beksan Lawung, makin banyak diminati dan maju pesat.
Perkembangan selanjutnya Beksna Lawung dipentaskan untuk para wisatawan baik
dari dalam maupun luar negeri, sehingga terjadi pemadatan waktu pentasnya. Beksan ini oleh Sri Sultan dijadikan Beksan ceremonial yang sangat terhormat, bahkan menjadi wakil pribadi dan Sri Sultan pada resepsi perkawinan agung pada hari pertama di Kepatihan dimana menurut istiadat Jawa Sri Sultan tidak boleh menghadirinya. Tarian ini lengkapnya terdiri dari 40 orang penari dan dibagi dalam tiga beksan yaitu, Lawung Ageng untuk gagahan dengan 16 orang penari, beksan sekar medura dengan 8 penari gagah dan alus. Namun, pria bersenjatakan lawung (tombak)
pada umumnya dibawakan oleh 16 orang penari putera, dan beksan putra ini
termasuk dalam tari upacara. Dan biasanya apabila di pentaskan secara lengkap,
akan memakan waktu 5 jam dengan iringan gamelan khusus yaitu Kiai Guntur Sri,
suaranya mengalun selama pagelaran ini berlangsung para penari disamping sisi
kiri kanan gamelan dilarang istirahat.
Dahulu
biasanya di pagelarkan untuk merayakan resepsi perkawinan putra-putri sultan
kepatihan. Beksan lawung dipakai sebagai sebagai wakil raja dalam upacara
pernikahan tersebut. Karena suatu hal yang tabu serta menghilangkan kewibawaan
raja apabila raja sampai hadir di kepatihan yang tingkat derajatnya berada di
bawah raja. Karena beksan lawung dianggap sebagai wakil raja, maka tidak boleh
dipentaskan di sembarang tempat. Nama posisi penari: Lawung Jajar, Lawung Lurah, Botoh, Salaotho, dan
Ploncon. Tata pakaiannya yaitu, Irah-irahan (hiasan kepala) dengan tephen
kondhe Bineset, belakang dengan hiasan bunga yang diletakkan pada cundhuk
berwarna emas dan rambut yang diklabang. Lalu di telinga dengan grompolan.
Kelat bahu yang berbentuk Candra Kiranan dipakai sepasang. Lalu kalung
Tanggalan, Kaweng Cindhe, Sabuk dan bara Chinde, Kamus dan Kretep, Sondher
(sampur) Chinde, Celana Panji-Panji Cindhe, dan Kain Batik Corak poleng.
Referensi:
Web
Buku
·
Petunjuk
Museum Tekstil
Dirman
Surachmat
·
Pendidikan
Berwawasan Kebangsaan: Kesadaran Ilmiah Berbasis Multikulturisme
M.
Nasruddin Anshoriy Ch
·
Seni
Tari Jawa
Okke
Dwi Putri (4423125298)
D3
Usaha Jasa Parwisata
Fakultas
Ilmu Sosial
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar